Wira Nurmansyah: Lebih dekat dengan Toraja - Travel Story

Wira Nurmansyah: Lebih dekat dengan Toraja - Travel Story
Disambut tarian Pa' Gellu' Toraja yang dimainkan anak-anak.
Langit sudah gelap ketika mobil-mobil Terios kami memasuki daerah Toraja. Mobil dibelokan ke sebuah jalan gelap kecil tanpa penerangan, perlahan-lahan menaiki sebuah jalan berbatu. Tak lama, kami memasuki perkampungan dengan rumah-rumah adat berbentuk panggung dengan atap yang berbentuk trapesium, dan dihiasi oleh tanduk-tanduk kerbau yang berbeda jumlahnya tiap rumah.

Membayangkan masuk ke perkampungan megalitik yang tak jauh dari kuburan-kuburan batu, bulu kuduk saya rasa-rasanya sudah berdiri sejak masuk wilayah Toraja. Namun, semuanya sirna ketika anak-anak kecil Toraja menyambut kami dengan orkestra alat musik bambu. Mereka lucu sekali! Dengan wajah- wajah lugunya, murid-murid sekolah dasar ini dengan apik memainkan alat musik bambu khas Toraja ini.

Sambil menikmati alunan musik bambu Toraja dan tarian Pa'Gellu' yang dimainkan anak-anak, kami disuguhi kuliner-kuliner khas Toraja seperti Pa'Piong, pamarrassan, sambal katokkon, dan tentu saja kopi Toraja.

Wira Nurmansyah: Lebih dekat dengan Toraja - Travel Story
Alunan musik bambu khas Toraja.
Pa'piong adalah daging yang dibumbui rempah dan dibakar di dalam batang bambu muda. Rasanya mirip seperti pepes. Sedangkan pamarrassan adalah masakan dari buah pangi, mirip rawon dengan kuah kental seperti rendang. Semuanya PEDAS. Dan yang paling bikin bibir saya meleleh adalah si sambal katokkon. Dibuat dengan cabai paling pedas senusantara: Lada Katokkon. Sumpah, saya tidak akan makan cabai ini lagi kecuali hadiahnya mobil terios. *bhik*

Setelah pentas tari Pa'Gellu' selesai, kamipun ikut menyelesaikan makan malam kami yang penuh peluh karena lada katokkon. Dan scene horror pun segera mulai, karena kami akan bermalam disini. Di rumah-rumah Toraja, Tongkonan.

Wira Nurmansyah: Lebih dekat dengan Toraja - Travel Story
Pa’piong dan sambal Katokkon.
Wira Nurmansyah: Lebih dekat dengan Toraja - Travel Story
Lada Kattokkon, cabe yang saya nobatkan paling pedas se-nusantara.
Wira Nurmansyah: Lebih dekat dengan Toraja - Travel Story
Memasuki kawasan Tongkonan.
Bangunan Tongkonan punya beberapa tipe. Ada yang sebagai rumah tinggal, juga ada yang sebagai lumbung padi. Kami disuruh memilih untuk menginap dimana. Bisa di rumah tinggal khusus tamu, atau di bawah lumbung padi. Jika di lumbung padi, sebetulnya kita akan kemping karena hanya tidur dengan dinding yang dibentuk oleh kain yang menyangga keempat buat tiang lumbung. Karena ini adalah dataran tinggi, saya memilih  untuk tidur di dalam rumah Tongkonan.

Tentu saja saya memastikan bahwa urusan toilet sudah selesai saat tidur. Karena di ruang tamu tetangga sebelah ada jenazah yang belum dikuburkan sebab belum bisa melaksanakan upacara Rambu Solo’. Sebuah upacara untuk mengantarkan jenazah ke alam sana, dengan bantuan ‘kendaraan’ para kerbau yang disembelih. Bukan kerbau biasa pula, harus kerbau belang dengan tanduk panjang, Tedong Saleko. Harganya yang bisa mencapai ratusan juta rupiah membuat beberapa masyarakat Toraja yang belum mampu menyembelih.

Toraja adalah salah satu destinasi wisata heritage di Sulawesi. Banyak kuburan disini yang unik-unik seperti Londa, kuburan orang Toraja yang berupa goa. Jenazah yang sudah diawetkan ditaruh saja di dalam peti tanpa dikubur.

Tak jauh dari Londa, makam untuk orang dewasa dan para bangsawan, di kawasan Kambira juga terdapat makam para bayi. Namun bayi-bayi ini tidak ditaruh begitu saja di dalam gua, melainkan dikubur. Dikubur di dalam pohon. Pohon besar bernama pohon Tarra' atau pohon cempeda dilubangi dengan bentuk kotak, kemudian bayi diletakan disana dan ditutup dengan alang-alang atau serat pohon enau. Bayi yang boleh dikubur dengan cara ini adalah bayi yang belum tumbuh gigi.

Filosofinya, bayi yang dikubur ini akan tumbuh bersama orang tua barunya di alam sana, yaitu pohon tersebut. Terlihat bekas kuburan bayi yang sudah lama di batang bagian atas, sudah menyatu dengan pohon. Tak lagi  terlihat seperti kuburan, hanya menjadi pohon biasa.

Toraja memang unik. Walaupun sekarang sebagian besar sudah menganut agama samawi, namun praktek-praktek annimisme masih dilakukan. Saya berharap supaya mereka bisa memilah-milah mana yang baik dan mana yang kurang baik bagi kehidupan mereka saat ini.

Wira Nurmansyah: Lebih dekat dengan Toraja - Travel Story
Terios 7 Wonders, parkir di kawasan Tongkonan.


Naskah dan Foto: Wira Nurmansyah

Sumber: wiranurmansyah.com | Wira Nurmansyah - Indonesia Travel & Photography Journal

Ma'Badong; Perpaduan Tari dan Nyanyian Dukacita Upacara Kematian di Toraja

Warga Toraja melakukan ritual Ma’badong pada upacara Rambu Solo di Rembon, Makale, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Sabtu (27/12) malam. Ma’badong merupakan ritual mendoakan orang yang meninggal agar diterima di alam baka, juga ratapan kesedihan dan kenangan hidup sang mendiang selama hidupnya. ANTARA FOTO/Sahrul Manda Tikupadang/nz/14
Ma'Badong; Perpaduan Tari dan Nyanyian Dukacita dalam Upacara Kematian di Toraja
Ma' Badong adalah sebuah perpaduan antara tarian dan nyanyian kedukaan berisi syair dukacita yang diadakan di upacara kematian (Rambu Solo') di Toraja, Sulawesi Selatan. 

Ma’ berarti ‘melakukan’ dan pa’ berarti pelaku, sehingga Ma’badong berarti melakukan tarian dan nyanyian Badong, dan Pa’badong berarti penari Badong. Ma'Badong dilakukan secara berkelompok oleh pria dan wanita setengah baya atau tua dengan cara membentuk lingkaran besar dan bergerak sambil menyanyikan syair-syair dukacita.

Ma'Badong dilakukan secara berkelompok. Foto: Yoseph Kungkung | fotoblur.com
Pengertian Badong

Badong dilakukan di dalam ritual upacara kematian di Toraja, dan dilakukan di tanah lapang atau pelataran yang cukup luas, yaitu di tengah-tengah lantang (pondokan yang hanya dibuat untuk sekali pakai berfungsi sebagai tempat melaksananakan upacara kematian).

Pa’badong memakai baju seragam, biasanya hitam-hitam dan memakai sarung hitam atau memakai pakaian adat Toraja. Jumlah penari dapat mencapai puluhan hingga ratusan orang, sehingga pria memakai seragam yang berbeda dengan para penari wanita. Terkadang para pria dan wanita juga mengenakan pakaian adat Toraja. Tetapi, karena badong juga terbuka untuk orang yang ingin ikut menari, jadi tamu upacara kematian yang ingin ikut Ma’badong diperbolehkan berpakaian bebas.

Pada saat Ma’badong, semua anggota tubuh pada Pa’badong juga bergerak, seperti menggerakkan kepala kedepan dan kebelakang, bahu maju-mundur dan kekiri-kekanan, kedua lengan diayunkan serentak ke depan dan belakang, tangan saling bergandengan lalu hanya dengan jari kelingking, kaki disepakkan kedepan dan belakang secara bergantian.

Lingkaran besar yang diciptakan pada saat Ma’badong dalam beberapa saat dipersempit dengan cara para Pa’badong maju, lalu mundur kembali dan pemperluas lingkaran dan saling berputar dan berganti posisi, tetapi tidak bertukar Pa’badong lain yang di sisi kanan atau kirinya.

Suara yang mengiringi Ma'badong adalah nyanyian para Pa’badong, tanpa iringan suara musik. Nyanyian yang dinyanyikan adalah lagu dalam bahasa Toraja, yang berupa syair (Kadong Badong) cerita riwayat hidup dan perjalanan kehidupan orang yang meninggal dunia, mulai dari lahir hingga meninggal. Selain syair tentang riwayat hidup, Badong pada saat upacara kematian juga berisi doa, agar arwah orang yang meninggal bisa diterima di alam baka.

Pada umumnya, Ma’badong berlangsung selama tiga hari tiga malam, karena pada umumya upacara kematian di Toraja berlangsung selama itu, tetapi tidak dilakukan sepanjang hari. Pada upacara kematian yang berlangsung selama lima hari dan tujuh hari, Ma’badong dilangsungkan dengan waktu yang berbeda pula, sesuai dengan keinginan Pa’badong dan persetujuan keluarga.

Pelaksaan upacara kematian di Toraja hanya dilakukan oleh keturunan bangsawan, serta keluarga dengan status sosial yang tinggi, yaitu mereka yang memiliki banyak harta kekayaan. Hal inilah yang menyebabkan Badong hanya dilakukan oleh golongan masyarakat yang kaya, walaupun dalam kenyataannya mereka sebagai penyelenggara, penari Badong sendiri adalah keluarga dan masyarakat umum yang dengan sukarela ingin mendoakan orang yang meninggal pada saat itu.

Penari Badong biasanya adalah masyarakat asli Toraja yang sudah lama bermukim di Toraja dan sudah mengenal kuat kebudayaan Toraja, hingga mereka tidak mengalami kesulitan dalam menyanyikan syair ini. Selain itu, karena upacara kematian masih sering diadakan, masyarakat Toraja tidak canggung dan dapat Ma’badong dengan baik dan  lancar.

Selain Ma’badong, biasanya di upacara kematian Toraja juga ada tarian tradisional Toraja yang lainnya, pengenalan keluarga yang berduka cita, pengenalan kerbau bonga (belang) dan kerbau biasa yang disembelih, ma'pasilaga tedong (beradu kerbau, yang nantinya akan disembelih sebagai pengantar arwah orang yang meninggal menuju surga), pengarakan peti menuju tempat yang disediakan, dan pembakaran kerbau dan babi sembelihan yang nantinya akan dibagi kepada keluarga, tamu, dan masyarakat umum, dan ritual-ritual lainnya.

Warga Toraja melakukan ritual Ma’badong pada upacara Rambu Solo di Rembon, Makale, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Sabtu (27/12) malam. Ma’badong merupakan ritual mendoakan orang yang meninggal agar diterima di alam baka, juga ratapan kesedihan dan kenangan hidup sang mendiang selama hidupnya. ANTARA FOTO/Sahrul Manda Tikupadang/14
Tata Cara Pelaksanaan Badong

Sebelum upacara diadakan, yaitu pada saat persiapan upacara, para anggota keluarga yang berduka cita memilih siapa saja yang akan menjadi pa’badong untuk upacara kematian, yaitu keluarga, sanak saudara, rekan, tetangga, dan orang lain.

Hingga pada saat upacara kematian berlangsung, orang-orang yang telah ditentukan sebelumnya menuju tempat yang telah ditentukan, pada saat yang sudah ditentukan pula.

Para pa’badong berdiri dan saling menunggu teman yang lain berada di posisi masing-masing, lalu pemimpin badong (pemberi aba-aba yang dipilih dari pa’badong-pa’badong) memberikan aba-aba untuk memulai tarian mereka.

Pada awal ma’badong, para pa’badong menyanyikan empat badong secara berturut-turut sesuai dengan fungsinya, yaitu badong nasihat, badong ratapan, badong berarak, dan badong selamat (berkat). Setelah itu, dilanjutkan oleh para pa’badong yang sudah menyiapkan doa dan nyanyian riwayat hidup yang sudah dipersiapkan. 

Jika tiba waktu yang telah ditentukan, namun syair badong, doa, dan nyanyian riwayat hidup belum selesai, para pa’badong akan berhenti secara bersamaan dan mereka kembali ke lantang (rumah papan dan kayu yang digunakan hanya untuk upacara) untuk beristirahat, hingga pada waktu yang mereka rencanakan bersama, mereka akan ma’badong lagi.

Cara ini berlangsung hingga tarian dan nyanyian pa’badong selesai dan upacara kematian juga selesai.

Tata Cara Badong. Banyak hal yang telah menjadi keharusan sebagai tata baku dalam upacara badong. Di antaranya adalah sebagai berikut :
  1. Untuk membentuk lingkaran sebagai nyanyian doa, penari badong paling sedikit harus berjumlah lima orang.
  2. Syair lagu badong adalah syair yang sudah terstruktur sesuai dengan keempat fungsi ditambahkan dengan riwayat hidup orang yang meninggal dunia.
  3. Badong dilaksanakan di upacara pemakaman di lapangan terbuka yang dikelilingi lantang (rumah adat).
  4. Badong dilaksanakan oleh pria dan wanita dewasa.
  5. Badong hanya dilakukan di upacara kematian dan bersifat sakral, bukan untuk permainan sehingga tidak akan dilakukan di upacara yang lain.
  6. Rangkaian gerakan badong berupa gerakan kepala, pundak, tangan, dan kaki, serta perputarannya tidak mengalami perubahan dan variasi, tetapi berupa tata cara yang masih sama dengan yang diwariskan turun-temurun.

Fungsi Badong

Fungsi Badong adalah dibagi dalam empat bagian, yaitu badong pa’ pakilala (badong nasihat), badong umbating (badong ratapan), badong ma’ palao (badong berarak), dan badong pasakke (badong selamat atau berkat).

Ma'Badong dilakukan dalam ritual upacara kematian di Toraja, dan dilakukan di tanah lapang atau pelataran yang cukup luas, yaitu di tengah-tengah lokasi pelakasanaan upacara Rambu Solo'. Foto: Claubert & Gildia's Big Journey

#Info: Tonton video Ma'Badong di YouTube disini (klik)

Contoh Syair Ma'Badong

Badong pa’ pakilala

E..! Umbamira sangtondokta ?
To mai sangbanuanta ?
Sangti’ doan tarampakta ?
Ke de’ ko anta umbanting !
Rapana ta’ rio-rio,
Tatannun rosso maa.
Tang marandenkoka iko ?
Tae’ko dallo riomu ?
Lako te datu masallo’ ?
Ambe’ perangikan mati’,
Ambe’ tanding talingakan,
Angki lolloan batingki.
Ke umpokadaki’ bating,
Untannun mario-rio ;
Da’ tabarrugai bating,
Da’ talalan peninggoi.
Umbating tengki’ siada’,
Rintin sipakilalaki’ ;
Tae’ki’ lindona senga’,
Rampo ma’kekeran bassi.
Da’ anta lambi bating ru’seng,’
Tu rintin pa’ealian ;
Anta masakke mairi’,
Madariding sola nasang.
Badong umbating
Tonna masaki ulunna,
Tiku ramman beluakna ;
Nenne’ samandu-mandunna,
Kerangan umbongi-bongi.
Samari tampak sarrona,
Te upu’ pekaindo’na ;
Ka’tu angin dipudukna,
Ronta’ tondon to batanga.
Sokan sokannamo ia,
Te dao nene’ mendeatanta ;
Sola to dolo kapuanganta,
Unnamboran tinaranna.
Namboran salarika,
Nasio’ tang tongan dika ;
Dengka tau tang nabasa,
Tang nalulun baratai ?
La ditulakraka langi’,
La dimnangairika ? ;
Sokan2 ia Nene’,
Tang ma’ga’ta’ to dolota.
Ke napapatui lenki’,
Ke nasanda simisa’ki’ ;
Sanda’2 dilempangan,
Pangkun dipentilendungan.
Tallang turanannaki’ Puang,
Awo’ bela’-belaranna ;
Aur tebas-tebasannya ;
Ke disaile sulei,
La dibandika menasan.
Inde dao to tungara,
Rintin to mennulu sau’ ;
Umpolo bintanna Sali,
Sirundu’ karasan tanga.
Malemi situru’ gaun,
Sikaloli’ rambu ruaja ;
Naempa-empa salebu’,
Sau’ tondok Pong Lalondong.
Unnola tossoan Adang,
Panta’daran Tau bunga’ ;
Dadi deatami lolo’,
Kombongmi to palullungan.
La umbengki’ tua’ sanda,
Paraja sanda’ mairi’ ;
Anta masakke mairi’,
Madarinding sola nasang.
Badong ma’palao
Tiromi tu tau tongan,
Tu to natampa puangna ;
Tae’ sanglindo susinna,
Sanginto’ rupa-rupanna.
Pada ditampa bintun tasak ;
Pada dikombang bunga’ lalan ;
Sumbang bulan naesungi,
Kurapak allo natadongkonni.
Mallulun padang naola,
Umpamampu’ padang2 ;
Buda kinallo lalanna,
Dikki’ barra’ karunna.
Malemi naturu’ gaun,
Naempa-empa salebu’ ;
Sau’ tondok Pong Lalondong.
Ilo’ bambana makkun.
La sangtondok to dolona,
Sangisungan to menggaraganna ;
Ia nasang mintu’ tau,
Mairi’ sangtolinoan.
Badong passakke
Sampa’ batingkira tondo,
Pango’tonan marioki ;
Napokinallo ilalan,
Sau’ rumombena langi’.
Sau’ tondok Pong Lalondong,
Ilo’ tondok to Mario ;
Ganna’ sampin pebalunna,
Sukku’ todeng tunuanna.
Nariamo tangkean suru’,
Nasaladan kada rapa’ ;
Anta masakke mairi’,
Madarinding sola nasang.

Badong nasihat

Hai..! Di manakah orang sekampung kita ?
Yaitu tetangga kita ?
Rumpun keluarga kita ?
Ayo! Berdirilah lalu kita menuangkan kesedihan kita
Saya terdiam dengan sangat sedih
Mari kita menguraikan kesedihan hati.
Tidakkah engaku berduka ?
Tidakkah kesedihan di hatimu?
Kepada raja yang budiman ini ?
Bapa dengarkanlah kami.
Ya bapa miringkanlah telinga.
supaya kami bisa menyampaikan syair kesedihan kami
Kalau kita hendak mengatakan kesedihan,
janganlah kita perolokkan kesedihan,
jangan kita buat seperti permainan.
Kalau kita bersedih saling memperingati :
Kita bukanlah orang lain,
Tiba untuk memakan besi (berduka)
Jangan kita sebut bersedih itu salah,
Mengungkapkan ragam pertentangan
Supaya kita selamat sekalian
Bersentosa semuanya.
Badong ratapan
Pada waktu kepalanya sakit,
Semua rambutnya merasakannya ;
Makin keras sekerasnya,
Bertambah dari malam ke malam.
Hanya sedih keluh penghabisannya,
Sehabis ratapan memanggil ibunya ;
Putuslah angin pada mulutnya (artinya mati);
Habislah jiwa pada badannya (artinya mati)
Sayang sioh sayang dia,
Yang di atas nenek leluhur kita ;
Bersama pertuanan kita,
Mengamburkan sumpitannya.
Dihamburkan salakah,
Diukur tidakkah benar;
Adakah orang yang yang tak dikena,
Yang tidak disapu ratakan ?
Akan ditantangkah langit ke atas,
Akan ditaruhkan kayu pilar?
Sayang sioh sayang ia Nenek,
Leluhur kita tidak adil.
Kalau ditunjukkan kepada kita,
Kalau dikenakan pada kita masing-masing;
Tak akan dapat dielakkan,
Tak dapat dilindungi.
Seakan kita ini pohon bambu tebangan Tuhan,
Kalau kita menoloh kembali,
Kita tidak akan membawa penyesalan.
Ini di atas orang melentang,
Yang berbaring arah ke selatan ;
Melintasi ikatan papan lantai,
Mengikuti balak tengah rumah.
Sudah pergi bersama dengan embun,
Bersama dengan asap bara api ;
Diikut-ikuti oleh awan,
Ke selatan negeri tuhannya jiwa di negeri jiwa
Mengikuti jejak Adam,
Mengikuti manusia pertama ;
Sudah menjadi berhala di sana,
Sudah menjadi pelindung.
Akan memberikan kita berkat yang cukup.
Keselamatan masing2 sekalian ;
Supaya kita selamat sekalian,
Semuanya bersentosa.
Badong berarak
Lihat orang yang sebenarnya,
Orang yang ditempa oleh ilahnya ;
Sepertinya tidak sebanding,
Yang setara dengan keadaannya.
Bersamaan ditempa dengan bintang gemerlap.
Bersamaan dibentuk dengan bunga’ lalan (nama bintang)
Bulan purnama yang didudukinya,
Sinar matahari yang ditempatinya.
Padang berlumpur dilewati olehnya,
Menganguskan rerumputan ;
Banyak perbekalan di jalannya,
Berasnya melimpah pada waktu sore.
Telah berangkat diikuti embun,
Diikuti awan-awan ;
Ke selatan negeri Pong Lalondong.
Di sana kotanya yang tetap.
Akan senegeri dengan nenek moyangnya,
Sekedudukan dengan yang menenpanya ;
Semua yang berwujud manusia,
Dengan manusia di bumi.
Badong selamat (berkat)
Begitulah uraian kesedihan kamu,
Penjelasan kesedihan kami,
Menjadi bekal perjalannya,
Keselatan ujung2nya langit.
Ke selatan negeri tuhannya jiwa.
Di sana negeri orang yang bersedih ;
Cukup dengan kain pembungkusnya,
Genap kerbau bantaiannya.
Sudahlah ditatang dengan tangkean suru,
Telah dipelihara dengan kata sepakat.
Supaya kita semua selamat,
Kita sekalian bersentosa



Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
WELCOME TO TORAJA  |  TAU-TAU
Manusiawi sekali jika ada orang Jakarta yang tak begitu antusias melipir ke Pulau Seribu, atau orang Bali yang belum pernah ke Nusa Penida, atau bahkan orang Papua yang sama sekali tidak tertarik ke Raja Ampat. Saya sendiri pernah berdomisili di Makassar namun tak terbesit keinginan sedikitpun untuk melancong ke Tana Toraja. Tak perlu ditentang, ini masih masuk akal. “Kan saya tinggal disini, nanti saja kapan-kapan.” Begitulah kira-kira kalimat standar yang sanggup menjinakkan hasrat.

Saya pernah bertemu dengan segerombolan turis Belanda yang mati-matian menabung demi bisa membeli tiket pesawat Amsterdam - Makassar via Denpasar. Jangan tanya sejak kapan mereka mulai gemar menyimpan uang di kaleng Khong Guan, saya rasa saat para mantan koloni itu mulai mengetahui jika mayat orang Toraja bisa berjalan sendiri ke kuburan mereka.

Zein without Maher, pemuda lajang asal Jogja ini rela datang dengan berbagai harapan. Saya, Ahlul, dan Ran yang diutus Tuhan sebagai teman jalan si bocah perawan bahagia bukan kepalang. Pertama, Zein ini temannya Ahlul, lalu karena alasan ingin memangkas krisis kantong tipis, saya dan Ran diajak melibatkan diri. Kedua, ini sudah pasti menjadi kunjungan pertama beta, Ran, dan Zein ke Toraja. Sedangkan Ahlul, entah kapan ia terakhir kesana, tapi ia masih mengingat jelas urutan kabupaten yang akan dilewati setelah bertolak dari Makassar. Ketiga, semua mimpi ini takkan pernah jadi nyata jika Ahlul dan Zein tak pernah berteman sebelummnya. Puji Tuhan!

Kami berangkat ke Toraja dengan bus bersuspensi udara yang super worth it. Butuh 8 jam perjalanan, duapuluh juta topik obrolan, satu jam perjuangan menahan mual, 3 bar lampu daya power bank sebagai genset pecinta gadget, dan secercah harapan untuk bisa tiba di kota Rantepao. Sekedar diketahui, Ibukota kabupaten Tana Toraja sendiri berada di Makale, namun pusat perekonomian dan jantung pariwisata lebih kelihatan menggeliat di kota Rantepao.

Pembaca yang terhormat, tahukah kalian jika kami telah bersepakat akan tinggal sehari disana, di hotel alakadarnya, dengan menyewa motor warga yang belum jelas keberadaannya, dan pulang dengan keadaan bahagia tak terkira? Percuma, kami terpaksa menelan mentah-mentah saran ibunda Ahlul yang membungkam kebebasan berekspresi kami. Ya, beliau pernah lama tinggal disana. Kami diyakinkan agar menuntaskan semua destinasi di wish list dalam sehari saja. Setelah itu, pulanglah ke Makassar dan jangan membantah. Baiklah, bukankah suara ibu adalah suara Tuhan?

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
KE'TE KESU  |  RAMBU SOLO'
Tak ada adegan memicingkan mata saat pertama kali tiba di Toraja. Maklum, jalan spiral trans Sulawesi disepanjang Enrekang masih meyisakkan mual tak terkira. Kami hanya butuh lima menit untuk bersepakat rute pertama segera dimulai dari mana. Masjid! Hanya di tempat ini semua hajat besar dapat dilaksanakan. Malang rupanya, pagar masjid tertutup rapat, madrasah di sampingnya pun sedang libur. Tak ada toilet untuk kalian, wahai pengembara tua bangka!

Rencana merental motor pun kami ganti dengan saweran menyewa satu mobil, termasuk supir, bensin, guide, merangkap kamus Torajapedia. Pak Ela membuat kami kagum akan keramahan beliau, katakanlah dia tahu menempatkan diri sebagai pemandu sekaligus tuan rumah yang baik. Semoga Tuhan berkati bapak.

Saya harus memulai kisah ini dari Kete’ Kesu, semacam kompleks rumah adat yang terdapat Tongkonan lengkap dengan Alang Sura, alias Tongkonan berukuran kecil yang berfungsi sebagai tempat lumbung padi. Dibelakang kompleks ini terdapat makam leluhur orang Toraja, Kubur Gantung. Untuk menuju kesana cukup dengan berjalan kaki melewati beberapa menhir, tau-tau (patung yang dipahat berbentuk manusia), dan tengkorak yang diletakkan di dinding-dinding tebing.

Jujur, saya tak begitu antusias dengan tempat ini, mungkin karena terlalu touristy bagi para pelancong. Saya bahkan lebih terkesan dengan ritual Rambu Solo yang kita jumpai setelah dari Kete’ Kesu. Ini seperti halnya saya lebih takjub berjumpa dengan Ban Ki-moon dibanding Pokemon. Rambu Solo adalah ritual kematian super meriah yang menelan banyak biaya. Hari itu, Pak Ela berinisiatif mengantar kami ke salah satu keluarga yang sedang melangsungkan upacara ini. Beruntung, oleh seorang ibu yang mengaku sebagai keluarga berduka, malah menyambut kami dengan sangat ramah. Ramah sekali.

“Duduk saja disini, ini sebenarnya panggung keluarga inti, tapi tak mengapa, kalian ini tamu, dan tamu selalu membawa berkah. Silakan menikmati, saya pamit tinggal sebentar.”

Lima menit berikutnya wajah sumringah kami menjadi lemas. 30 ekor kerbau persembahan ditebas dengan parang sepanjang lengan. Saya menutup mata, darah segar tempias dari lehernya, ia melompat, kejang-kejang, lalu tumbang. Satu, dua, belasan, hingga kerbau ke berapa puluh itu dipersilakan maju menjemput maut. Ini memang ritual, tapi tak ada salahnya meminjam istilah Ahlul. Ini seperti genosida, teman.

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
BABY GRAVES KAMBIRA  |  KUBUR GANTUNG KE'TE KESU'
Lepas tu kami nak ke Baby Graves di Kambira, I never knows about this place anyway, make sure riwayat tempat camni pun I takde buat, even tengok kat Wikipedia pun tidak. Nah, nyatanya ini salah satu tempat femes. You pernah dengar about kuburan kat pohon, ke? Inilah! Dahulu, bilamana ada bayi yang lahir dan meninggal sebelum tumbuh gigi, dia akan dimakamkan disini, ditanam di dalam pohon khusus ini. Konon, jika rumah duka menghadap timur, kubur harus menghadap ke barat. Tujuannya supaya bayi tenang diasuh pohon Tarra’ dan tak minta pulang ke rumah dukanya.

Setelahnya, kami diajak masuk ke satu Tongkonan modern yang  dimiliki beberapa keluarga sekaligus. Seperti biasa, diseberang Tongkonan utama selalu menjulang Alang Sura.  For your information, satu Tongkonan mampu menampung empat keluarga besar, untuk hitungan ideal tiap pasang suami-istri memiliki 3 orang anak. Kali ini, saya memutuskan tidak membahas panjang lebar perihal motif ukiran, filosofi, hingga makna tanduk kerbau yang disusun pada tongkonan. Sudah banyak artikel yang membahas tentang ini, semoga kau menemukan pencerahan di tempat lain, nak.

Saya lupa persis nama guide yang menemani kami siang itu, tapi ia menawarkan wisata paling fantastis setelah saya bertanya tentang mumi Toraja. “Ada tante saya yang sudah meninggal setahun lalu tapi sampai hari ini belum dibuatkan upacara pemakaman. Rumah duka tak jauh dari sini, mari saya antar, tapi bersikaplah biasa, karena kami selaku orang Toraja percaya bahwa mayat yang belum dikubur adalah orang sakit yang harus dilayani.” Kami diam seribu bahasa.

Mendengar kata mumi, pikiran pasti melayang ke sosok Fir’aun, si jahat berhati batu yang lebih durhaka dari Malin Kundang si kacang lupa kulit. Bedanya dengan ini, mayat sengaja diawetkan dan dirawat layaknya orang sakit, dengan keterlibatan semua keluarga yang bahu-membahu mencurahkan kasih sayang, karena yang meninggal ternyata ‘masih sakit’, dan tak pernah menentang Tuhan. Siapapun kamu, akan membuang jauh-jauh rasa takut, dan angkat topi untuk tradisi yang paling sakral ini. Saya pribadi, menaruh hormat untuk sang ‘tante’ yang telah berpulang, dan memberi dua jempol untuk keluarga sederhana yang sangat mulia.

Kami melanjutkan perjalanan ke Suaya, menurut Pak Ela, situs ini mirip seperti pemakaman batu yang terletak di Londa, tapi karena kami anti mainstream, ia menawarkan rajanya Londa, Suaya King’s Grave. Sudah pasti tempat dan atraksi wisata di Toraja tak akan jauh-jauh dari mayat, tengkorak, makam, kerbau, darah, dan batu. Bijaklah jika you nak bercuti kat sini with limited times, pilih satu je yang korang nak interest. For example, bilamana korang nak tengok Marcel Chandrawinata, tengok je Mischa, sebab tu sama je.

Ahlul merayu Pak Ela agar beliau mau mengantar kami ke Batutumonga, sebuah destinasi wisata alam yang berada di lereng gunung Sesean, yang juga menurut Ahlul masih terdapat bebatuan purbakala peninggalan nenek moyang Toraja. Malang, Pak Ela menolak dengan halus karena alasan cuaca dan terbatasnya waktu yang kami miliki. Masuk akal, kami harus kembali ke Makassar jam 9 malam, otomatis harus standby elegan di stasiun bus satu jam sebelumnya, dan perjalanan dari Suaya ke Batutumonga memakan paling kurang 4 jam return, sedangkan saat itu sudah pukul 3 siang, jelas kami tak akan ambil risiko.

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
SUAYA KING'S GRAVE | PERKAMPUNGAN ADAT
Tak kekurangan akal, Pak Ela kembali melakukan terobosan membosankan, kami di ajak ke Lemo, tak lain dan tak bukan adalah ke kuburan batu (lagi). Saya memilih istirahat selama perjalanan, entah apa yang tiga serangkai lakukan di jok belakang, semoga Tuhan memberkati. Melihat kami tak begitu antusias begitu tiba di Lemo, Pak Ela bergegas ke mobil, menginjak pedal dan membawa kami lekas pergi dari objek wisata yang sama persis dengan Suaya King’s Grave dan Londa. Batu.

Kali ini saya tak bisa menemukan jati diri, yang selalu sigap saat trip tak sesuai kehendak, yang sering melahirkan ide aneh ketika sebuah destinasi tak menjual apa-apa. Maaf pemirsa, ini karena kami berempat sudah mempercayakan segala rahasia Ilahi ke pundak Ela Lopez, sebuah nama samaran yang muncul begitu saja dari pojok belakang kepala beta.

Taruna tua menerbangkan segala debu dari jalanan gersang, memberitahu kami jika infrastruktur tidak pernah dinomor satukan. Kondisi seperti ini hampir terjadi di seluruh wilayah di luar kota Rantepao, yang padahal menjadi kantong-kantong penyokong pariwisata. Ah, kekesalan makin beranak-pinak ketika nasi goreng pesanan saya mengandung dua genggam garam dapur produksi Laut Mati Jordania. Asin sekali.

Ela tetap tenang memandang kedepan, kakinya naik-turun mengatur kecepatan, sengaja ia mengundang sejuknya angin memeluk kami yang kelelahan. Mobil dipacu ke sebuah pemukiman adat di perbukitan granit, kami disambut teduhnya sungai Saddang yang kecoklatan. Sawah dengan embun segar dibawah sana, menyambut matahari yang berusaha undur diri. Lihat, pemandangan seperti ini bahkan terasa lebih damai dibanding membaca pesan dari orang yang pura-pura sayang. Ups, beta kecoplosan.

Tak ada atraksi wisata selama di kampung adat ini, tapi kami menemukan wajah lain dari Tana Toraja yang terlanjur dikenal akan ritual kematian. Disini, air mengalir jernih di selokan, bunga dan rumput  berlomba siapa yang lebih tinggi, aroma segar batang pohon memenuhi tiap sudut jalan. Disinilah letaknya kehidupan, harapan, dan alam warisan nenek moyang yang mampu berjalan beriringan dengan hebohnya upacara kematian. Sudah tentu, selain lebih sakral dibanding selamatan kelahiran atau acara kawinan, ini juga merangkap barometer status sosial sejak era Hawa dan Adam. Mungkin.

Kami kembali ke Rantepao ketika langit tak lagi biru, Ela mengucapkan salam perpisahan beserta doa agar kami selamat tiba di tujuan. Masjid, target pertama sejak pertama datang kini telah membuka pintunya lebar-lebar. Usai sholat maghrib, kami harus angkat kaki saat segerombolan ibu-ibu penumpas fakir colokan memberi kode lewat meja arisan yang siap didekorasi. Kami terpaksa mengadu lapar di sebuah kedai ayam goreng lokal yang berusaha berdandan internasional.

Sebelum naik ke bus, saya seperti tak ingin pulang, pergi meninggalkan kota kematian yang sanggup memberi penghidupan. Toraja, kalau bukan karena Tongkonan, jika tak ada kematian, bila bukan karena nenek moyang, kau tak ubahnya pedalaman yang kekurangan perhatian, yang keperawananmu dikendalikan pemerintahan, yang akan mengadu keadilan pada orang-orang seperti kami, para pejalan yang berjanji mengabarkan ke seluruh dunia jika kau kau hidup serba kekurangan.

Toraja, jika bisa menitipkan sepenggal kerinduan, saya ingin tinggal saja di dalam pohon Tarra’, atau menjadi penjaga Pallawa. Kau berhasil menyelipkan putih diantara hati yang menghitam. Karena harus saya akui, hanya disini, habis gelap terbitlah terang!

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
Penulis dan rekan-rekan. Foto: Travendom

#NB: Artikel ini sebelumnya diposting di situs Travendom (*sumber). Guna memperkenalkan kekayaan khasanah Budaya Toraja kepada khalayak, maka artikel ini kami posting kembali. Salam

Foto dan Naskah berasal dari sumber yang sama.

Masyarakat di Desa Ma'dong Toraja Utara Masih Hidup Tanpa Listrik

Masyarakat di Desa Ma'dong Toraja Utara Masih Hidup Tanpa Listrik. Foto Ilustrasi
Toraja Utara - Di era perkembangan zaman modern ini, listrik sudah menjadi kebutuhan bagi setiap orang. Namun tidak dengan masyarakat di Desa Ma'dong, Kabupaten Toraja Utara, kesehariaannya mereka harus hidup tanpa listrik.

detikcom berkesempatan mengikuti kegiatan Tim Adventure PT Nagata Dinamika anak perusahaan PT Sewatama menelusuri ke lokasi kontruksi pembangunan PLTM di Desa Ma'dong, Kabupaten Toraja Utara dari tanggal 24-29 Desember 2014. PLTM sendiri merupakan pembangkit listrik tenaga Mini hidro dengan kapasitas 10 Mega Watt. Selain itu pembangunan PLTM ini juga menggunakan tenaga air.

PLTM sendiri memanfaatkan aliran air yang berada di ketinggian 1000 meter diatas permukaan laut. Sementara power house atau turbin power berada di ketinggian 900 meter diatas permukaan laut. Sepanjang perjalanan menuju lokasi sendiri melewati beberapa perkampungan. Salah satunya desa Ma'dong yang mana di desa ini hampir sebagian masyarakatnya belum mendapat aliran listrik. Terbayang jika kita melakukan perjalanan di malam hari ke desa tersebut yang mana belum ada listrik sementara sisi jalan menuju desa adalah jurang.

"Disini ada beberapa kampung yang belum mendapat aliran listrik," ujar Camat Depina, Yunus sama berbincang-bincang dengan detikcom, Senin (29/12/2014).

Kerbau dan rumah adat Toraja di Ke'te Kesu'. Ilustrasi Foto: @dwitagama | fotodedi.wordpress
Kecamatan Depina sendiri membawahi delapan desa. Jaringan listrik menuju ke delapan desa sendiri telah ada. "Akan tetapi listrik disini suka mendapat giliran secara bergantian. Ada juga yang hanya mendapat pasokan listrik hanya untuk setengah hari," ujar Yunus.

Martinus salah seorang warga dari Desa Ma'dong merupakan satu dari puluhan orang lain yang tidak dapat listrik. Adanya pembangkit listrik ini dianggap amat membantu.

"Kita merasa senang dengan dibangun PLTM ini karena akan sangat merasa terbantu, tetapi disatu sisi kami juga kecewa karena bagi kami pohon bambu itu amat bermakna dan salah satu bagian dari adat Toraja akan tetapi malah dihargai murah," tuturnya.

Rumah Martinus sendiri berada disekitar lokasi PLTM. Disekitar tanahnya ia selalu menanam pohon bambu, yang pada akhirnya pohon itu digunakannya untuk membangun rumah dan kegiatan sehari-hari.

"Mereka berjanji sama kami meski biar dihargai murah tapi pohon bambu yang sudah ditebang akan dikembalikan ke kami. Selain itu mereka juga janji ke kami menyisihkan sedikit lahan untuk kami menaman kembali pohon bambu. Kedepan saya juga berharap mereka dapat memperkerjakan warga desa ini untuk jadi bagian dari PLTM," tutupnya.


Sumber: Detik

”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja

”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja
Kerbau jenis saleko adalah kerbau termahal dalam lingkungan budaya di Toraja. Ciri khasnya adalah tanduk kuning, lingkaran putih di bola mata, serta berkulit hitam dan putih. Tingginya harga bergantung pada kelangkaannya. Harga per ekor bisa mencapai lebih dari Rp 1 miliar. Foto: KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, seekor kerbau bisa berharga lebih dari satu miliar rupiah. Namun, kerbau semahal ini bukanlah kerbau biasa alias kerbau langka. Dan, jenis yang bisa mencapai harga Rp 1 miliar adalah jenis yang disebut ”saleko” dengan ciri fisik tanduk kuning, lingkaran putih di bola mata, serta kulit berwarna hitam dan putih dalam kombinasi-kombinasi tertentu.

Saleko sangat langka. Seekor saleko jantan yang dikawinkan dengan seekor saleko betina belum tentu melahirkan anak saleko, bahkan dalam puluhan kali kelahiran pun. Sebaliknya, saleko bisa muncul dari perkawinan sepasang kerbau biasa.

”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja
Bagaimanapun kerbau gemuk lebih mahal daripada yang kurus. Maka, kerbau-kerbau di Toraja dipaksa makan oleh pemiliknya untuk menaikkan beratnya, seperti terlihat di Pasar Bolu, Rantepao, Toraja Utara, Sulsel, ini. Foto: KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Endy Allorante, seorang fotografer dari Kampung Kete Kesu di Toraja Utara, berkisah bahwa seorang rekannya pernah menemukan seekor kerbau saleko di sebuah tempat di Jawa Tengah. Walau kerbau itu masih anak-anak, rekannya itu menawar sampai Rp 40 juta. Dengan ongkos kirim beberapa juta rupiah, sampailah kerbau saleko dari Jawa Tengah itu ke Tana Toraja.

”Dibeli di Jawa Tengah seharga Rp 40 juta plus ongkos kirim tak sampai Rp 10 juta, kerbau itu laku di sini lebih dari Rp 200 juta,” ujar Endy.

”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja
Dalam upacara Rambu Solo (penguburan jenazah), pemotongan kerbau adalah sebuah bagian penting. Kerbau-kerbau langka menjadi pilihan penting di sini. Foto: KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Di Toraja, kerbau lain yang juga bisa berharga ratusan juta rupiah adalah yang memiliki kelangkaan-kelangkaan, seperti tanduknya sangat lebar (kerbau balian), tanduknya mengarah ke bawah (kerbau sokko), satu tanduk ke atas satu tanduk ke bawah (kerbau tekken langi’), atau bahkan tidak bertanduk sama sekali.

Kerbau-kerbau langka itu memegang peran penting dalam upacara adat, seperti upacara Rambu Solo (pemakaman). Makin langka kerbau yang dikorbankan, itu menunjukkan makin tingginya strata sosial orang yang dimakamkan.

”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja
Kerbau-kerbau tidak langka masih bisa menjadi istimewa kalau menjuarai sebuah acara adu kerbau. Kerbau pemenang akan mengejar kerbau pecundang. Foto: KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Meski demikian, kerbau-kerbau yang tidak langka juga bisa berharga tinggi kalau menjadi jawara dalam acara adu kerbau. Dalam sebuah kawanan kerbau, selalu ada yang agresif. Dan, kerbau-kerbau agresif ini yang biasanya dilatih untuk jadi petarung.

Pertarungan kerbau berakhir manakala salah satu petarung melarikan diri dan dikejar oleh kerbau pemenang. 


#NB: Baca juga posting kami tentang Kerbau di Toraja:





Teks & Foto: Arbain Rambey
Editor: I Made Asdhiana

The Almost Extinct Toraja Tenun

The Almost Extinct Toraja Tenun
A woman weaves Toraja tenun as seen behind orange thread (illustration). | republika.co.id
The heritage of Indonesian culture is no doubt very rich. The deeper we dig, the more we find the treasure. When batik is already famous, do not forget to mention hand woven textile or tenun. One of the beautiful Tenun is originated from Toraja, South Sulawesi.

Sadly, it is now hard to find Toraja tenun as it is difficult to find tenun weaver. And there are only a few who can make unique pattern. 

“The old pattern is almost extinct,” Dinny Jusuf, a small medium enterprise (SME) entrepreneur, who make Toraja tenun craft named Toraja Melo.

There are only several motives that can be made by a handful of weavers. Usually, the weavers are old and reluctant to inherit their skills to the younger generation. Meanwhile, the Toraja youth prefers to work as migrant workers in Malaysia. “In Toraja, weaving tenun is only part-time job,” Jusuf said.
The elders do weaving while they are taking care of their grandchild. 

The electricity have not yet fully distributed to Toraja. It makes the weavers prefer to make bright colored tenun. The dark one should be done outside the house with the help from sunshine.
According to Jusuf, Toraja tenun product is hardly to expand if they still depend only on traditional process. Jusuf is now trying to introduce Toraja tenun by open an exhibition in Textile Museum, Jakarta. At least 50 Toraja tenun cloths are needed for the exhibition.

And, finding 50 pieces of are not that easy. Jusuf asked her friends and colleagues to help her collecting Toraja tenun. Like other traditional cloths, Toraja tenun can be converted into contemporary and functional pieces, such as bags, shoes, and ipad cases. “The challenge is the basic material supply,” Jusuf said.




Source: Republika Online

Kopi Toraja, Cita Rasa Kopi Dari Pulau Sulawesi

Kopi Toraja, Cita Rasa Kopi Dari Pulau Sulawesi
Toraja Arabica Coffee. (Ilustrasi Google)
Sebungkus kopi Toraja hadir ketika salah orang sahabat bepergian ke Sulawesi. Karena penasaran dengan cita rasa kopi Toraja akhirnya saya mencoba menyeduhnya. Tidak ada yang istimewa dari kopi Toraja yang bubuk kopinya hanya dibungkus dengan kantong plastik tipis dan dilabeli merk nama seseorang. 

Kurang tahu apakah kopi bubuk Toraja ini merupakan kopi yang terkenal di daerah sana atau hanya kopi Toraja biasa yang dibeli di tepi jalan.

Kopi Toraja (Kalosi) atau ada yang menyebutnya dengan nama Kopi Celebes Kalosi merupakan salah satu kopi dari Pulau Sulawesi yang cukup terkenal di nusantara dan hingga ke penjuru luar negeri.

Kopi Toraja, Cita Rasa Kopi Dari Pulau Sulawesi
Kopi Asli Toraja. Foto: Teamtouring[.]net
Dilihat dari bubuk kopinya berwarna hitam biasa dan bukan hitam pekat. Tekstur bubuk kopi cukup halus dan sepertinya telah melewati proses pengolahan yang modern. Begitu saya menyeduh kopi Toraja dengan air panas, tercium aroma kopi Toraja yang harum dan tidak berbau keras. 

Bau aroma kopi ini cukup menggoda dan sejauh informasi yang saya ketahui begitulah salah satu ciri khas kopi Toraja. Bubuk kopi Toraja yang tercampur dengan air panas langsung larut dan mengendap di dasar cangkir, tidak seperti Kopi Tulungagung yang sebagian mengendap di permukaan.

Ketika mencoba mencicipi pertama kali, rasa yang ditimbulkan cukup khas dan tidak cukup pahit untuk ukuran kopi lokal. Rasa kopi ini cukup ringan, tidak berasa asam karena kandungan asamnya cukup rendah, dan tidak berasa pekat di mulut atau tenggorokan. Saya menduga kopi Toraja merupakan kopi jenis Arabica yang berkarakteristik lebih ringan dibandingkan dengan kopi Robusta yang keras.

Bila kita merasakan kopi Toraja lebih dalam lagi terlebih bila menikmatinya tanpa menggunakan gula atau pemanis, kita akan merasakan rasa gurih yang jarang ditemukan dalam kopi-kopi lokal di daerah lain. Rasa gurih ini merupakan salah satu ciri khas utama kopi Toraja yang membuat orang ketagihan menikmati kopi ini. 

Kopi Toraja, Cita Rasa Kopi Dari Pulau Sulawesi
Secangkir Kopi Asli Toraja. Foto: Teamtouring[.]net
Ada yang bilang kopi Toraja mirip dengan kopi Sumatera, namun kurang jelas nama spesifik daerahnya karena di Sumatera sendiri terdapat beragam jenis kopi yang memiliki karakteristik rasa tersendiri.

Aroma wangi yang unik dan rasa gurih yang khas memang menjadi daya tarik kopi Toraja bagi sebagian penyuka kopi nusantara. Rasa kopi yang tidak cukup pahit dan rendah asam ini menjadi pilihan bagi orang-orang yang perutnya tidak toleransi dengan rasa asam yang tinggi. 

Namun bagi orang-orang yang menyukai kopi yang keras dan kental, menikmati kopi Toraja berasa kurang mantap dan puas. Namun bagi saya, menikmati kopi Toraja merupakan keasyikan tersendiri saat bersantai sambil membaca buku.