Lokot: Kembalikan Toraja Seperti Dulu

Kembalikan Toraja Seperti Dulu
Pesona Tana Toraja
Kembalikan Toraja Seperti Dulu
Pusat kota Makale, ibu kota Kab. Tana Toraja.
Makassar - Sejak zaman Belanda, Indonesia memiliki tiga destinasi wisata utama, yakni Bali, Toba, dan Toraja. Akibat krisis moneter pada 1998, jumlah wisatawan di ketiga destinasi tersebut sempat menurun, lalu kembali mengalami peningkatan. Namun hanya Toraja yang ketinggalan dibanding Bali dan Toba. Salah satu sebabnya, faktor geografis yang cukup jauh, dan makin singkatnya waktu kunjungan para wisatawan mancanegara (wisman), khususnya asal Eropa ke Toraja. 

Hal itu diungkapkan Lokot Ahmad Enda, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dikutip GATRAnews, di Makassar, Kamis (23/4). Lokot menegaskan, Toraja kini bertekad untuk "merebut" kembali para wisatawan, terutama wisman, agar kembali mengunjungi obyek wisata yang kaya dengan tradisi budaya, seperti upacara pemakaman, dan keindahan alamnya itu. 

Menurut Lokot, sebenarnya dulu para wisman mau mengunjungi Toraja dari Makassar lewat jalur darat dengan waktu tempuh 8 sampai 9 jam perjalanan (320 km), baik menggunakan kendaraan minibus sewaan, maupun bus antarkota reguler. Namun karena makin singkatnya kunjungan para wisman tersebut ke Indonesia, mereka "melirik" destinasi wisata lain, seperti Yogyakarta, Lombok, atau kepulauan Wakatobi.

Dia berharap, dengan dibangunnya bandar udara (bandara) baru, menggantikan bandara lama yang berlokasi di atas bukit dan sangat tergantung cuaca, kunjungan wisatawan, terutama wisman, bisa kembali ditingkatkan. Bandara baru sepanjang 2.500 meter yang berlokasi di Buntu Kunyi, Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja ini, nantinya mampu didarati pesawat berbadan lebar, seperti Boeing. Diperkirakan, pembangunan bandara Toraja senilai Rp 400 milyar ini, akan selesai pada akhir 2015. Maka jalur transportasi wisata Toraja bisa dibuka secara langsung ke Bali, Hongkong, Singapura, atau bandara internasional lainnya. Sehingga tingkat kunjungan wisatawan pun bisa kembali ke angka 170 ribu kunjungan per tahun.

Lokot menjelaskan, sementara ini wisatawan bisa ke Tana Toraja lewat bandara Palopo. Kemudian perjalanan dilanjutkan lewat darat sejauh 66 km ke Tana Toraja. "Hanya saja, mereka (pemerintah kabupaten, Red.) ingin juga punya bandara sendiri. Sebab, ujar Lokot, bandara merupakan salah satu prestige (kebanggaan) bagi suatu daerah, karena itu mempermudah akses. 

Selain jalur udara, jalur darat juga semakin ditingkatkan. Infrastruktur jalan, yang tadinya masing-masing satu jalur dibuat masing-masing dua jalur dengan pemisah jalan. Menurut pengamatan GATRAnews, jalan provinsi selebar 25 meter tersebut, membentang dari Makassar ke Parepare sekitar 100 kilometer itu, seluruhnya dibeton. Sisanya, dari Parepare hingga Tana Toraja, berupa jalan kabupaten, dua jalur untuk dua arah kendaraan. 

Kembalikan Toraja Seperti Dulu
Tarian Toraya Mamali’ yang ternyata memecahkan rekor versi Museum Rekor Indonesia (Muri) dalam segi jumlah penari tarian tradisional Toraja terbanyak. (***)
"Jalan ini lebih lebar dari jalan Puncak Bogor. Gubernur (Sulawesi Selatan) memang harus 'nekad' kalau ingin maju," kata Lokot. Sebab, menurutnya, dengan dukungan infrastruktur jalan yang memadai, maka sektor-sektor lainnya lebih mudah dikembangkan. Ia memberi contoh, sektor kerajinan seperti miniatur rumah Tongkonan (rumah adat khas Toraja) dan parang khas Toraja, bisa dijajakan di jalur sepanjang Makassar-Toraja. Juga sektor kuliner, bisa dibuka berbagai restoran yang menjajakan menu khas daerah setempat. 

Lokot menegaskan bahwa yang terpenting adalah, dengan adanya pengembangan infrastruktur wisata Toraja ini, yang diuntungkan masyarakat. Termasuk masyarakat kabupaten lain di jalur menuju Toraja, turut mengalami kemajuan. "Supaya bisa jadi stop-over. Restorannya, toko kerajinannya, toiletnya dan lain-lain, turut dibenahi," katanya.  

Ia menambahkan, kebersilan pariwisata terutama ditentukan oleh pemerintah setempat. "Maukah bupatinya? Didukungkah oleh DPRD-nya? Padahal dampaknya itu luar biasa ke masyarakat. Seperti industri rumahan empek-empek di Sumatera Selatan. Dampaknya itu beruntun. Mulai dari tukang empek-empeknya, tukang ikannya, tukang telurnya, dan seterusnya. Ini adalah ekonomi kreatif," tutupnya.


Sumber: GATRAnews



(***) Sebuah pesta besar selalu berdampak besar juga, itulah harapan dari diadakannya kegiatan Toraya Mamali'. Toraya Mamali' secara harafiah berarti “orang Toraja (Toraya) yang rindu kampung halaman (Mamali')”.

Ajang ini digelar pada 19-30 Oktober, dengan mengonsentrasikan acara-acara besar pada hari libur besar, yaitu tanggal 25-28 Oktober. Puncak acara adalah kehadiran Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Sabtu, 28 Oktober 2006, di ibu kota kabupaten, Makale, Tana Toraja.

Wapres hadir untuk meresmikan sebuah monumen bertinggi keseluruhan 26 meter itu yang diberi nama Monumen Perjuangan. Monumen itu pun kini berdiri tegak di pusat kota, tepatnya di Kolam Makale, di depan Gedung DPRD Tana Toraja, dan rumah dinas Bupati Johannis Amping Situru, SH.
Di kesempatan yang sama, masyarakat Tana Toraja juga disuguhi tarian Toraya Mamali’ yang ternyata memecahkan rekor versi Museum Rekor Indonesia (Muri) dalam segi jumlah penari tarian tradisional Toraja terbanyak.

Mengangkat Kembali Kopi Toraja Sebagai Primadona

Mengangkat Kembali Kopi Toraja Sebagai Primadona
Produk kopi toraja dalam kemasan. 
RANTEPAO  - Tana Toraja bukan hanya terkenal dengan budaya pemakamannya, melainkan juga kopinya. Kopi arabika asal pegunungan sebelah utara Provinsi Sulawesi Selatan itu, bisa dinikmati di kafé-kafé di seantero dunia. Bagaimana jika para wisatawan mancanegara langsung datang ke Toraja untuk menikmati satu paket wisata nan lengkap: upacara pemakaman yang sarat dengan tradisi, menjelajah alam Toraja yang indah permai, plus menikmati suguhan kopi panas Toraja yang amat terkenal itu? Ini baru ide yang bagus! 

Topik inilah yang sedang hangat-hangatnya dibahas anggota Destination Management Organization (DMO) cluster Toraja, di Rantepao (ibu kota Kabupaten Toraja Utara), pertengahan pekan ini. DMO merupakan struktur tata kelola destinasi pariwisata yang mencakup perencanaan, koordinasi, implementasi, dan pengendalian organisasi destinasi secara inovatif. Tak kurang dari belasan anggota DMO Cluster Toraja, terdiri dari pelaku industri wisata, pemerintah, dan unsur masyarakat, melakukan pertemuan untuk mencapai satu kata sepakat: menggenjot kunjungan wisatawan (mancanegara maupun nusantara) ke destinasi yang jadi primadona nasional sejak 1970-an ini.  

Adalah Luther Barrung, Ketua DMO Cluster Toraja, yang mengusulkan ide "menikmati kopi Toraja langsung di tempatnya" tersebut. Usulan Mantan Direktur Pemasaran pada Direktorat Jenderal Pemasaran dan Kerja Sama Luar Negeri Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata (kini bernama Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kemenparekraf) itu, dilontarkan karena tingginya permintaan kopi Toraja untuk pasar dunia, sementara pasokannya tidak mencukupi. 

Yohan Tangke Salu, pelaku industri wisata, mengisahkan, beberapa tahun lalu ia bersama mendiang ayahnya pernah bertemu pengusaha dari sebuah perusahaan kopi besar di Australia. Permintaannya, impor 300 metrik ton per tiga bulan, atau 100 ton per bulan kopi Toraja. Pemilik "Toraja Misiliana Hotel" itu mengaku tak mampu memenuhi kebutuhan sebesar itu. 

"Itu kan ada musim-musimnya. Pertama, pas musimnya sudah habis (dipesan). Lalu apa lagi yang mau distok?" ujar pengusaha muda itu dikutip GATRAnews

Bahkan, "warung kopi" beken Starbucks dari Amerika Serikat pernah memesan kopi "edisi percobaan" (trial shipment) 20 ton -untuk memenuhi kebutuhan kopi 20 ton per bulan. Namun, katanya, setelah pemesanan pertama itu, bisnis tak berlanjut. Alasannya, kopi yang dipesan dengan yang dikirim tidak sama. Hingga kini, kopi Toraja tak ada dalam daftar menu Starbucks. Namun ada gerai kopi lainnya yang menyediakan kopi Toraja, seperti Jasper Coffee dan Excelso.  

Mengangkat Kembali Kopi Toraja Sebagai Primadona
Tator Coffee Boutique, salah satu cafe dengan design khas Toraja yang menyajikan produk kopi Toraja. Foto: OpenRice

Harga jual tinggi 

Kopi Toraja bukanlah kopi sembarangan. Karena rasanya yang nikmat, permintaan akan si hitam ini pun terus meningkat. Padahal, kopi Toraja sejati, ya cuma ada di Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara. 

Menurut Luther Barrung, kopi Toraja hanya tumbuh di ketinggian 1200 hingga 1800 meter di atas permukaan laut. Dan percaya atau tidak, untuk mendapatkan kopi seenak kopi Toraja, kopinya harus ditanam di Toraja, di kebun yang berketinggian seperti disebutkan di atas. 

"Di tempat lain, tidak sama. Rupanya tanah di sini mempunyai ciri khas tersendiri. Tumbuhnya pun sudah sangat terbatas," kata Luther dikutip GATRAnews

Terbatasnya produksi kopi Toraja, sementara permintaan tinggi, membuat harga jualnya terkatrol naik. Keterbatasan itu pula, membuat para pedagang nakal ada yang memasukkan kopi dari daerah tetangga, Bantaeng, dan diklaim sebagai kopi toraja. 

"Kopi Bantaeng seharga Rp 20 ribu (per kilogram) dibilang kopi Toraja -yang harganya mencapai Rp 100 ribu," ujar Luther. Dan saat ini, di pasaraan kopi Toraja harganya sudah mencapai Rp 140.000 per kilogram. 

Begitulah kopi Toraja, yang lahan perkebunannya sudah ada sejak zaman pemerintah kolonial Belanda. Para putra Toraja meyakini  kopi Toraja akan bangkit kembali di dunia internasional, asal saja prasarana daerah itu dibenahi. Keberadaan bandara yang representatif dan mampu didarati pesawat jet berbadan lebar, semisal Boeing, sangat mereka tunggu-tunggu. 

"Bayangkan saja, pada 1974 Toraja pernah jadi tuan rumah workshop PATA Conference.  Peserta naik bus dari Makassar, dan sukses! Kalau bandara ini jadi, go!" seru Luther. Lelaki berusia lanjut yang semangatnya masih menggebu itu membayangkan bandara baru yang berlokasi di Buntu Kunyi, Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja, segera terwujud dalam waktu dekat ini. 

"Akan banyak sekali (wisatawan) yang datang," harapnya.  Semoga.


Sumber: GATRAnews