Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata [Bag.II]


Londa; Wisata Makam dan Tulang Belulang

Hari baru dimulai saat saya mengunjungi kompleks makam Londa. Obyek andalan Toraja ini hanya didatangi lima turis, sudah termasuk saya dan fotografer. Saya melewati sejumlah keranda dan tabela berukir yang dipenuhi tulang-belulang, lalu memasuki gua alami di rahim tebing batu. Penjaga makam menyulut petromaks dan mengantarkan saya memasuki lorong yang penuh liku. Panoramanya mencekam. Sisa-sisa jasad bertaburan...

Londa bagaikan sebuah sarkofagus gigantik. Saya mesti berhati-hati saat melangkah atau berpegangan pada dinding, seraya berharap petromaks tidak tiba-tiba padam kehabisan minyak. Langit-langit kemudian merendah hingga saya mesti merangkak. “Bagaikan beruang yang berpura-pura menjadi laba-laba,” tulis Lawrence Blair dulu saat memasuki makam di Toraja.

Dalam sebuah brosur kapal pesiar, Londa dipromosikan sebagai tempat yang menawarkan sensasi petualangan Indiana Jones. Di dalam gua, atmosfernya memang menegangkan. Tapi di luar, Londa adalah sebuah obyek yang dikemas rapi.

Di sekitar mulut gua, ada jalan setapak berbahan semen, toilet umum, beberapa tempat duduk. Sejauh mana kita boleh memodifikasi petilasan tua atas nama kenyamanan? Pertanyaan saya mungkin berlebihan. Keluar dari gua, lagu If Tomorrow Never Comes berkumandang dari toko suvenir dan memantul-mantul di dinding kapur.

Di atas mulut gua, tau-tau berbaris rapi seperti para bangsawan di balkon istana. Berbeda dari tau-tau yang dijual di Eropa, wujud mereka lebih modern. Dulu, totem ini lebih simpel: bertubuh gelap, memiliki iris kecil, berbalut kain polos. Dulu juga, tangan kanannya menengadah sebagai simbol kesejahteraan bagi keluarga yang ditinggalkan, sementara telapak kirinya menghadap ke sisi dalam sebagai tanda perlindungan. Setelah zaman jauh bergulir dan selera berubah, tau-tau dipahat lebih riil, lebih mirip manusia, sampai-sampai wajahnya tertangkap face detector kamera. Mereka tak ubahnya patung lilin di Madame Tussauds. Filosofi lama yang kaya makna, tergeser. Betapa Toraja telah berubah.
Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Gua-gua alami yang banyak tersebar di Toraja. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Rantepao; Salib Raksasa, Jalanan Rusak dan Kopi

Saya kembali mengarungi jalan. Di Rantepao, salib raksasa menjulang di atas bukit, seolah hendak membaptis kota ini dalam sinar Tuhan. Kota tetangga, Makale, sedang membangun patung Yesus. Jauh di kaki monumen-monumen suci itu, jalan-jalan rusak dan sampah berserakan.

Di Hotel Pison, saya berhenti untuk menyeruput kopi. Berbeda dari kopi Gayo yang menyetrum mata, kopi Toraja menyulut suasana melankolis, seolah merayu kita untuk mencomot buku dan merebahkan tubuh. “Lebih enak jika dibiarkan sejenak di cangkir. Mirip kain luntur yang dicelupkan ke ember, biarkan sampai lunturnya hilang,” jelas Eli, perintis Kaana Toraya, merek dengan status kultus di kalangan penggemar kopi. Dia memakai kata “Toraya,” istilah lawas yang hanya digunakan oleh sesama orang lokal.

Biji-biji kopi terbaik dipetik dari Perbukitan Awan dan Sapan. Dua perusahaan asing sudah lama mengeruk uang di sana. Di luar kopi, Toraja praktis tak punya mesin ekonomi yang mumpuni. “Tidak ada industri di Toraja. Hanya ada kopi,” ujar Aras Parura, seorang pemilik kafe di Rantepao. Fakta itulah yang menurutnya memicu gelombang eksodus warga, terutama di kalangan kaum terdidik yang menikmati berkah program Repelita Orde Baru.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Kalung tradisional yang terbuat dari taring babi atau hewan lain. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Perantau Toraja; Golongan Kaya Baru, Godaan Senikmat Kopi

Kopi menghangatkan malam-malam dingin, tapi kopi tak cukup memuaskan para sarjana muda yang penuh mimpi. Di saat yang bersamaan, investasi asing merambah Kalimantan, Papua, dan Jawa. Lapangan kerja terbuka lebar. 

Suku Toraja, kaum yang percaya leluhur mereka diturunkan dari bintang-bintang di angkasa, mendadak menemukan sumur uang baru untuk hidup mereka di dunia. 

“Penduduk Toraja paling 500 ribu,” kata Aras lagi, “tapi yang tinggal di luar lebih dari satu juta jiwa.” Tradisi merantau melahirkan golongan kaya baru. Di kampung halaman, kisah-kisah mereka menyebar secepat gosip artis. Godaan migrasi menular dari mulut ke mulut. 

Rumput tetangga terlihat semakin hijau. Anak-anak pun menghampiri bapaknya. Tetangga menyusul tetangga. Bagi mereka yang berada di kasta budak, merantau punya insentif yang lebih sukar ditampik: solusi untuk membuka lembaran baru di negeri seberang sebagai “orang merdeka.”

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Kristen adalah agama mayoritas di Toraja meski mereka memiliki agama tradisional Aluk Todolo. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Perantau Toraja; Masuknya Injil, Pergeseran Nilai Budaya & Negosiasi Status Sosial

Dampak merantau juga menyentuh domain ritual. Lagi-lagi, kita bisa melihatnya pada Rambu Solo. Ritual suci ini kerap berubah menjadi ajang unjuk kekayaan. Golongan kaya baru berusaha mendaki tangga mobilitas sosial dengan royal membeli kerbau, membangun Tongkonan, bahkan kasta. Status bangsawan yang tadinya diwariskan lewat jalur darah, kini hendak didapuk lewat lembaran rupiah. Tapi Rambu Solo semacam itu jauh dari ekspektasi turis. Mereka datang untuk menonton upacara yang digelar masyarakat tribal keturunan langit, bukan seremoni mewah yang didanai oleh kaum diaspora yang datang mengendarai Rubicon dan menggenggam iPhone. Betapa Toraja telah berubah. Toraja “dataran tinggi yang sakral,” tulis sebuah semboyan wisata.

“Salah satu penyebab utama perubahan adalah masuknya Injil,” kata Eric Crystal Lantang. “Aturan Aluk To Dolo dan dogma Injil kerap berbenturan.” Eric, seorang penganut Kristen, adalah keturunan dari raja besar Puang Sangalla. Dia menilai masuknya Injil lebih dari 100 tahun silam telah menggeser sendi-sendi budaya lokal. Dalam banyak catatan, konflik memang pecah antara gereja dan keyakinan pagan. “Pada 1985, sebuah gereja Protestan menyatakan tau-tau adalah sebuah isu besar yang merongrong gereja,” tulis Toby Volkman lagi dalam esainya, Toraja Culture and the Tourist Gaze. Gereja menolak hidup manunggal dengan keyakinan purba. Aluk To Dolo juga kian terjepit setelah pemerintah Orde Baru melakukan “perampingan” religi dengan mengakui hanya lima agama resmi.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Kostum penari tradisional Toraja. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Aluk To Dolo memang akhirnya selamat dari cap sesat usai dikategorikan sebagai “cabang” dari Hindu Bali, tapi proses desakralisasi sudah terlanjur bergulir dan adat kian tergerus. Eric, yang namanya diambil dari seorang peneliti Amerika, kini berusaha menjadi penengah antara agama samawi dan kepercayaan leluhurnya. Babad monarki sudah lama ditutup, tapi peran sosialnya sebagai bangsawan belum rampung. Melalui mimbar gereja, Eric mengajak warganya menyudahi benturan antara ajaran Kristen dan Aluk To Dolo. Dia percaya, solusi kompromi bisa tercipta di antara kedua kubu. “Dulu, tau-tau dilarang karena dianggap penyembahan terhadap berhala,” ujarnya. “Saya lalu jelaskan, tau-tau tak ubahnya foto, tapi tiga dimensi. Tujuannya untuk mengenang almarhum, bukan untuk disembah.”

Di Toraja, adat bagaikan kumpulan kaidah lawas yang rapuh. Tafsirnya ditentukan oleh generasi sekarang, oleh orang-orang yang menatap dunia dalam kacamata modern. Pertanyaannya, ketika banyak tau-tau lenyap, pastor memimpin ritual adat, budak duduk sederajat dengan bangsawan di bangku sekolah, dan atap Tongkonan diganti seng, masih relevankah Toraja “menjual” eksotisme budaya?

Barangkali saya yang keliru mencerna zaman. Toraja adalah sebuah kebudayaan yang bergerak, sebuah “living villages” tulis Kathleen Adams dalam Cultural Commoditization in Tana Toraja. Tak mungkin bagi kita mengharapkan Toraja membeku dalam waktu layaknya sebuah artefak dari zaman purba. Lagi pula, kebudayaan Toraja sejak awal tak pernah dikemas sebagai atraksi wisata. Rambu Solo adalah acara privat keluarga. Tau-tau juga milik keluarga, begitu pula makam dan Tongkonan. Orang Toraja berhak memutuskan sejauh mana mereka hendak mengubah apa yang mereka punya.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Staf Toraja Heritage Hotel di tepi kolam dengan latar struktur berarsitektur tongkonan yang berisi kamar tamu. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Semangat Baru Pariwisata Toraja

Namun, bukan berarti harapan sudah pupus bagi pariwisata. Asa masih ada. Dalam transisi besar yang membasuh dataran tinggi ini, turis menangkap pesona lain yang selama ini terpinggirkan oleh tema-tema besar “kematian.” Sebuah survei yang didukung LSM Swisscontact pada Agustus 2014 mendapati, turis justru mencantumkan “alam” sebagai daya tarik terbesar Toraja. Prosesi kematian yang selama ini menjadi mantra pemikat, jatuh ke peringkat kedua. Pelancong ternyata lebih menyukai lanskap elok yang terhampar di balik Tongkonan dan tebing-tebing makam.

Swisscontact hadir di Toraja guna mendukung kinerja DMO (Destination Management Organization), semacam tourism council yang beranggotakan para pemangku kepentingan lokal. Luther Barrung, mantan Direktur Pemasaran Kementerian Pariwisata, didaulat sebagai pemimpinnya. Generasi muda seperti Yohan Tangkesalu, General Manager Misiliana Hotel, duduk di struktur pengurus. Bahkan figur bersuara lantang sekaliber Eric Crystal turut terlibat. Setelah sekian lama didikte oleh suku tetangga mereka di selatan, nasib pariwisata Toraja kini berada di tangan warganya sendiri.

Selain survei, DMO merumuskan logo baru pariwisata. Tahun ini, mereka bakal mengikuti bursa pariwisata di Bali, melakukan pemetaan ulang obyek, menciptakan situs wisata, juga mencetak peta dan brosur-brosur baru. “Diversifikasi produk kini sedang digarap. Toraja butuh banyak inovasi baru,” ujar Tri Laksono, Project Officer for Destination Development Swisscontact.

Di bawah panji DMO, Toraja bersiap menulis lembaran baru: menjadi destinasi bagi para petualang alam, bukan cuma peziarah. Kelak, turis melancong ke sini bukan semata untuk menonton Rambu Solo atau menembus gua makam, melainkan untuk menjelajah sawah, trekking ke kebun kopi, atau bermain arung jeram. Awalnya bersandar pada kematian, Toraja kini berharap pada kehidupan —pada padi yang tertiup angin, biji-biji kopi yang ranum, sungai yang tak lelah mengalir.


Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Bus eksklusif yang melayani transportasi dari Makassar ke Toraja. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Bagaimana Menuju Toraja;

—Rute
Toraja bisa dijangkau dari Makassar dengan menaiki bus. Salah satu operatornya, Primadona (Jl. Perintis Kemerdekaan Km.13, Ruko Bukit Khatulistiwa Blok B/8, Makassar; 0811-4497-212), memiliki bus mewah dengan kursi yang menyerupai kelas bisnis pesawat. Ada dua jadwal keberangkatan: pukul 21:00 dan tiba pukul 06:00, atau pukul 09:00 dan tiba pukul 18:00. Pesawat sebenarnya tersedia, tapi jadwalnya kadang direvisi mendadak. Aviastar (aviastar.biz) melayani penerbangan dari Makassar menuju Bandara Pongtiku dua kali per minggu.

—Penginapan
Selain menawarkan 134 kamar yang disebar dalam bangunan berbentuk tongkonan, Toraja Heritage Hotel (Jl. Kete Kesu, Rantepao; 0423/211-92; toraja-heritage.com) memiliki kolam renang yang fotogenik, serta menawarkan akses mudah ke desa-desa adat. Berdiri di atas lahan seluas delapan hektare, Misiliana Hotel (Jl. Pongtiku 27, Rantepao; 0423/212-12; torajamisiliana.com) menaungi dua kolam renang, ballroom, restoran, spa, serta 98 kamar. Hotel ini juga menawarkan pengalaman homestay: menginap di tongkonan tua yang telah disulap menjadi suite.

—Makan & Minum
Restoran terbaik umumnya hanya terdapat di hotel. Salah satu yang berhasil menembus dominasi itu adalah Mambo (Jl. DR. Sam Ratulangi 34, Rantepao; 0423/211-34; mamborestaurant.co), restoran yang menyuguhkan beragam menu, termasuk masakan lokal pa’piong dan pamarrasan. Sarang hangout populer di kalangan turis, Café Aras (Jl. A. Mappanyukki 64, Rantepao; 0823-9627-5688), menawarkan bangunan yang sejuk di tengah kota Rantepao yang bising. Bagi penikmat kopi, dua tempat yang layak didatangi adalah Warung Kopi Toraja (Jl. Poros Makale, Rantepao; 0852-4824-7654) dan Hotel Pison (Jl. Pongtiku 2 No.8, Rantepao; 0423/213-44).

—Aktivitas 
Situs-situs tua masih menjadi obyek andalan di peta wisata. Untuk menyaksikan menhir, pergilah ke Rante Kalimbuang di Bori’. Di Londa, kita bisa memasuki makam gua, sementara di Lemo kita bisa menyaksikan tau-tau dalam desain orisinal. Kampung adat yang paling tersohor, Kete’ Kesu’ lazim dijadikan tempat upacara-upacara besar. Dibandingkan desa adat lain, Buntu Pune’ relatif masih autentik. Kala di sini, carilah Marla, sarjana arkeologi yang lancar bercerita tentang kebudayaan Toraja, termasuk tentang benteng di samping desanya.

Desa-desa tenun terpusat di sisi timur laut, salah satunya Sa’dan To’ Barana. Bawa uang tunai jika ingin berbelanja. Jika ingin menyerap panorama Toraja yang paling karismatik, pergilah ke Batutumonga. Bawalah sepatu trekking, karena Anda pasti tergoda untuk mengarungi sawah dan lembah hijaunya.

—Informasi 
Menyewa pemandu adalah metode terbaik. Tapi jika ingin berwisata secara mandiri, Anda bisa menyewa mobil, kemudian menggali informasi dari pihak DMO (visittoraja.com) atau Swisscontact (Jl. Makula’ Tampo, Sangalla, Makale Utara; 0423/264-43; swisscontact.or.id). Peta wisata baru belum dicetak, tapi versi lamanya masih tersedia di kantor Dinas Pariwisata Toraja Utara (Jl. Ahmad Yani 62A, Rantepao; 0423/212-77). Rambu Solo umumnya digelar di tengah tahun. Upacara kematian ini menampilkan prosesi pengorbanan kerbau dan babi. Tamu sepatutnya memberikan sesuatu kepada keluarga almarhum. Idealnya, berupa seekor babi, tapi kita bisa menggantinya dengan satu slof rokok atau beberapa kilogram gula pasir. Siapkan pakaian hitam jika ingin hadir.


____________________

Oleh: Cristian Rahadiansyah

Foto oleh: Suryo Wibowo




Sumber: DestinAsian

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »