Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik (Bag.II)

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Deretan menhir atau simbuang batu di Bori Kalimbuang.


Basho kemudian mengajak saya menaiki setapak. Menembus rerimbunan pohon dan bambu. Suasana sejuk mengiringi perjalanan yang mengantarkan pada kesegaran. Hingga 100 meter kemudian saya tiba pada sebuah batu besar berbentuk oval yang dilubangi sebagai tempat peletakkan jenazah. Itulah Liang Pa’. Sebuah kompleks kuburan batu di Bori’ Kalimbuang.

“Pembuatan lubang ini, unsur adat masih sangat kental.” Jelas Basho. “Misalnya mau membuat siku tiap sudut saja, perlu dikurbankan hewan.” Satu lubang pada Liang Pa’ ini adalah milik satu keluarga besar. Orang yang berhak dikuburkan di situ adalah keluarga besar sang pemilik lubang tersebut.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Liang Pa' di kawasan Bori Kalimbuang. Satu lubang untuk satu keluarga.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Tengkorak berserakan dan bertumpukan di salah satu lubang Liang Pa'. Seram.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Pintu kubur di Liang Pa' yang akan dipersiapkan untuk penguburan jenazah.

Pada salah satu lubang, terdapat banyak tengkorak terpajang. Kesannya terasa mistis. Mereka bertumpuk-tumpukan seperti sedang berebutan memerhatikan perangai saya. Terlebih, di sampingnya ada beberapa pigura foto lengkap dengan sesajinya. Horor. Sepertinya itu adalah tokoh adat di Bori’ yang belum lama disemayamkan pada Liang Pa’. Untung saja kicauan burung liar berhasil menyemarakkan suasana.

Sebenarnya Basho akan mengajak untuk melanjutkan menelusuri setapak. “Ada perkampungan penduduk di sana.” katanya. Namun, sore yang kian menjadi mengubur niatan itu. Kami pun kembali ke tempat parkir. Sesampainya, saya melihat ada bangunan yang tampak diobrak-abrik di seberang pandang. Cukup jauh, tapi tetap bisa kelihatan. Ada apa gerangan?

Seorang lelaki tua setempat bercerita. “Masyarakat menghukum sang pemilik rumah karena melakukan pelanggaran berat atas adat. Rumah dan pekarangannya pun diobrak-abrik.” Sayangnya saya tak mendapatkan rincian adat apa yang dilanggar. Mobil kami pun mulai melaju. Tapi, dari balik kaca, saya tetap saja memandangi rumah yang rusak itu. Sembari pikiran saya berkelana. Ah, berarti masyarakat Toraja sangat disiplin dan tegas menjunjung tradisi adatnya. Kini kami mulai memasuki hutan. Berkelok-kelok.

Tiba-tiba tampak dua orang wisatawan asing berjalan kaki di tepian jalan. Mereka sepertinya kelelahan tetapi begitu menyesap nikmat suasana. “Turis asing suka berjalan-jalan, berpetualang menelusuri alam Toraja. Mereka biasanya berwisata secara mandiri” tutur Basho. 

Lepas dari hutan, sampailah kami di Sesean. Kota kecamatan ini begitu lengang. Sore telah membuat penghuninya sibuk di dalam rumah. Tapi, menara gereja tampak menjulang di antara pemukiman dan Tongkonan. Ini mengingatkan saya pada simbol. Tradisi leluhur dengan agama ‘mainstream’ bisa harmonis berpadu di Toraja.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Suasana yang nyaman dan asri di wilayah Sesean.

Seperempat jam kemudian, mobil berhenti. Di pinggir sebuah pohon beringin besar. Basho keluar. Dia mengajak saya dan menunjukkan sebuah jembatan bambu. Ya, sebuah arsitektur dari bambu yang saling mengikat dalam simpul-simpul yang kuat. Tanpa paku. Berbentuk segitiga meruncing ke atas di tepiannya. Melintas di bawahnya, sebuah sungai mengalir tenang. Yang diapit bebatuan granit yang berkotak-kotak. Bertingkat-tingkat. Eksotis.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Bebatuan eksotis di sungai Masupu Toraja.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Jembatan bambu gantung. Melintas di atas sungai Masupu Toraja.

Seorang ibu pembawa rumput melintas. Menyeberangi jembatan. Senyum ramah menguar darinya tatkala saya berpapasan dengannya. Dia pulang selepas dari ladangnya. 

“Rumput ini untuk makan dua kerbau milik saya.” terangnya.

Saya pun mengiringi perjalanan sang ibu itu. Berinteraksi. Berkomunikasi. Berbagi cerita. Berbagi tertawa. Ramah dan hangat. Hingga kami mesti berpisah. Karena saya harus pulang ke Rantepao dan sang ibu melanjutkan perjalanannya ke rumah. Sepertinya perjalanan dia masih cukup jauh. Berjalan kaki. Tapi, demi menghidupi sang kerbau, dia tulus menjalani aktivitas ini setiap harinya. Sosok ibu pembawa rumput pun menghilang. Tertelan pada jalan kampung menerabas belukar. 

Dan, matahari makin memudar. Tidak saja tertutup awan, tetapi karena senja kian menjelang. Empat kilometer lagi menuju Rantepao. Jejalanan beraspal yang terkelupas selekasnya kami libas. Saya masih harus berburu oleh-oleh khas Toraja dan juga pasti Kopi Toraja di Pasar Rantepao. 

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Rante Kalimbuang, pusat aktivitas Rambu Solo' di Bori Kalimbuang. 

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Tanaman sulir bisa tumbuh di atas bebatuan menhir.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Penulis berpose di jembatan bambu.


Artikel dan Foto: Iqbal Kautsar | @iqbal_kautsar



Tentang Penulis:
Iqbal Kautsar, seorang; Pemakna khasanah INDONESIA | Pejalan dan pencerita perjalanan | Pecinta kopi, durian dan brotowali | Yogyakarta dan Kebumen |

Anda bisa menghubunginya melalui email: iqbalkautsar@gmail.com

Sumber: artikel ini sebelumnya diposting dalam blog pribadi penulis _DIASPORA IQBAL_ dan atas izin dari penulis, artikel ini kami posting kembali untuk menambah informasi tentang pariwisata di Indonesia khususnya di Toraja.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik (Bag.I)

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Bori' Kalimbuang, Situs Megalitik Toraja.
Batu-batu tegak berdiri pada hamparan hijau tanah rumput. Berbentuk menhir. Tinggi memanjang menyembul dari daratan. Tapi tak seragam. Ada yang kecil, ada yang besar. Ada yang pendek ada yang tinggi. Saya tertarik menyelinap masuk di antara bebatuan ini. Berpindah dari satu batu ke batu lain. Kilat tak menjejakkan suara. Ah, saya sedang iseng bermain sembunyi-sembunyian. Dooorrr! Basho terkejut ketika sibuk mencari saya yang seperti hilang tertelan di Rante Kalimbuang.

“Keseluruhan batu menhir di sini konon berjumlah 102 buah. Terdiri dari 54 menhir kecil, 24 sedang dan 24 batu berukuran besar. “jelas Basho seraya ia menguasai diri dari kekagetannya. Untung saja Basho orangnya ramah. Tak nampak ada marah setelah saya jahili. Dia sangat profesional.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Deretan menhir di Rante Kalimbuang berusia ratusan tahun. Tampak Balakkayan berupa panggung.

Rante Kalimbuang merupakan kawasan utama di Bori’ Kalimbuang, Sesean, Toraja Utara. Rante menjadi tempat upacara pemakaman adat atau Rambu Solo’ yang dilengkapi dengan menhir-menhir yang dikenal dalam bahasa Toraja sebagai simbuang batu. Di Tana Toraja sebenarnya banyak ditemukan situs megalith seperti ini. Di Bori Kalimbuang, menhir didirikan demi menghormati pemuka adat atau keluarga bangsawan yang meninggal. Bebatuan menhir ini ada yang berusia hingga ratusan tahun. 

Namun, sifat masyarakat Toraja yang erat dalam persaudaraan dan kekeluargaan menjadikan prosesi pendirian menhir terasa mudah.

Tidak sembarang untuk membangun menhir. Masyarakat harus mengadakan suatu upacara adat Rambu Solo' (upacara pemakaman) dalam tingkatan tertentu contohnya Rapasan Sapurandanan. Dalam upacara ini, kerbau yang dikurbankan minimal sejumlah 24 ekor. Jumlah yang dikorbankan sesungguhnya tidak berdampak pada ukuran tinggi dan besar menhir. Sama saja nilai adatnya. Tetapi sekarang, banyak orang yang menganggap semakin tinggi dan besar menhir yang didirikan, maka semakin tinggi derajat kebangsawanannya. Barangkali benar juga. Pada menhir-menhir yang tinggi, saya amati batuannya masih tampak baru.

“Bagaimana mendirikan menhir-menhir ini?” tanya saya kepada Basho. Saya penasaran karena tak tampak ada sambungan di batu. Pastilah batu yang dijadikan menhir merupakan satu batu utuh yang berukuran besar. 

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Panggung mirip Tongkonan untuk para tamu Rambu Solo, dengan hiasan kerangka gigi kerbau.

Basho menceritakan muasalnya. Batu untuk menhir diambil dari gunung, dari batu-batu besar yang banyak bertebaran di Toraja. Di lokasi asal batu ini, dilakukanlah penggalian dan pemahatan batu. Pemahatan bisa berlangsung berhari-hari bahkan bisa sampai 2 bulan. Sebelumnya, untuk memulai pemahatan dilakukan penyembelihan seekor kerbau. Babi-babi juga dikurbankan.

Setelah batu menhir selesai dipahat, kemudian ditarik oleh beratus-ratus orang dengan cara tradisional. Batu ditarik atau digulirkan menggunakan batang-batang pohon dan tali-temali dari bambu. Proses penarikan ini melibatkan penduduk dan siapapun yang berkenan menyumbangkan tenaganya. Proses penarikan batu dari tempat asalnya dipahat hingga ke lokasi pendirian menhir memakan waktu behari-hari bahkan berminggu-minggu. Tergantung medan dan jarak yang dilaluinya.

Untuk mendirikan menhir di lokasi, dilakukanlah oleh beratus-ratus lelaki. Kurang lebih sepertiga tinggi batu menhir ditanam di dalam tanah. Tinggal menyisakan dua pertiganya yang menjulang di atas tanah. Bisa dibayangkan, proses mendirikan menhir membutuhkan banyak tenaga. Namun, sifat masyarakat Toraja yang erat dalam persaudaraan dan kekeluargaan menjadikan prosesi pendirian menhir terasa mudah.

Baiklah. Lepas dari muasal menhir, saya mengamati lingkungan Rante Kalimbuang. Beberapa bangunan beratap khas (mirip Tongkonan) tampak menjadi hiasan Rante. Ah, ini kan sebenarnya tempat upacara adat Rambu Solo’. Berarti bangunan-bangunan ini memiliki fungsi dengan pelaksanaan upacara tersebut.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Bangunan paling besar Lakkian tempat jenazah disemayamkan saat Rambu Solo'. Di sampingnya ada Langi' tempat usungan jenazah. 

Di tengah, di antara ‘rerimbunan’ menhir terdapat beberapa bangunan jangkung. Salah satunya ada yang masih baru. Itulah Balakkayan. Tempat ini berbentuk panggung untuk membagi-bagikan daging hewan yang disembelih saat Rambu Solo’. Di sinilah, para pembagi daging atau dikenal To Mantawa meneriakkan nama-nama penerima daging. To Mantawa akan memanggil sesuai kedudukan sosialnya atau ‘Saroan’ nya.                     

Ada juga Lakkian di pinggir kompleks menhir. Lakkian menjadi tempat jenazah disemayamkan selama upacara Rambu Solo’ berlangsung. Terdiri atas dua tingkat. Bagian atas menjadi tempat peti jenasah disemayamkan. Adapun, bagian bawah sebagai tempat duduk keluarga yang berduka. Lakkian ini dibangun paling tinggi di antara bangunan2 lain yang terdapat di tempat upacara Rambu Solo’ berlangsung. Lakkian ini tidak boleh dirobohkan. Dibiarkan begitu saja sampai roboh dengan sendirinya.

Bangunan lainnya adalah Langi’, yaitu tempat usungan jenazah. Usungan ini berbentuk atap Tongkonan. Langi’ biasanya dihiasi dengan uang logam kuno orang Toraja, diukir dengan berbagai macam ukiran – ukiran khas orang Toraja. Berbagai macam hiasan - hiasan lain semakin menambah kemeriahan Langi’. Selain itu masih ada beberapa bangunan panggung di sekitar area menhir. Tempat ini menjadi tempat duduk para tamu undangan saat Rambu Solo’. Terdapat hiasan kerangka gigi kerbau yang dikurbankan.

Basho kemudian mengajak saya menaiki setapak. Menembus rerimbunan pohon dan bambu. Suasana sejuk mengiringi perjalanan yang mengantarkan pada kesegaran. Hingga 100 meter kemudian saya tiba pada sebuah batu besar berbentuk oval yang dilubangi sebagai tempat peletakkan jenazah. Itulah Liang Pa’. Sebuah kompleks kuburan batu di Bori’ Kalimbuang...

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Liang Pa' di kawasan Bori Kalimbuang. Kubur batu pada batuan oval.


Bersambung...



Artikel dan Foto: Iqbal Kautsar | @iqbal_kautsar

Tentang Penulis:
Iqbal Kautsar, seorang; Pemakna khasanah INDONESIA | Pejalan dan pencerita perjalanan | Pecinta kopi, durian dan brotowali | Yogyakarta dan Kebumen |

Anda bisa menghubunginya melalui email: iqbalkautsar@gmail.com

Sumber: artikel ini sebelumnya diposting dalam blog pribadi penulis _DIASPORA IQBAL_ dan atas izin dari penulis, artikel ini kami posting kembali untuk menambah informasi tentang pariwisata di Indonesia khususnya di Toraja.