Visit Toraja: Ayo Ikut Online Voting Logo Toraja

Visit Toraja: Ayo Ikut Online Voting Logo Toraja
Ayo ikut Voting Online logo Toraja... :)
"Vote for Toraja Branding, Toraja Tourism Destination." Gambar: |@TorajaParadise

Branding Toraja, destinasi di Sulawesi Selatan, akan melibatkan masyarakat luas melalui pemilihan logo dan tagline baik secara offline maupun online. Baik orang Toraja, pemerhati pariwisata dan pelancong dalam serta luar negeri, dihimbau untuk berpartisipasi dalam online voting yang diselenggarakan pada 16-24 April 2015.

Promosi mengenai online voting dilakukan melalui tiga akun sosial media Toraja, yaitu: Facebook Fan Page Visit Toraja, Twitter @VisitToraja dan Instagram @visittoraja.

Toraja merupakan salah satu destinasi pilihan Kementerian Pariwisata (Kemenpar) yang didukung oleh Swisscontact, selain Tanjung Puting, Wakatobi dan Flores. Keempat destinasi ini merupakan bagian dari rencana Kemenpar untuk mendukung pariwisata di 15 destinasi prioritas di Indonesia melalui pengembangan organisasi tata kelola destinasi atau Destination Management Organization (DMO).

Salah satu fokus utama DMO adalah meningkatkan kesadaran mengenai destinasi melalui pemasaran. Dengan mengembangkan citra yang unik, hal ini tidak hanya dapat membantu menyatukan para pemangku kepentingan, tetapi juga mencitrakan destinasi agar dapat dikenali di pasar pariwisata. Melalui pengelolaan yang tepat dari destinasi, industri pariwisata diyakini dapat mendorong perekonomian dan lingkungan seiring dengan memfasilitasi kemajuan sosial lebih lanjut.

Pengembangan itu diwujudkan oleh Kemenpar, bekerja sama dengan Sekretariat Negara Swiss untuk Urusan Ekonomi (SECO) dan Swisscontact, yaitu organisasi pengembangan dari Swiss dengan lebih dari 40 tahun pengalaman di Indonesia.

Toraja sendiri dikenal sebagai salah satu tempat terindah di Indonesia yang menyimpan daya magis dalam kulturnya. Pesonanya terkuak ketika tengkorak-tengkorak manusia menunjukan kemisteriusannya, juga puluhan kerbau dan babi yang pasrah disembelih untuk upacara kematian demi sebuah ritus ‘Orang Mati yang Hidup’ .

Di sinilah Anda dapat melihat situs makam pahat di Lemo, makam goa purba di Londa, menhir di Rante Karassik, dan perkampungan Kete Kesu unik. Semuanya terpeliharanya dalam bingkai adat budaya karena masyarakatnya sangat menghormati leluhur dengan tetap menjaga eksistensi pekuburannya.

Visit Toraja: Ayo Ikut Online Voting Logo Toraja
Banner voting logo Toraja melalui Visit Toraja. Gambar: IndTravel

Mengapa Mencitrakan Toraja

Saat ini, industri pariwisata telah bergeser. Pengunjung memiliki daya pilih untuk menentukan tujuan wisata yang cocok dengan persepsi dan keinginan mereka. Oleh karenanya, sebuah tujuan wisata tidak bisa bergantung hanya pada penjualan produk mereka saja seperti objek wisata, budaya, produk lokal, dan sebagainya, tetapi harus juga mampu menawarkan berbagai fitur menarik pariwisata secara efektif yang terpadu ke dalam sebuah strategi pemasaran untuk meningkatkan lebih banyak pengunjung.

Toraja telah dipromosikan secara provokatif sebagai sebuah tujuan wisata yang mungkin paling membuat penasaran, yang dianggap lebih terpencil, alternatif wisata yang masih lestari selain Bali, dan lebih mendasar lagi, sebagai sebuah alternatif untuk para pengunjung yang notabene bersudut pandang duniawi, seperti dunia Barat yang cukup sekuler.

Disaksikan sebagai potensi baru tempat wisata, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Tana Toraja sebagai tujuan pariwisata utama baru setelah Bali. Terdapat pembangunan besar-besaran hotel, restoran, infrastruktur (jalan) dan bandara baru (dibuka tahun 1981) untuk mengakomodasi meningkatnya jumlah pengunjung.

Dengan semua potensi dan sumber daya yang ada industri pariwisata dan pemangku kepentingan pariwisata telah membentuk Tana Toraja, sebagai presentasi dari budaya eksotis dan tujuan wisata yang jauh dari mana-mana: tujuan wisata yang menawarkan upacara pemakaman pagan dan desa-desa sejak zaman batu, dilengkapi dengan pemandangan sawah dan pegunungan. Para pengunjung telah diberi kesempatan untuk berada secara dekat dengan beberapa versi dari: yang Lain, yang Eksotis, dan yang Primitif. Wisatawan dari sebagian besar negara lain cenderung menganggap Toraja sebagai tempat ritual, khususnya sebagai tempat pemakaman. Pada bagian ini secara kebetulan, untuk ritual tradisional kematian Toraja terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus, setelah panen, cocok sekali sesuai dengan kalender liburan orang Barat; dan untuk berbagai macam alasan sejarah dan budaya, Toraja sangat menekankan upacara kematian.

Seiring dengan berjalannya waktu, Tana Toraja telah mengalami banyak pasang surut dalam industri pariwisata. Beberapa insiden penting telah membentuk industri pariwisata di Toraja saat ini: bom Bali (2002 dan 2005), dan permusuhan etnis serta agama di Luwuk yang juga dianggap sebagai salah satu klan Toraja. Jumlah pengunjung menurun dan butuh beberapa saat (hampir 10 tahun) untuk pulih meskipun tidak sebagus masa-masa kejayaan di tahun 80 dan 90-an. Runtuhnya industri pariwisata telah mengakibatkan masyarakat mencari altenatif untuk mata pencaharian seperti bekerja sebagai pendatang di kota-kota besar, di mana Jakarta, Balikpapan atau Jayapura terpilih menjadi tempat untuk menetap.

Pembangunan ekonomi dan pariwisata yang tidak berkelanjutan telah mengubah masyarakat Toraja menjadi yang sekarang. Sebagai kawasan wisata berbasis budaya, tradisi dan ritual secara perlahan berubah dan mengalami banyak gangguan yang membuatnya kurang, dari segi orisinalitas.

Terlepas dari tantangan dalam pariwisata Toraja seperti susahnya aksesibilitas, biaya liburan yang kurang menarik, atau identitas yang disalahartikan, Toraja masih memiliki banyak peluang untuk menjejakkan kaki di peta kepariwisataaan Indonesia serta dunia. Tempat wisata yang begitu agung, atraksi yang unik dan sisa-sisa kejayaan masa lalu Toraja adalah aset berharga bagi pariwisata. Pasar lokal yang besar yang belum tersentuh dan meningkatnya jumlah wisatawan global akan menjadi gerbang pembuka bagi Toraja untuk kembali ke pasar pariwisata global.

Toraja selalu diartikan sebagai dua kabupaten berbeda, yaitu Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara yang mana pembagian seperti itu malah menciptakan persepsi bahwa itu adalah dua tujuan wisata yang terpisah. Sedangkan, sebenarnya mereka memiliki ciri-ciri budaya dan etnis yang sama, pemisahan semacam itu justru dapat merugikan posisi tawar di industri pariwisata. Dengan demikian, pencitraan Toraja sebagai satu daerah pariwisata akan meningkatkan daya saing Toraja di pasaran.

Akhirnya, identitas kompetitif Toraja membuatnya khas dan membedakannya dari tujuan wisata lainnya. Melalui pencitraan, diharapkan persepsi pengunjung tentang Toraja akan meningkatkan lebih baik dan pada akhirnya akan selalu hidup di mata pemangku kepentingan internal dan pengunjung potensial serta pelanggan.

Di mana kita sekarang

Toraja DMO dengan dukungan dari Swisscontact WISATA telah memulai proses pencitraan Toraja dan melakukan penilaian yang diperlukan secara mendesak sejak semester ke-2 tahun 2014. Penilaian yang dilakukan pada tahun yang sama membawa kepada pembentukan kelompok kerja lokal (Pokja) yang bertugas mengawal proses pencitraan secara keseluruhan. Anggota-angota dari Pokja mencerminkan perwakilan dari pemerintah daerah kabupaten, pelaku industri pariwisata, akademisi, budayawan, tokoh tetua adat, organisasi pemuda, kelompok agama, sekolah dan masih banyak lainnya dari Toraja.

Di bulan-bulan terakhir 2014, Pokja memulai sebuah inisiatif dengan membentuk visi dan misi dan arah tentang bagaimana dan ke mana destinasi ini akan berlayar. Pencarian sebuah perusahaan profesional yang akan membantu mendukung proses pencitraan dilakukan, kemudian disusul dengan terpilihnya agen pencitraan berbasis di Jakarta tersebut pada November 2014.

Pada Januari 2015, Toraja DMO mengkoordinasikan kunjungan lapangan yang berisi beberapa acara pertemuan diskusi intensif dan penilaian antara agen pencitraan terpilih dan perwakilan pemain industri pariwisata, pakar dan akademisi, tokoh tetua adat, organisasi pemuda dan keagamaan. Data yang diambil dari kunjungan itu kemudian digunakan untuk mengembangkan sebuah rekomendasi yang mengusulkan posisi dan konsep pencitraan serta perencanaan kampanye strategis untuk destinasi.

Rancangan tampilan berupa gambar grafis untuk pencitraan, telah ditindaklanjuti di bulan Februari dan Maret diikuti dengan berbagai diskusi internal di antara anggota Pokja tentang gambar grafis yang diusulkan. Tiga Logo dan satu slogan sekarang siap untuk diseleksi oleh masyarakat Toraja yang akan menentukan satu logo dan satu slogan yang dianggap paling tepat mewakili Toraja.

Masyarakat Toraja dan mereka yang memiliki minat tentang Toraja dipersilakan untuk secara aktif mendukung pemilihan melalui kegiatan sosialisasi dan voting online yang dijadwalkan pada minggu ketiga bulan April 2015 dengan pengumuman hasil akhir yang dijadwalkan pada akhir bulan April 2015.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Toraja DMO
Jl. Veteran No. 1 Makale, Tana Toraja
Sulawesi Selatan 91811
Telepon: +62 (423) 26462

Untuk melakukan voting secara Online silahkan kunjungi situs Visit Toraja (klik disini)

Berikut adalah logo yang terlampir dalam situs Visit Toraja:

Semua logo yang diusulkan menggunakan slogan yang sama: Discover the Sacred Highland, Temukan tanah tinggi yang suci. Kata-kata tersebut dipilih untuk memberi rasa dan kesan unik:
  • Discover/Temukan – Kata aktif, menyiratkan bahwa di wisata Toraja mengajak keterlibatan dari pengunjung untuk mendapatkan pengalaman yang istimewa.
  • Highland/Tanah Tinggi – Menunjukkan identitas Toraja sebagai tanah tinggi.
  • Sacred/Suci – Tempat yang sakral, merujuk pada kebudayaan Toraja yang agung dengan bangsawan/leluhur yang turun langsung dari langit.


Visit Toraja: Ayo Ikut Online Voting Logo Toraja

Visit Toraja: Ayo Ikut Online Voting Logo Toraja

Visit Toraja: Ayo Ikut Online Voting Logo Toraja



Tenun Toraja, Warisan Leluhur yang Hampir Punah

Tenun Toraja, Warisan Leluhur yang Hampir Punah
Seorang pengrajin meyelesaikan tenunannya, tenun ikat khas Toraja. Foto: Google|Bangun Media

Hitam-Putih Tenun Toraja [1]

Tenun Toraja kini terancam punah karena tidak terjadi regenerasi penenun. Di Kampung Sa’dan, yang menjadi sentra tenun, kini tinggal 70 perajin saja yang berproduksi.

Aneka tenun tradisional Indonesia seolah tidak akan habis ditelusur. Selain dikenakan sebagai busana sehari-hari, di beberapa etnis, tenun juga menjadi busana utama saat berlangsung upacara adat ataupun hari besar keagamaan. Itulah sebabnya banyak ragam tenun di penjuru Nusantara ini. Pada suatu masa, corak kain tenun yang menjadi primadona dapat digunakan sebagai alat tukar jual-beli. Namun, kain-kain buatan masa lampau tersebut tidak bisa lagi kita nikmati saat ini, selain tidak lagi diproduksi, daya tahan seratnya luruh karena suhu dan kelembaban iklim tropis.

Begitu pun tenun asal Toraja. Sudah banyak ragam dan motifnya yang tidak diketahui lagi oleh para penerus zaman. Padahal, tenun Toraja memiliki sejarah ragam tekstil sebagai salah satu perlengkapan upacara adat kematian Toraja.

Ribuan tahun yang lalu, tenun Toraja dibuat dari serat kulit kayu. Kemudian material tersebut berubah lebih maju menjadi serat nanas. Konon, kain tersebut lebih sering digunakan untuk membungkus mayat karena daya serapnya tinggi. Setelah pedagang India dan Gujarat mendarat di Palopo—pantai barat Toraja sekitar 60 kilometer dari Rantepao— dikenallah campuran kapas. Kemudian kain tenun dibuat dari serat nanas yang ditambahkan serat kapas tanpa dipintal sehingga bahannya sedikit lembut. Kain tenun tersebut sudah berfungsi sebagai penutup badan.

Tenun Toraja, Warisan Leluhur yang Hampir Punah
Seorang Nenek sedang memintal benang sebagai bahan baku kain tenun khas Toraja.
Foto: Warisan Indonesia|Hardy Mendrofa

Awal mulanya produksi kain tenun Toraja memang sulit diketahui secara pasti, kapan kegiatan menenun itu dilakukan dengan alat apa mereka menenun dan bagaimana warna serta ragam corak yang dihasilkan. Konon, menenun dimulai setelah masyarakat Toraja membangun rumah tinggal yang representatif dan dapat menjadi tempat kegiatan (Said, 2004: 152). Dalam menciptakan corak dan motif untuk menghias tenun, beberapa tokoh Toraja berkeyakinan bahwa ragam tersebut diperoleh dari meniru motif ukiran yang terdapat di tongkonan—rumah adat. Namun, jika melihat perkembangan zaman dan peradaban, motif garislah yang lebih dulu ada dibandingkan tongkonan. 

Tenun Toraja yang Melegenda [2]

Sehari-hari, banyak orang yang memakai tenun Toraja sebagai pakaian, tas, dompet, selendang, maupun perlengkapan lainnya. Yang pasti, dalam setiap upacara adat Toraja, kain tenun Toraja wajib dikenakan.

Desa Sa’dan Malimbong adalah salah satu desa di Tana Toraja, Sulawesi Selatan yang terkenal dengan tradisi tenunnya. Di sini, pembuatan tenun Toraja masih menjadi kegiatan turun temurun. Anak-anak pun sudah mulai belajar menenun. Awalnya, mereka belajar menenun dengan motif-motif sederhana, seperti garis warna-warni. Setelah lebih mahir, barulah bentuk-bentuk lain diperkenalkan, seperti tedong (kerbau) dan tongkonan (rumah adat Toraja).

Di Desa Sa’dan Malimbong, proses penenunan masih menggunakan alat tenun tradisional. Tak heran, para penenun membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan sehelai kain tenun. Semakin rumit motifnya, semakin lama waktu pengerjaannya. Tentu saja, semakin mahal harganya. Bahan dan pewarna kain tenun ini pun menggunakan bahan alam. Biasanya, serat kain ada dua macam, yaitu serat kapas dan serat daun nanas. Namun, sekarang serat daun nanas mulai sulit didapat.

Tenun Toraja, Warisan Leluhur yang Hampir Punah
Salah satu motif tenun khas Toraja. Foto: Kidnesia

Untuk pewarna alami, para penenun menggunakan kulit, pelepah, biji, dan daun dari tumbuhan tertentu. Kain dengan pewarna alami tentu bernilai lebih tinggi. Harganya mencapai jutaan rupiah. Namun, kini, para penenun juga memakai pewarna buatan. Memang tak sebagus pewarna alam, namun harganya lebih murah. Ada banyak warna dalam tenun Toraja. Yang paling sering digunakan, terutama dalam upacara adat, adalah merah dan hitam.

Dulu, kain tenun Toraja menjadi lambang kemakmuran dan status sosial pemiliknya. Ada kain yang hanya boleh dipakai para bangsawan, ada yang untuk rakyat jelata. Kain-kain tertentu juga hanya digunakan untuk upacara adat tertentu. Misalnya, kain sarung hitam yang khusus digunakan untuk upacara kematian atau Rambu Solo’.  

Kini, siapa pun boleh memakai berbagai jenis kain Toraja. Meskipun masih tetap ada aturan tak tertulis tentang kain-kain yang bisa dipakai untuk upacara adat tertentu. Kalau kamu ingin berburu kain tenun Toraja, Sa’dan Malimbong bisa jadi pilihan tempat jalan-jalanmu.

Tenun Toraja, Warisan Leluhur yang Hampir Punah
Pengrajin menenun kain di tokonya dengan latar belakang Tongkonan (rumah adat Toraja) di Desa Barana, Kecamatan Saddan, Toraja Utara, Sulsel, Jumat (24/8). Foto: LTWI

Tenun, Yang Makin Populer dan Makin Punah [3]

Tenun pernah dianggap buah tangan terindah bagi pelancong yang datang ke sebuah daerah di Indonesia. Bagi beberapa suku, kain tenun bahkan dipandang begitu berharga hingga hanya bangsawan yang boleh memakainya.

Kain tenun sekarang mulai menggeser popularitas batik. Pada pria muda berkemeja tenun lengan pendek sekarang jamak dilihat di kawasan perkantoran. Sementara mengenakan atasan atau jaket tenun pun dianggap modis oleh kaum Hawa.

Kepopuleran tenun namun belum dibarengi perbaikan nasib penenun. Beberapa tenun bahkan terancam punah, seiring makin sedikitnya orang yang bisa menenun motif tertentu.

Sjamsidar Isa dari Cita Tenun Indonesia mengatakan beberapa tenun sudah sulit dicari. Contohnya, tenun dari Kabupaten Sambas di Kalimantan Barat. Banyak penenun Sambas yang justru angkat kaki ke Brunei Darussalam serta Malaysia untuk bekerja sebagai TKW. Pilihan itu terpaksa diambil meski upahnya sangat rendah, karena karya tenun mereka lebih tidak menghasilkan uang lagi.

Tenun Toraja, Warisan Leluhur yang Hampir Punah
Pengrajin menenun kain di Desa Barana, Kecamatan Saddan, Toraja Utara, Sulsel, Jumat (24/8). Foto: LTWI

"Motif-motif tua akhirnya mulai punah," sambung Dinny Jusuf, pengusaha UKM yang membuat kerajinan dari tenun toraja bermerek Toraja Melo.

Kata Dinny, ada beberapa motif yang sekarang hanya bisa ditenun oleh beberapa perajin. Umumnya mereka sudah lansia dan tidak tertarik membagi ilmu menenunnya ke kalangan muda.

Sementara kaum muda Toraja memilih bekerja sebagai TKW ke Malaysia daripada menjadi perajin tenun. "Menenun di Toraja juga merupakan pekerjaan sambilan," sambung Dinny, menceritakan kendala mengembangkan tenun toraja.

Para nenek mencicil tenunan sambil mengurus cucu yang ditinggal ibunya bekerja ke Malaysia. Listrik yang belum sepenuhnya masuk ke pelosok Toraja membuat penenun juga memilih menenun warna-warna terang karena bisa dikerjakan di dalam rumah.

Kain tenun berwarna gelap lalu harus dikerjakan di teras rumah dengan bantuan cahaya matahari. Dinny mengatakan, tenun Toraja sulit untuk maju bila proses pekerjaannya masih sangat sederhana.

Irna Mutiara, perancang busana Muslim yang pernah bekerja dengan bahan tenun asal NTB mengatakan belum semua tenun sudah terekspos. "Sulaman NTB juga makin ke sini makin hilang," ujarnya. Ketertarikan Irna pada sulaman dari Lombok dan Sumbawa membawanya merancang busana Muslim dengan aksen sulam.

Kain tenun yang diolahnya diambil dari Dusun Pringgasela, Dusun Gumise, Dusun Bun Mudrak, Dusun Sukarara, dan Kota Mataram. Irma mengambil tenun dalam warna lembut dan motif tradisional geometrik, kotak-kotak, dan garis-garis.

Namun, kendala dihadapi Irna ketika bekerja dengan tenun tersebut. "Benangnya terlalu tebal," ujarnya. Padahal, Irna ingin menggarap busana siap pakai yang ringan. Untuk menyiasatinya, Irna membawa sendiri benang dan diberinya ke perajin demi mendapat tekstur kain yang lebih halus.

Perancang busana Sonny Muchlison menilai, seorang desainer harus mengerti cara melestarikan budaya. Menurutnya, perancang busana memegang peranan penting dalam mengenalkan budaya bangsa. Lihat saja batik. Berkat tangan ulet para desainer, batik membawa nama Indonesia ke luar negeri.

Tenun Toraja, Warisan Leluhur yang Hampir Punah
Seorang pengrajin kain tenun Toraja menunggu pembeli di tokonya di Desa Barana, Kecamatan Saddan, Toraja Utara, Sulsel, Jumat (24/8). Foto: LTWI


Semoga saja tangan ulet para desainer Indonesia mampu mengangkat pamor tenun. Sekaligus melestarikannya.

Baca juga artikel sebelumnya tentang tenun Toraja:







Sumber:

Pemakaman di Tebing dan Kearifan Lokal Suku Toraja Mengolah Alamnya

Pemakaman di Tebing dan Kearifan Lokal Suku Toraja Mengolah Alamnya
Kuburan di tebing batu khas suku Toraja, Kete Kesu, Toraja Utara. Foto: ist
Hingga saat ini masyarakat Toraja masih memiliki kebiasaan menguburkan jenazah di dalam tebing bukit kapur. Selain melestarikan adat istiadat, rupanya hal ini untuk menjaga wilayah agar tidak habis terjamah. Wilayah Toraja sebagian besar terdiri dari bebatuan karts (atau tepatnya dikelilingi bukit kapur).

Menyimak pesan arif dari Sang Kepala Adat Kete' Kesu' tentang tradisi permakaman, kebersamaan, dan pluralisme di Toraja.

“Kenapa kami dimakamkan di tebing batu, atau di dalam gua?” ujar Layuk Sarungallo yang sebagian giginya sudah ompong. “Kalau kami dimakamkan di tanah, kami tidak bisa hidup karena tidak bisa berladang, tidak bisa bersawah, tidak bisa ada peternakan.”  

Pemakaman di Tebing dan Kearifan Lokal Suku Toraja Mengolah Alamnya
Layuk Sarungallo, Kepala Adat dari Tongkonan Kete' Kesu, Toraja, Sulawesi Selatan. Layuk mengisahkan teladan dari leluhurnya di lumbung padi rumah tongkonan. Dalam tradisi Toraja, lumbung merupakan tempat bersosialisasi dan tempat pertemuan keluarga. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Sembari bersila di bawah lumbung padi tinggalan leluhur, Layuk mengungkapkan bahwa Toraja merupakan dataran tinggi yang terdiri atas bukit-bukit batu dan sebagian besar adalah tanah non-produktif.  Pemahaman tentang kondisi alam Toraja itulah yang membuat leluhur Layuk memberikan teladan bagi penerus mereka untuk memakamkan jenazah di tebing-tebing batu _tradisi yang berlanjut hingga sekarang.

Layuk merupakan Kepala Adat Tongkonan dari Kete’Kesu di Kabupaten Toraja Utara. Pagi itu dia dan keluarga besarnya tengah merayakan syukuran atas pembaptisan salah seorang anggota keluarga mereka, sekaligus merayakan kehangatan Natal.

Meskipun Aluk  Todolo _atau agama nenek moyang_ tidak populer lagi dalam masayarakat Toraja, teladan dan filosofi hidup mereka masih berlanjut hingga sekarang. Kini, mayoritas warga Toraja beragama Kristen Protestan.

Pemakaman di Tebing dan Kearifan Lokal Suku Toraja Mengolah Alamnya
Barisan rumah adat Tongkonan Kete Kesu. Foto: Andina Laksmi
Pemakaman di Tebing dan Kearifan Lokal Suku Toraja Mengolah Alamnya
Salah satu rumah adat di Tongkonan Kete' Kesu, Toraja, Sulawesi Selatan. Terdapat enam rumah adat, masing-masing memiliki fungsi dan kedudukan dalam sistem sosial masyarakat Toraja. Banyaknya tanduk kerbau melambangkan lencana atau status sosial dalam masyarakat. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Tongkonan tinggalan leluhur Layuk merupakan salah satu yang tertua di masyarakat Toraja dan kini menjadi tujuan wisata unggulan Kabupaten Toraja Utara.  Dalam tradisi Toraja, rumah tongkonan merupakan satu kompleks rumah adat, berikut lumbung padi _simbol masyarakat agraris. Tongkonan Kete’ Kesu’ memiliki enam rumah adat dan dua belas lumbung padi. Semuanya berjajar rapi menghadap utara-selatan.

Di sekitar kompleks rumah pusaka itu terdapat menhir-menhir yang digunakan untuk upacara kematian.  Sementara di belakangnya menjulang tebing karst yang digunakan sebagai permakaman keluarga sejak ratusan tahun silam. Semakin tinggi lokasi liang tebing, semakin tinggi pula status sosial keluarga. Sementara, di kaki tebing terdapat beberapa bangunan beratap genting yang ruang dalamnya digunakan untuk permakaman, disebut patane.

Tampaknya Layuk seorang yang arif. Dia menyadari bahwa sekitar lima persen warganya merupakan muslim. Kemudian dia membuat salah satu bangunan makam yang di dalamnya terdapat satu petak yang tidak dipelur dengan semen. “Biar keluarga saya yang Muslim bisa satu tempat  dengan yang Kristen, tanpa harus melanggar pemakaman adat.” 

“Itu yang kami pentingkan,” Layuk berkata. “Kami jaga hubungan kekeluargaan yang begitu kental. Kalau kami terpisah, hubungan emosional kami selama hidup akan sia-sia. Untuk apa kita bertikai? Kita adalah satu!”

Kemudian seorang saudaranya yang berpeci menghampiri kami. Seorang kawan seperjalanan bertanya kepada Layuk, apakah saudara tersebut adalah seorang muslim. Sembari bersandar pada salah satu tiang lumbung, Layuk berkata, “Kami tafsirkan, di sini peci adalah topi nasional.”

Pemakaman di Tebing dan Kearifan Lokal Suku Toraja Mengolah Alamnya
Sebuah celah gua di Kete' Kesu. Dalam tradisi Toraja, ruangan gua menjadi salah satu peristirahatan terakhir. Tradisi yang masih berlanjut hingga kini. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Pemakaman di Tebing dan Kearifan Lokal Suku Toraja Mengolah Alamnya
Tradisi pemakaman Toraja di tebing karst Kete' Kesu'. Semakin tinggi letak liang di tebing, semakin tinggi pula status sosial keluarga di masyarakat. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Pemakaman di Tebing dan Kearifan Lokal Suku Toraja Mengolah Alamnya
Patane, makam keluarga yang berbentuk bangunan, biasanya diisi oleh rumpun keluarga.  Foto: Andina Laksmi


Sumber: Artikel dan Foto dikutip dari halaman National Geographic Indonesia yang ditulis oleh Mahandis Yoanata Thamrin dengan judul "Pelajaran Berharga dari Toraja"

Guna menyebarluaskan infomasi ini kepada masyarakat khususnya keturunan Toraja yang jauh diperantauan yang rindu mengenal tanah leluhurnya maka artikel ini kami posting kembali di blog yang khusus membahas tentang kebudayaan Toraja ini. Salam