Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Penunjuk arah Suaya, makam para Bangsawan Sangalla'.
Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave

Menurut beberapa penuturan, upacara Rambu Solo paling besar dan meriah adalah saat pemakaman penguasa Sangalla' terakhir, Puang Laso Rinding atau yang dikenal Puang Sangalla’, pada tahun 1972. Saat itu juga Rambu Solo Puang Sangalla didokumentasikan oleh National Geographic sehingga menjadikan Tana Toraja mulai masyhur di dunia internasional. Semenjak itu, banyak wisatawan dari berbagai penjuru dunia datang ke Toraja dan menyaksikan upacara Rambu Solo.

Kita akan ke Suaya. Ke tempat makam raja-raja Sangalla’ dan keluarganya.” Basho menginformasikan tujuan selanjutnya. Daerah Sangalla terletak sekitar 10 km di sebelah timur Makale.

Matahari sudah mulai menampakkan wujudnya. Mendung yang dari tadi menggelayut, perlahan-lahan membuka diri. Ia memberi kesempatan langit biru menjadi atap yang indah bagi Tana Toraja. Sayangnya, masih malu-malu. Belum sepenuhnya tulus mengantarkan matahari mengeringkan tanah-tanah yang basah, sisa hujan. Matahari pun terhijab lagi oleh mendung putih. Romansa langit biru yang menjadi kombinasi bumi hijau menguning masih sebatas imajinasi.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Sebuah kubur tanpa Tau tau. Tau-tau diselamatkan karena rawan pencurian. 

Tatkala masuk menyusuri area persawahan dari Makale menuju Sangalla', kami berhenti. Sebuah tebing dengan pahatan persegi panjang berlubang-lubang menyambut pandangan kami. Kosong tak ada isinya...

Harusnya di dalam lubang itu ada Tau-tau, patung boneka dari orang yang dikuburkan di tebing batu. Hanya saja oleh keluarganya, Tau-tau ini disimpan di Tongkonan yang terletak di bawahnya.” Jelas Basho.

Lho kenapa disimpan? Tidak dipajang?

Tau-tau rawan dicuri. Banyak orang asing ingin mengoleksi Tau-tau. Mereka terpesona dengan aura keunikan dan keindahan Tau-tau. Padahal, Tau-tau dipercaya untuk melindungi keluarga yang masih hidup.“ Saya paham dan sependapat dengan Basho. Miris memang. Masih ada juga orang Indonesia yang mau mengorbankan kekayaan tradisi yang tak ternilai harganya demi memenuhi kebutuhan satu dua orang asing. Hanya demi memperoleh banyak uang.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Panorama persawahan dengan latar belakang batuan granit bergerigi sepanjang Makale-Suaya. Eksotis. 

Perjalanan dilanjutkan ke Suaya. Panorama sawah bertingkat-tingkat memanjakan pandangan. Hutan di perbukitan hijau lestari. Jejeran pegunungan granit di kejauhan menyedapkan horison. Semakin elok tatkala formasi alam ini diselingi rumah-rumah Tongkonan yang begitu khas Toraja. Tak terasa, saya sudah tiba di tempat parkir Suaya.

100 meter berjalan di setapak yang masih basah. Aroma kesakralan peristirahatan para raja dan bangsawan mulai terasa. Sayangnya, area ini terkesan kurang terawat. Rumput-rumput liar tumbuh sesuka hatinya. Tempat ini sepi pengunjung. Rasanya kami adalah satu-satunya pengunjung saat itu. 

Sebuah tebing tegak lurus menjadi akhir pandangan mata saya. Kira-kira setinggi 70 meter. Puluhan Tau-tau menyambut saya dengan tangan terentang. Seperti sebuah sambutan yang ramah dari mereka untuk kehadiran saya.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Deretan Tau-tau tua dengan tangan merentang. Seolah menyambut kehadiran pengunjung.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Kubur tebing batu Suaya, makam Ningrat Sangalla'

Tau-tau Suaya termasuk yang tua di Toraja. Ada yang berusia hingga ratusan tahun. Mereka berjejer rapi di atas tebing dengan memakai pakaian adat khas Toraja. Tau-tau seluruh mendiang lengkap di Suaya. Di samping lubang Tau-Tau, ada beberapa lubang dengan pintu kayu yang di dalamnya jasad-jasad darah biru Sangalla ini ditaruh untuk dimakamkan.

Lihat di bawahnya, ada kuburan berada di tanah.” tunjuk Basho. “Itu adalah pemakaman bagi bangsawan Sangalla yang beragama Islam.” Tertulis di nisan putih bernama Haji Puang Lai Rinding. Lahir tahun 1905, wafat 23 April 1988.  Makam Islam adalah keunikan yang menjadikan Suaya berbeda dibandingkan kuburan batu lain di Toraja.

Menurut Basho, Haji Puang Lai Rinding adalah bangsawan Toraja yang merantau keluar dari Tana Toraja. Kemudian dia memeluk Islam hingga berhaji ke Mekkah. Meski demikian, sebagai orang Toraja, dia tetap menghormati leluhurnya dengan berpesan dikuburkan di tanah asalnya. Sebaliknya, orang Toraja juga menghargai agama Islam yang dianut bangsawan Lai Rinding ini. Penguburan di atas tanah adalah sebuah ‘komunikasi’ yang mengedepankan toleransi dalam masyarakat Toraja.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Makam muslim Bangsawan Sangalla' Toraja. Berbeda dengan tradisi asli Toraja.
Dalam kepercayaan Suku Toraja, tanah dianggap sebagai elemen suci. Maka, masyarakat Toraja tidak akan mengubur mayat di dalam tanah, tetapi di dalam batu atau pohon. Secara geografis, tradisi ini dipengaruhi oleh bentang alam Toraja. Tana Toraja dihiasi oleh pegunungan dan batu granit raksasa sehingga memungkinkan tradisi itu dilaksanakan.
Di depan arah kanan dari kaki bukit dibangun sebuah bangunan mirip Tongkonan untuk menaruh barang-barang milik mendiang. Di sampingnya ada pondok penyimpan beberapa perlengkapan penguburan. Ada juga bangunan cukup besar yang menyimpan beberapa barang kerajaan Sangalla. Hanya saja, sebagian besar barang kerajaan tak di sini, melainkan disimpan di Museum Buntu Kalando yang merupakan bekas istana Puang Sangalla. Museum ini terletak di atas bukit di Desa Kaero, Sangalla, tak jauh dari Suaya. 

Kuburan Batu Suaya merupakan persembahan kepada Puang Tamboro Langi’ dan keturunannya. Puang Tamboro Langi’ merupakan pendiri sekaligus penguasa pertama wilayah Kalindobulanan Lepongan Bulan (Tana Toraja). Menurut hikayat, dia turun dari langit di puncak Gunung Kandora di Kecamatan Mengkendek, Tana Toraja pada pertengahan abad 4 M.

Tanah adalah elemen suci bagi orang Toraja. Sehingga makam dibuat di atas tebing.
Tanah adalah elemen suci bagi orang Toraja. Sehingga makam dibuat di atas tebing.

Selanjutnya oleh keturunannya, yakni Puang Bullu Mattua, wilayah Lepongan Bulan dibagi menjadi tiga wilayah (lembang) yaitu Makale, Sangalla’, dan Mangkendek. Pembagian ini dilakukan di atas suatu landasan sumpah yang disebut Basse Tallu Lembangna. Ketiga wilayah ini berkuasa penuh memerintah dan mengatur wilayahnya masing-masing. Pemimpinnya disebut Puang Basse Kakanna Makale, Puang Basse Tangngana Sangalla’ dan Puang Basse Adinna Mengkendek.

Meski demikian, secara simbolis ada Puang Tomatasak Kalindobulanan Lepongan Bulan yang selalu dijabat oleh Puang Basse Tangngana Sangalla’ selama 13 periode mulai dari Puang Palodang sampai Puang Laso’Rinding (Puang Sangalla’). Wilayah Sangalla mewarisi asli Lepongan Bulan karena Tongkonan Layuk Kaero yang merupakan istana Lepongan Bulan dibangun oleh Puang Patta La Bantan itu berada di wilayah Sangalla’.

Hadir di Suaya, seperti melemparkan saya kepada sejarah panjang Tana Toraja. Khususnya masa lalu Bangsawan Sangalla. 

Namun, matahari perlahan beranjak naik. Sudah mulai menuju siang. Saya melangkahkan kaki kembali ke tempat parkir. Melangkahkan kaki kembali ke masa kini. Terjaga lagi pada kesadaran untuk menjelajahi khasanah Toraja. Masih banyak destinasi Toraja yang lain.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Lettoan, miniatur bentuk Tongkonan, bekas keranda pembawa jenazah diletakkan di kaki tebing.
Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Tau-tau berjejer rapi di atas tebing.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Tau-tau yang masih baru milik bangsawan Sangalla'.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Sebuah bangunan berbentuk rumah adat Tongkonan, dijadikan tempat menyimpan alat pekuburan.



Artikel dan Foto: Iqbal Kautsar | @iqbal_kautsar

Tentang Penulis:
Iqbal Kautsar, seorang; Pemakna khasanah INDONESIA | Pejalan dan pencerita perjalanan | Pecinta kopi, durian dan brotowali | Yogyakarta dan Kebumen |

Anda bisa menghubunginya melalui email: iqbalkautsar@gmail.com

Sumber: artikel ini sebelumnya diposting dalam blog pribadi penulis _DIASPORA IQBAL_ dan atas izin dari penulis, artikel ini kami posting kembali untuk menambah informasi tentang pariwisata di Indonesia khususnya di Toraja.

Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'

Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Papan penunjuk lokasi ke Kambira Baby Grave.
Bambu-bambu tumbuh lebat. Saling tegak merapat. Tak tersisa celah untuk membiarkan terik surya mengeringkan tanah basah. Sejuk nan lembab ketika saya menapak jalan menyusuri hutan bambu di Toraja.

Di tengah hutan bambu, sebuah pohon Tarra’ berdiameter sekitar 80 cm tampak gagah berdiri. Kontras dengan lingkungan sekitarnya. Pada batang pohon ini, beberapa ijuk berbentuk persegi menempel layaknya sebuah aksesoris. Ijuk ini berasal dari pohon enau yang digunakan sebagai penutup sebuah lubang tempat ditaruhnya mayat-mayat bayi. Ya, itu adalah kuburan pohon untuk bayi atau disebut ‘passiliran‘. Kambira Baby Grave.

“Bayi yang dikuburkan di pohon ini adalah yang belum tumbuh giginya. Orang Toraja menganggap bayi yang giginya belum tumbuh itu masih suci.” jelas Basho sembari menunjuk ke arah pohon. 

Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Melintasi hutan bambu, menuju kuburan bayi.
Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Kambira, Kuburan Bayi di Pohon Tarra'.
Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Pohon Tarra' menjadi rahim jasad bayi yang dikuburkan. Ditutupi oleh ijuk.
Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Jamur pun tumbuh di pohon Tarra di dekat lubang makam. Pohon Tarra' memang "menghidupi".
Dengan menguburkan bayi di pohon Tarra‘, orang Toraja menganggap bayi ini seperti dikembalikan ke rahim ibunya. Mereka berharap, pengembalian bayi ini ke rahim ibunya akan menyelamatkan bayi-bayi yang lahir kemudian. Pohon Tarra‘ dipilih sebagai tempat menguburkan bayi, karena pohon ini memiliki banyak getah berwarna putih, yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu.

Pemakaman seperti ini dilakukan orang Toraja pengikut Aluk Todolo (kepercayaan kepada leluhur). Upacara penguburan dilaksanakan secara sederhana. Bayi yang dikuburkan tidak dibungkus kain, sehingga benar-benar seperti bayi yang masih berada di rahim ibunya.

Tampak ada ijuk yang kendor pengikatnya. Saya tertarik mendekat. Kebetulan terletak di sisi kanan pohon yang dekat dengan setapak. Melongok dari bawah untuk menghalau penasaran. Ternyata, lubang tempat bayi diletakkan sudah tidak ada. Lubang itu telah menyatu menjadi badan pohon yang utuh. Getah pohon Tarra’ telah menyatukan jasad sang bayi ke rahim pohon, layaknya rahim sang ibunya.

“Di Toraja, sebenarnya banyak ditemukan kuburan pohon semacam itu. Hanya saja letaknya di tengah hutan. Susah menjangkaunya. “ungkap Basho. “Kambira ini sudah tua usianya. Sekarang, tidak digunakan lagi.” Sambil kami melangkah keluar menembus kembali rerimbunan hutan Bambu.

Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Perempuan tua Toraja turut menjaga loket Kambira Baby's Grave.
Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Tau-tau mini dijual sebagai cindera mata.
Seorang ibu yang renta datang menghampiri kami. Menjajakan beberapa souvenir khas Toraja. “Kaos Torajanya, silakan dibeli untuk cinderamata.” Namun, entah kenapa malah Basho asyik mengobrol dengan ibu itu. Tentunya dengan bahasa Toraja. Ah, saya tidak paham apa yang mereka katakan. Saya memutuskan menuju ke toko-toko cinderamata.

Deretan tau-tau mini menyambut saya. Matanya menganga lebar seakan dia memerhatikan saya sungguh-sungguh. Ah, bukan. Ternyata saya saja yang terlalu terpesona pada keindahan ukirannya. Di samping tau-tau, ada juga kotak-kotak berukiran motif toraja. Sangat indah dengan abstraksi dan geometri yang khas. 

Sayangnya, kantong saya lagi tipis. Ini tidak indahnya. Saya pun hanya melambaikan tangan kepada tau-tau cantik itu. “Maaf, saya tidak membawamu bersamaku. Semoga suatu saat nanti kau bisa ikut bersamaku.”

Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Seekor kerbau sedang merumput di samping Alang Sura'. Di kawasan Tongkonan Kambira.



Artikel dan Foto: Iqbal Kautsar | @iqbal_kautsar

Tentang Penulis:
Iqbal Kautsar, seorang; Pemakna khasanah INDONESIA | Pejalan dan pencerita perjalanan | Pecinta kopi, durian dan brotowali | Yogyakarta dan Kebumen | 

Anda bisa menghubunginya melalui email: iqbalkautsar@gmail.com

Sumber: artikel ini sebelumnya diposting dalam blog pribadi penulis _DIASPORA IQBAL_ dan atas izin dari penulis, artikel ini kami posting kembali untuk menambah informasi tentang pariwisata di Indonesia khususnya di Toraja.


Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Suasana kampung Nanggala di malam hari. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
"Di akhir perjalanan, saya tertarik dengan potongan ucapan salah satu anggota keluarga mendiang. Beginilah kehidupan di Toraja, bertahun-tahun mencari uang akhirnya hanya dihabiskan dalam sekali waktu saat Rambu Solo atau pemakaman. Kematian adalah hal yang mewah dengan harapan roh yang meninggal dapat menuju alam baka dengan keceriaan dan ketenangan." _ Alfian Widiantono Suroso (Aan)

Malam hampir berganti hari, mobil akhirnya sampai di tujuan terakhir. Enggan rasanya  pantat ini beranjak dari kursi akibat lelah menggelayut efek dari perjalanan panjang nonstop, 4 jam Jakarta-Makassar via udara, 10 jam Makassar-Rantepao via bis, dan 45 menit Rantepao-Nanggala via mobil jemputan. Satu-satunya penyemangat bagi Kami untuk bangkit adalah nyala lampu dari susunan bangunan yang bentuknya selalu terbayang di pikiran Saya seharian ini. Tak lama beranjak, akhirnya susunan bangunan dengan kedua ujungnya yang lancip tersaji langsung di depan mata, Tongkonan, rumah adat Toraja. Lelah pun berganti dengan semangat dan rasa penasaran dengan apa yang akan Saya hadapi esok hari.
***
Night was about leaving us. Our car finally took us to final stop for that day. It was very hard for me leaving my seat because I was very exhausted due to our long journey. It was a non-stop trip which spent 4 hours air travel from Jakarta to Makassar, 10 hours Makassar-Rantepao journey via bus, then 45 minutes via car from Rantepao to Nanggala.The last spirit left emerged from lights that was shining from the building of which structures has obsessed my mind all day long. Before long, we officially hopped on in the location where I could enjoy the beauty of Tongkonan, traditional house of Toraja, completed with two sharp and pointed ends. Its beauty was totally successful in spoiling my eyes. My tiredness suddenly disappeared and turned into a blow of spirit which led me to get so excited and curious on things I would get on the next day.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Lakkian, tempat menaruh jeazah sebelum dikuburkan di liang batu. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Ornamen yang menghiasi sisi Lakkian. Foto: Aan
Bersama dua orang rekan, Fatur dan Yoyo, Kami merasa cukup beruntung bahwa perjalanan kami yang pertama kali ke bumi Sulawesi ini bertepatan dengan berlangsungnya Rambu Solo, upacara pemakaman adat khas Toraja. Saat itu di kampung Nanggala tengah diadakan pemakaman bagi Elisa Siman Pongpalita, yang meninggal tahun 2005 lalu pada usia 80 tahun. Mendiang adalah salah satu tokoh masyarakat sekaligus keturunan ke enam Raja Luwu, salah satu penguasa Toraja jaman dulu. Kami datang agak terlambat sebenarnya. Karena acara prosesi yang memakan waktu hampir satu minggu ini sudah berlangsung 3 hari sebelum kami tiba di Nanggala. Akibatnya kami terlewatkan 3 prosesi, pemindahan jenazah dari rumah Tongkonan ke Alang/Lumbung (tempat menyimpan padi) lalu ke Lakkian (tempat khusus menaruh jenazah sebelum dimakamkan) , penyambutan tamu dan Ma’pasilaga Tedong atau adu kerbau. Namun demikian tetap saja kami beruntung karena bisa mengikuti sisa prosesi secara lebih dalam, karena kami tinggal di Lantang , yaitu bangunan yang dibuat khusus untuk para tamu dan keluarga yang menginap dalam rangka menghadiri Rambu Solo ini. Jadi kami memiliki kesempatan untuk mengenal dan memahami budaya Toraja secara lebih mendalam. Semua ini berkat bantuan dari seorang teman, Theresia Kurniasari Pongpalita, yang tak lain adalah cucu mendiang.
***
Together with Fatur and Yoyo, my companions during this journey, we felt lucky enough since this very first journey to Sulawesi gave us chance to look closer at Rambu Solo, Toraja’s traditional funeral ceremony. At that time, there was a funeral ceremony for Elisa Siman Pongpalita at Nanggala village. Elisa passed away in 2005 at the age of 80. The deceased was not only one of community figures but also was the sixth generation of King Luwu, one of the ruler of Toraja in the past time. To be honest, we were a bit late since the ceremony has run for three days before we arrived at Nanggala. That forced us leave three processions includes moving the dead body from Tongkonan to Alang/Lumbung (a place to store paddy), which was followed by moving it to Lakkian. It was a special place to put the dead body before burying it. The procession continued to guest welcoming, and Ma’pasilaga Tedong or buffalo fight. But still above all, we felt so grateful since we’re living in Lantang, a special building for guests and family. It gave us access to experience the rest of the procession to the full. A friend of us namely Theresia Kurniasari Pongpalita, the grandchild of the deceased, gave us a huge help to know and understand the culture of Toraja deeply.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Salah satu kerabat almarhum. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Ma'tinggoro Tedong, tradisi menyembelih kerbau dengan sekali tebas. Foto: Aan
Hari pertama, atau hari keempat rangkaian prosesi, Kami disuguhi dengan prosesi Ma’tinggoro Tedong atau penyembelihan kerbau khas Toraja, yaitu menyembelih dengan parang dan hanya dengan sekali tebas. Sebenarnya bukan hanya kerbau saja yang dikorbankan, tapi ada juga babi. Kerbau dan babi ini adalah persembahan dari keluarga sebagai bentuk persembahan terakhir bagi almarhum. Total ada 17 kerbau dan 3 ekor babi yang dikorbankan, termasuk 1 ekor kerbau belang atau biasa disebut Tedong Bonga. Sekedar diketahui, semakin banyak belangnya, semakin mahal harganya. Kisaran harga kerbau belang bisa mencapi sampai ratusan juta rupiah. Bandingkan dengan kerbau biasa yang berharga sekitar 20 juta. 
***
On my first day, or the fourth day of the series of procession, we watched Ma’tinggoro Tedong procession. It was a procession of buffalo slaughtering. What makes it special is that its way of cutting buffalo’s head. The slaughterer used chopping knife with a single cutting movement. Not only buffalo, pigs are also another animal that could be sacrificed. Buffalo and pig are the form of last tribute for the family for the deceased. There were 3 pigs and 17 buffaloes including one Tedong Bonga, a buffalo with strips over its body. The bigger number of strip existed in the buffalo’s body, the higher price should be paid for it. The price of one Tedong Bonga could be hundreds of millions rupiahs. As a comparison, the price of regular buffalo is about 20 millions rupiahs.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Membersihkan bulu babi dengan cara dibakar sebelum dipotong. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Menguliti kerbau yang sudah disembelih. Foto: Aan
Selanjutnya daging dan organ kerbau atau babi ini dimasak untuk disajikan ke keluarga dan dibagi-bagikan atau dilelang ke para tetangga dan orang-orang yang terlibat dalam acara pemakaman. Yang unik adalah tanduk kerbau yang setelah dibersihkan kemudian dipasang di bagian depan Tongkonan sebagai penanda jumlah kerbau yang dikorbankan oleh keluarga. Semakin banyak tanduk yang dipasang, artinya semakin makmur juga keluarga yang bersangkutan.
***
After being cut to pieces, the organ and meat of these buffaloes or pigs was cooked before it was served to the family. Then, it was given or sold by auction to the neighbours or any other people who were involved in the ceremony. There is a unique thing from this series of procession, related to the use of buffalo’s horn which was placed in the front part of Tongkonan. For sure, the horn was cleaned initially. The point of this part of custom is as indicator to show the number of buffaloes which have been sacrificed by the family. More horns show higher level of family’s wealth.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Anggota keluarga almarhum sedang meratap. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Foto bersama keluarga almarhum. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Ludia Ramma, istri kedua almarhum. Foto: Aan
Hari kedua, atau hari kelima rangkaian upacara sekaligus hari terakhir, berlangsung prosesi penurunan peti jenazah dari Lakkian ke lapangan yang biasanya berada di depan Tongkonan. Peti jenazah ini kemudian dirangkai dengan Lettoan/Duba-Duba, yaitu keranda khas Toraja yang bentuknya mirip atap Tongkonan. Di tengah prosesi perangkaian ini, beberapa anggota keluarga tampak menangis. Dua orang diantaranya bahkan histeris meratap di samping keranda. Ada kejadian langka sebelum prosesi ini berlangsung. Saat itu para keluarga dan orang-orang yang terlibat dalam proses berkumpul di pinggir lapangan dan beberapa orang yang kami yakini tokoh masyarakat setempat bergantian berorasi dalam bahasa Toraja. Kami tidak tahu persis apa maknanya, tapi dari teman kami Sari, kami tahu bahwa mereka tengah menyuarakan kegelisahan dan penolakan mereka terhadap pemerintah daerah dan gereja setempat yang melarang adanya prosesi adu kerbau dan adu ayam yang berlangsung selama prosesi Rambu Solo karena dianggap kental berbau judi. Padahal ritual tersebut memang sudah menjadi bagian tradisi Rambu Solo sejak dulu kala.
***
On the second day, which was also the last day in the ceremony, the procession of coffin lowering from Lakkian to the field was held. Most of the time, the field is located in front of Tongkonan. In the middle of the procession, I saw some members of the family were in tears. Two of them even cried hysterically while staring at the coffin. There was a rare moment happened on the procession. At that time, the family and people who were involved in the ceremony gathered at the edge of the field. Some people who we believed as local figures deliver an oration in turn by using local language. It made us have no idea on what they talked about. From Sari, we know that they talked about their worry and rejection to local government and church that prohibit the implementation of chicken or buffalo fight during the procession of Rambu Solo as it indicates gambling activity. This situation is in contrast with their belief which considers it merely as a ritual in parts of Rambu Solo’s tradition.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Proses menurunkan peti jenazah dari Lakkian. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Prosesi saling menarik Lettoan/duba-duba dengan arah berlawanan. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Mengarak Lettoan/duba-duba. Foto: Aan
Peti telah dipasang pada Lettoan/Duba-Duba. Ada satu prosesi unik, yaitu secara beramai-ramai peti jenazah diangkat sementara orang-orang pembawa peti berjingkrak-jingkrak sambil meneriakkan semacam mantra. Sebenarnya rencana awal mendiang akan dimakamkan ke kubur batu. Namun karena kondisi lubang di tebing yang akan dijadikan makam masih kurang memadai, maka peti disemayamkan dulu di Patane, yaitu rumah khusus untuk menaruh peti jenazah. Nanti setelah lubang kubur batu diperbaiki, barulah peti dipindahkan lagi. Peti pun dibawa beramai-ramai dengan dikawal pembawa gong dan umbul-umbul. Orang-orang beramai-ramai berteriak dengan sesekali terjadi prosesi unik yaitu para pembawa Duba-Duba yang jumlahnya banyak itu menarik dengan arah yang berbeda, ke depan dan belakang. Sesampainya di Patane, peti jenazah dimasukkan ke dalam, bergabung dengan lima peti lainnya.
***
There is another unique procession which got my full attention. I was amazed seeing people who lifted the coffin pranced while shouting a kind of spell. The initial plan was burying the body in a sarcophagus. However, the condition of the cliff did not support it at that time. There were holes in the cliff which would be used as the grave. Therefore, the coffin was placed in Patane, a special house to put the coffin. After fixing the holes in the cliff, the coffin will be moved. The coffin was brought by many people who were guided by some people bringing gong and umbul-umbul. Gong is part of Gamelan instruments, a traditional musical instrument made of brass, while umbul-umbul is a kind of flag which is usually used to celebrate special events such as country’s Independence Day. Those people yelled during the procession. I wondered on the thing that they did, especially when they pulled the coffin in some different directions, back and forth. Once they got to Patane, the coffin was placed into the house, together with other five coffins.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Patane, bangunan tempat menaruh peti jenazah. Foto: Aan
Malam harinya, sambil menikmati suguhan kopi toraja, kami mengobrol dengan beberapa anggota keluarga almarhum. Inilah kesempatan untuk mencari informasi. Kenapa harus ada upacara Rambu Solo ini? Itulah pertanyaan pertama yang terlontar. Tidur atau sakit. Ya itulah jawabannya. Meninggal secara medis, bagi tradisi Toraja baru dianggap sebagai tidur atau sakit, sampai keluarga bersangkutan melaksanakan Rambu Solo. Tidak heran, sebelum Rambu Solo diadakan, almarhum masih diperlakukan layaknya orang hidup seperti ditemani, disediakan makan minum dan rokok. Selain itu menurut ajaran Aluk To Dolo (kepercayaan tradisional Toraja), Rambu Solo adalah bentuk penghormatan terakhir bagi anggota keluarga yang meninggal sebelum menuju alam baka.
***
At night, we chatted with some family members of the deceased while enjoying a cup of coffee, special from Toraja. At this moment, we asked some questions to get deeper understanding on their way of life. The first question was why they should hold Rambu Solo. A very short answer came out at that time. They said, ‘sick or sleep’. It might be short but not so simple to understand. For them, someone is considered as dead person only when Rambu Solo is conducted for him or her. When the family has not conducted this procession, it means that they are considered in a condition of ‘sick or sleep’. This belief makes them treat the deceased as if they are alive. They accompany, give food, drink, and even cigarette to them. Besides, according to the lesson from Aluk To Dolo (traditional belief of Toraja), Rambu Solo is a form of last admiration to the family members who passed away before going to afterlife.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Lanskap persawahan di kampung Nanggala. Foto: Aan
Dalam tradisi Toraja sendiri dikenal empat jenis tingkatan Rambu Solo. Dipasang Bongi, upacara yang berlangsung hanya satu malam saja. Dipatallung Bongi, berlangsung tiga malam di rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan. Dipalimang Bongi, berlangsung lima malam di rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan. Terakhir, Dipapitung Bongi, berlangsung selama tujuh malam dengan disertai pemotongan hewan setiap malamnya. Semakin tinggi strata sosial si almarhum, semakin lama waktu prosesinya. Dalam hal ini, pemakaman bagi almarhum Elisa Siman Pongpalita termasuk dalam Dipalimang Bongi.
***
In Toraja’s tradition itself, there are four levels of Rambu Solo. The first is Dipasang Bongi. It lasts only for a day. The next is called Dipatallung Bongi. It last for three days. It was located at the house of the deceased together with the implementation animal slaughtering, meanwhile Dipalimang Bongi, which is almost the same as ‘Dipatallung Bongi’ last for five days. The last is called Dipapitung Bongi, it last for seven days with animal slaughtering done every night. The higher social status, the longer time of the procession it will take. In this case, the funeral of Elisa Siman Pongpalita belongs to Dipalimang Bongi.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Barisan Alang/Lumbung di depan rumah adat Tongkonan di Kete Kesu. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Kubur di tebing batu Lemo. Foto: Aan
Uang dan waktu. Itulah jawaban untuk pertanyaan Kami berikutnya, kenapa Rambu Solo bagi mendiang baru diadakan tahun 2013, berselang hampir delapan tahun sejak almarhum mulai ‘tidur’. Rambu Solo butuh biaya yang banyak. Meskipun keluarga almarhum tidak menyebut secara detil, tapi kami perkirakan untuk melaksanakan Rambu Solo yang sedang kami ikuti ini menghabiskan lebih dari lima ratus juta, bahkan bisa hampir satu milyar. Untuk membuat bangunan dan ornamennya saja menghabiskan empat ratus juta sendiri. Belum lagi hewan persembahan dan biaya operasional selama upacara berlangsung. Ketika uang sudah terkumpul, yang tak kalah sulitnya adalah menemukan waktu yang tepat untuk mengumpulkan anggota keluarga. Hal ini berkaitan dengan adanya ketentuan bahwa semua anggota keluarga wajib hadir ketika Rambu Solo berlangsung. Almarhum sendiri memiliki dua orang istri. Istri pertama, Yohana Tambing, menghasilkan dua orang putri, Corry Taruk Datu dan Alberthin Siman Taruk. Kemudian dengan istri kedua, Ludia Ramma, menghasilkan dua orang putra, Samuel Barumbun dan Yusuf Kadang Pongtinamba.
***
Then, we asked on the reason why Rambu Solo for Elisa Siman Pongpalita was done in 2013, almost 8 years after she was in the stage of considered as ‘sleeping’. They said it was about money and time. Rambu Solo needs a high budget. Though they did not mention it in detail, we calculated the cost. It could reach five hundred millions rupiahs or even until one billion rupiahs. To make the building and its ornament they spent almost four hundreds millions rupiahs. It did not include the animals and operational cost during the procession happened. Further, when the family has been able to gather the money, it was quite hard to find a perfect time to gather all members of the family. It is related with the requirement which states that all family members have to come when Rambu Solo is held. In this case, the deceased has two wives. The first wife is Yohana Tambing. From her, they have two daughters, Corry Taruk Datu and Alberthin Siman Taruk. Then, from his second wife namely Ludia Ramma, he has two sons. They are Samuel Barumbun and Yusuf Kadang Pongtinamba.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Miniatur Tau-tau. Foto: Aan
Selain budayanya yang khas, Toraja dianugrahi tanah yang subur dengan lanskap dinding bukit yang seolah menjadi benteng alam. Setidaknya itu yang muncul dalam benak Saya ketika di hari terakhir kami mengunjungi lokasi-lokasi makam batu yang sekaligus menjadi obyek wisata di Toraja seperti Kete’kesu, Londa dan Lemo. Di akhir perjalanan, kami tertarik dengan potongan ucapan salah satu anggota keluarga mendiang Elisa yang ikut menemani kami. Beginilah kehidupan Toraja, bertahun-tahun mencari uang akhirnya hanya dihabiskan dalam sekali waktu yaitu saat Rambu Solo atau pemakaman. Kematian adalah hal yang mewah dengan harapan roh yang meninggal dapat menuju alam baka dengan keceriaan dan ketenangan. Dan itulah bentuk penghomatan terakhir dari mereka yang ditinggalkan.
***
Not only owning a special culture, Toraja is blessed with a fertile land with landscape of hill wall which is acted as natural cover. That was my thought on our last day in the land of Toraja when we visited some locations of sarcophagus. These places also become some tourist destinations in Toraja. They are Kete’kesu, Londa and Lemo. At the end of the journey, we were interested in what was said by one of the family members of Elisa who accompanied us. He said, “This is life in Toraja, we spent years to look for money then spent it all at once in Rambu Solo or funeral”. Death is a luxurious with an expectation that the soul of the deceased successfully reach afterlife stage to get happiness and peace. That is the last honor given from the persons who are left behind.


==========

Artikel dan Foto oleh:

Alfian Widiantono Suroso (Aan)
Indonesian-based photographer & volunteer. Sharing the inspirations through images & words. A man who believes, both home and school are everywhere.


Sumber: Artikel ini sebelumnya telah diposting oleh Penulis di blog pribadinya [aansmile.wordpress.com] dengan judul sama TORAJA, HIDUP UNTUK MEWAHNYA KEMATIAN (LIFE FOR A LUXURIOUS DEATH). Guna menyebarkan informasi tentang salah satu khasanah budaya Nusantara yakni budaya Toraja, maka artikel ini kami posting kembali.


Terimakasih kami kepada Penulis. :)

Semoga bermanfaat...

Kajian Antropologis Suku Toraja, Sebuah Makalah

Kajian Antropologis Suku Toraja, Sebuah Makalah
 Mengenal suku Toraja dalam Kajian Antropologis Suku Toraja. (sumber foto)
Kajian Antropologis Suku Toraja, Sebuah Makalah

BAB I PENDAHULUAN

1.1    Latar belakang

Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi. Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).

Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. 

Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.

Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.

Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen. Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi.

Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen. Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.

1.2  Perumusan masalah
  1. Bagaimana sistem kebudayaan masyarakat suku Toraja pada umumnya sehingga memberikan identitas budaya bangsa Indonesia yang kokoh?
  2. Bagaimana Sistem-sistem kebudayaann suku Toraja terbentuk sehingga menjadi suku bangsa yang merupakan bagian dari kemajemukan bangsa Indonesia?
  3. Bagiamana Sistem mata pencaharian hidup,ilmu pengetahuan,kesenian dan bahasa suku toraja itu terbentuk?
  4. Faktor apasaja yang menyebabkan adat istiadat,hukum waris dan sistem Kekerabatan suku toraja itu terbentuk?
  5. Bagaimana Sistem kepercayaan suku Toraja dan apasaja pengaruhnya terhadap adat istiadan serta kebudayaan disana?

1.3      Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian adalah:
  1. Mengetahui sistem kebudayaan masyarakat suku Toraja secara lebih luas sehingga memberikan suatu pemahaman terhadap kebudayaannya.
  2. Menjelaskan tentang kehidupan masyarakat suku Toraja yang  mencakup pada sistem mata pencahariannya, ilmu pengetahuannya, serta kesenian dan bahasa suku toraja itu terbentuk. Dengan baik.
  3. Menjelaskan secara detail alasan  dan korelasi suku Toraja membentuk suatu adat hukum waris, dengan sistem kekerabatan.
  4. Memaparkan kaitannya sistem kepercayaan suku Toraja dengan pengaruh adat istiadat  setempat?
  5. Mendeskripsikan suatu sistem kebudayaan suku Toraja secara keseluruhan sehingga menjadi salah satu suku yang majemuk dan menjadi salah satu bagian dari negara Republik Indonesia.

1.4     Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dalam penulisan Karya Ilmiah adalah:
  1. Penulis dapat memperluas tentang studi masyarakat Indonesia terutama dalam mempelajari sistem sosio-Antropologi suku Toraja pada umumnya.
  2. Penulis dapat mengetahui kebudayaan serta adat istiadat suku Toraja yang mana merupakan bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia.
  3. Penulis dapat memberikan suatu kajian yang sangat menarik untuk diteliti,dan sebagai studi banding dalam mengaitkan antara suatu sistem tradisional yang berlaku di suku Toraja dengan masyarakat modern pada saat ini

1.5    Metode Penelitian

Metode ini menggunakan penelitian historis. Metode ini dilakukan untuk suatu proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau terutama metode Heurestik yaitu suatu kegiatan untuk mencari, menemukan, dan mengumpulkan data serta fakta, pada tahapan ini penulis mengumpulkan beberapa sumber dan data yang relevan dengan permasalahan yang dikaji,dalam proses ini penulis mencari, sumber-sumber dengan penulis mendatangi berbagai Perpustakaan dan media internet.

1.6  Teknik Penelitian

Makalah yang berjudul ”Suku Toraja di Sulawesi selatan serta pengaruh kebudayaan asli terhadap suatu sistem kemasyrakatannya yang bernilai luhur sampai saat ini”. Teknik yang digunakan yaitu teknik Studi Literatur yang dilakukan dengan membaca, Mengkaji, berbagai buku yang relevan dengan tema yang ditulis sehingga dapat membantu penulis menyelesaikannya.

1.7  Sistematika Penulisan

Penulisan Makalah penelitian yang diajukan tersebut pada dasarnya memuat sebagai berikut:
  1. Judul Penelitian
  2. Latar Belakang Masalah Penelitian
  3. Rumusan dan Pembatasan Masalah
  4. Tujuan Penelitian
  5. Penjelasan Judul
  6. Kajian Pustaka
  7. Metode dan Teknik Penelitian
  8. Sistematika Penelitian.
Kajian Antropologis Suku Toraja, Sebuah Makalah
Monolitikum di Toraja, foto diambil sekitar tahun 1935. (sumber foto)

BAB II PEMBAHASAN

2.1  Indentitas  kepribadian diri suku Toraja Sulawesi selatan

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.

Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau. Suku Toraja yang ada sekarang ini bukanlah suku asli, tapi merupakan suku pendatang. Menurut kepercayaan atau mythos yang sampai saat ini masih dipegang teguh, suku Toraja berasal dari khayangan yang turun pada sebuah pulau Lebukan.

Kemudian secara bergelombang dengan menggunakan perahu mereka datang ke Sulawesi bagian Selatan. Di pulau ini mereka berdiam disekitar danau Tempe dimana mereka mendirikan perkampungan. Perkampungan inilah yang makin lama berkembang menjadi perkampungan Bugis. Diantara orang-orang yang mendiami perkampungan ini ada seorang yang meninggalkan perkampungan dan pergi ke Utara lalu menetap di gunung Kandora, dan di daerah Enrekang.Orang inilah yang dianggap merupakan nenek moyang suku Toraja.Sistim pemerintahan yang dikenal di Toraja waktu dulu adalah sistim federasi. Daerah Toraja dibagi menjadi 5 (lima) daerah yang terdiri atas Makale, Sangala, Rantepao, Mengkendek, Toraja Barat. Daerah-daerah Makale, Mengkendek, dan Sangala dipimpin masing-masing oleh seorang bangsawan yang bernama PUANG.

Daerah Rantepao dipimpin bangsawan yang bernama PARENGE, sedangkan daerah Toraja Barat dipimpin bangsawan bernama MA'DIKA. Didalam menentukan lapisan sosial yang terdapat didalarn masyarakat ada semacam perbedaan yang sangat menyolok antara daerah yang dipimpin oleh PUANG dengan daerah yg dipimpin oleh PARENGE dan MA'DIKA. Pada daerah yang dipimpin oleh PUANG masyarakat biasa tidak akan dapat menjadi PUANG, sedangkan pada daerah Rantepao dan Toraja Barat masyarakat biasa bisa saja mencapai kedudukan PARENGI atau MA'DIKA kalau dia pandai. Hal inilah mungkin yang menyebabkan daerah Rantepao bisa berkembang lebih cepat dibandingkan perkembangan yang terjadi di Makale.

_Sejarah Suku Toraja_

Sebelum kata Toraja, digunakan Tondok Lepongan Bulan, To Raja digunakan untuk nama suatu negeri yang sekarang dinamakan Tana Toraja,Arti kata Toraja,itu sendiri ada beberapa pendapat sebagai berikut:

A.Adriani mengartikan TO RAJA adalah orang yang berdiam diatas pegunungan. Kata Toraja, itu berasal suku bugis sidenreng.

Ada pendapat juga yang mengatakan To Raja ( bahasa bugis luwu ) karena tana Toraja, terletak di sebelah barat luwu.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Toraja,itu berasal dari seorang raja Tondok Lepongan Bulan yang bernama laki padada yang ke gowa pada akhir abad ke 13. Dalam sejarah Toraja, Laki padada adalah seorang cucu raja yang pergi mengembara untuk mencari hidup yang abadi kemudian tiba dikerajaan Gowa. Pada mulanya penduduk Toraja, beragama Aluk Todolo (Agama Leluhur) tetapi pada awal abad 19 pengaruh agama Islam mulai masuk terutama pada bagian selatan. Kemudian dengan adanya Pemerintah Kolonial Belanda didaerah tersebut maka agama Kristen masuk kedaerah ini lalu mempengaruhi kebudayaan asli daereh ini pada tahu 1906.

Kabupaten Tana Toraja, beribukota Makale, terletak sekitar 329 km disebelah utara kota Makasar dengan batas-batas wilayah :
  • Sebelah Utara dengan Kabupaten Mamuju
  • Sebelah Timur dengan Kabupaten Luwu
  • Sebelah Selatan dengan Kabupaten Enrekang
  • Sebelah Barat dengan Kabupaten Polmas
Orang Toraja, adalah penduduk Sulawesi Tengah, untuk sebagian juga mendiami propinsi Sulawesi Selatan yaitu wilayah dari kabupaten Tana  Toraja, dan Mamasa. Mereka biasanya disebut orang Toraja Sa’dan.

Tana Toraja, dikenal oleh dunia bukan saja karena kebudayaan-kebudayaannya yang unik, orisinil dan sarat akan keindahan seni tetapi juga karena keaslian, keasrian dan keindahan alamnya yang selalu dapat memukau hati para wisatawan yang berkunjung

2.2 Sistem kekerabatan atau keluarga suku Toraja

Masyarakat Toraja terbagi atas keluarga inti, penanggung jawab keluarga adalah ayah dan diganti anak laki-laki bila meninggal sedangkan ibu hanya mendidik anak dan menjaga nama baik keluarga. Masyarakat Toraja mengikuti garis keturunan Bilateral. Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.

 Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.

Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.

Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. 

Contoh:
Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang. Hukum waris Toraja.

Orang di Suku  Toraja akan melakukan adopsi,walaupun mereka sudah mempunyai anak. Hal itu dikarenakan di Suku Toraja mempunyai keyakinan bahwa semakin banyak anak akan semakin banyak pula Toding (Kerbau) yang akan ikut di kubur saat orang tua angkatnya meninggal dunia. Sistem Hukum waris adat yang berlaku di Indonesia sangat beragam, antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, juga menganut sistem kewarisan yang berbeda. Hal itu mempengaruhi kedudukan anak angkat dalam kekerabatan orang tua kandung dan orang tua angkat serta bagaimana pewarisannya dan juga mengenai penyelesaian hukum bila hak anak angkat tersebut tidak terpenuhi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui mengenai hal tersebut.

Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis-normatif, yaitu yang berusaha untuk mengabstraksikan tingkah laku tetang kedudukan anak angkat dalam  hokum waris adat disamping untuk menemukan peraturan-peraturan yang telah ada sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Metode penarikan sampel menggunakan purposive random sampling, dimana anggota populasi tidak diberi kesempatan untuk dipilih menjadi sampel, disamping itu untuk mendukung data-data tersebut dilakukan wawancara secara bebas terpimpin terhadap para tokoh masyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan pengangkatan anak dilakukan terhadap anak yang masih kecil (dianak bitti), anak yang sudah besar dan terhadap orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, yang diambiil dari kalangan keluarga atau bukan dari kalangan keluarga. Proses pengangkatan anak dilaksanakan secara terang dan tunai. Hubungan kekerabatan anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya tidak terputus. Bila terjadi sengketa warisan, maka sering diselesaikan melalui lembaga adat yang berupa tongkonan. Kata Kunci : Kedudukan Anak Angkat, ahli waris,hokum waris adat suku  Toraja.

2.3  Kelas sosial budaya masyarakat suku Toraja

Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.

Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.

Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

Kajian Antropologis Suku Toraja, Sebuah Makalah
Gereja Toraja Mamasa di Sulawesi Selatan, bangunan gereja dalam foto berbentuk rumah adat Toraja, foto diambil sekitar tahun 1930. (sumber foto)

2.4 Sistem Religi dan kepercayaan, adat istiadat, suku Toraja

Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. 

Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.

Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. 

Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan. Di Tana Toraja dikenal pembagian kasta seperti yang terdapat didalam agama Hindu-Bali. Maka mungkin karena itulah sebabnya kepercayaan asli suku Toraja yaitu ALUKTA ditetapkan pemerintah menjadi salah satu sekte dalam agama Hindu Bali.

Kasta atau kelas ini dibagi menjadi 4 (empat)
  1. Kasta Tana' Bulaan
  2. Kasta Tana' Bassi
  3. Kasta Tana' Karurung
  4. Kasta Tana' Kua-kua

_Adat Istiadat_

Toraja sangat dikenal dengan upacara adatnya. Didalam menjalankan upacara dikenal 2 (dua) macam pembagian yaitu Upacara kedukaan disebut Rambu Solo'.

Upacara ini meliputi 7 (tujuh) tahapan,yaitu
a. Rapasan
b. Barata Kendek 
c. Todi Balang
d. Todi Rondon.
e. Todi Sangoloi
f.  Di Silli'
g. Todi Tanaan.

Upacara kegembiraan disebut Rambu Tuka'.

Upacara ini juga meliputi 7 (tujuh) tahapan, yaitu
a. Tananan Bua’
b. Tokonan Tedong
c. Batemanurun
d. Surasan Tallang 
e. Remesan Para
f. Tangkean Suru
g. Kapuran Pangugan

Karena mayoritas penduduk suku Toraja masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya (60 %) maka adat istiadat yang ada sejak dulu tetap dijalankan sekarang. Hal ini terutama pada adat yang berpokok pangkal dari upacara adat Rambu Tuka’ dan Rambu Solok. Dua pokok inilah yang merangkaikan upacara-upacara adat yang masih dilakukan dan cukup terkenal.

Upacara adat itu meliputi persiapan penguburan jenazah yang biasanya diikuti dengan adu ayam, adu kerbau, penyembelihan kerbau dan penyembelihan babi dengan jumlah besar. Upacara ini termasuk dalam Rambu Solok, dimana jenazah yang mau dikubur sudah di simpan lama dan nantinya akan dikuburkan di gunung batu. Akan hal tempat kuburan ini, suku Toraja mempunyai tempat yang khusus., Kebiasaan mengubur mayat di batu sampai kini tetap dilakukan meskipun sudah banyak yang beragama Katholik, Kristen. Hanya yang sudah beragama Islam mengubur mayatnya dalam tanah sebagaimana lazimnya.

Seluruh upacara dalam rangkaian penguburan mayat ini memerlukan biaya yang besar. Itu ditanggung oleh yang bersangkutan disamping sumbangan-sumbangan. Besar kecilnya upacara mencerminkan tingkat kekayaan suatu keluarga. Kriterianya diukur dari jumlah babi dan kerbau yang dipotong disamping lamanya upacara. Untuk kaum bangsawan upacara itu sampai sebulan dan hewan yang dipotong mencapai ratusan. Belum lagi biaya (lainnya) yang banyak, sekalipun dirasakan berat tetapi lambat laun dari masalah adat telah berubah menjadi masalah martabat.

2.5 Seni Bangunan, ukir, dan Ornamen/hiasan suku Toraja

Seperti halnya rumah adat suku-suku lain di Indonesia yang umumnya dibedakan karena bentuk atapnya, rumah adat Toraja inipun mempunyai bentuk atap yang khas. Memang mirip dengan rumah adat suku Batak, tetapi meskipun begitu rumah adat suku Toraja tetap memiliki ciri-ciri tersendiri.

  1. Pada mulanya rumah yang didirikan masih berupa senacam pondok yang diberi nama lantang tolumio. Ini masih berupa atap yang disangga dangan dua tiang + dinding tebing
  2. Bentuk kedua dinamakan Pandoko Dena. Bentuk ini biasa disebut pondok pipit karena letak-nya yang diatas pohon. Pada prinsipnya rumah ini dibuat atas 4 pohon yang berdekatan dan berfungsi sebagai tiang. Hal pemindahan tempat ini mungkin disebabkan adanya gangguan binatang buas
  3. Perkembangan ketiga ialah ditandai dengan mulainya pemakaian tiang buatan. Bentuk ini memakai 2 tiang yang berupa pohon hidup dan 1 tiang buatan. Mungkin ini disebabkan oleh sukarnya mencari 4 buah pohon yang berdekatan. Bentuk ini disebut Re'neba Longtongapa
  4. Berikutnya adalah rumah panggung yang seluruhnya mempergunakan tiang buatan. Dibawahnya sering digunakan untuk menyimpan padi (paliku), ini bentuk pertama terjadinya lumbung.
  5. Perkembangan ke~5 masih berupa rumah pangqung sederhana tetapi dengan tiang yang lain untuk keamanan hewan yang dikandangkan dikolong rumah itu.tiang-tiang dibuat sedemikian ru pa sehingga cukup aman. Biasanya tiang itu tidak dipasang dalam posisi vertikal tetapi merupakan susunan batang yang disusun secara horisontal
  6. Lama sesudah itu terjadi perobahan yang agak banyak. Perubahan itu sudah meliputi atap, fungsi ruang dan bahan. Dalam periode ini tiang-tiang kembali dipasang vertikal tetapi dengan jumlah yang tertentu. Atap mulai memakai bambu dan bentuknya mulai berexpansi ke depan (menjorok). Tetapi garis teratas dari atap masih datar. Dinding yang dibuat dari papan mulai diukir begitu juga tiang penyangga. Bentuk ini dikenal dengan nama Banua Mellao Langi,
  7. Berikutnya adalah rumah adat yang dinamakan Banua Bilolong Tedon (Gambar 7). Perkembangan ini terdapat pada Lantai yang mengalami perobahan sesuai fungsinya Pada periode ini hanya terjadi perkembangan pada lantai dan tangga yang berada di bagian depan.
  8. Pada periode ini letak tangga pindah ke bawah serta perubahan permainan lantai
  9. Berikutnya adalah perobahan lantai yang menjadi datar dan ruang hanya dibagi dua.

Setelah periode ini perkembangan selanjutnya tidak lagi berdasarkan adat, tetapi lebih banyakkarena persoalan kebutuhan akan ruang dan konstruksi. Begitu juga dalam penggunaan materi mulai dipakainya bahan produk mutakhir, seperti seng, sirap, paku, dan sebagainya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan yang terakhir merupakan puncak perkembangan dari rumah adat Toraja.

a. Seni Bangunan Suku Toraja
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

b. Seni Ukir suku Toraja
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. 

Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar. Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik.Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan.[21] Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.

Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi.

Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.

Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris. Ornamen/hiasan bangunan.

Ornamen (hiasan bangunan) yang terdapat pada rumah-rumah adat sebagian besar mempunyai arti. Arti ini biasanya berhubungan dengan adat istiadat yang masih diipertahankan. Disamping itu ada pula yang hanya merupakan hiasan saja, misalnya: Sumbang dan Katombe yang merupakan sirip-sirip kayu berukir pada tiap-tiap sudut rumah adat.

Ornamen (hiasan) ini dibagi dalam beberapa macam ornamen, masing-masing ialah :
  1. Ornamen binatang Kerbau, sebagai binatang yang sering disembelih dalam upacara-upacara, bagian- bagian badannya banyak dipergunakan untuk ornamen. Misalnya tanduk, kepala ( tiruannya). Selain itu motif kerbau juga ada dalam ukiran di dinding papan rumah adat. Kepala kerbau ( tiruan dari kayu ) biasanya dipasang pada ujung-ujung balok lantai bagian depan (pata sere).
  2. Tanduk kerbau disusun pada tiang yang utama (tulak- sonba) artinya menyatakan jumlahgenerasi yang pernah tinggal di rumah adat itu.
  3. Ayam jantan, sebagai lambang Kasta Tana’ Bulaan (kasatria) diukirkan pada bagian depan/belakang rumah, juga dipintu-pintu.Babi, sebagai lambang binatang sajian.b. Ornamen Senjata.Keris dan pedang, diukirkan sebagai lambang Kasta Tana Bulaan (kasatria).
  4. Ornamen Tumbuh-tumbuhan.Daun Sirih, bunga, diukirkan pada tiang utama tulak somba, rinding (dinding), langit-langit lumbung sebagai ruang tamu, juga di pintu-pintu.
  5. Ornamen ukiran kayunya menggunakan kayu URU.
  6. Ornamen lukisan diukir dulu baru dipasang di tempat. Penyelesaian Lukiran biasanya dengan zat pewarna yang dibikin dari tanah +tuak atau arang + cuka + air.

2.6  Ritual upacara pemakaman suku Toraja

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. 

Upacara pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.

Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.

Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.

Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

Suku Toraja di Sulawesi Selatan sudah lama terkenal dengan alam pegunungannya yang permai serta ritual adatnya yang unik. Yang paling tersohor, tentu saja, pesta Rambu Solo yang digelar menjelang pemakaman tokoh yang dihormati. Tiap tahun pesta yang berlangsung di beberapa tempat di Suku Toraja ini senantiasa mengundang kedatangan ribuan wisatawan.Selain Rambu Solo, sebenarnya ada satu ritual adat nan langka di Toraja, yakni Ma’ Nene’, yakni ritual membersihkan dan mengganti busana jenazah leluhur.

Ritual ini memang hanya dikenal masyarakat Baruppu di pedalaman Toraja Utara. Biasanya, Ma’ Nene’ digelar tiap bulan Agustus. Saat Ma’ Nene’ berlangsung, peti-peti mati para leluhur, tokoh dan orang tua, dikeluarkan dari makam-makam dan liang batu dan diletakkan di arena upacara. Di sana, sanak keluarga dan para kerabat sudah berkumpul. Secara perlahan, mereka mengeluarkan jenazah (baik yang masih utuh maupun yang tinggal tulang-belulang) dan mengganti busana yang melekat di tubuh jenazah dengan yang baru.

Mereka memperlakukan sang mayat seolah-olah masih hidup dan tetap menjadi bagian keluarga besar.Dibungkusnya tulang-belulang itu dengan baju yang dipakainya, lalu diletakkan di areal yang lapang dan layak.Setelah itu, Pong Rumasek melanjutkan perburuannya.

Tak dinyana, semenjak kejadian itu, setiap kali Pong Rumasek berburu, ia selalu memperoleh hasil yang besar. Binatang hutan seakan digiring ke dirinya. Bukan hanya itu, sesampainya di rumah, Pong Rumasek mendapati tanaman padi di sawahnya pun sudah menguning, bernas dan siap panen sebelum waktunya.Pong Rumasek menganggap, segenap peruntungan itu diperolehnya berkat welas asih yang ditunjukkannya ketika merawat mayat tak bernama yang ditemukannya saat berburu. Sejak itulah, Pong Rumasek dan masyarakat Baruppu memuliakan mayat para leluhur, tokoh dan kerabat dengan upacara Ma’ Nene’.Dalam ritual Ma’ Nene’ juga ada aturan tak tertulis yang mengikat warga. Misalnya, jika seorang istri atau suami meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma’ Nene’ untuknya.

Ketika Ma’ Nene’ digelar, para perantau asal Baruppu yang bertebaran ke seantero negeri akan pulang kampung demi menghormati leluhurnya.Warga Baruppu percaya, jika Ma’ Nene’ tidak digelar maka leluhur juga akan luput menjaga mereka. Musibah akan melanda, penyakit akan menimpa warga, sawah dan kebun tak akan menghasilkan padi yang bernas dan tanaman yang subur.

Alat Upacara Keagamaan
Pote – tanda berkabung untuk pria dan wanita
Tanduk Rongga – Perhiasan dikepala
Pokti – tempat sesajen
Sepui – tempat sirih

Upacara adat Rambu Solo
Upacara ini dilakukan untuk memakamkan leluhur atau orang tua. Bila ada salah satu warga (orang tua atau leluhur ) yang meninggal orang-orang berbaris pergi kerumah orang tersebut mengikuti dibelakang mereka hewan ternak untuk dipersembahkan pada tuan rumah dan tuan rumah pun menyambut dengan ramah dan diiringi oleh tari-tarian dan beraneka ragam santapan yang telah dipersiapkan diatas daun pisang.

Namun dalam Pelaksanaannya upacara ini terbagi menjadi empat tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni :
  1. Dipasang Bongi: Upacara yang hanya dilaksanakan dalam satu malam
  2. Dipatallung Bongi: Upacara yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah dan ada pemotongan hewan
  3. Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah serta pemotongan hewan
  4. Dipapitung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam setiap harinya ada pemotongan hewan

Pemakaman kematian bagi masyarakat Toraja menjadi salah satu hal yang paling bermakna, sehingga tidak hanya upacara prosesi pemakaman yang dipersiapkan ataupun peti mati yang dipahat menyerupai hewan ( Erong ), namun mereka juga mempersiapkan tempat “peristirahatan terakhir” dengan sedemikian apiknya, yang tentunya tidak lepas dari strata yang berlaku dalam masyarakat Toraja maupun ekonomi individu.

Pada umunya tempat menyimpan jenazah adalah gua atau tebing gunung atau dibuatkan sebuah rumah ( Pa’tane ). Budaya ini telah diwarisi secara turun temurun oleh leluhur mereka, adat masyarakat Toraja menyimpan jenazah pada liang gua atau tebing merupakan kekayaan budaya yang begitu menarik untuk disimak lebih dalam lagi, Dapat dijumpai puluhan Erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak disisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia.

Sampai saat ini masyarakat dunia masih dapat menikmati turunan-turunan budaya yang diwariskan nenek moyang Suku Toraja ini, seperti bentuk-bentuk kebudayaan atau kesenian dari yang bersifat upacara kematian sampai tari-tarian serta musik-musik khas Toraja. Warisan ini tentunya menjadi sorotan perhatian dan tanggung jawab bagi masyarakat suku Toraja saat ini, terutama dengan adanya globalisasi ataupun modernisasi, ketidaksiapan melangkah dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut tentunya dapat mempertaruhkan kelestarian alam, budaya Toraja dan juga kualitas SDM Toraja itu sendiri. Sehingga dapat mempengaruhi perubahan sosial dan perubahan kebudayaan yang ada di Toraja.

Oleh karena itu Toraja mengadakan program Toraja Mamali yaitu program spontanitas seluruh lapisan masyarakat Toraja, baik yang tinggal di Toraja maupun diluar Toraja yang peduli terhadap kampung halaman, untuk bersama-sama menyatukan visi dan misi demi membangun Tana Toraja atas dasar tanggung jawab dan komitmen bersama. Tekad yang diusung adalah untuk menjadi Toraja unggul dalam:
  • Perkataaan (berani dan penuh percaya diri)
  • Penguasaan ilmu dan teknologi (cerdas dan terampil)
  • Penebaran kasih (saling hormat dan mengasihi)
  • Pariwisata (budaya dan alam)

2.7 Seni/alat musik , tarian, busana tradisional suku Toraja

Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya.

Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.

Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari.

Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang.

Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah. Budaya adalah salah satu harta berharga yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Perlu pemeliharaan dan kepedulian agar warisan budaya tidak semakin tergerus oleh budaya asing.Banyak cara yang dapat dilakukan untuk tetap mempertahankan budaya.

Alat Musik Tradisional
  • Geso – biola
  • Tomoron – terompet
  • Suling Toraja.
Alat Perhiasan
  • Beke' – ikat kepala
  • Manikkota – kalung
  • Komba – gelang tangan
  • Sissin Lebu – cincin besar

Seperti halnya kain tenun Toraja. Budaya tenun di Toraja telah menjadi warisan secara turun temurun, dengan tetap mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang kegiatan menenun. Sehingga, diharapkan tenun Toraja takkan hilang ditelan jaman.Selain itu, karena tenun telah menjadi salah satu sumber mata pencaharian yang berbasis budaya, maka  aktivitas tersebut sangat membantu melestarikan budaya itu.

2.8   Keanekaragaman bahasa suku Toraja

Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.

Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan.

Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja. Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.

Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.

Keragaman dalam bahasa Toraja

Denominasi
Populasi (pada tahun)
Dialek
Kalumpang
12,000 (1991)
Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da).
Mamasa
100,000 (1991)
Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi)
Tae’
250,000 (1992)
Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.
Talondo'
500 (1986)

Toala'
30,000 (1983)
Toala', Palili'.
Torajan-Sa'dan
30,000 (1983)
Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana).

Sumber: Gordon (2005).


2.9   Sistem mata pencaharian dan Ekonomi suku Toraja

Masyarakat Toraja banyak yang memiliki sawah sehingga sebagian besar penduduk Toraja bermata pencaharian sebagai petani. Dalam rumah tangga bagi orang Suku Toraja suami dan isteri sama-sama mencari nafkah, seperti dalam pertanian kalau suami mencangkul disawah adalah kewajiban isteri menanaminya.

Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan.[11] Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.

Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.

Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis.

Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah satu tempat wisata di Tana Toraja.Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara. "Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar.


2.10  Sistem Ilmu pengetahuan,peralatan hidup,senjata suku Toraja

Sistem ilmu pengetahuan suku Toraja
Masyarakat Toraja mempunyai Sistem pengetahuan waktu yang berhubungan dengan hari yang baik atau bulan yang baik. Dalam kehidupan masyarakat Toraja dikenal 3 waktu :
  1. Pertanam ( Setahun Padi )
  2. Sang Bulan ( 30 hari )
  3. Sang Pasa ( Sepekan )

Peralatan hidup, teknologi, senjata Toraja
Pada masyarakat Toraja terdapat bermacam-macam teknologi yang digunakan seperti: Alat Dapur
  • La’ka sebagai alat belanga
  • Pesangle yaitu sendok nasi dari kayu
  • Karakayu yaitu alat pembagi nasi
  • Dulang yaitu cangkir dari tempurung
  • Sona yaitu piring anyaman
  • Pokti – tempat sesajen
  • Sepui – tempat sirih

2.11 Aset budaya dan pariwisata suku Toraja

Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelah Bali".Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik), dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989.[2] Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981.

Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh". Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh suku Toraja.

Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman mereka. 

Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir.

Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat, sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.

Kajian Antropologis Suku Toraja, Sebuah Makalah
Jalan utama di Kota Rantepao, October 1948. Author: C.J. (Cees) Taillie (Fotograaf/photographer). (Sumber foto)
Kajian Antropologis Suku Toraja, Sebuah Makalah
Kolam Makale di Tana Toraja, Sulawesi selatan, sekitar tahun 1948-1949. (Sumber foto)

BAB III PENUTUP

a. Kesimpulan

Seperti daerah-daerah lainnya di indonesia, daerah Tana Toraja memiliki sejarah yang panjang dan layak diketahui. Termasuk pola kehidupan yang tidak kalah unik dibanding suku-suku lainnya di indonesia. Tidak hanya peninggalan sejarah, namun juga peninggalan budaya suku tana toraja yang masih terjaga kelestariannya hingga saat ini.

b. Saran

Untuk kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini kami selaku penyusun, sangat terbuka untuk menerima berbagai kritik dan saran untuk perbaikan kedepan.




Daftar Pustaka
  • Adams, Kathleen M. (2006). Art as Politics: Re-crafting Identities, Tourism and Power in Tana Toraja, Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press.
  • Bigalke, Terance (2005). Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People. Singapore: KITLV Press..
  • Kis-Jovak, J.I.; Nooy-Palm, H.; Schefold, R. and Schulz-Dornburg, U. (1988). Banua Toraja : changing patterns in architecture and symbolism among the Sa’dan Toraja, Sulawesi, Indonesia. Amsterdam: Royal Tropical Institute.
  • Nooy-Palm, Hetty (1988). The Sa'dan-Toraja: A Study of Their Social Life and Religion. The Hague: Martinus Nijhoff.      




Sumber: kwatkhaysin