Londa: Kompleks Makam Di Tebing Batu Toraja

Londa :  Kompleks Makam Di Tebing Batu Toraja

Kompleks Makam Di Tebing Batu Toraja
Komplek pemakaman tebing batu di Londa.
Di dinding curam sebuah bukit,  nampak peti mati bertumpuk di celah tebingnya. Patung kayu manusia lengkap dengan pakaian berjejer rapi di dinding tebing yang dipahat ibarat jendela sebuah rumah. Tak jauh dari makam gantung ini, tersembunyi sebuah gua makam yang usianya ratusan tahun. Inilah tempat yang telah memukau banyak wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Pastikan Anda memasukkan Londa dalam daftar tujuan wisata yang perlu disambangi. Tidak ke Londa maka Anda belum mengenal Toraja!

Setiap suku bangsa di dunia dengan adat dan kepercayaannya memiliki cara berbeda dalam menghormati dan menguburkan kerabat yang sudah meninggal. Sudah bukan rahasia bahwa cara masyarakat Tana Toraja (khususnya kaum bangsawan) dalam menguburkan kerabatnya adalah salah satu yang paling unik di dunia. Serangkaian upacara pemakaman adat yang mahal (Rambu Solo) dan makam gua pada tebing-tebing yang tinggi dapat Anda temui di Tana Toraja, Makasar, Sulawesi Selatan.

Londa adalah salah satu gua makam paling popular sebagai tujuan wisata di Tana Toraja. Objek wisata Londa berada di Desa Sandan Uai, Kecamatan Sanggalangi. Lokasinya kurang lebih 7 kilometer dari selatan Kota Rantepao, pusat pariwisata dan akomodasi bagi wisatawan. Oleh karena itu, Londa mudah dicapai dengan kendaraan umum seperti bemo, ojek, atau pun mobil atau motor sewaan.

Untuk mencapai lokasi gua makam Londa, Anda harus menuruni sejumlah anak tangga. Pastikan sebelumnya Anda menyewa lentera petromak dari masyarakat lokal seharga Rp25.000,-. Untuk memasuki kawasan gua makam Londa, Anda memang memerlukan lentera sebagai penerang. Anda dapat membawa sendiri lentera ini atau meminta seseorang (yang juga berperan sebagai guide) untuk membawanya. Biasanya, tour guide khusus gua makam Londa tidak menentukan tarif, Anda bebas menentukannya.

Londa:  Kompleks Makam Di Tebing Batu Toraja
Burial cave, pemakaman di dalam goa batu oleh suku Toraja.
Dari kejauhan, tampak tebing curam yang dirimbuni hijau pepohonan. Jika mata Anda jeli, Anda mungkin melihat peti jenazah berwarna cerah diselipkan di celah-celah dinding tebing. Di kaki tebing tinggi nan rimbun inilah, tersembunyi sebuah gua alam yang dijadikan makam.

Setibanya di dekat gua, Anda mungkin dengan segera menangkap nuansa mistis. Alam yang masih hijau dan liar serta cuaca pegunungan yang dingin akan juga menyambut setibanya di lokasi. Di dinding tebing sekitar gua, Anda akan melihat deretan patung kayu (tau-tau) di tebing batu yang dipahat serupa etalase tanpa kaca bagi patung-patung tersebut. Tau-tau adalah kayu yang dipahat semirip mungkin dengan jenazah yang dikubur di sana. Biasanya kayu yang dipilih adalah kayu nangka yang cenderung berwarna kuning, warna yang paling dekat dengan warna kulit manusia. Beberapa tau-tau dibuat dengan memerhatikan detailnya; garis kerut wajah atau kulit leher yang kendur sebab sudah tua dipahat dengan teliti.

Di sekitar barisan tau-tau, tampak peti-peti mati (erong) yang disangga oleh kayu sedemikian rupa hingga peti-peti tersebut aman berada di atas tebing. Rupanya inilah makam gantung yang kerap disebut-sebut orang sebagai daya tarik lain dari Tana Toraja. Peti mati (erong) tersebut adalah peti mati kaum bangsawan atau yang kedudukannya terhormat. Semakin tinggi letak petinya maka semakin tinggi derajat jenazah yang dikubur di sana.

Masyarakat Toraja percaya bahwa orang yang meninggal dapat membawa hartanya ke kehidupan setelah mati. Inilah salah satu alasan mengapa mereka mengubur peti-peti mati di tempat-tempat yang tinggi. Selain untuk melindungi harta yang ikut dikubur, mereka juga percaya bahwa semakin tinggi letak peti mati maka semakin dekat perjalanan roh yang meninggal menuju tempatnya setelah mati (nirwana).

Londa :  Kompleks Makam Di Tebing Batu Toraja
Kubur gantung di tebing batu, salah satu pemakaman tradisional suku Toraja.
Sebelum memasuki gua, tampak tulang-tulang berserakan. Tulang-tulang tersebut berasal dari peti mati yang jatuh dari tebing tempatnya semula digantung atau karena peti mati sudah hancur dimakan usia. Tengkorak dan tulang-tulang ini dapat saja ditempatkan di peti yang baru, hanya saja untuk melakukan hal tersebut harus pula dilaksanakan upacara adat yang sangat mahal; upacara yang mungkin sama saat peti tersebut pertama kali dikuburkan.

Upacara pemakaman secara adat bagi jenazah bangsawan Toraja dikenal dengan nama Rambu Solo. Untuk dapat melaksanakan upacara adat ini, sanak keluarga yang ditinggalkan harus menyembelih sekira 24 hingga 100 ekor kerbau (bagi golongan bangsawan) atau sekira 8 ekor kerbau dan 50 babi (bagi golongan menengah). Untuk memenuhi syarat tersebut, tak jarang keluarga yang ditinggalkan membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk dapat mengumpulkan semua kebutuhan yang diperlukan dalam melaksanakan sebuah upacara Rambu Solo. Selama menunggu upacara tersebut dilaksanakan, jenazah dianggap belum meninggal dengan sempurna (sakit). Oleh karena itu, jenazah akan disimpan di rumat adat (tongkonan) dan diperlakukan sebagaimana orang yang masih hidup, misalnya dengan memberinya makanan kesukaan, rokok, dan lainnya. Benda-benda tersebut ditaruh di sisi peti jenazah serupa sesajen. Jenazah yang disimpan itu sebelumnya dibalsam agar tidak menimbulkan bau.

Saat Anda menelusuri gua, terdapat lebih banyak lagi tengkorak dan tulang yang berserakan. Di beberapa tempat, tampak pula peti-peti mati yang ditumpuk atau diatur sedemikian rupa. Pengaturan itu disesuaikan dengan garis keturunan atau keluarga. Selain peti mati, terlihat pula pakaian atau rokok yang sengaja ditaruh di sana oleh sanak kerabat jenazah. Kabarnya, kumpulan tengkorak dan tulang belulang yang ada di gua ini sudah berumur puluhan bahkan ratusan tahun.

Londa :  Kompleks Makam Di Tebing Batu Toraja
Komplek pemakaman tebing batu di Londa.
Gua makam alam Londa memiliki kedalaman hingga 1000 meter. Dalam menelusuri gua makam yang konturnya dipenuhi stalagtit dan stalagmit ini, Anda perlu berhati-hati. Di beberapa bagian gua, ketinggian gua hanya sekira 1 meter, sehingga Anda perlu berjalan membungkuk.

Kondisi gua yang gelap kemungkinan besar menambah aura mistis gua makam ini. Namun begitu, perjalanan menelusuri gua makam Londa tentulah merupakan sebuah pengalaman yang tak akan Anda dapatkan di tempat lain. Pastikan Anda tidak memindahkan apalagi berniat untuk mengambil tulang, tengkorak, atau benda lain di area makam, sebab inilah salah satu etika yang hendaknya dituruti saat memasuki lokasi makam leluhur masyarakat Toraja. Satu lagi yang perlu diperhatikan apabila Anda berkunjung ke Londa: Anda wajib memohon izin sebelumnya dengan membawa sirih pinang atau kembang.

Apabila ada peti mati yang jatuh karena rapuh dari tebing tempatnya semula diletakkan, maka tulang, tengkorak, ataupun dan yang lainnya tidak boleh dipindahkan tanpa persetujuan adat dan serangkaian upacara adat Toraja. Oleh karena itu, Anda perlu berhati-hati jangan sampai menginjak tulang dan tengkorak tersebut, apalagi memindahkannya.

[Indonesia travel]
foto : google

Budaya Toraja Diusul Masuk Warisan Dunia


Budaya Toraja Diusul Masuk Warisan Dunia
Seorang penari dalam balutan busana adat Toraja, menarikan tarian tradisional Toraja.
MAKALE– Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berupaya memasukkan pemukiman tradisional Toraja dicatat sebagai salah satu warisan dunia.

Saat ini,Kemendikbud tengah melakukan pengumpulan data dan informasi,serta penelitian dan penyempurnaan dokumen tentang pemukiman tradisional sebagai salah satu bagian kebudayaan Toraja. Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar A Muh Said mewakili Kemendikbud menyatakan, sejak 2005 lalu, pemerintah pusat mengusulkan dua nominasi warisan budaya Indonesia ke UNESCO menjadi warisan dunia, yakni Bali dan Toraja.

Pada Oktober lalu, UNESCO sudah menyetujui dan menetapkan Bali sebagai warisan dunia,sedangkan Toraja direncanakan akan menyusul. Status pemukiman tradisional Toraja saat ini sudah masuk dalam daftar nominasi, tetapi belum ditetapkan sebagai warisan dunia.Itu disebabkan dokumen- dokumen pengusulan pemukiman Toraja sebagai warisan dunia tidak dilengkapi dengan nilai-nilai budaya yang ada di balik rumah adat Toraja.

“Dokumen pengusulan pemukiman tradisional Toraja lebih mengarah pada fisik bangunan dan tidak dilengkapi nilai budaya, sehingga sampai sekarang belum ditetapkan menjadi warisan dunia,” tuturnya dalam diskusi nominasi warisan dunia pemukiman tradisional Toraja yang berlangsung di Pantan Toraja Hotel, kemarin. Dia mengatakan, untuk menjadikan Toraja sebagai warisan dunia, pemerintah harus lebih bekerja keras guna melengkapi dokumen tentang nilai-nilai kebudayaan Toraja.

Salah satunya, menghimpun data dan informasi serta penelitian tentang kebudayaan Toraja dalam rangka penyempurnaan dan penyusunan dokumen untuk mendapat pengakuan dari UNESCO. “Dokumen tentang nilai-nilai kebudayaan secara keseluruhan sudah harus diterima UNESCO sebelum mereka melakukan kajian dan evaluasi untuk mendapat pengakuan sebagai warisan dunia,”tuturnya. Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Tana Toraja Enos Karoma menyatakan,Pemkab terus berupaya untuk menyiapkan data dan informasi tentang kebudayaan dalam melengkapi dokumen yang ada sebelumnya.

Pemkab juga menjamin data dan informasi kebudayaan Toraja tidak direkayasa dan tidak terkait dengan kepentingan oknum pribadi atau kelompok tertentu.“Kami siap memberikan data dan informasi tentang kebudayaan daerah yang benar dan akurat untuk ditetapkan menjadi warisan dunia,” katanya.

Sementara Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Toraja Jidon Sitohang mengaku, salah satu keunikan budaya yang terkandung dalam rumah adat Toraja sebagai sistem sosial di masyarakat untuk mempererat persatuan dan kesatuan antarkeluarga dan masyarakat Toraja.

[joni lembang]
@[seputar_indonesia]

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja (Bag.III)

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Patung Lakipadada di pusat kota Makale. Lakipadada adalah salah satu legenda dalam cerita rakyat Suku Toraja.
Filosofi Tau - Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. 

Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau.

Kebudayaan

Tongkonan

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja 'tongkon' (duduk).

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.

Ukiran kayu Toraja

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Passura' ukiran kayu khas Toraja.
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Passura' (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.

Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. 

Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Seorang nenek dengan ornamen karya seni suku Toraja.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja, selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat ornamen geometris.

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. 

Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.

Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Sebuah makam di tebing batu.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". 

Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puyajika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.

Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

Musik dan Tarian

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Tarian adat suku Toraja.
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). 

Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. 

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Ma'badong, salah satu tarian khas suku Toraja.
Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.

Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musimpanen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarianMa'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. 

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Ma'bas, salah satu alat musik bambu tradisional Toraja.
Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.

Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Selain itu ada juga alat musik yang terbuat dari tabung-tabung bambu yang sering disebut Ma'bas. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.

[***]

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja (Bag.II)

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Upacara pemakaman adat Suku Toraja
Masyarakat

Keluarga
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. 

Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Busana adat Suku Toraja
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.

Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. 

Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.

Kelas sosial

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Tongkonan, rumah adat Suku Toraja
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.

Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.

Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

Agama

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Gereja Sion, dibangun di atas bukit di Makale
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. 

Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.

Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. 

Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. 

Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.

Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesiasebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.

Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.


Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
Ekonomi

Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.

Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.

Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.

Komersialisasi

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu.
Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah satu tempat wisata di Tana Toraja.
Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. 

Peristiwa tersebut didokumentasikan olehNational Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara. "Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar.

Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagaiprimadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelahBali". Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik), dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989. Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981.

Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desazaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh". Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh suku Toraja.

Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman mereka. 

Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir.

Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat, sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja (Bag.I)

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Rambu Solo, tradisi, ritual pemakaman suku Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Asal usul kata Toraja sampai saat ini masih menjadi perdebatan termasuk berbagi versi dan referensi masing-masing. Ada beberapa versi asal kata Toraja diantaranya sebagai berikut; dari istilah orang Bugis yang menyebut, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Namun beberapa sumber lain menyatakan bahwa orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya (dalam keseharian kita masih sering mendengar orang-orang tua di Toraja menyebut Toraja dengan kata tersebut), berasal dari 2 kata yakni To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar | bisa diartikan orang-orang besar atau bangsawan). Seiring waktu dan beberapa perubahan ejaan, kata Toraja masih mempertahankan ejaan lama dalam penulisannya. Adapun kata Tana dapat diartikan sebagai negeri. Hingga dikemudian hari wilayah pemukiman mayoritas suku Toraja lebih dikenal dengan sebutan Tana Toraja, yang akhirnya menjadi nama kabupaten dalam wilayah admistrasi Provinsi Sulawesi Selatan. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. 

Diatas adalah beberapa versi yang sering kita baca dari berbagai literatur. Memang jika menyangkut asal-usul nama Toraja masih perlu dikaji lebih mendalam sumber sejarahnya, dan hal tersebut tentunya bukanlah sesuatu yang mudah tanpa kerjasama dari berbagai pihak. 


Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.

Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.

Identitas etnis

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Salah satu tarian tradisional suku Toraja
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelumpenjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. 

Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.[3]Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. 

Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja.[4] Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).[6]

Sejarah

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Tongkonan, rumah adat tradisional suku Toraja
Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.

Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. 

Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.

Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.

Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.

Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Gerbang Menuju Uniknya Budaya Toraja


Tarian toraja
Ma'gellu', tarian tradisional Suku Toraja. Foto: google
SUKU Toraja di Sulawesi Selatan menyimpan tradisi unik yang menarik hati wisatawan untuk datang. Sebelum mendalami ritual Suku Toraja yang unik, ada baiknya melihat dulu Rantepao.

Rantepao adalah sebuah kota kecil di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Kota ini bisa disebut sebagai pusat budaya suku Toraja, sekaligus pintu gerbang menyelami budaya Toraja yang unik.

Rantepao telah dikenal sejak dulu sebagai gerbang bagi wisatawan yang hendak menikmati suguhan wisata alam, budaya, dan sejarah dari Toraja yang eksotis. Rantepao berjarak sekira 300 km dari Makasar, Ibu Kota Sulawesi Selatan. Kota ini mudah diakses dengan berbagai pilihan alternatif kendaraan, baik darat maupun udara.

Rantepao terkenal sebagai kota yang cantik dan berhawa sejuk. Kota ini menunjukkan pesonanya yang masih bernuansa tradisional kental dan semakin menarik dengan lansekap alam yang hijau. Kota Rantepao dikelilingi perbukitan yang puncaknya senantiasa ditutupi kabut. Demikian seperti dikutip dari laman Indonesiatravel.

Sepanjang tahun hujan mengguyur kota ini, di musim kemarau sekalipun. Tak heran, Rantepao disebut sebagai Kota Hujan. Selain itu, Rantepao dilalui oleh Sungai Sa'dan dimana telah menjadi sumber air bagi pertanian dan peternakan di wilayah sekitarnya.

Sebagai pusat pariwisata dan perdagangan di Toraja, Rantepao memiliki sarana akomodasi dan fasilitas umum yang terbilang lengkap. Oleh karena itu, meski Rantepao hanyalah kota kecil, aktivitas kota ini cukuplah ramai. Di Rantepao, segala kebutuhan wisatawan baik lokal dan asing lengkap tersedia.

Ada beragam pilihan hotel, agen wisata, homestay, money changer, toko, pasar tradisional, mini market, bank, perwakilan perusahaan otobus, ATM, warnet, dan warung makan dapat dengan mudah Anda temukan di kota ini. Keunikan lain dari Rantepao adalah bentuk bangunan-bangunan dari fasilitas umum, seperti bank dan kantor dibangun dengan mengadopsi bentuk rumah adat (tongkonan).

Lokasi Kota Rantepao yang strategis dan dekat dengan beberapa kawasan tujuan wisata terkenal di Toraja menjadi nilai tambah tersendiri. Rantepao berjarak sekira 4 kilometer dari salah satu desa tujuan wisata yang paling terkenal di Toraja, yaitu Kete Kesu. Mengunjungi Londa (makam gua kapur kuno) maka jarak yang harus Anda tempuh sekira 7 kilometer.

Pemakaman Toraja
Kubur batu Toraja.
Rantepao Lemo berjarak sekira 10 kilometer, di sebelah Selatan Rantepao. Lemo adalah juga area pemakaman tua bagi para leluhur masyarakat Toraja. Sedangkan untuk menuju Makale, Ibu Kota Kabupaten Tana Toraja, jarak yang harus ditempuh adalah sekira 18 km dari sebelah utara.

Sementara, jarak Rantepao Kambira adalah 20 kilometer. Di Kambira terdapat pohon Tarra berumur sekitar 300 tahun sekaligus kuburan bagi puluhan jenazah bayi berusia 7 bulan. Batutumonga Rantepao dapat ditempuh dalam jarak 22 km; terdapat 56 menhir di desa ini. Untuk menuju Tilangga' (obyek wisata pemandian alam), jaraknya sekira 12 km dari selatan Rantepao.

Untuk mencapai Rantepao, Anda harus terlebih dahulu terbang ke Bandara Hasanuddin Makasar. Dari sana, Anda kembali melanjutkan penerbangan ke Bandara Pontiku Tana Toraja, yang memakan waktu sekira dua jam dengan pesawat Casa 212. Anda juga bisa menggunakan jalur darat dari Makasar ke Tana Toraja, yaitu dengan bus selama 7-10 jam.


Sumber: @[travel_okezone]

Fenny Karoma: Putri Sulawesi Barat 2012


Fenny Karoma
Fenny Karoma: Putri Sulawesi Barat 2012.
Karoma akhirnya terpilih Putri Indonesia Sulbar 2012 pada Malam Final Pemilihan Putri Indonesia (PPI) Sulbar yang berlangsung di Mamuju, Ibu Kota Sulawesi Barat.

Ada 13 perempuan cantik dari seluruh Sulbar bersaing untuk mendapatkan predikat Putri Indonesia Sulbar dalam ajang Pemilihan Putri Indonesia (PPI) Sulbar yang berlangsung di Gedung Nusantara Polman, Rabu, 7 November malam.

Pemilihan Putri Indonesia (PPI) Sulbar berlangsung selama 3 hari sejak tanggal 5 – 7 November 2012, berbagai berbagai materi dan kegiatan diikuti selama karantina antara lain: Perempuan Dalam Era globalisasi, 3B (Beauty, Brain, Behaviour), Malam Bakat, Interview, dan Pemotretan.

16 Wanita Cantik yang mengikuti Pemilihan Putri Indonesia Sulbar ini adalah Siti Afrianti (Matra), Andi Simpur (Polman), Elvira Kaperek (Polman), Eka Fausianta (Polman), Nurzakina Yamin  (Mamuju), Fenny Santhi Karoma (Mamasa), Farasta Der Noeseor (Polman), Irma Magfira (Mamuju), Nahnah Bela H (Polman), Nur Fitriyani (Polman), Irmayanti (Polman), Dian Sari Asril (Polman).

Fenny Santhi Karoma (Mamasa) akhirnya terpilih menjadi Putri Sulbar 2012 setelah mengalahkan pesaingnya, Pada saat malam Bakat PPI Fenny  menyanyikan lagu daerah Mamasa dan sekaligus menari tarian adat Mamasa. Selama mengikuti karantina, karakter, penampilan Fenny memang lebih menonjol dari 13 finalis lain.

Fenny Karoma
Malam Grand Final PPI sendiri  dilakukan 3 sesi yakni dari 14 menjadi 7 besar, lalu menjadi 3 besar. Pada saat menjawab pertanyaan acak yang diberikan dewan juri Fenny sempat gugup, namun tetap berusaha menjawab dengan baik. Entah karena dukungan supporter yang rata-rata pemuda dan mahasiswa Mamasa yang ada di Polewali, membangkitkan semangat Fenny utk memberikan yang terbaik.

Syukurlah Fenny lolos ke 3 besar bersama Farasta der Noesoer (Polman) sebagai runner up-1 dan Elvira Kaperek (Polman) runner up-2.

Saat Di sesi 3 besar, mereka langsung diberikan pertanyaan oleh ibu Gubernur Sulbar, Eny Anggreani Anwar sebagai Ketua Penggerak PKK Sulbar. Pertanyaannya yakni: “Unsur apa saja yang menunjukkan kecantikan sejati seorang wanita?”. Fenny menjawab dengan sederhana namun sekali lagi tepat, “Menurut saya, Kecantikan yang sejati terpancar dari kerendahan hati dan kesederhanaan“. Jawaban ini disambut meriah seluruh supporter Fenny yang memenuhi hampir 1 deret tribun gedung Nusantara Polewali.

Kemenangan Fenny Santhi Karoma dalam PPI Sulbar tahun ini semoga dapat memberikan kontribusi positif untuk daerah Mamasa  di kancah nasional dan Internasional. Hal ini seperti yang diungkapkan Sekkab Polman Andi Ismail  ”Siapapun yang akan menjadi duta Sulbar ke tingkat nasional nantinya diharapkan bisa menjaga nama baik Sulbar dan memberikan kesan yang terbaik sehingga Sulbar yang juga dikenal sebagai provinsi Malaqbiq bisa terlihat dari tingkah laku dan penampilan dari duta Sulbar nantinya, ”  Penyematan mahkota putri Sulbar diberikan langsung oleh Putri Sulbar 2011, Ade Aprilianty Tahir Dengan demikian Fenny akan mewakili Sulbar di ajang pemilihan Putri Indonesia tahun depan.

Berikut profill Fenny Santhi Karoma
Fenny Santhi Karoma
Nama         : Fenny Santhi Karoma
TTL            : Kendari, 23 September 1992
Bapak         : Ir. Pieter Karoma
Ibu             : Jenny Ma’dika
Alamat       : Randanan, desa Buntubuda, Mamasa
Hobby        : Menyanyi dan Menari

Motivasi ikut pemilihan putri Sulbar
“I want to be an inspiration for all Indonesian women, and I want to make my parents and my family proud to me and make my dream come true”

Sumber : Toraja Cyber News

Dibalik Cerita Hitamnya Kopi Arabica Toraja

Toraja Arabica coffee
Toraja Arabica coffee.
Selain terkenal dengan wisata alam dan budayanya yang sungguh mempesona, Tana Toraja juga dikenal dengan aroma kopinya yang memikat selera. Akan terasa belum lengkap jika berkunjung ke kota Tondok Lepongan Bulan ini tanpa mencicipi atau membeli kopi Arabika asli Toraja. Lantaran aroma dan cita rasanya yang sedap, memang sangat pantas bila kopi jenis arabika ini dijuluki dengan istilah "Queen of Coffee".

Kopi Toraja juga lebih dikenal dengan aromanya yang herbal. Apalagi jika segelas kopi Toraja ditambahin sehelai daun mint,,wou.. rasanya pasti lebih berbeda. Berawal dari tangan para petani, hingga tersebar di seluruh dunia, kopi Toraja selalu meninggalkan jejak-jejak aroma kebanggan bagi negeri ini. 

Kopi toraja
Kopi Toraja.
Salah satu jenis kopi Toraja yang merupakan jenis kopi terbaik dan termahal di dunia adalah kopi luwak. Wow, tidak tanggung-tanggung, ternyata jenis kopi ini dihargai dengan kisaran harga US$50 atau sekitar Rp 500 ribu setiap cangkirnya. Jika ingin membelinya dalam bentuk kemasan, kita harus relah merego kocek sebesar US$ 600 per 4,5 Kg nya.

Yang menarik dari jenis kopi ini adalah prosesnya yang sangat unik hingga bisa tersaji dalam secangkir aroma hitam yang sungguh nikmat. Kopi luwak berawal dari biji kopi yang ditemukan pada kotoran luwak. Luwak adalah sejenis hewan tupai yang banyak hidup di pinggir hutan dekat perkebunan kopi. Oleh karena itu kopi ini diberi nama kopi Luwak. Anda tertarik dengan kopi ini..??? pasti lebih bercita rasa tinggi lagi jika dipadukan dengan sebatang rokok Djarum Black.

Kopi Toraja yang juga terkenal adalah kopi yang bermerek kawata. selain merek ini, masih ada kopi-kopi Toraja merek lainnya seperti Kopi Toraja Arabica Kalosi, Toraja Coffee Paperbag dan yang penjualan dan proses produksinya ada di belakang rumah saya di Toraja adalah kopi Toraja yang bermerek dagang Kopi Sangrapuan. 

Toraja Arabica coffee
Kopi arabika Toraja.
Memang proses produksinya sangat sederhana, tapi rasanya...... woow,,, dari aroma asap penggorengannya saja, para pasien yang memeriksakan kesehatannya di dokter yang ada di dekat lokasi terpikat hatinya. Setiap harinya tak jarang juga para wisatawan yang menyisikan waktu untuk mampir berbelanja di tempat itu.

Kopi toraja
Kopi Toraja "Kawata"
Namun dibalik cerita hitamnya kopi Toraja, ada satu masalah yang merugikan Indonesia. Kopi Toraja sudah menjadi merek dagang di Jepang oleh Key Coffee dan Amerika oleh seorang pengusaha. Indonesia tak bisa langsung menjual Kopi Toraja ke Jepang dan AS, kecuali melalui Key Coffee atau pengusaha AS tersebut. Jika mengekspor langsung, pihak Indonesia bisa dituding melanggar merek yang telah didaftarkan di sana. 

Padahal kopi yang di Jepang itu aslinya kopi asal Toraja. Di Jepang, kopi jenis ini termasuk barang mewah. 40 persen kopi yang dikonsumsi di Jepang berasal dari Toraja. Buktinya pada saat Pameran Eco-Product yang dihadiri Prince dan Princess Akishino tahun 2008 kemarin, stand kopi Toraja sangat dilirik pengunjung. Terlihat antrian para pengunjung yang tak sabar mencoba dan mengulangi mencicipi nikmatnya kopi asli Indonesia ini. Selain terkenal di Jepang, kopi Toraja juga sangat dilirik pemerintah Korea.


sumber : torajacybernews[.]blogspot[.]com