Tindoki Tampil Di Malam Anugerah SEMPUGI

Tindoki Tampil Di Malam Anugerah SEMPUGI
Penampilan TINDOKI pada malam Anugrah SEMPUGI.
Sekelompok anak muda Toraja yang tergabung dalam sebuah band bernama TINDOKI yang dalam bahasa Toraja berarti mimpi atau harapan kami bersama.

Ada hal menarik dari Grup Musik TINDOKI, selain mengusung hybrid musik yang memadukan unsur etnik dan modern secara kreatif Lagu-lagu dan syair  Toraja dieksplorasi dalam konteks kekinian tanpa merubah esensi dan pesan yang hendak disampaikan.

salah satu intrument musik yg mereka gunakan adalah alat musik “Karombi” yang hampir punah. alat musik yang  terbuat dari Bilah Bambu, dimainkan dengan cara disentak dengan tali dan menggunakan rongga mulut sebagai resonansi, Nada karombi sangat khas, dan konon dahulu digunakan untuk menolak bala seperti penyakit.

Saat tampil di Malam Anugerah SEMPUGI yang  digelar di Halaman Utama Benteng Pannyua (Fort Rotterdam) Selasa (11/11/2014), Band yang digawangi oleh Laso’ Rinding cs ini membawakan lagu Toraja dengan kolaborasi musik tradisional dan modern dengan sangat Apik dan membuat ratusan pengujung larut dalam syair yang menyihir.

“Kegiatan ini merupakan bentuk apresiasi kepada seniman dan musisi lokal yang mendidikasikan hidupnya untuk perkebangan lagu dan musik tradisional , merekalah pahlawan sebenarnya ” Ungkap Andi Rahmat Munawar (36) saat memberikan sambutan sekaligus Membuka Acara Malam Anugerah SEMPUGI yang terselenggara Atas kerjasama SEMPUGI dan Cipta Media Seluler.

salah satu pengunjung, Chaerum(29) mengaku sangat terkesan oleh penampilan grup ini ” Luar biasa , sekarang ini sudah sangat jarang pemuda yang mau membawakan lagu tradisional karena sudah dianggap kuno dan kolot, namun hal ini bisa bisa ditepis oleh TINDOKI ” tuturnya sambil penuh semangat.

Hal senada juga diungkapkan Oleh Dian Cahyadi M.Dc (37) pemerhati budaya toraja dan sekaligus ketua Prodi Seni Rupa di salah satu perguruan Tinggi negeri kota makassar ” Alat musik yang digunakan oleh Grup TINDOKI ini sudah sangat langka dan  mulai jarang dimainkan”

“Ke depan Tindoki tetap berkarya, mengajak anak-anak muda mengenal kembali alat musik tradisional serta memperkenalkan budaya toraja lewat musik yang dimainkan ” harap  MOnge’Sambolinggi.

“beberapa lagu yang ditampilan dalam kegiatan Malam Anugerah Sempugi,  nantinya akan diproduksi secara massal dalam Bentuk Ringtone dan MP3 kemudian disebarkan melalui media seluler dan internet dan bisa di Download Secara Gratis, di Bawah lisensi Creative Commons , sehingga Publik Bisa  menikmati lagu daerah dan Tradisonal Melalui Media Seluler tanpa perlu takut akan legalitas sebuah karya. Kedepan diharapkan Bisa Menumbuhkan dan menghidupkan kembali Rasa cinta terhadap seni musik tradisional yang saat ini mulai luntur “Pungkas Roedy Rustam selaku Mentor Pembimbing SEMPUGI Untuk Program Cipta Media Seluler.

Sumber: Sempugi.org

Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja

Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Kerbau yang dijual di Pasar Bolu, Rantepao, Kab. Toraja Utara. Foto: Kompasiana | Muhammad Idham
Berbicara soal ritual adat Toraja dan kerbau atau dalam bahasa Toraja disebut Tedong, keduanya memiliki hubungan erat. Kerbau merupakan salah satu kebutuhan utama masyarakat Toraja untuk melakukan ritual adat Rambu Solo’ (upacara kedukaan/pemakaman). Maka tak heran jika harga jual/beli kerbau di Toraja begitu fantastis, di Toraja harga seekor kerbau berkisar antara puluhan juta hingga ratusan juta rupiah.

Dengan adanya kerbau pada setiap upacara adat Rambu Solo', bagi sebagian besar masyarakat Toraja sering dikaitkan dengan status sosial seseorang. Selain sebagai elemen utama dalam ritual adat, mungkin alasan inilah yang menjadi pemicu mengapa kerbau Toraja begitu istimewa (baca disini) sehingga harga seekor kerbau bisa melambung semahal itu. 

Pada sebuah acara pemakaman besar yang biasanya dilakukan oleh keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang dikorbankan bisa mencapai puluhan sampai ratusan, kerbau-kerbau yang dikorbankan tersebut kemudian dibagikan kepada masyarakat di kampung tempat diadakannya upacara dan kampung disekitarnya. 

Kerbau yang akan dikorbankan juga memiliki tipe/jenis tertentu yang menentukan nilai tingkatan/kasta masing-masing kerbau, hal tersebut dapat kita lihat pada ukuran, bentuk, tanduk serta perpaduan warnanya. 

Dengan demikian dalam setiap pesta adat akan banyak kita jumpai berbagai jenis kerbau yang akan di korbankan, berikut ini beberapa jenis kerbau ”Tedong”  dengan keunikan khusus yang ada di Toraja dan sebagian mungkin tidak kita temukan di daerah lain.

1.Tedong Saleko
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Saleko, jenis kerbau dengan nilai tertinggi di Toraja. Foto: google
Kerbau yang satu ini merupakan jenis kerbau yang paling mahal dari semua jenis kerbau yang ada di Toraja, harga seekornya bisa mencapai 1 miliar rupiah, ciri khusus dari kerbau ini adalah warna kulitnya yakni perpaduan antara warna dasar putih serta belang hitam, dengan tanduk kuning gading serta bola mata berwarna putih.

2.Tedong Bonga
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Bonga adalah salah satu simbol prestise masyarakat Toraja.
Foto: Pewarta Foto PPWI | Anton Vincent Acvara
Tedong Bonga, menduduki peringkat kedua setelah Tedong Saleko, dan memiliki nilai jual yang hampir sama dengan Tedong Saleko pada kisaran ratusan juta rupiah. 

Ciri fisik Tedong Bonga juga tidak jauh berbada dengan Tedong Saleko, perbedaan yang mendasar antara Saleko dan Bonga terletak hanya pada warna dasar kerbau, dimana Tedong Bonga berwarna dasar hitam dengan belang putih

3.Lotong Boko'
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Lotong Boko'. Foto: Kompasiana|Parman Pasanje
Meski jenis kerbau ini terletak di urutan ke tiga namun karena jenis kerbau yang satu ini sangat langka maka untuk urusan harga kadang kala harganya hanya selisih tipis dari Tedong Bonga dan Tedong Saleko, ciri mendasar dari kerbau ini terletak pada corak/belang hitam yang menutupi punggungnya dengan tubuh berwarna dasar putih.
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Si Lotong Boko’ meski ditawar 500juta tak dilepas oleh yang punya saking sayangnya.
Foto: obendon.com|Olive Bendon


4.Tedong Ballian
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Ballian dengan tanduk yang rentang panjangnya bisa mencapai 2 meter. Foto: Google
Jika di lihat secara sepintas jenis kerbau yang satu ini adalah yang juara, hal ini di karenakan ciri utama dari kerbau ini terletak pada tanduk yang rentang panjangnya bisa mencapai 2 meter, dengan badan gempal, serta corak warna hitam ke abu-abuan, kebanyakan kerbau ini dikebiri. Kerbau jenis ini sudah langka sehingga kisaran harganya juga mahal, biasanya diatas 100 juta rupiah.

5.Tedong Pudu’ 
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Pudu' jenis kerbau umum yang didominasi warna hitam pekat. Foto: indonesia.travel
Tedong Pudu' adalah jenis kerbau yang umum kita lihat dengan ciri khas bentuk tubuh yang kekar serta kulit yang dominasi warna hitam. Salah satu variannya adalah Pudu' Gara' yakni Tedong Pudu' yang bola matanya berwarna putih. Selain sebagai kerbau sembelihan, karena bentuk tubuhnya yang kekar tersebut jenis kerbau ini biasanya dijadikan sebagai kerbau petarung. 

Seringkali kemampuan bertarung Tedong Pudu' digunakan dalam acara Ma’palisaga Tedong (adu kerbau) yang merupakan salah satu rangkaian upacara Rambu Solo'. Acara Ma’palisaga Tedong dalam Rambu Solo' menjadi heboh dan dipadati warga yang hendak menyaksikan tontonan unik ini. Biasanya kerbau yang menang memiliki prioritas tersendiri yang mendongkrak harga jualnya.

Namun, semahal-mahalnya seekor Tedong Pudu' belum cukup untuk menyaingi harga Tedong Bonga. Harganya berkisar antara puluhan sampai 100 juta, untuk harga kerbau petarung lebih mahal lagi sampai ratusan juta rupiah.

6.Tedong Todi' 
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Todi' memiliki corak/belang putih dikepala _diantara kedua tanduknya.
Foto: ANTARA/Sahrul Manda Tikupadang
Tedong Todi’ adalah jenis kerbau yang didominasi warna hitam seperti halnya Tedong Pudu' namun memiliki corak/belang putih dikepala atau tepatnya didahi _diantara kedua tanduknya. Tedong Todi' memiliki dua varian yakni Todi' dan Todi' Gara', letak perbedaannya hanya pada bola mata yang berwarna putih di sebut Todi' Gara'. Harga Tedong Todi’ hampir sama Tedong Pudu' berkisar antara puluhan sampai 100 juta rupiah.

7.Tedong Tekken Langi'
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Tekken Langi'. Foto: Detik|Susan Stephanie - d'Traveler
Tedong Tekken Langi' memiliki keunikan tersendiri diantara jenis kerbau lainnya yakni bentuk tanduk yang tidak simetris/sejajar, dengan ciri khusus tanduk sebelah kiri menjulang keatas, sementara tanduk sebelah kanan ke bawah atau sebaliknya. 

Karena keunikannya membuat kerbau ini sangat jarang dijumpai, biasanya hanya ditampilkan dalam upacara Rambu Solo' dengan tingkatan tertentu seperti upacara Sapu Randanan (upacara adat Rambu Solo' yang tertinggi dan lengkap).  Karena kerbau ini merupakan kerbau yang langka maka harganya juga mahal berkisar diatas 100 juta rupiah.

8. Tedong Sokko
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Sokko. Foto: iffocus.wordpress.com|Sharen Adeline
Keunikan lain dari kerbau yang ada di Toraja adalah Tedong Sokko, kerbau jenis ini memiliki tanduk yang arahnya terbalik dengan kerbau umumnya yaitu arah tanduk yang menghadap ke bawah dan hampir bertemu dibawah leher. Bila berpadu dengan corak/belang tertentu contohnya Bonga Sokko (kerbau belang dengan tanduk menghadap kebawah) nilainya menjadi sangat mahal.
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Bonga Sokko. Foto: google|portal solata

9.Tedong Bulan
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Bulan, memiliki warna putih cerah agak kemerah-merahan.
Foto: iffocus.wordpress.com|Sharen Adeline
Tedong Bulan, yaitu jenis kerbau yang memiliki warna putih cerah agak kemerah-merahan disekujur tubuhnya. Jangan terkecoh dengan bentuk badan yang besar, tanduk kuning gading dan kulit putih mulus. Akan tetapi jenis kerbau yang satu ini adalah kerbau yang jika diurut berdasarkan tingkatan/kasta, maka Tedong Bulan adalah kerbau dengan kasta terendah dimata masyarakat Toraja.

10. Tedong Sambao'
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Sambao', berwarna abu-abu merupakan jenis kerbau paling murah di Toraja. Foto: Google
Masih berbicara soal kerbau dengan kasta terendah, Tedong Sambao' tidak jauh berbeda dengan bulan yang menempati tingkatan/kasta yang sama. Ciri yang mebedakan antara Tedong Sambao' dan Tedong bulan terletak pada warna Tedong Sambao' yang berwarna berwarna abu-abu atau putih kelabu seperti kebo bule di Solo.

Berbeda halnya dengan Kebo Bule di Solo yang dikeramatkan, di Toraja Tedong Sambao' justru dianggap jenis kerbau paling murah yang harganya hanya sekitar belasan juta rupiah. 


Demikianlah beberapa jenis kerbau/tedong yang ada di Toraja yang dibedakan berdasarkan tipe/jenis tertentu yang menentukan nilai tingkatan/kasta masing-masing kerbau, yang dapat kita lihat pada ukuran, bentuk, tanduk serta perpaduan warnanya. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan mengenai bagaimana serta seperti apa nilai seekor kerbau di mata masyarakat Toraja. 

Salama' kaboro' lako mintu' Sangsiuluran Toraya... :)

Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Kerbau belang endemik Toraja, Sulawesi Selatan, dengan harga bisa mencapai Rp1 miliar.
Foto: Mongabay|Maliku Pakambanan
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Suasana ratusan kerbau yang di jual di Pasar Bolu, Kecamatan Rantepao, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Sabtu 2 Agustus 2014. Foto: TEMPO/Iqbal Lubis



Sumber: 
Artikel seperti ini sebelumnya telah diposting oleh blog Doddyg[.]blogspot[.]com "Wara Wiri Kerbau Toraja" dan blog Portalsolata[.]blogspot[.]com "Jenis Jenis Kerbau 'Tedong' Yang Ada di Toraja" demi menyebarkan informasi tentang Toraja maka artikel tersebut diposting kembali oleh blog Orang Toraja.

Toraja Lovely December 2014 "I Love Bamboo"

Toraja Lovely December 2014
Toraja Lovely December 2014 "I Love Bamboo"
TORAJA Lovely December (TLD) VII | 4-31 December 2014 "All Bamboo Ocassion, Back to Nature" __ "I Love Bamboo"
Lovely December Toraja 2014
Lovely December merupakan acara tahunan yang diadakan oleh pemerintah Tana Toraja. Acara yang diadakan sejak tahun 2008 ini akan menampilkan berbagai karya – karya seni dari kebudayaan Tana Toraja dan dikemas dalam bentuk atraksi seni. Untuk Lovely December tahun lalu diadakan pada tanggal 17 Desember hingga 30 Desember. Untuk lokasinya sendiri mengambil tempat di Lapangan Bakti, Kota Rantepao. 

Salah satu acara yang diadakan di Lovely December tahun lalu adalah Fun Bike. Semua kalangan ikut berpartisipasi dan diakhir acara, panitia memberikan hadiah kepada pemenang. Hadiah – hadiahnya antara lain Sepeda Polygon, TV, dan kulkas. 

Upacara adat Rambu Solo adalah acara yang tidak boleh anda lewatkan. Upacara yang juga diadakan di Lovely December ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengenang dan menghargai sanak keluarga yang telah mendahului mereka. Di upacara ini, para pengunjung melihat secara langsung ritual adat Rambu Solo. Selain itu, diadakannya acara ini agar para wisatawan dapat belajar mengenai budaya Tana Toraja. 

Olahraga arum jeram juga termasuk dalam rangkaian acara Lovely December tahun lalu. Arum jeramnya sendiri diadakan di Sungai Mai’ting pada tanggal 19 Desember. Pemerintah juga mengadakan acara bertema Tour The Toraja. Acara ini dibuat dengan alasan khusus, yakni agar masyarakat dapat mengenal Tana Toraja dan menjaga serta merawatnya dengan penuh kasih sayang. Di acara ini, pengunjung menyaksikan keindahan alam dan budaya Tana Toraja. 

Lovely December tahun lalu dilaksanakan selain untuk persiapan menyambut tahun baru, juga diadakan untuk menyambut Natal. Acara Natalnya sendiri diadakan pada tanggal 18 hingga 21 Desember bertempat di Art Center, Rantepao.  

Pada tanggal 26 Desember, dimana suasana Natal masih sangat hangat, diadakan malam apresiasi budaya. Sementara tanggal 29 Desember, pemerintah mengadakan Festival Kuliner yang menyajikan jajanan khas Toraja. Sebagai pelengkap, diadakan juga pertunjukkan tari, karnaval budaya, dan atraksi musik bamboo. 

Di hari terakhir Lovely December yaitu pada tanggal 30 Desember diadakan kebaktian Natal bersama. Sementara di puncak acara yaitu perayaan Tahun Baru dimeriahkan oleh parade kembang api yang mengambil tempat  di Lapangan Kodim, Art Center. 

Acara Lovely December ini sendiri dibuat oleh pemerintah dengan tujuan membangkitkan semangat masyarakat untuk membangun pariwisata dan melestarikan budaya serta adat istiadat Tana Toraja. 

Mengapa Bambu..?
Toraja Lovely December 2014 "I Love Bamboo"
Bambu adalah salah satu bahan untuk membuat atap rumah adat khas Toraja. Foto: Iqbal Kautsar
Bambu, begitu melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja. Kreatifitas masyarakat Toraja dalam pemanfaatan bambu tidak terbatas untuk hal-hal tertentu. Bambu digunakan untuk atap Tongkonan dan Alang (lumbung), digunakan untuk membuat suke: digunakan sebagai wadah untuk minuman atau wadah untuk memasak makanan tradisional pa'piong, dibuat menjadi alat musik dan juga sebagai bahan utama pembuatan lantang (pondokan) pada saat upacara adat rambu solo' dan rambu tuka'.

Bambu dimanfaatkan dalam kegiatan sehari-hari masyarakat Toraja sehingga tidak mengherankan jika bambu diangkat menjadi tema Lovely December 2014; I Love Bamboo.  Lovely December merupakan kegiatan tahunan yang dimulai dari tahun 2009 untuk mengangkat kembali pariwisata Toraja. Karena Toraja kini terbagi menjadi dua kabupaten; Toraja Utara dan Tana Toraja, maka kedua kabupaten bergantian menjadi penyelenggaran kegiatan ini. Kabupaten Tana Toraja merupakan pelaksana kegiatan Lovely December 2014.

Bukan sebagai pelaksana kegiatan Lovely December 2014 tidak berati tidak ada kegiatan dalam rangka Lovely December 2014 di Toraja Utara. Sebagai kabupaten dengan jumlah lokasi tujuan wisata terbanyak, Toraja Utara tetap bekerjasama dengan Tana Toraja sebagai penyelenggara untuk melaksanakan beberapa kegiatan. 

Jelajah Sepeda Tour de Toraja 2014
Toraja Lovely December 2014 "I Love Bamboo"
Jelajah Sepeda Tour de Toraja 2014. | tanatorajakab[.]go[.]id
Event Lovely Desember Tahun 2014 di Tana Toraja diawali dengan kegiatan Jelajah sepeda Tour de Toraja, tanggal 6-7 Desember 2014. Kegiatan ini diikuti 632 peserta dari 65 komunitas sepeda se Indonesia termasuk 1 orang peserta dari Australia MR. David Evan. Sebelumnya peserta bermalam di lokasi dan Minggu pagi star dari Maliba Uluway menempuh jalur hutan pinus dan jalan-jalan pedesaan sepanjang kurang lebih 45 km dan finish di Plaza Makale.

Hadiah utama dalam pelaksanaan Jelajah Sepeda Tour De Toraja Tahun  ini di boyong oleh Komunitas Sepeda Jelajah Lintas Batas (SJ. LIBAS) dari Kabupaten Majene Sulawesi Barat.


PUNCAK ACARA "LOVELY DECEMBER TAGGAL 27 DESEMBER 2014 DI KOTA MAKALE

Toraja Lovely December 2014
Toraja Lovely December 2014 "I Love Bamboo"
Beberapa diantara rangkaian kegiatan Toraja Lovely December 2014:
1. Lomba Sapta Pesona
2. Jelajah Sepeda wisata
3. Lomba Rakit Tradisional ( Lembang )
4. Lomba Tangkap Ikan ( Mebale, Melendong, Mangngula ' Burinti ' )
5. Lomba Lintas Alam.
6. Lomba Cerita Rakyat yang dilakonkan.
7. Lomba Sastra dan Pidato Bahasa Toraja
8. Lomba Permainan Rakyat ( Katekka, Kacalele, Gasing dan Meoli )
9. Lomba Kidung Natal dan Lagu Daerah.
10. Lomba Foto Pesona Wisata Tana Toraja
11. Pameran Kuliner dan Kerajinan Daerah.
12. Ma'barattung ( Meriam Bambu )
13. Perayaan Puncak Lovely Desember 2014 dan Mangrara Banua Tongkonan
14. Gelar Kerajinan Bambu
15. Band Performance ( Music Entertainment ).


#INFO
Kegiatan dan jadwal yang lengkap silahkan menghubungi kontak Sekretariat Panitia Lovely December 2014 dibawah ini:

Sekretariat Panitia (Disbudpar Kab. Tana Toraja)
Jl. Veteran No. 1, Plaza (Kolam) Makale, Tana Toraja
Telp/Fax: 0423-24804
Email: budpartanatoraja@yahoo.com
CP: E. Bernard - 085 242 057 997


Artikel: Berbagai Sumber

Ulelean Pare: Serre' Datu

Ulelean Pare: Serre' Datu
Ilustrasi Serre' Datu, heheh kira-kira begini... :)
Den misa' to sugi' unnampui serre' datu. Den sangallo na ma'kada tu to sugi' lako serre'na nakua: “Torromoko ammu manda'i pa'kampamu ku malepa undaka' bale ta pa'kandiananni.” 

Ia tonna makaroen sulemi umbaa bale sangburia' na patorroi diong sali. Ma'dondomi sae tu serre' datu unnalai tu bale misa'. Naula'mi naalai dio mai tu bale. Mangka to na pesissikimi tu bale, na tollo'i. Pakalan saeomi na ala serre' datu tu bale misa'. Naula'mi, na la'ka'i tu serre' datu anna durru'i api tu danggo'na anna mararang tu pudukna. Mallaimi te serre' lako leko' dapo'. 

Ia tonna la kumandemo te puangna, natambaimi tu serre' datu dio mai leko' dapo', apa noka sae. Pempiran-piran ditambai apa tontong bang ma'dokko dio leko' dapo' belanna sengke tu penaanna mangka didurru' api.

Tonna mamma'mo tu puangna, mengkondongmi tu serre' datu langngan para anna dedek-dedekki tu Baka Bua nanii balo' lan sisola maa', gayang, rara', lola' sia mintu' eanan banua. 

Na pa'kadaimi serre' datu tu mentu' parea dao para nakua: “Torromokomi kamu. La malemo' aku belanna mangkamo' aku didurru' api sia puramo danggo'ku nakande api.” 
Mebalimi tu issinna Baka Bua kumua: “Minda lamorai torro napesserang balao. La male dukakan kami.” 

Mengkalaomi tu serre' datu rokko sali nakua kuanni tu La'bo' Penai: “Torromoko iko la'bo', la malemo' aku.” 
Apa nakua La'bo' Penai: “Minda lamorai torro nabenga' balao. La male dukana' aku.” 

Kendek omo langngan alang te serre' datu, nakuami lako Pare: “Torromoko iko bo'bo', la malemo' aku.” 
Nakuami tu Pare: “Minda la torro napesserang sia napura balao, la male dukakan  kami.” 

Maleomi te serre' datu ungkuan Tedong tama balana, kumua: “Torromoko iko, Tedong. La malemo' aku. Mangkamo' didurru' api.” 
Nakuami Tedong: “Minda la torro napebalulangi balao, la undi dukakan kami.” 

Nakutanaiomi serre' tu Bai kumua: “Torromoko iko Bai, la malemo' aku. Mangkamo' dipa'dikki.” 
Nakuami Bai ma'kada: “Inda ia latorro nabu'bu'i balao tu bulunta.” 

Napa'kadaiomi serre' datu tu Manuk, nakua: “Torromoko iko manuk, la laomo' aku.” 
Nakuami tu Manuk: “Minda latorro nakondongngi balai, la male dukakan kami.”

Sirampunmi sola nasang anna sangke'deran male. Dolomi tu serre' datu anna sangundian tu pare sia muntu' parea sia patuoan dio boko'na. 

Ullambi'mi misa' banua nanii tau sengke sia untendang bako bua lako salian. Sangundianmi tu issinna baka bua unturu' serre' datu. Ullambi'omi tu to umpakande asunna apa mukkun duka nabamba. Lussu'mi tu asu anna male unturu' serre' datu. Nalambi'omi tu to umpakande manuk, apa mukkun duka naleba' batu. Undi omi tu manuk unturu' serre' datu. Na lambi'omi tu tomarassan umpakande tedongna apa marassa duka nabamba tu kamorokna. Mallaimi tu tedong na undi unturu' serre' datu.

Marassan lumingka tu serre' datu sola sangsiturusanna, pakalan anna membali nasangmo tu rupanna susi tolino. Napatarru'i tu kalingkanna anna lambi' tu da'dua pia baine biungmo marassan ussaro banni' dio to sugi' sangbanuanna tu unnampui da'dua anak muane. Sulemi te pia biung sola duai umbawa banni' lako to'banuanna, anna undi unturu' serre' datu sola solana. Tonna rampomo lako banuanna natiromi tu tau undi unturu'i.

Ma'kadami sola duai nakua: “Lendu'komi mai, da' ammi dio bang salian.” 
Mebalimi tu serre' datu nakua: “La tarru' siakan, melayo bangrakan sattu'." 

Nakuami tinde pia biung: “Ta ma'kalembo' pissanpa mimane umpatarru' lalanmi.” 
Ma'kadaomi tu serre' datu nakua: “La silasa riki'ka tu banni' mi kalembo', anna buda-budakan sibaa?” 

Mebalimi tu pia biung nakua: “Pirarokomi sola nasang?” 
Mebalimi serre' datu, nakua: “Tallung annan, tallung pitu, sangpulo pitu kasera” (Kennanu nakua serre' datu kumua; Buda liu kan). 
Nakuami tu pia biung: “Kita raka la buda na lise'na bo'bo'.”

Masemi penaanna serre' datu sola sangsiturusanna urrangngi kadanna pia biung. 
Nakuami serre' datu: “Iate kami sola nasang, latorromokanni ussisolankomi.” 
Tiramban kapuami te pia biung sola duai. 
Naumpu'i serre' nakua: “Iake tallung bongipa la memala' komi ma'kurre sumanga' belanna pada la untorroikan torroan malesoki la ussisolan komi.”

Nakua serre' datu: “La diona' aku to' dapo'.” 
Ma'kada eanan banua: “La lankan kami baka bua.” 
Susi dukato tu asu, manuk, tedong, bai, pare sia senga'-senga'na pada umpaka inan natorroi. 

Pakalan pada umporupamo rupanna tu serre' datu sola sangsiturusanna anna torro sisola te pia biung. Sugi' sangattu'mi te pia biung makario-rio. Katampakanna ia te pia baine sola duai sibali tu pia muane anakna to sugi' nasisangbanuan simisaran. Sakerangngan-rangngannami tu kasugiranna. Apa tae' na pamadao penaai sangadinna tontong nakilalai tu apa mangka dadi, sia tontong napakaboro' sia nakananna'i tu apa den dio kalena.

Iamoto anna randuk tau umpakaboro'i tu serre' belanna disangan garonto'na eanan, sia biasa diposengo-sengo dikua:
Serre'ri oto' na eanan,
salimbanna baka bua,
ia petamba eanan,
peongli angge maritik,
dio mai randan langi',
to dio oloan uran.



Demikianlah salah satu Ulelean Pare (Cerita Rakyat) dari Toraja. Semoga Bermanfaat :)

Orang Toraja dan Makna Tongkonan

Orang Toraja dan Makna Tongkonan
Orang Toraja dan Makna Tongkonan. Foto: Tongkonan | IndonesiaTravel
Tongkonan adalah rumah tradisional masyarakat Toraja. Terdiri dari tumpukan kayu yang dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, putih dan kuning. Kata “tongkonan” berasal dari bahasa Toraja "tongkon" yang artinya duduk.

Selain rumah, Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan rumah adat ini sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja. Oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena melambangkan hubungan mereka dengan leluhur mereka. 

Tongkonan bukanlah nama satu bentuk bangunan, tetapi Tongkonan merupakan rangkaian dari sekelompok bangunan dimana didalamnya terdapat Banua Sura' (rumah yang diukir / rumah utama), Alang Sura' (lumbung yang diukir), Lemba (juga berfungsi sebagai lumbung namun tidak berukir) dan juga sering terdapat rumah panggung yang memiliki ruangan yang lebih luas, seperti yang banyak kita saksikan sekarang ini.

Tongkonan kini mempunyai banyak versi modernisasi (seperti mulai menggunakan seng sebagai atapnya) namun tidak terlepas dari tradisi yang sudah diwariskan secara turun temurun, dahulu kala bangunan Tongkonan ada yang beratap rumbia / alang-alang / ijuk (serat pohon enau), ada juga yang beratapkan bilah-bilah bambu, bahkan di salah satu Tongkonan tua ditemukan bangunan yang beratapkan batu (banua dipapa batu). 

Orang Toraja dan Makna Tongkonan
Tongkonan di Papa Batu, desa Desa Banga - Bittuang. Menurut keterangan Tongkonan yang berumur lebih dari 700 tahun ini sudah dihuni lebih dari sepuluh generasi. Foto: BongaToraja.com
Salah satu tradisi bangunan Tongkonan yang tetap bertahan adalah model atapnya yang menyerupai bentuk perahu serta banguan yang kesemuanya menghadap arah utara, hal tersebut tidak terlepas dari filosofi hidup dan asal-usul orang Toraja.

Tempat Tinggal dan Pusat Kehidupan Sosial

Orang Toraja dan Makna Tongkonan
Tongkonan Kete Kesu merupakan salah satu Tongkonan tua yang menjadi objek wisata di Toraja yang ramai dikunjungi wisatawan. Foto: Okezone
Rumah adat di Toraja, selain berfungsi sebagai tempat tinggal, juga mempunyai fungsi dan peranan serta arti yang sangat penting dan bernilai tinggi dalam kehidupan masyarakat Toraja. Rumah yang sering disebut Tongkonan dianggap sebagai pusaka warisan dan hak milik turun temurun dari orang yang pertama kali membangun Tongkonan tersebut. 

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan rumah adat ini sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja. Kata Tongkonan berasal dari kata “Tongkon” (duduk_berkumpul) mengandung arti bahwa rumah Tongkonan itu ditempati untuk duduk mendengarkan serta tempat untuk membicarakan dan menyelesaikan segala permasalahan penting dari anggota masyarakat dan keturunannya.

Dahulu kala, seseorang yang memegang kekuasaan serta menjabat suatu tugas adat selalu menjadi narasumber bagi masyarakat sekitar yang datang meminta petunjuk, keterangan, dan perintah karena permasalahan di daerah penguasa tersebut tinggal, dimana orang yang datang itu akan duduk dengan tertib mendengar dan menerima petunjuk atau perintah. 

Inilah permulaan kata Tongkonan ini digunakan, karena duduk berkumpul disebut “Ma’ Tongkon” dan tempat berkumpul adalah Tongkonan yang merupakan kediaman penguasa adat. Lama kelamaan, rumah dari penguasa tersebut menjadi pusat kekuasaan dan pemerintahan adat.

Simbol Persatuan

Orang Toraja dan Makna Tongkonan
Simbol ukiran pada dinding salah satu Tongkonan. Foto: Torajan Tongkonan House In Sulawesi, Indonesia. Print by Glen Allison
Tongkonan merupakan lambang persekutuan orang Toraja, berdasarkan hubungan kekerabatan/keturunan/darah daging. Pada dasarnya bentuk hubungan kekerabatan dalam Tongkonan adalah bahwa setiap keluarga _sepasang suami istri_ membangun rumah atas usaha sendiri atau secara bersama-sama dengan anak-anak dan cucu-cucu. Rumah itu adalah Tongkonan dari setiap orang yang berada dalam garis keturunan dari suami-istri yang mendirikan rumah. 

Orang Toraja cukup mudah menelusuri garis keturunannya melalui hubungan Tongkonan. Seorang Toraja bisa saja berasal lebih dari satu Tongkonan, karena diantara orang Toraja tentunya ada pertalian kekerabatan dalam bentuk perkawinan dari Tongkonan yang lain. 

Dalam sejarah Toraja, Tongkonan yang pertama dikenal adalah Tongkonan Banua Puan di Marinding yang di bangun oleh Tangdilino’. Jadi orang Toraja adalah satu persekutuan, walaupun dengan struktur masyarakat yang berbeda-beda. Ossoran Nene’ / silsilah orang Toraja pada akhirnya bermuara pada persekutuan Sang Torayan yang berasal dari Tongkonan Banua Puan.

Tongkonan Banua Puan, Tongkonan Tertua di Tana Toraja (**)

Orang Toraja dan Makna Tongkonan
Salah satu upacara adat di kaki gunung Kandora. Foto: Youtube|Torajaland
Menurut cerita rakyat Toraja, Tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

Dalam kisah lainnya, diceritakan ketika seorang Pemangku Adat bernama Londong di Rura (Ayam jantan dari Rura) berupaya menyatukan kelompok dengan menyelenggarakan upacara besar. Upacara itu dinamai Ma'Bua' tanpa melalui musyawarah dan aturan upacara adat. Kemudian Tuhan menjatuhkan laknat dan kutukan sehingga tempat upacara terbakar dan menjadi danau yang dapat disaksikan sekarang antara perjalanan dari Toraja ke Makassar (KM 75). Kemudian bercerai-berailah komunitas tersebut ada yang ke selatan dan ke arah utara.

Sementara kelompok yang menuju ke utara sampai di sebuah tempat di kaki Gunung Kandora yang dinamakan Tondok Puan. Mereka mendirikan rumah adat tempat pertemuan dengan nama Banua Puan. Kemudian dinamakan Tongkonan yang artinya Balai Musyawarah. Bangunan itu merupakan Tongkonan pertama di Toraja dan komunitas pertama yang terbentuk bernama To Tangdilino'; artinya pemilik bumi yang diambil dari nama Pemangku Adat pertama (Pimpinan Komunitas To Lembang).

Tongkonan Banua Puan yang terletak di Lembang Marinding Kecamatan Mengkendek Kab. Tana Toraja, dan merupakan Tongkonan tertua dalam sejarah kehidupan suku Toraja. Kini tak ada lagi bangunan Tongkonan di lokasi yang sekarang tinggal nama tersebut. 

Aluk Sanda Pitunna yang disebarkan dari Banua Puan di Marinding itu didalamnya mencakup aturan hidup dan kehidupan manusia serta aturan memuliakan Puang Matua menyembah kepada Deata dan menyembah kepada Tomembali Puang/Todolo ( Puang Matua = Sang Pencipta, Deata =Dewa – Dewa, Tomembali Puang / Todolo = Arwah Leluhur).

Dalam sejarah Toraja disebut bahwa Tangdilino' menikah dengan anak dari Puang Ri Tabang yang tidak lain adalah sepupunya sendiri bernama Buen Manik. Dari pernikahan mereka itu lahir 9 ( Sembilan ) orang anak dan merekalah yang menyebarkan ajaran Aluk Sanda Pitunna serta melebarkan kekuasaan dari Tangdilino’ dengan pusat kekuasaan dari Banua Puan Marinding.

Kesembilan anak dari Tangdilino antara lain yaitu :
1.    Tele Bue yang Pergi ke daerah Duri Enrekang.
2.    Kila’ yang pergi ke daerah Buakayu.
3.    Bobong Langi’ yang pergi ke daerah Mamasa.
4.    Parange yang pergi ke daerah Buntao’
5.    Pata’ba’ yang pergi ke daerah Pantilang
6.    Lanna’ yang pergi ke daerah Sangalla’
7.    Sirrang yang pergi ke daerah Dangle’
8.    Patang tinggal di Banua Puan Marinding
9.    Pabane’ pergi ke daerah Kesu’.

Bentuk, Jenis dan Fungsi Tongkonan

Orang Toraja dan Makna Tongkonan
Tongkonan salah satu masyarakat desa Bulu Langkan, menurut pemilik tongkonan bahwa bangunan ini sudah berumur 100 tahun pada tahun 2012. Foto: geppmatormksr.blogspot.com
Rumah adat ini merupakan rumah panggung dengan konstruksi rangka kayu. Bangunannya terdiri atas 3 bagian, yaitu ulu banua (atap rumah), kalle banua (badan rumah), dan sulluk banua (kaki rumah). Bentuknya persegi karena sebagai mikro kosmos rumah terikat pada 4 penjuru mata angin dengan 4 nilai ritual tertentu. Tongkonan harus menghadap ke utara agar kepala rumah berhimpit dengan kepala langit (ulunna langi’) sebagai sumber kebahagiaan.

Secara teknis pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan, sehingga biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Jadi Tongkonan bagi masyarakat Toraja lebih dari sekedar rumah adat. Dan setiap Tongkonan terdiri dari; Banua (rumah) dan Alang (lumbung) yang dianggap pasangan suami-istri. Deretan Banua dan Alang saling berhadapan. Halaman memanjang antara Banua dan Alang disebut Ulu ba’ba.

Selain sebagai rumah adat, Suku Toraja mengenal 3 jenis Tongkonan menurut peran adatnya, walau bentuknya sama persis, yaitu: Tongkonan Layuk (Pesiok Aluk): sebagai pusat kekuasaan adat dan tempat untuk menyusun aturan-aturan sosial dan keagamaan. Tongkonan Pekaindoran/Pekanberan (Kaparengesan): adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal, tempat untuk  mengurus dan mengatur serta melaksanakan peraturan dan pemerintahan adat. Tongkonan Batu A’riri: berfungsi sebagai Tongkonan penunjang yang mengatur dan membina persatuan keluarga serta membina warisan. (* Jenis-jenis Tongkonan ini akan diuraikan dalam artikel lain)

Eksklusivitas kaum bangsawan atas Tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang dapat pekerjaan menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun Tongkonan yang besar.

Orang Toraja dan Makna Tongkonan
Foto Tongkonan di Kete Kesu Tana Toraja yg diambil dari udara. Alam & budaya yg memukau. Foto: IndonesiaTravel | Barry Kusuma
Beberapa Pendapat dan Pemahaman Mengenai Tongkonan

Bagi masyarakat umum (diluar Toraja) bahkan buku-buku pelajaran IPS di sekolah memiliki pemahaman tersendiri tentang rumah adat Toraja yang disebut Tongkonan. Dalam gambaran mereka Tongkonan adalah sebuah bentuk bangunan yang dindingnya diukir dan atap berbentuk perahu.

Namun pemahaman umum tersebut berbeda halnya dalam kalangan masyarakat Toraja, ada beberapa pemahaman yang berkembang tentang keberadaan Tongkonan. Pemahaman tersebut berasal baik dari tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh gereja maupun dari anggota masyarakat, antara lain: 

1. Bahwa Tongkonan adalah tempat duduk atau kedudukan yang berarti rumah pusaka yang telah turun-temurun lama (bnd. J. Tammu & van der Veen) . Pemahaman ini berarti pula bahwa Tongkonan merupakan suatu “tempat/kedudukan” yang mempunyai fungsi, peran dan nilai sosial, keagamaan dan hukum dalam masyarakat.

2. Bahwa Tongkonan itu adalah rumah adat Toraja. Dalam arti bahwa semua rumah yang berbentuk perahu itu adalah Tongkonan.

3. Rumah Tongkonan adalah lebih berorientasi pada fungsi sosial dan bukan dalam bentuk/fisik.

4. Bahwa Tongkonan adalah pusat kebudayaan Toraja, sama seperti keraton di Jawa atau istana kerajaan-kerajaan di mana saja. Hal ini menandakan bahwa Tongkonan merupakan lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat dalam wilayah Tongkonan tersebut. 

5. Bahwa Tongkonan adalah tempat bermusyawarah/balai pertemuan keluarga dan masyarakat yang lahir dan berketurunan dari Tongkonan tersebut.

Orang Toraja dan Makna Tongkonan
Tata letak Tongkonan yang berjajar saling berhadapan erat kaitannya dengan filosofi dan asal-usul Orang Toraja. Foto: google
Berikut adalah beberapa pendapat dan pemahaman Orang Toraja di media sosial tentang Tongkonan:

1. Elia Landa: Tongkon-madokko. tongkonan-kapa,dokkoan. semua juga tau klau tongkonan adalah rumah adat suku toraja. tapi bagi kita orang toraja. tongkonan punya arti yg sangat mendalam. dari semangat gotong royong saat membangun baik itu dr dana, tenaga, jg pikiran. begitu jg saat peresmian. tongkonan jg dpt mempertemukan saudara wlupun tdk saling kenal tpi d tongkonan tersimpan rapi silsilah keluarga walaupun secara lisan. banyak lg fungsi tongkonan bgi kehidupan bermasyarakat d toraja. tabe lako siulu solanasang ke denni sala kata! salama, beraktifitas!

2. Yun Nait: Tongkonan merupakan rumah adat roraja dimana sebagai akar dari silsila kekeluargaan sebagai alat pemersatu dan silaturami serta benteng untuk memperkuat tali kekeluargaan.

3. Albert: Tongkonan adalah rumah persatuan rumpun keluarga dari adat ke nenek moyang kita di mana semua keturunan berkumpul dan mendirikan sebuah tanda rumah adat tana toraja. Toraya tondok mala'bi.

4. Yuliana Daunallo: Tongkonan adlh rumah adat tana toraja sebagai tempat pertemuan keluarga besar....

5. Ayoe Wahyoenii PiLo: Tongkonan itu tempat tongkon dulu digunakan sebagai tempat musyawarah atau sekedar duduk bercerita

6. Endang Shruyo Banua: pa'rapuan tu dipamatua lan misa' keluarga

7. Suhartin Balalembang: Tongkonan merupakn nama rumah adat tana toraja yg berarti tempat berkumpulx seluruh rumpun kluarga baik itu dlam keadan susah maupun senang.

8. Yati Tappang: Tongkonan adalah asal nenek moyang kita turun temurun sampai ke anak cucu tdk bisa di lupkan yg kita asal dr mana di sanalah kita bangunkan sebuah rmh tongkonan dlm satu keluarga besar.tabek lako siuluk salama sola......


Semoga Bermanfaat... :)


NB: 
Bila ada yang memiliki pendapat lain atau sumber yang lebih akurat silahkan berbagi dalam kolom komentar. 
(**) Lebih lengkap mengenai "Tongkonan Banua Puan" akan diuraikan pada artikel lain




Sumber Rujukan:

Den Upa Rombelayuk. ___. Kelembagaan Masyarakat Adat Desa Di Tana Toraja – Sulawesi Selatan. Makalah. 

H. Umar R. Soeroer. 1998. Kepercayaan aluk todolo : kajian agama dalam dimensi sosial dan budaya lokal di Tana Toraja. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama.


Suku Toraja - Wikipedia

Andina Laksmi: Impian ke Toraja itu Tercapai

Andina Laksmi: Impian ke Toraja itu Tercapai
Toraja. Asyiiikkk… akhirnya tercapai cita2ku…
Di awal bulan April tahun 2014 ini alhamdulillah saya berkesempatan untuk mengunjungi Makassar lagi (dengan gratisss lagi tentunya….). Saya kalo ke Makassar memang nunggu gratisan dengan cara daftar diklat di kantor. Hehehe… 

Andina Laksmi: Impian ke Toraja itu Tercapai
Motor yg mengantar kami keliling Toraja
Sejak dulu saya sudah bercita2 untuk berwisata ke Tana Toraja, tapi masih ragu-ragu dengan jaraknya yang jauh dan waktu yang mepet. Jadi pada awalnya saya dan teman diklat saya dari Surabaya merencanakan untuk menghabiskan weekend setelah diklat ke Tanjung Bira. Tapi kayaknya ga seru kalo ke Tanjung Bira cuma berdua aja, makanya kami ganti haluan untuk ke Toraja. Asyiiikkk…. akhirnya tercapai cita2ku…

Andina Laksmi: Impian ke Toraja itu Tercapai
Partner travellingku di Toraja.
Oya, partner travelling saya kali ini namanya Grandis, temen sekantor yang ikut diklat bareng. Grandis ini selain punya hobi travelling dia juga punya hobi fotografi, dan dia adalah seorang fotografer profesional lhooo… Dia punya usaha fotografi yang diberi nama Grafato. Hasil-hasil fotonya sumpah keren abis… Jadi nyesel dulu pas hamil Rendra belum kenal sama Grandis (pengen banget difoto pas hamil besar).

Dua hari sebelum berangkat kami membeli tiket bus Bintang Prima di pool-nya, jalan Perintis Kemerdekaan. Tarif bus dari Makassar ke Toraja adalah Rp160 ribu untuk bus type scania (yang paling bagus). Sedangkan yang air suspension tarifnya Rp140 ribu. Kami memilih yang scania dong supaya bisa tidur dengan nyaman. Jadwal keberangkatan bus adalah pukul 21.30 wita.

Andina Laksmi: Impian ke Toraja itu Tercapai
Foto di depan busnya... :D
Pada hari jumat malam kami sudah sampai di pool bus Bintang Prima pukul 21.00. Setelah menunggu cukup lama, sekitar pukul 22.00 kami baru berangkat. Bus ini sangat nyaman, tempat duduknya besar dan reclining. Ada sandaran kakinya dan juga dilengkapi dengan guling kecil dan selimut. Tapi bus ini memang tidak dilengkapi dengan toilet, mungkin supaya ga bau pesing kali yaa…

Andina Laksmi: Impian ke Toraja itu Tercapai
Tempat duduknya sangat nyaman.
Esoknya, hari sabtu pukul 6 pagi kami sampai di Rantepao, Toraja. Setelah turun dari bus, kami langsung disambut oleh tukang bentor. Kami minta diantar ke Wisma Monika, jaraknya cukup dekat, abang tukang bentor hanya meminta bayaran Rp 5 ribu. Alamat wisma ini di jalan Dr. Samratulangi No 36, Rantepao. Kami sengaja menyewa kamar di Wisma Monika hanya untuk mandi. Yaa daripada ga mandi ato numpang mandi di restoran kan lebih baik keluar duit dikit untuk kenyamanan dan kebersihan. 

Andina Laksmi: Impian ke Toraja itu Tercapai
Kamar di Wisma Monica,
not too bad kan…
Harga kamar yang paling murah di Wisma Monica adalah Rp250 ribu dengan fasilitas shower air panas dan sarapan. Oyaa.. air panas ini nantinya sangat berguna bagi kami lho. Selain Wisma Monica, ada juga wisma lain namanya Wisma Maria. Menurut blog yang saya baca di wisma maria ada kamar yang tarifnya hanya 100 ribuan. Tapi karena lihat foto kamar mandinya jelek saya jadi ogah.

Andina Laksmi: Impian ke Toraja itu Tercapai
Kamar mandi yg bersih
dan ada air panasnya... :)
Setelah selesai mandi, kami sarapan di wisma. Menunya nasi goreng dan telur ceplok. Rasanya ga enak sih, tapi ya udah dimakan aja. Sebelumnya Grandis keluar untuk mencari penyewaan motor dan dapet di Wisma Maria dengan harga Rp70 ribu per hari. Pagi itu gerimis turun, tapi gak menyurutkan niat kami untuk mengeksplore Toraja. Jadi kami menembus hujan gerimis menuju Kete’ Kesu, obyek wisata yang menjadi tujuan pertama kami.

Andina Laksmi: Impian ke Toraja itu Tercapai
Map of Tana Toraja — sorry udah lecek :D

Untuk mengetahui bagaimana perjalanan saya ke Ke'te Kesu' anda bisa membacanya di artikel "Kete Kesu, Wisata Kuburan dan Tulang Belulang"


Sumber:
Artikel dan Foto: Andina Laksmi

Tentang penulis:
Andina Laksmi, wanita kantoran dan juga seorang ibu, namun disela-sela kesibukannya sebagai pegawai kantoran, masih menyempatkan diri untuk pergi travelling dan menulis blog. Hobinya untuk travelling dan menulis sudah mengantarkannya ke berbagai tempat wisata baik dalam negeri maupun luar negeri. Anda bisa membaca kisah perjalanannya pada blog "Here, There, & Everywhere _ my travel notes". 


Semoga bermanfaat...  nantikan kisah lainnya... :)


Tips: (Ed)
Bila anda ingin menikmati bentang alam yang mempesona sepanjang perjalanan menuju Toraja sebaiknya anda menumpang bus yang jadwal keberangkatannya pagi atau siang hari. Salah satu pemandangan yang akan anda saksikan adalah pesona Gunung Nona (Buntu Kabobong _ dalam bahasa lokal). 

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja (Bag II)

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Deretan Tongkonan Karuaya. Terawat dan Asri. Jauh di pelosok Toraja.
Di langit, matahari siang menuju ke atas ubun-ubun. Namun, awan yang berarak mendinginkan suasana. Malah menjelang siang, mendung hitam berusaha mengambilalih keadaan. Tentu, saya berharap semoga hujan tak menangis di kolong langit ini. Jelajah Toraja masih belum sampai setengah hari.

Tibalah saya di Karuaya. Sebuah kampung pemukiman terpelosok yang jauh dari hingar bingar wisata Toraja. Sensasi kesunyian adalah nilai tambah yang mengunggulkan Karuaya dibanding tempat lain. Ada kompleks Tongkonan yang berumur cukup tua di sini. Tepat berada di sisi kanan jalan. Jalan itu juga menjadi pembatas kawasan di sebelah utara Tongkonan. Sedangkan di sebelah selatan, menjulang kekar sebuah tebing yang membatasi sekaligus melindungi Tongkonan Karuaya.

Lima buah rumah tradisional Toraja berdiri gagah. Rerumputan hijau menjadi alas yang halus, laksana karpet menghampar. Seni arsitektur Tongkonan ini masih tradisional dengan beratapkan rumbai-rumbai. Tetumbuhan hijau menghiasi atapnya yang hitam. Tongkonan ini menghadap ke utara, sesuai aturan adat bahwa setiap Tongkonan harus menghadap ke arah utara yang melambangkan awal kehidupan. Sedangkan bagian belakang rumah menghadap arah selatan yang melambangkan akhir kehidupan.   

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Alang Sura'. Lumbung yang digunakan menyimpan padi, gabah dan beras. Jaring pengaman ekonomi. 
Tongkonan berbentuk perahu layar. Tradisi lisan masyarakat Toraja meyakini bahwa bentuk itu dilatarbelakangi datangnya penguasa pertama di Toraja, dari arah selatan Tana Toraja dengan mempergunakan perahu yang dinamakan Lembang melalui sungai-sungai besar seperti sungai Sa’dang. Bentuk perahu itulah ilham pembuatan rumah tongkonan, sehingga bentuk atapnya menjulang ke depan dan ke belakang.

Di bagian depan Tongkonan, ada Alang Sura' yang jumlahnya sebanyak Tongkonan. Alang Sura' ini digunakan untuk menyimpan bahan-bahan makanan terutama padi, gabah dan beras. Ikat-ikatan padi sehabis dipanen terlihat di dalam Alang Sura'. Ada juga beberapa karung beras dan gabah. Pada Alang Sura', tiang-tiangnya dibuat dari batang pohon palem (bangah) yang licin. Ini dimaksudkan agar tikus tidak dapat naik ke dalam bangunan yang berfungsi sebagai lumbung itu. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari yang merupakan simbol untuk menyelesaiakan perkara.

Tiba-tiba seorang nenek tua datang menghampiri saya. Khas wanita Toraja. Berpakaian Toraja dengan passapu atau penutup kepala. Dia langsung mengulurkan tangan untuk jabat tangan dengan saya. Tak banyak kata. Tapi dia ramah menawarkan sebuah senyum yang merekah. Sebuah senyum yang bisa menyamarkan usianya. Kira-kira dia berusia 80-an tahun. Terlihat dari keriput yang menghiasi wajah rentanya. Namun terlihat semangat hidupnya masih tinggi. Enerjik. Tidak ada raut lelah dan lemah yang menyusutkan.

"Tak banyak kata. Tapi dia ramah menawarkan sebuah senyum yang merekah."

Sembari mengulum pinang daun sirih yang menjinggakan giginya, dia mengucapkan sepenggal kata pada saya. Suaranya lirih. Hingga saya perlu mendekatkan telinga saya ke dekat mulutnya.

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Berfoto dengan nenek 'artis' Karuaya, Toraja. 
“Selamat datang” ternyata dia ingin mengatakan kata sambutan kepada saya. “Dari mana ya?”, lanjut dia meneruskan sambutan dengan pertanyaan.

“Dari Jawa, nek” jawab saya.

Tidak terduga nenek itu menepuk-menepuk bahu saya. Tidak berkata. Tidak bersuara. Hanya senyumnya yang bertahan. Senyumnya tidak memudar. Sambil dia mengangkat tangan dan menunjuk ke seluruh ruang kompleks Tongkonan.

“Kamu dipersilakan melihat-lihat kawasan ini,” kata Basho mengartikan gerak tubuh itu. Si nenek tadi membalikkan badan. Saat itu juga, Basho mengajaknya mengobrol menggunakan bahasa Toraja. Saya rela. Biarlah ini menjadi romantisme Basho dengan nenek itu. Saya pun berkeliling lagi melihat-lihat lekuk kawasan Tongkonan Karuaya.

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Tongkonan yang penuh dengan ornamen tanduk kerbau.
Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Salah satu tiang di Tongkonan Karuaya penuh tanduk kerbau. Simbol kekayaan keluarga.
Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Kepala kerbau di Tongkonan. Simbol kemakmuran. 
Bola mata saya tertarik pada setiap sudut di Tongkonan. Ia menyediakan begitu banyak ensiklopedia budaya Toraja yang khas. Akhirnya, pengelanaan mata saya berlabuh pada banyaknya tanduk kerbau dipajang pada tiang utama di depan setiap rumah. Jumlah tanduk kepala kerbau tersebut berbaris dari atas ke bawah. Bagi orang Toraja, tanduk kerbau di depan Tongkonan melambangkan kemampuan ekonomi sang pemilik rumah saat upacara penguburan anggota keluarganya.

Setiap upacara adat di Toraja seperti pemakaman akan mengorbankan kerbau dalam jumlah yang banyak. Tanduk kerbau kemudian dipasang pada tongkonan milik keluarga bersangkutan. Semakin banyak tanduk yang terpasang di depan Tongkonan maka semakin tinggi pula status sosial keluarga pemilik rumah Tongkonan tersebut. Selain itu, di sisi kiri rumah menghadap ke arah barat dipasang rahang kerbau yang disembelih. Di sisi kanan yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi.

Seorang anak kecil keluar dari salah satu rumah Tongkonan. Cepat menuruni tangga, lihai karena terbiasa. Dia melintas hamparan rumput yang memisahkan Tongkonan dan Alang Sura'. Berlari. Beberapa kawannya telah menunggunya di bawah Alang Sura' bersama sang nenek tadi. Saat itu, Tongkonan Karuaya cukup ramai dengan warga setempat. Kehadiran saya di sana sepertinya adalah gula. Manis memikat untuk mengumpulkan orang. Basho kemudian mengundang saya mendekat.

“Kamu diajak nenek untuk berfoto bersama. Untuk kenang-kenangan katanya.”

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Nenek dengan cucu-cucunya penghuni Tongkonan Karuaya.
Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Anak-anak kecil di Karuaya. Malu-malu tapi ramah.
Ciiiis.. Jepreeeet. Lagi-lagi senyuman mewarnai foto kami. Saya berfoto dengan seorang nenek yang mungkin di masa mudanya adalah kembang desa di kampungnya. Kemolekan mudanya masih terkandung jelas di balik kerutan rentanya. Muda dan tua berjalan selaras di wajah dan badan nenek itu.

“Nenek ini memang ‘artis’ nya Karuaya. Setiap wisatawan yang datang ke sini pasti diajak berfoto bersamanya,“ kata Basho sembari berjalan kembali ke mobil.

Momen foto bersama tadi adalah salam perpisahan saya dengan mereka di Karuaya. Lambaian tangan nenek dan anak-anak di Tongkonan mengantarkan kepergian kami. Senyum sang nenek terus memancar dari wajahnya. Seperti sebuah simpul untuk menambatkan hati saya agar selalu mengingatnya. Saya pun luruh dalam perpisahan yang mengharukan. Di pelosok Toraja, di Karuaya inilah saya seperti menemukan saudara. Melintas suku dan agama. Barangkali dari pengalaman ke Karuaya, setiap pengelana akan menemukan perasaan itu. Hangat, membekas dan tidak terlupa.

Kini, penjelajahan Toraja harus terus berlanjut. Melepas Karuaya menuju tujuan yang berikut. Langit mendung tetap menggelayut. Tapi hujan belum ada tanda untuk datang. Awan masih bimbang. Meski begitu, tetap saja saya harus melalui sebuah siang yang tidak riang.

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Hamparan sawah pedesaan Toraja, harmoni alam dan budaya di pelataran Tongkonan.
Perjalanan seakan mengulang-ulang. Masih saja sama. Jalan berbatu dan berkubang. Bergantian sawah dan pematang yang bertingkat-tingkat dengan yang lapang. Masuk kampung keluar kampung. Bergantian Tongkonan tradisional dan modern saling menyelinap dari balik rimbun pepohonan. Namun, jalanan kini konsisten datar. Sebegitunya berulang, angan saya masih terjejak di Karuaya. Terjejak pada senyum sang nenek tadi.

Hingga saya dikejutkan pada seekor kerbau belang yang mandi di sebuah kolam. Seekor binatang yang sakral dikorbankan dalam upacara khas Toraja. Putih-merah muda dan berbelang-hitam. Si kerbau dibiarkan mandi sepuasnya. Tiada kerbau lain yang bercampur dan mengusik kenikmatan mandi si "kerbau raja" ini. Pemilik kerbau mengawasi dari tepian kolam. Tentu dia dengan setia menjaganya karena inilah asetnya yang berharga. Betapa tidak, nilai seekor kerbau belang (tedong bonga) bisa seharga mobil. Sebuah tabungan kehidupan. Sebuah jalan menuju kemakmuran.

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Kerbau Belang sedang berkubang di kolam. Hewan sakral Toraja yang berharga ratusan juta. 
Pedesaan yang penuh imajinasi tampaknya telah berakhir. Ujung jalan beraspal dimulai lagi. Tepat di persimpangan sebuah jalan menuju Kete’ Ketsu. Keasrian pedesaan telah digantikan lalu lalang kendaraan. Digantikan keriuhan wisata. Saya harus bergabung lagi bersama nuansa turisme yang riuh dengan "komoditas" budaya dan sejenisnya.

Ah, dua jam berada pada alam imajinasi Toraja rasanya sangat cepat. Seperti sekedar kelebat. Rasanya belum rela kaki saya kembali berpijak ditengah hiruk pikuk realitas.

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Hamparan sawah pedesaan Toraja, harmoni alam dan budaya di pelataran Tongkonan.

Baca sebelumnya di: Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja (Bag I)

Harmoni kaki, kata dan hati ke penjuru negeri... INDONESIA


Artikel dan Foto oleh Iqbal Kautsar


Tentang Penulis:
Iqbal Kautsar, seorang; Pemakna khasanah INDONESIA | Pejalan dan pencerita perjalanan | Pecinta kopi, durian dan brotowali | Yogyakarta dan Kebumen | 
Anda bisa menghubunginya melalui email: iqbalkautsar@gmail.com


Sumber: artikel ini sebelumnya diposting dalam blog pribadi penulis _DIASPORA IQBAL_ dan atas izin dari penulis, artikel ini kami posting kembali untuk menambah informasi tentang pariwisata di Indonesia khususnya di Toraja.