Upacara "Rambu Solo" Tradisi Pemakaman Toraja di Mandar

Upacara "Rambu Solo" Tradisi Pemakaman Toraja di Mandar
Tradisi pemakaman Rambu Solo'.  foto : ist/*
Tradisi Rambu Solo' atau upacara pemakaman ala masyarakat Tana Toraja, juga dilestarikan masyarakat keturunan Toraja-Mamasa di Polewali Mandar Sulawesi Barat. Tradisi Toraja yang berusia ratusan tahun ini ikut memperkaya khasanah budaya di Polewali Mandar.

Tradisi Rambu Solo atau upacara pemakaman ala masyarakat Tanah Toraja, juga dilestarikan masyarakat keturunan Toraja-Mamasa di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Meski sejumlah rangkian prosesi Rambu Solo ditiadakan karena menghargai komunitas pemeluk agama lain di sekitarnya, namun secara keseluruhan prosesi yang menyedot perhatian wisatawan dan ribuan warga keturunan Toraja ini tetap khidmat.

Sebelum upacara pemakaman berlangsung, prosesi yang digelar di Kelurahan Lantora, Polewali Mandar, Rabu (4/4/2013) kemarin, diawali dengan “mappasitandu tedong” atau adu kerbau. Kerbau yang telah diadu di lapangan atau di tengah sawah, lalu disembelih dengan cara ditombak hingga mati.

Makin banyak kerbau yang ikut diadu dan ditombak, menunjukkan kekayaan dan ketinggian status sosial atau kebangsawanan pemilik hajatan.

Tradisi ini yang biasanya mengorbankan sampai ratusan ekor kerbau dan babi, umumnya digelar hanya di kalangan bangsawan Toraja. Kerbau yang telah ditombak ini selanjutnya dibagi-bagikan dagingnya kepada warga.

Sebelum jenazah diarak ke tempat pemakaman, sejumlah rangkaian prosesi adat seperti nyanyian sebagai simbol doa keluarga kepada almarhum agar menghadapi alam akhirat dengan penuh keceriaan, dilantunkan.

Saat jenazah yang telah dikremasi siap-siap diarak ke tempat pemakaman, seekor kerbau kembali disembelih dengan cara ditombak sesuai tradisi moyang Toraja yang dahulu berburu hewan liar di hutan dengan cara menombak.

Darah kerbau yang telah ditombak selanjutnya diinjak oleh keluarga secara bergantian. Ritual ini sebagai bentuk doa penghormatan terakhir agar jenazah diterima di alam baka. Juga agar keluarga yang ditinggalkan tidak berada dalam kesusahan atau penderitaan.

Sebelum meningalkan rumah duka, jenazah diarak bolak-balik sebanyak tiga kali. Kemudian ditandu ke tempat pemakaman. Ratusan keluarga pun memberi penghormatan terakhir. Jenazah kemudian ditandu di sepanjang jalan sambil diangkat berkali-kali, dan para pelayat bersorak ria di sepanjang jalan, hingga ke tempat pemakaman.

Menurut adat dan tradisi keturunan warga Toraja, tak boleh ada tangis dan rasa sedih saat jenazah meninggalkan rumah, hingga ke tempat pemakaman. Tujuannya agar arwah diterima dengan penuh kegembiraan di alam baka.

Sebelum dimasukkan ke kuburan, jenazah didoakan terakhir kalinya oleh seorang pendeta. Jika warga Tana Toraja mengebumikan keluarganya di sela gunung batu, namun karena tak ada gunung batu di Polewali Mandar, jenazah dikebumikan  di sebuah bangunan.



Sumber: Kompas.com

Landorundun: Ulelean Pare Dibingkai Dalam Novel



Landorundun: Ulelean Pare Dibingkai Dalam Novel
Cover Novel Landorundun
karya Rampa' Maega


Landorundun adalah karya yang patut dan harus kita baca dan beri penghargaan yang tinggi. Dalamnya kita menikmati legenda tradisional yang disandingkan dengan kehidupan modern.  Jonathan Para'pak

Barangkali, anak-anak kecil di Toraja tidak lagi familiar dengan istilah Ulelean Pare. Sebuah tradisi lisan yang diwariskan turun-temurun melalui beragam cerita yang sarat makna dan pesan-pesan hidup. 

Ada cerita tentang Tulang Didi’ yang hidup kembali dari kematian setelah ‘ditolong’ oleh seekor ayam jantan yang kemudian membawanya terbang ke bulan.


Juga, kisah-kisah fabel seperti Seba sola Wati (Monyet dan Larva Kumbang), Seba sola Balao (Monyet dan Tikus), Sokko Mebali (Kerbau bertanduk menghadap tanah yang bisa berbicara), dan banyak lagi.

Ulelean Pare secara harfiah bisa diterjemahkan menjadi ‘obrolan padi’ ini kemudian menjadi dasar bagi Rampa’ Maega untuk menulis sebuah novel yang berjudul Landorundun. Selain berisi kisah utuh dari versi lisan cerita aslinya yang diwariskan turun-temurun, Landorundun juga berkisah tentang Kinaa Landorundun, perempuan berdarah Australia-Indonesia yang tak pernah menduga jika nama belakangnya terkait dengan sebuah cerita rakyat Toraja.

Tidak hanya karena kesamaan nama, tapi juga sekelumit kisah yang telah ratusan tahun menjadi sebuah rahasia. Perkenalannya dengan seorang pemuda Toraja bernama Bendurana lewat jejaring facebook membawa Kinaa menjelajahi eksotisme Toraja beserta peristiwa-peristiwa masa lalu yang ternyata masih berhubungan dengan masa lalunya sendiri. Kedua kisah ini – modern dan klasik – kemudian saling mengisi membentuk jalinan cerita yang terbentang dari Toraja hingga Australia.

Novel setebal 250 halaman ini ditulis selama kurang lebih 3,5 tahun, termasuk proses riset yang melibatkan beberapa tokoh adat dari berbagai kampung di Toraja, seperti Sesean, Sa’dan, dan La’bo’. Sebagai sebuah bentuk kekaguman penulisnya kepada cerita-cerita rakyat, Landorundun merupakan sebuah bentuk adaptasi terhadap cerita rakyat Toraja dengan judul yang sama.

Ada harapan agar melalui novel ini, generasi muda Toraja dapat kembali mengenali cerita-cerita rakyat kampung halaman, yang dulu hanya dikisahkan secara lisan dari generasi ke generasi. Dan untuk konteks yang lebih luas, semoga Landorundun – juga cerita-cerita rakyat Toraja lainnya – dikenal pula oleh masyarakat Indonesia secara umum, untuk ‘bersanding’ dengan Loro Jonggrang, Sangkuriang, dan Malin Kundang.

Salah satu tokoh masyarakat Toraja, Jonathan Para’pak, memberi apresiasi terhadap novel pertama dari Rampa’ Maega ini. Di sampul depan novel ini, Pak Para’pak memberikan endorsement seperti berikut: “Landorundun adalah karya yang patut dan harus kita baca dan beri penghargaan yang tinggi. Dalamnya kita menikmati legenda tradisional yang disandingkan dengan kehidupan modern. Karya ini mengedepankan nilai-nilai luhur budaya Toraja yang harus kita lestarikan dalam kehidupan modern. Semoga buku ini dinikmati oleh orang Toraja dan masyarakat luas.”

Tino Saroengallo, penulis buku ‘Ayah Anak Beda Warna! Anak Toraja Kota Menggugat, ikut pula memberikan endorsement untuk novel ini. Juga, seorang novelis nasional bernama Tasaro GK yang sudah menghasilkan belasan novel, seperti Galaksi Kinanthi dan Muhammad; Lelaki Penggenggam Hujan.

Sekilas tentang Novel Landorundun : 

Landorundun: Ulelean Pare Dibingkai Dalam Novel
Rampa' Maega.
Foto: Facebook
Sebuah kearifan yang tersembunyi di sebalik tradisi, keluhuran budaya, dan eksotisme Toraja. Dituturkan dalam cerita modern dan klasik menjadi satu romansa yang saling berkelindan: LANDORUNDUN.


Landorundun adalah novel pertama karya Rampa' Maega yang diterbitkan oleh Penerbit Senandika, Bandung.


Selain berisi kisah utuh dari versi lisan cerita aslinya, Landorundun juga berkisah tentang Kinaa Landorundun, perempuan berdarah Australia-Indonesia yang tak pernah menduga jika nama belakangnya terkait dengan sebuah cerita rakyat Toraja. Tak hanya karena kesamaan nama, tapi juga sekelumit kisah yang telah ratusan tahun menjadi legenda turun-temurun. Perkenalannya dengan seorang pemuda Toraja bernama Bendurana lewat jejaring facebook membawa Kinaa menjelajahi eksotisme Toraja beserta peristiwa-peristiwa yang ternyata masih berhubungan dengan masa lalunya sendiri. Kedua kisah ini – modern dan klasik – kemudian saling mengisi membentuk jalinan cerita yang terbentang dari Toraja hingga Australia.

Sebagai wujud kekaguman penulisnya kepada cerita-cerita rakyat, Landorundun merupakan sebuah bentuk adaptasi terhadap cerita rakyat Toraja dengan judul yang sama. Ada harapan agar melalui novel ini, generasi muda Toraja dapat kembali mengenali cerita-cerita rakyat kampung halaman, yang dulu hanya dikisahkan secara lisan dari generasi ke generasi. Dan untuk konteks yang lebih luas, semoga Landorundun – juga cerita-cerita rakyat Toraja lainnya – juga dikenal oleh masyarakat Indonesia secara umum, untuk ‘bersanding’ dengan Loro Jonggrang, Sangkuriang, atau Malin Kundang.


Selamat membaca! Semoga ada nostalgia, informasi, dan kerinduan pada kampung halaman yang bertumbuh dari dalamnya.

Apresiasi : 
“Tentang Toraja, semula sayup saya tahu tentang kuburan batu. Landorundun memberi tahu saya, di sana juga ada semua alasan untuk jatuh cinta: legenda, budaya, dan romansa. Angkat topi!” Tasaro GK. (Penulis Novel Galaksi Kinanthi dan Muhammad; Lelaki Penggenggam Hujan)
"Landorundun adalah karya yang patut dan harus kita baca dan beri penghargaan yang tinggi. Dalamnya kita menikmati legenda tradisional yang disandingkan dengan kehidupan modern. Karya ini mengedepankan nilai-nilai luhur budaya Toraja yang harus kita lestarikan dalam kehidupan modern. Semoga buku ini dinikmati oleh orang Toraja dan masyarakat luas." Dr. (Hon) Jonathan L. Parapak, M.Eng.Sc. (Tokoh Masyarakat Toraja, Rektor Universitas Pelita Harapan, Tangerang) 
"Pendekatan dunia sekarang dengan dongeng masa lalu dijalin menjadi satu cerita sangat menarik. Penulis tidak hanya berhasil menceritakan kembali legenda yang berasal dari suku Toraja, tapi juga menyuguhkannya dalam bentuk novel modern yang mudah dibaca, dalam situasi yang dekat dengan pembaca era globalisasi. Jelas penulis paham betul akan sejarah dan kebudayaan suku Toraja. Buku ini akan semakin melengkapi buku-buku tentang kebudayaan suku Toraja yang pernah terbit sebelumnya. Layak baca!" Tino Saroengallo. (Pekerja Film, Penulis Ayah Anak Beda Warna! Anak Toraja Kota Menggugat)


Sumber  :   

Luwuraya[.]com
Fanpage Novel Landorundun