Negeri Di Atas Awan Versi Toraja


TORAJA UTARA. Sebuah Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang terkenal dengan wisata budaya dan kopi toraja yang sangat khas. baru-baru ini, sebuah tempat yang mulai dibicarakan adalah sebuah tempat yang berada di Kampung Lolai, Kecamatan Kapalapitu, Toraja Utara. Negeri di Atas Awan. YA begitulah namanya. karena disitu kita dapat melihat awan lebih rendah dibandingkan puncak tempat kita berdiri.


Sungguh indah dipandang oleh mata manusia. dilokasi sekitaran puncak tersebut terdapat rumah khas Toraja (Tongkonan). Tongkonan di kampung ini dinamakan Tongkonan Lempe. Teras Tongkonan bisa ditempati pengunjung untuk bersantai dan menikmati indahnya awan putih yang biasanya hanya kita lihat dari bawah. Tongkonan disana juga dapat disewa sebagai homestay wisatawan. Namun Belum ada tarif yang sudah pasti karena Kampung Lolai tepatnya “Negeri di Atas Awan” ini belum dikelola oleh pemerintah. Oleh karena itu, Sewa rumah untuk menginap di kampung tersebut hanya berdasarkan nego dan kesepakatan saja antara pengunjung dengan pemilik rumah. Pengunjung juga bisa mendirikan tenda di puncak Lolai dan bermalam disana.



Mungkin hanya itu yang mau saya bagikan. jika ada waktu dan kesempatan liburan, Toraja Utara dapat menjadi salah satu pilihannya. Selain Negeri di Atas Awan, masih banyak tempat-tempat wisata lainnya.

Baca Juga: Wisata Alam Kolam Tilangnga'
Sumber: indrabel

Beberapa Istilah Pada Prosesi Ritual Adat Rambu Tuka dan Rambu Solo'


Berikut ini adalah beberapa Istilah apda Prosesi Ritual Adat Rambu Tuka dan Rambu Solo'.

KAPURAN PANGAN
Suatu cara dengan hanya menyajikan Sirih Pinang sementara menghajatkan sesuatu yang kelak akan dilaksanakan dengan kurban – kurban persembahan.

PIONG SANGLAMPA
yaitu suatu cara dengan menyajikan satu batang lemang dalam bambu dan disajikan di suatu tempat atau padang/pematang atau persimpangan jalan yang maksudnya sebagai tanda bahwa dalam waktu yang dekat manusia akan mengadakan kurban persembahan.

MA'PALLIN atau MANGLIKA' BIANG, yaitu suatu cara dengan kurban persembahan satu ekor ayam yang maksudnya mengakui semua kekurangan dan ketidaksempurnaan manusia yang akan melakukan kurban persembahan.

MA'TADORAN atau MENAMMU, yaitu suatu cara dengan mengadakan kurban persembahan satu ekor ayam atau seekor babi yang ditujukan kepada pemujaan Deata – Deata terutama bagi Deata yang menguasai daerah tempat mengadakan kurban persembahan itu. Ma’tadoran juga dilakukan jika melaksanakan upacara Pengakuan Dosa yang disebut Mangaku–aku.

MA'PAKANDE DEATA DO BANUA atau MA'PAREKKE PARA. (mengadakan kurban persembahan di atas Tongkonan). Nama Upacara ini berbeda di tiap daerah adat tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu dengan kurban persembahan seekor babi atau lebih sesuai dengan ketentuan dari masing-masing daerah adat. tujuannya memohon berkat atau bersyukur atas kehidupan dari Sang Pemelihara atau Deata-Deata dan juga sebagai tempat menghajatkan kurban persembahan
MA'PAKANDE DEATA DIONG PADANG/Ma’tete Ao’. (mengadakan upacara di halaman Tongkonan), yaitu upacara kurban seekor babi atau lebih yang dilaksanakan di halaman Tongkonan dari orang yang mengadakan upacara. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Deata-Deata supaya memberkati seluruh tempat atau Tongkonan tempat orang merencanakan dan mengusahakan kurban persembahan seterusnya serta tempat mendirikan Tongkonan.

MASSURA' TALLANG adalah upacara yang dilaksanakan setelah selesai melaksanakan tingkatan upacara yang lebih rendah seperti tersebut di atas. Upacara ini dilaksanakan di depan Tongkonan agak sebelah timur. Upacara Massura’ Tallang merupakan upacara persembahan paling tinggi kepada Deata-Deata sebagai Sang Pemelihara dengan kurban beberapa ekor babi, dimana sebagian untuk persembahan dan sebagian lagi untuk dibagikan menurut adat kepada masyarakat dan orang yang menghadiri upacara tersebut utamanya kepada petugas adat dan agama Aluk Todolo.

MEROK, yaitu upacara pemujaan kepada Puang Matua sebagai upacara pemujaan yang tinggi dengan kurban Kerbau, Babi dan ayam. Pada upacara ini nama Puang Matua yang selalu jadi pokok ungkapan dalam pembacaan mantra dan doa. Kerbau yang dikurbankan pada upacara Merok ini adalah kerbau hitam (Tedong Pudu’), karena tidak boleh menyajikan kurban kerbau yang memiliki bintik putih yang dianggap sebagai kerbau yang cacat. Sebelum kerbau ini dikurbankan dengan menggunakan Tombak (Dirok), terlebih dulu kerbau ini Disurak (didoakan dalam suatu ungkapan hymne yang isinya menceritakan kemuliaan Puang Matua dan segala ciptaannya serta kehidupan manusia dan mengutuk pula perbuatan yang tidak baik dari manusia yang disyaratkan dengan pernyataan melalui kurban kerbau tersebut). Dan pelaksanaan pembacaan hymne semalam suntuk oleh Tominaa disebut Massurak Tedong atau Massomba Tedong.

MA'BUA' atau LA'PA, yaitu suatu tingkatan upacara Rambu Tuka' yang paling tinggi dalam Aluk Todolo. Upacara ini dilaksanakan setelah menyelesaikan semua upacara-upacara yang terbengkalai oleh keluarga atau daerah yang mengadakan upacara Ma’bua’ tersebut. Hal ini karena upacara Ma’bua’ adalah upacara untuk mengakhiri seluruh upacara apapun dalam mensyukuri seluruh kehidupan dan mengharapkan berkat serta perlindungan dari Puang Matua, Deata-deata, dan Tomembali Puang.

Upacara Ma’bua’ juga sebagai ungkapan syukur atas hewan ternak, tanaman dan kehidupan manusia. Pada upacara Ma’bua’ atau La’pa, Puang Matua dipuja dan dieluk-elukkan dengan beragam lagu dan tari yang memang khusus diadakan untuk upacara Ma’bua’ tersebut.

Pada upacara Ma’bua’ diadakan kurban persembahan kerbau sebagai kurban persembahan utama yang jumlahnya bermacam-macam menurut ketentuan Lesoan Aluk Tananan Bua’ tergantung pada masing-masing daerah adat atau tergantung pada kemampuan keluarga. Ada kalanya Ma’bua’ ini diikuti oleh satu daerah adat atau kelompok adat jika upacara ini menyangkut seluruh masyarakat satu daerah serta keselamatan seluruh kehidupan dan disebut sebagai Bua’ kasalle atau La’pa Kasalle (Bua’=perbuatan, la’pa=kelepasan, kasalle=besar).

Salam

Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan

Selamat berjumpa kembali Sangsiuluran Toraja...

Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan
Gambara' Tedong mentombang. Kerbau sedang berkubang. Foto: brommel.net

kita kembali ke topik "Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan"

Seandainya boleh memilih dari sekian arti dan asal kata 'Toraja', saya lebih memilih kata Toraya yang berasal dari dua kata yakni To (Tau) dan Raya (Maraya) yang bisa diartikan sebagai orang-orang 'besar' atau bangsawan. Bukannya keinginan untuk menyebut diri bangsawan, tetapi lebih kepada 'orang besar' tadi. Sebagai seorang anak manusia yang harus siap menghadapi tuntutan jaman untuk tetap berjiwa besar dan menjadi tuan atas dirinya sendiri. Lain dari itu adalah sebuah ketertarikan terhadap sejarah dan legenda yang turun temurun diwariskan melalui budaya tutur tentang keagungan budaya di tanah leluhur. Hmmm cerita panjang yang patut ditelusuri.

Selama ini, Toraja dikenal sebagai salah satu destinasi pariwisata Indonesia dan juga dikenal di dunia bahkan diusulkan untuk masuk sebagai salah satu situs warisan dunia (kebanggan tersendiri sebagai orang Toraja). 

Selain Bali, Toraja juga dikenal sebagai destinasi wisata budaya, adalah ritual-ritual budaya nan unik berbalut nuansa mistik yang tidak dipungkiri sudah menjadi salah satu daya tarik pariwisata Toraja. Selain itu, situs-situs bersejarah seperti pekuburan di tebing batu, rumah adat berusia ratusan tahun, peninggalan megalitik seperti batu simbuang yang sampai hari ini semua itu masih terjaga dan dipertahankan dalam tradisi masyarakat Toraja. Sebuah penghargaan anak cucu terhadap karya keagungan peradaban leluhur.

Nah berikut ini adalah beberapa hal yang membuat Toraja tak terlupakan menurut versi Toraja Paradise;

Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan
Ma'Badong, salah satu ritual dalam upacara Rambu Solo' di Toraja. Foto: Wego 
1) Ritual Budaya Rambu Solo'

Ritual budaya yang satu ini memang berbeda dengan yang lain, Rambu Solo' selalu meninggalkan banyak 'kenangan' baik itu asam _seperti katapi_ atau manis _susi golla-golla_. Seluruh keluarga (kecuali yang berhalang hadir), sanak famili, kerabat dekat maupun jauh, berkumpul bersama untuk mengadakan ritual pemakaman paling meriah ini. 

Masih utuh dalam ingatan, saat malam di lantang menyaksikan to ma'badong atau sekedar mendengarkan cerita orang-orang tua dulu, mulai dari rentetan silsilah, sejarah perang (kisah to balanda dan dai nippon cukup menarik), hasil panen, cerita rakyat, kisah legenda (biasanya dipermanis dengan bingkai mistik) sampai panggung politik tak luput jadi bahan obrolan. Tuak dan kopi Toraja juga tak mau ketinggalan ditambah cemilan tradisional cukup mampu membentengi tubuh dari serbuan hawa dingin khas pegunungan Toraja, dan jangan lupakan peran Sambu' Lotong... 

Ritual Rambu Solo' di Toraja, menjadi salah satu magnet terbesar turis mancanegara maupun turis domestik. Disebut juga Aluk Rampe Matampu, Rambu Solo' merupakan ritual pemakaman orang Toraja yang identik dengan mengorbankan hewan ternak seperti babi atau kerbau (biasanya dalam jumlah besar) kepada arwah leluhur atau orang yang meninggal dunia. 

Ritual adat tersebut biasanya berlangsung meriah dan menguras materi. Pihak keluarga akan berusaha keras mengumpulkan semua 'keperluan' agar mereka bisa menyelenggarakan ritual Rambu Solo', sebab Rambu Solo' adalah salah satu bagian utama dari siklus hidup masyarakat Toraja. Rambu Solo' juga dianggap sebagai bentuk tanggung jawab keluarga terhadap orang yang sudah meninggal. 

yaah, meski sering menimbulkan banyak pro dan kontra terutama budaya Pantunu/Mantunu (menyembelih hewan ternak dalam jumlah besar, biasanya saat ritual Rambu Solo'). Namun itulah Toraja, tetap menjaga tradisi yang sudah mengakar selama ratusan tahun. Kematian adalah sesuatu yang mewah di Toraja (baca disini)

Berlandaskan kearifan nenek moyang dan diwariskan dari generasi ke generasi, tentunya budaya Toraja tidak akan luntur hanya karena persepsi segelintir orang. Segelintir orang yang pastinya termasuk beberapa generasi muda Toraja, dengan pendidikan yang lebih baik serta pemahaman peradaban modern menganggap ritual budaya di Toraja sebagai pemborosan, kekerasan terhadap hewan, termasuk juga mengkafirkan Aluk Todolo (kepercayaan leluhur Toraja) atau 'dipaksa' masuk sebagai salah satu aliran kepercayaan Hindu Bali, serta banyak pernyataan lain tentang 'buruknya' budaya Toraja yang terus menggerus eksistensi jatidiri orang Toraja.

Budaya Toraja bukanlah budaya yang baru dilahirkan dan akan mati muda. Sebagai bukti, aturan adat Toraja (meski sebagian besar hanya diwariskan melalui budaya tutur) sudah jauh ada sebelum budaya modern dan agama-agama impor berkembang di Toraja. Tetapi aturan adat itu tetap hidup dalam keseharian masyarakat Toraja, terus beradaptasi dan tidak kehilangan jatidirinya ditengah gempuran peradaban modern. 

Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan
Deretan Tongkonan Karuaya, salah satu kompleks Tongkonan di Toraja. Foto: Iqbal Kautsar
2) Rumah adat Tongkonan

Tidak jarang kita mendengar bila sesama orang Toraja bertanya dari Tongkonan mana? yaa Tongkonan merupakan akar silsilah rumpun keluarga orang Toraja. Jadinya miris bila generasi muda Toraja melupakan atau pura-pura lupa asal usul leluhur keluarganya.

Seni arsitektur yang masih tradisional ini menurut tradisi lisan masyarakat Toraja meyakini bahwa bentuk itu dilatarbelakangi awal datangnya leluhur orang Toraja dengan menggunakan perahu. Bentuk perahu itulah ilham pembuatan rumah Tongkonan, sehingga bentuk atapnya menjulang ke depan dan ke belakang. Rumah adat berbentuk perahu ini biasa juga disebut Lembang (masih ingat lirik lagu Toraja; "garagan ki' Lembang Sura', lopi di maya-maya")

Rumah adat khas Toraja ini, selain berfungsi sebagai tempat tinggal, juga mempunyai fungsi dan peranan serta arti yang sangat penting dan bernilai tinggi dalam kehidupan masyarakat Toraja. Tongkonan, bangunan dengan atap berbentuk perahu ini dianggap sebagai pusaka warisan dan hak milik turun temurun dari orang yang pertama kali membangun Tongkonan tersebut. 

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan rumah adat ini sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja. Kata Tongkonan berasal dari kata “Tongkon” (duduk_berkumpul) mengandung arti bahwa rumah Tongkonan itu ditempati untuk duduk mendengarkan serta tempat untuk membicarakan dan menyelesaikan segala permasalahan penting dari anggota masyarakat dan keturunannya.


Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan
Kubur batu Lemo, salah satu kompleks pemakaman di tebing batu Toraja. Foto: Mezak Yapin
3) Kubur di Toraja

Di Toraja, areal pekuburan punya daya tariknya tersendiri. Kubur-kubur unik orang Toraja menawarkan citarasa wisata yang berbeda dengan destinasi wisata lain di Indonesia, diantaranya liang kuburan di tebing-tebing batu, kuburan bayi di batang pohon, dan model-model pekuburan yang lain. Mungkin bagi sebagian orang kuburan itu menyeramkan, tapi di Toraja kuburan malah ramai dikunjungi setiap tahunnya. 

Bahkan di saat-saat tertentu, keluarga dari yang dikuburkan membuka kubur tersebut baik untuk sekedar menjenguk maupun membersihkan dan mengganti pakaian anggota keluarga yang dikuburkan. Ritual mengganti pakaian leluhur yang sudah dikuburkan ini disebut Ma'nene'.

Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan
Harmoni alam dan budaya. Museum Ne' Gandeng, Toraja Utara. Foto: Mezak Yapin
4) Harmoni Alam Pedesaan, Budaya dan Masyarakatnya

Hal-hal menarik dan tak terlupakan di Toraja bukan hanya ritual pemakaman dan wisata kuburan. Bentang alam Toraja juga mampu menyuguhkan panorama nan eksotik yang memanjakan mata, tak perlu banyak bersolek untuk memikat wisatawan. 

Di Toraja, terutama di pedesaan, petak-petak areal persawahan hijau membentang ada pula yang behimpit meramping di punggung perbukitan dialiri sungai kecil seperti sebuah simpul yang menambatkan hati saya agar selalu mengingat betapa besar anugerah sang pencipta. 

Budaya siangkaran sipakaboro' telah mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional Toraja. Akar budaya yang mewariskan senyum keramahan kepada semua yang hidup, bentuk ketulusan yang jauh dari sekat-sekat gengsi kemapanan ala komunitas perkotaan. 

Juga slogan Sipamisa', Sang Torayan, Solata, dll, menjadi ikatan pemersatu etnis Toraja, baik di kampung halaman maupun di tanah rantau. 

Singkatnya Toraja adalah perpaduan yang harmonis antara keindahan alam dan masyarakat yang berbudaya. Sebuah pelukan hangat yang membekas dan tidak terlupa.

Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan
Pa'piong, Tollo' Lendong dan lada Katokkon. Foto: ist
5) Kuliner Khas Toraja

Setiap orang punya selera masing-masing untuk urusan kuliner. Bagi saya sendiri Pa'piong Bulunangko dan Tollo' Lendong dengan bumbu Pamarrasan menempati peringkat utama dan tiada duanya (ya iyalah, adanya cuma di Toraja). Kedua masakan ini bisa dipadukan dengan nasi jagung (bassang dalle). hmmm jadi lapar, manasu mo raka Indo'...?

Untuk selera makanan ringan, deppa tori' dan la'pa' dua' kayu memberi rasa manis di lidah dan ingatan saya. 

Tapi ada salah satu bumbu dalam campuran kuliner Toraja yang membuat saya sulit melupakan kampung halaman, lada katokkon itu pedisnya bikin trauma...! 

Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan
Contoh produk kopi Toraja dalam kemasan.
6) Kopi Toraja

Berawal dari tangan para petani di pegunungan Toraja, hingga tersebar di seluruh dunia, kopi Toraja telah meninggalkan jejak-jejak aroma kebanggan bagi negeri ini. Menikmati kopi Toraja di tempat asalnya usai menjelajah alam Toraja yang indah permai tentunya menjadi keinginan para penikmat kopi. 

Bayangkan minum kopi Toraja di pelataran Tongkonan pada sore hari, sambil memandangi barisan perbukitan nan hijau serta hamparan persawahan yang mulai menguning, anak-anak kecil yang masih asik bermain, petani yang kembali pulang, kerbau dan babi yang mulai berisik di kandang, nyanyian burung-burung berpadu senandung rumpun bambu, aah... biarkan imajinasi lepas tanpa batas menuju negeri dongeng. Atau lebih tepatnya kepingan surga di jantung Sulawesi.  

Kopi Toraja merupakan kopi jenis Arabica yang punya karakteristik sendiri, coba menikmatinya tanpa menggunakan gula atau pemanis, kita akan merasakan rasa gurih yang jarang ditemukan dalam kopi-kopi lokal di daerah lain. Rasa gurih ini merupakan salah satu ciri khas utama kopi Toraja yang membuat orang ketagihan menikmati kopi ini. 

Kopi Toraja merupakan komoditas yang patut diperhitungkan, Jepang dan Amerika merupakan negara utama pengimpor kopi ini. Bahkan di Jepang, merek dagang kopi Toraja sudah dipatenkan oleh Key Coffee. Di beberapa kafe-kafe di dunia punya kelasnya sendiri dengan harga jual yang tentunya tidak murah. Sayangnya harga yang berkelas itu tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani kopi di tempat asalnya.  


Gambaran di atas hanya secuil kisah tentang Toraja. Akan lebih indah bila anda menyaksikan dan mengabadikannya sendiri.

Bonus: 
Foto: @sanggar_tari_dilangi

Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan
sekian dan terimakasih

Bila ada diantara pembaca yang budiman memiliki pendapat berbeda atau sekedar ingin menambahkan silahkan dititipkan pada kolom komentar yang tersedia dibawah postingan ini. 


Semoga bermanfaat, Salam.

Ayo Ke Toraja Bulan Agustus Tahun Ini

Mengunjungi Toraja tak melulu hanya disuguhi wisata kuburan dan ritual pemakaman yang unik (Rambu Solo), pesona bentang alam Toraja juga punya daya tarik tersendiri. Daerah dataran tinggi di jantung pulau Sulawesi ini mampu memanjakan mata dengan pemandangan alam nan eksotik. Sebut saja bentang hijau areal persawahan, barisan pegunungan serta hutan yang masih terjaga, dinginnya udara yang menyejukkan rongga pernafasan berpadu dengan senandung budaya diatas awan yang membuai.

Di Toraja, di desa-desanya, imajinasi leluasa keluar dari ruang mimpi. Bebas dan dalam, tanpa mengenal pembatasan. Tidak terkekang oleh kemasan. Pedesaan Toraja secara lugu hadir tak mengenal keraguan. Meski tuntutan bersolek untuk memikat para wisatawan dan memulihkan pamornya sebagai destinasi wisata terus menggeliat beberapa tahun belakangan. Toraja seolah tak ingin ketinggalan dengan geliat pariwisata yang tengah gencar-gencarnya diadakan pihak pemerintah. Namun Toraja masih menggengam teguh kearifan lokal sebagai jatidirinya...

Toraja Marathon 2016, Ayo Ke Toraja Bulan Agustus Tahun Ini
Harmoni alam dan budaya di pelataran Tongkonan. Salah satu potret pesona Toraja yang menanti anda dalam Toraja Marathon 2016. Sumber Foto

Eeeh kok malah melebar, memang sih untuk membahas tentang Toraja seakan tak ada habisnya. Kembali ke judul dan membahas alasan mengapa kita harus ke Toraja pada bulan Agustus tahun ini, buat kamu para traveler, bersiaplah mengepak barang dan memesan tiket pesawat ke Toraja di bulan Agustus! karena pada bulan tersebut akan diadakan Toraja Marathon 2016!

Toraja Marathon 2016, Ayo Ke Toraja Bulan Agustus Tahun Ini

Toraja Marathon 2016
“Toraja Marathon akan diselenggarakan untuk pertama kali di bulan Agustus 2016. Bagi masyarakat Toraja ini adalah event olah raga tahunan pertama yang akan memetakan Toraja di agenda olah raga lari di Indonesia dan suatu saat, dunia. Bagi kami pencinta olah raga lari, Toraja Marathon adalah tantangan. Sudah lama kami melihat Toraja baik dari jauh maupun dari dekat. Ini tahun 2016. Waktu dimana tantangan berlari mengagungi alam cipataanNya berjuluk Toraja menjadi pencapaian tersendiri.”

Tentang kategori Toraja Marathon 2016 kalian bisa melihat langsung pada situs Toraja Marathon (klik disini)

Melalui ajang Toraja Marathon 2016, Toraja mengumumkan bagi seluruh traveler di Indonesia maupun luar negeri untuk berkunjung. Ini adalah event sport tourism pertama yang diadakan oleh Toraja. Meski begitu, Toraja tak tanggung-tanggung dalam mempersiapkannya. Dari segala aspek diperhatikan secara teliti. Bahkan khusus untuk para traveler dari luar pulau dan luar negeri, akan dimanjakan dengan disediakannya paket akomodasi dan transportasi.

Melalui situs resmi Toraja Marathon, ada beberapa jenis paket yang disediakan sebagai berikut:

Exotica Toraja Package for Toraja Marathon:

1. Intercity Bus / Coach Bus Makassar-Toraja (Return) Rp 550.000 / person

2. Budget Package

Intercity Bus Makassar – Toraja (Return) + Accomodation Hostel / Homestay + Breakfast

2 Nights Basic Package Rp 1.400.000 / person
3 Nights Basic Package Rp 1.700.000 / person
(Price based on twin share room)

3. Comfort Package

Airfare Ticket (Jkt – Makassar) Return + Intercity Bus Makassar – Toraja (Return) + Transportation in Toraja (sharing ELF 8 seater car) + Accomodation (hotel bintang 1 dan bintang 2) + Breakfast

2 Nights Executive Package Rp 3.800.000 / person
3 Nights Executive Package Rp 4.200.000 / person
(Price based on twin share room)

4. Executive Package

Airfare Ticket Garuda Airline ( Jkt – Makassar) Return + VIP Intercity Bus Makassar – Toraja (Return) + Transportation in Toraja (private rental car) and Accomodation (Hotel bintang 4) + Breakfast

2 Nights VIP Package Rp 6.400.000 / person
3 Nights VIP Package Rp 7.600.000 / person
(Price based on twin share room)

For bookings, further info and contact: Klik Here

Toraja Marathon 2016, Ayo Ke Toraja Bulan Agustus Tahun Ini
You can never avoid this kind of view when you run in Toraja Marathon 2016. Photo by: @endyallorante

Toraja marathon akan diselenggarakan pada tanggal 13 Agustus, 2016. Pendaftaran dibuka pada tanggal 20 Maret, 2016. Kuota sangat terbatas dan sebaiknya anda tidak ketinggalan momen seru ini...!


Ayo mendaftar karena ini kesempatan menarik menjelajah dan mengenal Toraja lebih dekat!



Toraja Marathon 2016, Ayo Ke Toraja Bulan Agustus Tahun Ini

Toraja Marathon 2016, Ayo Ke Toraja Bulan Agustus Tahun Ini
Harmoni alam dan budaya di pelataran Tongkonan. Salah satu potret pesona Toraja yang menanti anda dalam Toraja Marathon 2016. Sumber Foto


Semoga Bermanfaat... :)

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata [Bag.II]


Londa; Wisata Makam dan Tulang Belulang

Hari baru dimulai saat saya mengunjungi kompleks makam Londa. Obyek andalan Toraja ini hanya didatangi lima turis, sudah termasuk saya dan fotografer. Saya melewati sejumlah keranda dan tabela berukir yang dipenuhi tulang-belulang, lalu memasuki gua alami di rahim tebing batu. Penjaga makam menyulut petromaks dan mengantarkan saya memasuki lorong yang penuh liku. Panoramanya mencekam. Sisa-sisa jasad bertaburan...

Londa bagaikan sebuah sarkofagus gigantik. Saya mesti berhati-hati saat melangkah atau berpegangan pada dinding, seraya berharap petromaks tidak tiba-tiba padam kehabisan minyak. Langit-langit kemudian merendah hingga saya mesti merangkak. “Bagaikan beruang yang berpura-pura menjadi laba-laba,” tulis Lawrence Blair dulu saat memasuki makam di Toraja.

Dalam sebuah brosur kapal pesiar, Londa dipromosikan sebagai tempat yang menawarkan sensasi petualangan Indiana Jones. Di dalam gua, atmosfernya memang menegangkan. Tapi di luar, Londa adalah sebuah obyek yang dikemas rapi.

Di sekitar mulut gua, ada jalan setapak berbahan semen, toilet umum, beberapa tempat duduk. Sejauh mana kita boleh memodifikasi petilasan tua atas nama kenyamanan? Pertanyaan saya mungkin berlebihan. Keluar dari gua, lagu If Tomorrow Never Comes berkumandang dari toko suvenir dan memantul-mantul di dinding kapur.

Di atas mulut gua, tau-tau berbaris rapi seperti para bangsawan di balkon istana. Berbeda dari tau-tau yang dijual di Eropa, wujud mereka lebih modern. Dulu, totem ini lebih simpel: bertubuh gelap, memiliki iris kecil, berbalut kain polos. Dulu juga, tangan kanannya menengadah sebagai simbol kesejahteraan bagi keluarga yang ditinggalkan, sementara telapak kirinya menghadap ke sisi dalam sebagai tanda perlindungan. Setelah zaman jauh bergulir dan selera berubah, tau-tau dipahat lebih riil, lebih mirip manusia, sampai-sampai wajahnya tertangkap face detector kamera. Mereka tak ubahnya patung lilin di Madame Tussauds. Filosofi lama yang kaya makna, tergeser. Betapa Toraja telah berubah.
Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Gua-gua alami yang banyak tersebar di Toraja. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Rantepao; Salib Raksasa, Jalanan Rusak dan Kopi

Saya kembali mengarungi jalan. Di Rantepao, salib raksasa menjulang di atas bukit, seolah hendak membaptis kota ini dalam sinar Tuhan. Kota tetangga, Makale, sedang membangun patung Yesus. Jauh di kaki monumen-monumen suci itu, jalan-jalan rusak dan sampah berserakan.

Di Hotel Pison, saya berhenti untuk menyeruput kopi. Berbeda dari kopi Gayo yang menyetrum mata, kopi Toraja menyulut suasana melankolis, seolah merayu kita untuk mencomot buku dan merebahkan tubuh. “Lebih enak jika dibiarkan sejenak di cangkir. Mirip kain luntur yang dicelupkan ke ember, biarkan sampai lunturnya hilang,” jelas Eli, perintis Kaana Toraya, merek dengan status kultus di kalangan penggemar kopi. Dia memakai kata “Toraya,” istilah lawas yang hanya digunakan oleh sesama orang lokal.

Biji-biji kopi terbaik dipetik dari Perbukitan Awan dan Sapan. Dua perusahaan asing sudah lama mengeruk uang di sana. Di luar kopi, Toraja praktis tak punya mesin ekonomi yang mumpuni. “Tidak ada industri di Toraja. Hanya ada kopi,” ujar Aras Parura, seorang pemilik kafe di Rantepao. Fakta itulah yang menurutnya memicu gelombang eksodus warga, terutama di kalangan kaum terdidik yang menikmati berkah program Repelita Orde Baru.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Kalung tradisional yang terbuat dari taring babi atau hewan lain. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Perantau Toraja; Golongan Kaya Baru, Godaan Senikmat Kopi

Kopi menghangatkan malam-malam dingin, tapi kopi tak cukup memuaskan para sarjana muda yang penuh mimpi. Di saat yang bersamaan, investasi asing merambah Kalimantan, Papua, dan Jawa. Lapangan kerja terbuka lebar. 

Suku Toraja, kaum yang percaya leluhur mereka diturunkan dari bintang-bintang di angkasa, mendadak menemukan sumur uang baru untuk hidup mereka di dunia. 

“Penduduk Toraja paling 500 ribu,” kata Aras lagi, “tapi yang tinggal di luar lebih dari satu juta jiwa.” Tradisi merantau melahirkan golongan kaya baru. Di kampung halaman, kisah-kisah mereka menyebar secepat gosip artis. Godaan migrasi menular dari mulut ke mulut. 

Rumput tetangga terlihat semakin hijau. Anak-anak pun menghampiri bapaknya. Tetangga menyusul tetangga. Bagi mereka yang berada di kasta budak, merantau punya insentif yang lebih sukar ditampik: solusi untuk membuka lembaran baru di negeri seberang sebagai “orang merdeka.”

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Kristen adalah agama mayoritas di Toraja meski mereka memiliki agama tradisional Aluk Todolo. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Perantau Toraja; Masuknya Injil, Pergeseran Nilai Budaya & Negosiasi Status Sosial

Dampak merantau juga menyentuh domain ritual. Lagi-lagi, kita bisa melihatnya pada Rambu Solo. Ritual suci ini kerap berubah menjadi ajang unjuk kekayaan. Golongan kaya baru berusaha mendaki tangga mobilitas sosial dengan royal membeli kerbau, membangun Tongkonan, bahkan kasta. Status bangsawan yang tadinya diwariskan lewat jalur darah, kini hendak didapuk lewat lembaran rupiah. Tapi Rambu Solo semacam itu jauh dari ekspektasi turis. Mereka datang untuk menonton upacara yang digelar masyarakat tribal keturunan langit, bukan seremoni mewah yang didanai oleh kaum diaspora yang datang mengendarai Rubicon dan menggenggam iPhone. Betapa Toraja telah berubah. Toraja “dataran tinggi yang sakral,” tulis sebuah semboyan wisata.

“Salah satu penyebab utama perubahan adalah masuknya Injil,” kata Eric Crystal Lantang. “Aturan Aluk To Dolo dan dogma Injil kerap berbenturan.” Eric, seorang penganut Kristen, adalah keturunan dari raja besar Puang Sangalla. Dia menilai masuknya Injil lebih dari 100 tahun silam telah menggeser sendi-sendi budaya lokal. Dalam banyak catatan, konflik memang pecah antara gereja dan keyakinan pagan. “Pada 1985, sebuah gereja Protestan menyatakan tau-tau adalah sebuah isu besar yang merongrong gereja,” tulis Toby Volkman lagi dalam esainya, Toraja Culture and the Tourist Gaze. Gereja menolak hidup manunggal dengan keyakinan purba. Aluk To Dolo juga kian terjepit setelah pemerintah Orde Baru melakukan “perampingan” religi dengan mengakui hanya lima agama resmi.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Kostum penari tradisional Toraja. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Aluk To Dolo memang akhirnya selamat dari cap sesat usai dikategorikan sebagai “cabang” dari Hindu Bali, tapi proses desakralisasi sudah terlanjur bergulir dan adat kian tergerus. Eric, yang namanya diambil dari seorang peneliti Amerika, kini berusaha menjadi penengah antara agama samawi dan kepercayaan leluhurnya. Babad monarki sudah lama ditutup, tapi peran sosialnya sebagai bangsawan belum rampung. Melalui mimbar gereja, Eric mengajak warganya menyudahi benturan antara ajaran Kristen dan Aluk To Dolo. Dia percaya, solusi kompromi bisa tercipta di antara kedua kubu. “Dulu, tau-tau dilarang karena dianggap penyembahan terhadap berhala,” ujarnya. “Saya lalu jelaskan, tau-tau tak ubahnya foto, tapi tiga dimensi. Tujuannya untuk mengenang almarhum, bukan untuk disembah.”

Di Toraja, adat bagaikan kumpulan kaidah lawas yang rapuh. Tafsirnya ditentukan oleh generasi sekarang, oleh orang-orang yang menatap dunia dalam kacamata modern. Pertanyaannya, ketika banyak tau-tau lenyap, pastor memimpin ritual adat, budak duduk sederajat dengan bangsawan di bangku sekolah, dan atap Tongkonan diganti seng, masih relevankah Toraja “menjual” eksotisme budaya?

Barangkali saya yang keliru mencerna zaman. Toraja adalah sebuah kebudayaan yang bergerak, sebuah “living villages” tulis Kathleen Adams dalam Cultural Commoditization in Tana Toraja. Tak mungkin bagi kita mengharapkan Toraja membeku dalam waktu layaknya sebuah artefak dari zaman purba. Lagi pula, kebudayaan Toraja sejak awal tak pernah dikemas sebagai atraksi wisata. Rambu Solo adalah acara privat keluarga. Tau-tau juga milik keluarga, begitu pula makam dan Tongkonan. Orang Toraja berhak memutuskan sejauh mana mereka hendak mengubah apa yang mereka punya.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Staf Toraja Heritage Hotel di tepi kolam dengan latar struktur berarsitektur tongkonan yang berisi kamar tamu. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Semangat Baru Pariwisata Toraja

Namun, bukan berarti harapan sudah pupus bagi pariwisata. Asa masih ada. Dalam transisi besar yang membasuh dataran tinggi ini, turis menangkap pesona lain yang selama ini terpinggirkan oleh tema-tema besar “kematian.” Sebuah survei yang didukung LSM Swisscontact pada Agustus 2014 mendapati, turis justru mencantumkan “alam” sebagai daya tarik terbesar Toraja. Prosesi kematian yang selama ini menjadi mantra pemikat, jatuh ke peringkat kedua. Pelancong ternyata lebih menyukai lanskap elok yang terhampar di balik Tongkonan dan tebing-tebing makam.

Swisscontact hadir di Toraja guna mendukung kinerja DMO (Destination Management Organization), semacam tourism council yang beranggotakan para pemangku kepentingan lokal. Luther Barrung, mantan Direktur Pemasaran Kementerian Pariwisata, didaulat sebagai pemimpinnya. Generasi muda seperti Yohan Tangkesalu, General Manager Misiliana Hotel, duduk di struktur pengurus. Bahkan figur bersuara lantang sekaliber Eric Crystal turut terlibat. Setelah sekian lama didikte oleh suku tetangga mereka di selatan, nasib pariwisata Toraja kini berada di tangan warganya sendiri.

Selain survei, DMO merumuskan logo baru pariwisata. Tahun ini, mereka bakal mengikuti bursa pariwisata di Bali, melakukan pemetaan ulang obyek, menciptakan situs wisata, juga mencetak peta dan brosur-brosur baru. “Diversifikasi produk kini sedang digarap. Toraja butuh banyak inovasi baru,” ujar Tri Laksono, Project Officer for Destination Development Swisscontact.

Di bawah panji DMO, Toraja bersiap menulis lembaran baru: menjadi destinasi bagi para petualang alam, bukan cuma peziarah. Kelak, turis melancong ke sini bukan semata untuk menonton Rambu Solo atau menembus gua makam, melainkan untuk menjelajah sawah, trekking ke kebun kopi, atau bermain arung jeram. Awalnya bersandar pada kematian, Toraja kini berharap pada kehidupan —pada padi yang tertiup angin, biji-biji kopi yang ranum, sungai yang tak lelah mengalir.


Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Bus eksklusif yang melayani transportasi dari Makassar ke Toraja. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Bagaimana Menuju Toraja;

—Rute
Toraja bisa dijangkau dari Makassar dengan menaiki bus. Salah satu operatornya, Primadona (Jl. Perintis Kemerdekaan Km.13, Ruko Bukit Khatulistiwa Blok B/8, Makassar; 0811-4497-212), memiliki bus mewah dengan kursi yang menyerupai kelas bisnis pesawat. Ada dua jadwal keberangkatan: pukul 21:00 dan tiba pukul 06:00, atau pukul 09:00 dan tiba pukul 18:00. Pesawat sebenarnya tersedia, tapi jadwalnya kadang direvisi mendadak. Aviastar (aviastar.biz) melayani penerbangan dari Makassar menuju Bandara Pongtiku dua kali per minggu.

—Penginapan
Selain menawarkan 134 kamar yang disebar dalam bangunan berbentuk tongkonan, Toraja Heritage Hotel (Jl. Kete Kesu, Rantepao; 0423/211-92; toraja-heritage.com) memiliki kolam renang yang fotogenik, serta menawarkan akses mudah ke desa-desa adat. Berdiri di atas lahan seluas delapan hektare, Misiliana Hotel (Jl. Pongtiku 27, Rantepao; 0423/212-12; torajamisiliana.com) menaungi dua kolam renang, ballroom, restoran, spa, serta 98 kamar. Hotel ini juga menawarkan pengalaman homestay: menginap di tongkonan tua yang telah disulap menjadi suite.

—Makan & Minum
Restoran terbaik umumnya hanya terdapat di hotel. Salah satu yang berhasil menembus dominasi itu adalah Mambo (Jl. DR. Sam Ratulangi 34, Rantepao; 0423/211-34; mamborestaurant.co), restoran yang menyuguhkan beragam menu, termasuk masakan lokal pa’piong dan pamarrasan. Sarang hangout populer di kalangan turis, Café Aras (Jl. A. Mappanyukki 64, Rantepao; 0823-9627-5688), menawarkan bangunan yang sejuk di tengah kota Rantepao yang bising. Bagi penikmat kopi, dua tempat yang layak didatangi adalah Warung Kopi Toraja (Jl. Poros Makale, Rantepao; 0852-4824-7654) dan Hotel Pison (Jl. Pongtiku 2 No.8, Rantepao; 0423/213-44).

—Aktivitas 
Situs-situs tua masih menjadi obyek andalan di peta wisata. Untuk menyaksikan menhir, pergilah ke Rante Kalimbuang di Bori’. Di Londa, kita bisa memasuki makam gua, sementara di Lemo kita bisa menyaksikan tau-tau dalam desain orisinal. Kampung adat yang paling tersohor, Kete’ Kesu’ lazim dijadikan tempat upacara-upacara besar. Dibandingkan desa adat lain, Buntu Pune’ relatif masih autentik. Kala di sini, carilah Marla, sarjana arkeologi yang lancar bercerita tentang kebudayaan Toraja, termasuk tentang benteng di samping desanya.

Desa-desa tenun terpusat di sisi timur laut, salah satunya Sa’dan To’ Barana. Bawa uang tunai jika ingin berbelanja. Jika ingin menyerap panorama Toraja yang paling karismatik, pergilah ke Batutumonga. Bawalah sepatu trekking, karena Anda pasti tergoda untuk mengarungi sawah dan lembah hijaunya.

—Informasi 
Menyewa pemandu adalah metode terbaik. Tapi jika ingin berwisata secara mandiri, Anda bisa menyewa mobil, kemudian menggali informasi dari pihak DMO (visittoraja.com) atau Swisscontact (Jl. Makula’ Tampo, Sangalla, Makale Utara; 0423/264-43; swisscontact.or.id). Peta wisata baru belum dicetak, tapi versi lamanya masih tersedia di kantor Dinas Pariwisata Toraja Utara (Jl. Ahmad Yani 62A, Rantepao; 0423/212-77). Rambu Solo umumnya digelar di tengah tahun. Upacara kematian ini menampilkan prosesi pengorbanan kerbau dan babi. Tamu sepatutnya memberikan sesuatu kepada keluarga almarhum. Idealnya, berupa seekor babi, tapi kita bisa menggantinya dengan satu slof rokok atau beberapa kilogram gula pasir. Siapkan pakaian hitam jika ingin hadir.


____________________

Oleh: Cristian Rahadiansyah

Foto oleh: Suryo Wibowo




Sumber: DestinAsian

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata [Bag. I]

Lama meredup di peta wisata, Toraja kini hendak memulihkan pamornya sebagai destinasi favorit. Ritual kematian tak lagi menjadi mantra utama.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata

Banyak orang Toraja masih menyalahkan Bom Bali sebagai pangkal jatuhnya industri pariwisata. Tapi, saat Bali kian pulih dari duka, Toraja masih berlinang air mata. Apa yang salah? Juni adalah bulan yang penuh darah. Banyak desa sibuk menggelar upacara kematian Rambu Solo. Ternak hilir mudik. Orang-orang berbusana hitam berkeliaran. Amis darah menjalar di udara.

Bulan ini, Toraja adalah tempat yang mengingatkan kita betapa singkatnya hidup. Di kampungnya, Pak Almen sedang menggelar Rambu Solo bagi ibunya yang meninggal enam bulan silam. Berapa harga yang harus dibayar untuk sebuah kematian? Berliter-liter air mata,  atau barangkali kerinduan yang tak berujung? Di Toraja, orang mesti membayar lebih. “Selusin kerbau dan ratusan babi,” jawab Pak Almen.

Di Toraja, kematian seseorang bisa membiayai kehidupan orang lain selama setahun. Atau mungkin bertahun-tahun. Di pasar ternak, babi dibanderol antara Rp1-3 juta. Kerbau jauh, jauh lebih mahal, mulai dari Rp30 juta hingga menembus Rp1 miliar, tergantung dari jumlah user-user bulunya, corak tubuhnya, juga tentu saja, bobotnya. Di kawasan dengan pendapatan per kapita di bawah Rp15 juta ini, kematian jelas peristiwa yang boros. Pak Almen terpaksa memakai tabungan dari hasil kerja kerasnya merantau ke Bekasi selama 10 tahun.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Warga lokal yang ramah menyambut turis. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Saya memberikan satu slof rokok kepada si pemilik hajat. Sesuai tradisi, pelayat sepatutnya menghibahkan sesuatu kepada keluarga almarhum. Pak Almen mempersilakan saya duduk dan menyuguhkan makanan. Untuk orang yang sedang berkabung, dia sangat murah senyum, bahkan usai mengetahui saya tengah melanggar banyak norma adat. Toraja mengenal sistem kasta dan orang seperti saya berada di dasar piramida. Saya masuk ke arena upacara dari jalur tengah, lalu duduk di sisi depan lumbung dan membiarkan kedua kaki bergelantungan di atas tanah. Tempat saya duduk sebenarnya dikhususkan bagi para bangsawan. Di sini, kita diwajibkan duduk bersila.

Rambu Solo adalah upacara yang memancing mual. Usai rapalan doa dari pastor, satu per satu babi dan kerbau “dieksekusi” di padang rumput memakai metode yang membuat kaum penyayang hewan pingsan di tempat. Babi ditusuk perutnya. Kerbau ditebas lehernya. Seperti film Slasher dalam versi riil.

Menjelang tengah hari, padang rumput berubah merah. Tapi saya masih menonton, tertegun di tempat. Sejak kecil saya suka menonton prosesi Idul Adha. Tak jelas mengapa peristiwa berdarah kerap menyedot mata. Orang-orang hobi mengerubungi korban kecelakaan. Adegan buaya menerkam zebra diulang-ulang di televisi. Mungkin benar, sadism memiliki pesonanya sendiri.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Kerbau memegang peranan penting dalam upacara tradisional di Toraja. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Benarkah Rambu Solo sadis? Melihat Lebih Luas

Rambu Solo bukan semata soal tebas-menebas. Ia bukan tontonan semacam Tauromachia di mana matador berdansa dengan banteng sembari menusukkan pedang berulang kali demi mendulang tepuk tangan. Bagaikan Idul Adha versi Toraja, pengorbanan ternak Rambu Solo menyimpan filosofi sosial yang luhur. Daging babi dan kerbau dibagikan kepada para keluarga dan tetangga. Orang-orang “kiri” mungkin akan menyebutnya sistem “redistribusi kekayaan.” 

Berkat sistem “barter sosial,” Rambu Solo juga bagaikan tali yang menyambung silaturahmi. Jika Anda mendonasikan seekor babi, kelak Anda menerima “hadiah” serupa saat berkabung. Di Toraja, di mana mayoritas orang merantau ke luar pulau, Rambu Solo adalah momen pengikat keluarga-keluarga yang terpisah jarak. “Hari upacara sengaja ditetapkan pada tengah tahun supaya keluarga bisa memanfaatkan liburan sekolah,” ujar Pak Almen yang mengenakan peci walau sebenarnya telah lama memeluk Kristen, agama mayoritas di Toraja.

Rambu Solo telah lama menjadi magnet Toraja. Upacara kematian ini adalah jendela ideal untuk melihat kultur Toraja, sebuah dataran tinggi di Sulawesi di mana tradisi megalitik Austronesia masih berdenyut. Di sini, mati bukanlah pemberhentian terakhir. Jenazah akan terlebih dulu diawetkan di rumah untuk disapa sanak famili. Setelah dimakamkan, keluarganya membuatkan versi patungnya (tau-tau), yang kemudian dipajang di tebing-tebing tinggi.

Jika ia berstatus bangsawan, setonggak menhir mungkin akan ditanam untuk mengenangnya. Suatu hari nanti, mayat akan dikeluarkan dari liang lahad, dibersihkan, dikenakan baju baru, dan keluarga kembali berkumpul. Di Toraja, almarhum seolah tak pernah benar-benar wafat. Siapa yang tak senang mengetahui bahwa kita tak begitu saja dilupakan, bahkan setelah mati?

Mengendarai motor, saya meniti jalan-jalan sempit penuh meander dan lubang. Acap kali lubang terlalu dalam hingga bodi motor terantuk. Hanya panorama menawan yang membuat saya berhenti mengeluh. Di kedua sisi jalan, sawah melapisi lembah seperti permadani. Di lereng-lereng, gereja putih bertengger, dihubungkan oleh jalan setapak berliku yang menyerupai ular cokelat di padang hijau. “Istilah hijau royo-royo paling sempurna, ya di Toraja,” ujar Trinity, seorang penulis buku travel.

Sampai di puncak Batutumonga, lanskap Toraja tampak seperti lukisan Mooi Indie dalam arti harfiah. Di kejauhan, perbukitan batu berbaris seperti punggung naga. Di kakinya, sungai sebening vodka meluncur menerjang bebatuan. Dari tempat saya berdiri, Toraja bagaikan gadis cantik berbalut tenun yang berjalan gemulai melewati pematang.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Tanduk-tanduk kerbau yang menjadi hiasan di rumah Tongkonan. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Menengok sejarah, Rambu Solo jugalah yang memperkenalkan Toraja pada dunia. Syahdan, pada 1972, upacara kematian seorang raja digelar besar-besaran. Puang Sangalla disebut-sebut sebagai raja besar terakhir yang berdarah murni. Lebih dari 400 turis datang, termasuk tim dari National Geographic, serta duet Lawrence dan Lorne Blair yang sedang mendokumentasikan Indonesia dengan disponsori BBC dan Ringo Starr. “Upacara kematian Puang adalah ajang media internasional pertama. Rekamannya ditayangkan oleh televisi di sejumlah negara Eropa,” tulis Toby Volkman dalam Tana Toraja: A Decade of Tourism.

Sejak itu, industri pariwisata merekah. Pada 1976, sekitar 12.000 turis melawat, walau di masa itu perjalanan ke Toraja belum menjanjikan kenyamanan. Kakak beradik Blair misalnya, menghabiskan 14 jam berkendara dari Makassar dengan menaiki jip tentara. Perjalanannya menegangkan.

Di jalur rawan begal ini, wajar bagi sopir untuk menganut prinsip “lebih aman melihat daripada terlihat.” Saat mendapati kendaraan lain di kejauhan, lampu-lampu akan dipadamkan, hingga kedua mobil saling bersisian dalam gulita. Begitu tulis Lawrence Blair dalam Ring of Fire.

Memasuki 1980-an, Toraja kian jelas tertera di peta: hampir 200.000 turis datang. Pemerintah menetapkannya sebagai “primadona” Sulawesi. Gambar Tongkonan bahkan dicetak pada lembaran uang Rp5.000. Seiring itu, Toraja menikmati pertumbuhan hotel baru, ruas jalan baru, moda transportasi baru. Berbeda dari duet Blair, saya datang menumpang bus mewah yang sepertinya didesain untuk seorang rock star. Kursinya ditata dalam formasi 2-1 dan dilengkapi pemijat elektrik.

“Bus ini didatangkan dari Swedia,” kata pemiliknya. Pariwisata digadang-gadang sebagai masa depan Toraja. Lewat pariwisata, warga bisa mengail devisa guna menghidupi tradisi, termasuk menjaga rumah adat yang menuntut biaya perawatan tinggi. Lewat pariwisata pula, Toraja berharap mengikis demam merantau yang membuat banyak sawah terbengkalai. Tapi itu dulu. Usai bulan madu tourism boom yang gempita, pariwisata meratap masygul.

Menuju desa tenun Sa’dan, motor saya kembali meraung-raung. Baliho-baliho calon bupati bertaburan menebar janji. Di hadapan wajah-wajah rupawan mereka, jalan berkerawangan seperti papan yang digerogoti rayap. “Dulu, desa ini penuh turis. Saya sampai gak sempat makan,” Ibu Aminah bernostalgia pada masa lalunya yang gemilang. Kini, desanya sepi. Turis hanya datang di bulan-bulan liburan tengah tahun. Desa Sa’dan tidak lagi mencerminkan motif tenun Toraja yang bernyawa. Saya melewati ibu-ibu yang termenung muram, kemudian membayar tiket dan mengisi buku tamu. Turis terakhir datang dua minggu silam. Kemana mereka?

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Pembuat patung tau-tau di kawasan wisata Lemo. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Dunia Mengenal Toraja & 'Menghilangnya' Tau-Tau

Upacara kematian Puang Sangalla memang membuka pintu bagi dunia, tapi bukan cuma turis yang datang bertamu. Kolektor mulai merangsek untuk berburu artefak. Target mereka: tau-tau. Pada 1984, persis saat Toraja dideklarasikan sebagai destinasi “resmi” kedua setelah Bali, sebuah tau-tau dijual di sebuah galeri di Paris dengan harga $75.000. Empat tahun sebelumnya, Kompas memberitakan pencurian delapan tau-tau di makam tebing Lemo.

Bagaikan nisan tanpa aksara, tau-tau adalah totem suci yang dipandang sebagai representasi almarhum. “Menjual tau-tau seperti menjual nenek sendiri,” ujar seorang penjaga makam. Maraknya pencurian tak cuma menggemparkan, tapi juga mengherankan. Warga menempatkan makam di tebing-tebing tinggi sebagai respons atas penjarahan di masa lampau. Menjangkaunya butuh keahlian lokal. Siapa maling-maling lihai itu?

“Secara umum diasumsikan tau-tau dicuri dari tebing oleh anak kecil atau saudara dari para keluarga almarhum sendiri. Orang asing, kata warga, tidak bisa mengakses situs-situs pemakaman yang sulit dijangkau,” tulis Toby Volkman dalam jurnal American Ethnologist. Toby juga mengisahkan bagaimana makelar seni Eropa mengutus agen-agen lapangan yang dibekali lensa 300 milimeter untuk memotret tau-tau, kemudian menunjukkan hasilnya ke para kolektor. “Pada 1985, tau-tau, menurut banyak orang Toraja, hampir punah sepenuhnya.”

Raibnya banyak tau-tau mengguncang bisnis pariwisata. Turis datang dan mendapati bahwa tempat terbaik untuk melihat tau-tau bukanlah Toraja, melainkan galeri atau balai lelang di Eropa. Seorang turis Jerman yang kecewa bahkan sempat hendak menuntut Joop Ave, Dirjen Pariwisata kala itu, atas tuduhan promosi palsu.

Dan pencurian masih berlangsung. Di Kete’ Kesu’, kampung adat paling tersohor di Toraja, sebuah toko suvenir memajang beberapa tau-tau di ruangan belakang. Salah satunya terlihat kusam, tercampur tanah, berbaju compeng layaknya mayat yang baru bangkit dari kubur. Replika atau orisinal? Saya tak pandai menghitung umur kayu nangka.

“Usianya lebih dari 100 tahun,” kata si penjual. Saya menanyakan harganya dan si penjual menelepon rekannya, membuat transaksi ini terasa berlapis dan rahasia. “Jika lebih dari 100 tahun, berarti diambil dari makam?” tanya saya lagi berlagak bodoh. Si penjual tersentak, lalu menjawab gagap. Pencurian tau-tau bukan satu-satunya masalah. Industri pariwisata Toraja juga terpukul oleh fenomena global yang tak seorang pun mampu mencegahnya: modernisasi.

Hari baru dimulai saat saya mengunjungi kompleks makam Londa. Obyek andalan Toraja ini hanya didatangi lima turis, sudah termasuk saya dan fotografer. Saya melewati sejumlah keranda dan tabela berukir yang dipenuhi tulang-belulang, lalu memasuki gua alami di rahim tebing batu. Penjaga makam menyulut petromaks dan mengantarkan saya memasuki lorong yang penuh liku. Panoramanya mencekam. Sisa-sisa jasad bertaburan...

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Rumah-rumah tradisional yang sempat menjadi primadona pariwisata Toraja. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo



Bagaimana Menuju Toraja; 
—Rute
Toraja bisa dijangkau dari Makassar dengan menaiki bus. Salah satu operatornya, Primadona (Jl. Perintis Kemerdekaan Km.13, Ruko Bukit Khatulistiwa Blok B/8, Makassar; 0811-4497-212), memiliki bus mewah dengan kursi yang menyerupai kelas bisnis pesawat. Ada dua jadwal keberangkatan: pukul 21:00 dan tiba pukul 06:00, atau pukul 09:00 dan tiba pukul 18:00. Pesawat sebenarnya tersedia, tapi jadwalnya kadang direvisi mendadak. Aviastar (aviastar.biz) melayani penerbangan dari Makassar menuju Bandara Pongtiku dua kali per minggu. 
—Penginapan
Selain menawarkan 134 kamar yang disebar dalam bangunan berbentuk tongkonan, Toraja Heritage Hotel (Jl. Kete Kesu, Rantepao; 0423/211-92; toraja-heritage.com) memiliki kolam renang yang fotogenik, serta menawarkan akses mudah ke desa-desa adat. Berdiri di atas lahan seluas delapan hektare, Misiliana Hotel (Jl. Pongtiku 27, Rantepao; 0423/212-12; torajamisiliana.com) menaungi dua kolam renang, ballroom, restoran, spa, serta 98 kamar. Hotel ini juga menawarkan pengalaman homestay: menginap di tongkonan tua yang telah disulap menjadi suite. 
—Makan & Minum
Restoran terbaik umumnya hanya terdapat di hotel. Salah satu yang berhasil menembus dominasi itu adalah Mambo (Jl. DR. Sam Ratulangi 34, Rantepao; 0423/211-34; mamborestaurant.co), restoran yang menyuguhkan beragam menu, termasuk masakan lokal pa’piong dan pamarrasan. Sarang hangout populer di kalangan turis, Café Aras (Jl. A. Mappanyukki 64, Rantepao; 0823-9627-5688), menawarkan bangunan yang sejuk di tengah kota Rantepao yang bising. Bagi penikmat kopi, dua tempat yang layak didatangi adalah Warung Kopi Toraja (Jl. Poros Makale, Rantepao; 0852-4824-7654) dan Hotel Pison (Jl. Pongtiku 2 No.8, Rantepao; 0423/213-44). 
—Aktivitas 
Situs-situs tua masih menjadi obyek andalan di peta wisata. Untuk menyaksikan menhir, pergilah ke Rante Kalimbuang di Bori’. Di Londa, kita bisa memasuki makam gua, sementara di Lemo kita bisa menyaksikan tau-tau dalam desain orisinal. Kampung adat yang paling tersohor, Kete’ Kesu’ lazim dijadikan tempat upacara-upacara besar. Dibandingkan desa adat lain, Buntu Pune’ relatif masih autentik. Kala di sini, carilah Marla, sarjana arkeologi yang lancar bercerita tentang kebudayaan Toraja, termasuk tentang benteng di samping desanya.
Desa-desa tenun terpusat di sisi timur laut, salah satunya Sa’dan To’ Barana. Bawa uang tunai jika ingin berbelanja. Jika ingin menyerap panorama Toraja yang paling karismatik, pergilah ke Batutumonga. Bawalah sepatu trekking, karena Anda pasti tergoda untuk mengarungi sawah dan lembah hijaunya. 
—Informasi 
Menyewa pemandu adalah metode terbaik. Tapi jika ingin berwisata secara mandiri, Anda bisa menyewa mobil, kemudian menggali informasi dari pihak DMO (visittoraja.com) atau Swisscontact (Jl. Makula’ Tampo, Sangalla, Makale Utara; 0423/264-43; swisscontact.or.id). Peta wisata baru belum dicetak, tapi versi lamanya masih tersedia di kantor Dinas Pariwisata Toraja Utara (Jl. Ahmad Yani 62A, Rantepao; 0423/212-77). Rambu Solo umumnya digelar di tengah tahun. Upacara kematian ini menampilkan prosesi pengorbanan kerbau dan babi. Tamu sepatutnya memberikan sesuatu kepada keluarga almarhum. Idealnya, berupa seekor babi, tapi kita bisa menggantinya dengan satu slof rokok atau beberapa kilogram gula pasir. Siapkan pakaian hitam jika ingin hadir.


Oleh: Cristian Rahadiansyah

Foto oleh: Suryo Wibowo



Sumber: DestinAsian