Lemo: Menyambangi Pekuburan di Tebing Batu Khas Toraja

Lemo, Pekuburan di Tebing Batu Khas Toraja. Foto: ist
Nyata! Ditampilkan dengan luar biasa pekuburan melekat di dinding tebing bukit tinggi dan dipahat dengan sabarnya selama berbulan-bulan. Di sinilah Anda dapat merasakan langsung aura kematian dibingkai adat budaya berharmoni dengan alam. Lemo diperkirakan sudah ada sejak abad ke-16 dan menjadi makam kepala Suku Toraja. Tidak perlu dipertanyakan lagi kewajiban menyambangi tempat ini tentunya!

Lemo telah muncul sejak dahulu menjadi daya tarik yang memukau di Toraja. Sebuah kubur batu menjadi pemandangan luar biasa menyatu bersama hamparan sawah yang menghijau. Anda dapat menyambanginya di Desa Lemo, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. 

Lemo merupakan kuburan yang dibentuk di dinding bukit dan awalnya khusus diperuntukan bagi bangsawan suku Toraja. Ada lebih dari 70 buah lubang batu kuno menempel di dindingnya dan padanya disimpan patung kayu (tao-tao | tau-tau) sebagai representasi dari mereka yang sudah meninggal. Tidak semua orang Toraja bisa dibuatkan tao-tao, hanya kalangan bangsawan saja yang berhak dibuatkan tao-tao dan itu pun setelah memenuhi persyaratan adat. 

Di lubang kuburan berukuran 3 x 5 meter itu nyatanya satu lubang berisikan satu keluarga. Di beberapa tempat nampak peti-peti mati ditumpuk atau diatur sedemikian rupa sesuai garis keturunan atau keluarganya. Bagian depan lubang berfungsi untuk memasukkan jenazah, beberapa ada yang ditutupi pintu kayu berukir atau hanya penutup dari bambu. 

Nama Lemo sendiri berarti jeruk, itu dimaksudkan pada gua batu terbesarnya yang berbentuk bundar menyerupai buah jeruk, lubang-lubang kuburannya seakan membentuk pori-pori buah jeruk. Menurut penuturan masyarakat setempat, kuburan tertua di tempat ini adalah seorang tetua adat bernama Songgi Patalo

Liang atau pintu-pintu makam di Lemo, Pekuburan di Tebing Batu Khas Toraja. Foto: ist
Kegiatan yang bisa anda lakukan

Keberadaaan Lemo telah menjadi daya tarik penting di Toraja. Tempat ini merupakan tujuan wajib yang perlu disambangi para pelancong dan penikmat budaya. Susuri satu persatu lubang-lubang di tebingnya. Beberapa lubang bahkan tidak berpintu dan mempertontonkan tulang-belulang memutih yang dilumuti.

Pastikan Anda ditemani pemandu dari masyarakat setempat atau pramuwisata berpengalaman. Dapatkan cerita menarik yang bukan hanya bisa diperoleh dari internet. Resapi budaya mereka hingga Anda sadar betapa kayanya Indonesia.

Tau-tau di Lemo, Pekuburan di Tebing Batu Khas Toraja. Foto: ist
Perhatikan patung kayu (tao-tao) yang dipahat dengan detail. Ada filosofi di baliknya yaitu tangan kanan menghadap ke atas sedangkan tangan kiri menghadap ke bawah. Hal itu memiliki arti meminta dan memberkati, posisi tangan tersebut mencerminkan posisi antara yang hidup dan yang mati. Manusia yang telah meninggal membutuhkan bantuan keturunannya yang masih hidup untuk mencapai surga (puya) melalui upacara adat, sedangkan yangg hidup mengharapkan berkah dari yang mati untuk tetap menyertai kehidupan anak cucu mereka.

Lihat juga rumah adat Tongkonan di bagian depan loket masuk. Ada beberapa rumah adat yang atapnya sudah ditumbuhi tanaman liar dan lumut hijau. Akan tetapi, itu justru mempercantik tampilannya. Berfotolah di depannya dan peroleh pengalaman serta bukti yang dapat dibanggakan sepulangnya ke rumah.

Saat Anda selesai menyusuri lemo maka akan berjalan melalui pematang sawah serta melihat buah pangi yang ranum kecoklatan. Buah pangi biasa menjadi olahan makanan khas suku Toraja yang disebut pantollo pamarrasan.


Info Akses Transportasi

Litha&Co, salah satu armada bus yang beroperasi
untuk jurusan Makassar Toraja. Foto: ist
Untuk mencapai Lemo jaraknya sekira 11 km di selatan Rantepao dan 7 km di utara Makale. Dari pusat Kota Rantepao dapat ditempuh sekira 15 menit dengan akses jalan desa berupa aspal berbatu hingga berhenti diujung jalan. Tersedia lahan parkir cukup 5 mobil di depan toko penjual cenderamata.

Berikut panduan transportasi ke Tana Toraja:

• Untuk mencapai Tana Toraja dari luar Sulawesi anda harus terbang ke bandara Sultan Hasanuddin di Makassar, ibukota provinsi Sulawesi Selatan. Sebagai "pintu masuk" untuk Indonesia Timur ada banyak maskapai yang terbang ke dan dari Makassar baik dari Jakarta, Bali, Manado dan kota-kota lainnya.

• Satu-satunya cara untuk mencapai Toraja dari bandara Makassar adalah melalui jalur darat. Untuk saat ini tidak ada penerbangan antara Makassar dan Toraja. 

• Ada bus ke Rantepao yang berangkat dari Makassar setiap harinya. Waktu tempuh perjalanan darat ke Toraja sekitar 8 jam sudah termasuk berhenti di resting area atau warung makan. Tiket bus dapat dibeli di terminal maupun di perwailan jasa angkutan darat, sebaiknya dianjurkan berangkat dari terminal bus DAYA, sekitar 20 menit keluar dari kota dengan angkot pete-pete atau ojek demikian juga dari bandara. Biasanya pemberangkatan bus di pagi hari (7:00), pada siang hari (01:00) dan di malam hari (pukul 7 malam). 

• Beberapa perusahaan jasa transportasi di Rantepao dan Makale mengoperasikan bus jurusan Makassar-Toraja. Jumlah armada bus setiap hari tergantung pada jumlah penumpang. 

• Bila ingin cara terbaik dan termudah silahkan menghubungi agen perjalanan yang berpengalaman untuk mengatur dan mengurus jadwal lengkap Anda untuk berkunjung ke dataran tinggi Toraja.


Kuliner

Lemo, Pekuburan di Tebing Batu Khas Toraja. Foto: ist
Sekitar Kota Makele dan Rantepao ada banyak restoran dan warung makan. Malam hari di dua kota tersebut tersedia banyak warung makan di pinggir jalan. Untuk Anda yang Muslim dapat bertanya terlebih dahulu apakah itu olahan babi atau bukan.

Salah satu tempat makan yang dapat menjadi referensi adalah Aras Cafe di pusat Kota Rantepao. Cafe tersebut cukup nyaman dan terkenal, dikelola Bapak Aras (0811422141) yang juga menjabat ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia untuk wilayah Toraja.

Sebagai panduan menu khas makanan Toraja  yang dapat Anda cicipi adalah pakpiong ayam, sayur  daun ubi yang di tumbuk, sate keong, puding labu, dan olahan makanan lain yang menggunakan media alas daun pisang. Jangan lupa cicipi kopi toraja yang telah terkenal di kalangan pecinta kopi.


Tips 

Cinderamata yang bisa anda jumpai dan beli di sekitar objek wisata Lemo. Foto: ist
Pastikan kehadiran Anda di tempat ini tidak melanggar aturan adat seperti memindahkan tulang belulang apalagi mengambilnya. Apabila ada peti mati yang jatuh dari tebing tempatnya semula diletakkan, maka tulang, tengkorak, ataupun dan yang lainnya tidak boleh dipindahkan tanpa persetujuan adat dan serangkaian upacara adat Toraja. Oleh karena itu, Anda perlu berhati-hati jangan sampai menginjak tulang dan tengkorak tersebut, apalagi memindahkannya.

Waktu terbaik berkunjung ke Toraja adalah saat penyelenggaraan acara Lovely December yang digelar Pemkab Toraja Utara antara November hingga puncak acara pada 26 Desember. Pada masa tersebut biasanya ada diskon penginapan hingga 50 %.

Untuk berkeliling Anda dapat memanfaatkan ojek yang merupakan alat transportasi setempat. Pilihan lain Anda dapat menyewa kendaraan dengan atau tanpa supir untuk untuk menikmati perjalanan berkeliling Toraja. Beberapa tempat yang dapat dituju adalah Kete Kesu, Londa, dan Batutumonga.

Sebelum Anda memasuki komplek pekuburan di Lemo, akan Anda dapati toko cenderamata berjejer. Mereka menjual beragam souvenir khas toraja seperti kain kain tenun, ukiran, baju bertuliskan Toraja, perhiasan, kerajinan tangan, hingga miniatur tau-tau. 

Harga cenderamata yang dijual beragam mulai dari puluhan ribu untuk kerajinan dan perhiasan hingga jutaan untuk sebuah kain tenun. Keluarkan kemampuan tawar-menawar dengan berbincang-bincang bersama penjualnya, mereka pun sangat ramah dan siap membantu Anda mendapatkan informasi berwisata di Toraja.


Akomodasi
Toraja Misiliana Hotel, hotel dengan arsitektur khas Toraja. Foto: ist
Kota Rantepao adalah gerbang wisata di Tana Toraja dan menyediakan beragam penginapan. Akomodasi yang lain dapat ditemui di Kota Makale dan Ge’tengan. 

Lokasi penginapan berupa homestay yang dapat Anda sewa dan lokasi terdekat dengan Lemo adalah lemo Homestay. Lokasinya  ada di Jalan Objek Wisata Lemo, Tana Toraja. Emiliknya adalah Bapak Yonathan Rantepadang, Anda dapat menghubungi beliau di nomor 085711113781.

Berikut adalah daftar hotel yang bisa Anda pilih saat berkunjung ke Toraja.

Toraja Misiliana Hotel (www.torajamisiliana.com)

Deskripsi:
Bagi para wisatawan yang ingin menjelajahi kota Tana Toraja, Toraja Misiliana Hotel adalah pilihan yang sempurna. Terletak hanya 3 KM dari kehebohan pusat kota, hotel bintang 3 ini memiliki lokasi yang bagus dan menyediakan akses ke obyek wisata terbesar di kota ini. Dengan lokasinya yang strategis, hotel ini menawarkan akses mudah ke destinasi yang wajib dikunjungi di kota ini.

Di Toraja Misiliana Hotel, setiap upaya dilakukan untuk membuat tamu merasa nyaman. Dalam hal ini, hotel menyediakan pelayanan dan fasilitas yang terbaik. Ketika menginap di properti yang luar biasa ini, para tamu dapat menikmati check-in/check-out ekspres, penyimpanan bagasi, bar, layanan antar jemput, toko.

Semua akomodasi tamu dilengkapi dengan fasilitas yang telah dirancang dengan baik demi menjaga kenyamanan. Hotel ini menawarkan fasilitas rekreasi yang mengagumkan seperti kolam renang (luar ruangan), taman, lapangan tenis, gym/fasilitas kebugaran, spa untuk menjadikan penginapan Anda tidak terlupakan. Ketika Anda mencari penginapan yang nyaman di Tana Toraja, jadikanlah Toraja Misiliana Hotel rumah Anda ketika Anda berlibur.


Marante Hotel
www.marantetoraja.com

Toraja Prince Hotel
www.torajaprince.com

Toraja Heritage Hotel
Jl. Kete Kesu, P.O.Box 80 Rantepao, Toraja Utara
Telp: +62 423 21192
Fax : +62 423 21666
E-mail: info@torajaheritage.com
Website: www.torajaheritage.com

Luta Resort Rantepao
Jl. Dr Ratulangi No 26 Rantepao, Toraja Utara
Telp: +62 423 21060
Fax: +62 423 21060
E-mail: post@lutaresorttoraja.com
Website: www.torajalutaresort.com

Hotel Marannu 
Jalan Pongtiku 116-118, Makale, Tanah Toraja

Hotel Indra Toraja 
Jalan Landrorundun 63, Rantepao.



Ritual Ma' Nene' Mengganti Pakaian Mummi Leluhur dan Salah Kaprah Mayat Berjalan

Ritual Ma' Nene' - Walking Dead From Toraja
Jenasah leluhur dan keturunannya dalam ritual Ma'nene'. Foto: ist
Dalam kebudayaan masyarakat Toraja ada sebuah ritual atau kebiasaan dalam prosesi pemakaman. Cukup unik, dan mungkin menyeramkan. 

Kabut tipis menyelimuti pegunungan Balla, Kecamatan Baruppu, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Pertengahan Agustus silam, merupakan hari yang mendebarkan. Selain kampung Baruppu diterjang kabut hebat ditambah dinginnya angin pagi, hari itu juga menjadi kesibukan warga Baruppu.

Di tengah balai-balai rumah, mereka menggelar sebuah ritual. Mereka menyebutnya: Ma’nene. Sebuah ritual untuk mengenang leluhur, saudara dan handai taulan yang sudah meninggal. Dari sinilah misteri budaya Tana Toraja terkuak.

Ritual Ma' Nene' - Walking Dead From Toraja
Ma'nene' ritual membersihkan jenazah leluhur. Foto: ist
Seorang wanita tua terlihat dikelilingi warga. Semua orang memandang serius. Siapa wanita itu? Entahlah. Dilihat dari belakang, dia usianya kira-kira 60-70 tahun. Sangat tua. Rambutnya tergerai dengan lebat. Rambutnya sudah ditumbuhi uban. Dia sama sekali tidak bergerak. Kedua tangannya disilangkan ke depan. Wanita tua itu mengenakan pakaian kegemarannya: warna biru.

Seluruh kulitnya terlihat kusut. Ada warna putih kecoklat-coklatan. Kelihatannya dulu dia pernah mengalami kebakaran sehingga kulitnya menjadi begitu. Yang aneh, meski dikelilingi puluhan orang, wanita itu tetap tak bergeming. Mematung. Tidak menoleh atau berbicara.

Setelah didekati, alamak, ternyata dia adalah sesosok mayat. Apa itu? Itu adalah mayat yang telah diawetkan. Bagi masyarakat Toraja, kematian adalah sesuatu yang disakralkan. Bagi mereka, kematian harus dihormati. Mereka yang mati biasanya diletakkan di dalam gua. Selama bertahun-tahun didiamkan di sana. Pada saat tertentu jasad tersebut dikeluarkan lalu dibersihkan dan pakaiannya diganti dengan yang baru. Ma’nene, begitu kata orang Toraja. 

Nah, mayat tadi, adalah mayat seorang ibu sekaligus nenek yang telah meninggal selama bertahun-tahun. Tapi anehnya, mayat tersebut masih utuh. Apakah dia dibalsem? Tidak. Kisah tentang mayat utuh ini sudah ada sejak tahun 1905.

Mayat-mayat utuh tersebut pertama ditemukan di sebuah gua di Desa Sillanan. Saat ditemukan mayat tersebut tidak busuk, pun sampai sekarang. Uniknya, mayat untuh itu tidak dibalsem maupun diberi ramuan. Alami.

Menurut masyarakat setempat, kemungkinan ada semacam zat di gua itu yang khasiatnya bisa mengawetkan mayat manusia. Kalau saja ada ahli geologi dan kimia yang mau membuang waktu menyelidiki tempat itu, sepertinya teka teki gua Sillanan dapat dipecahkan

Awal Mula Tradisi Ma’nene

Ritual Ma' Nene' - Walking Dead From Toraja
Jenazah yang sudah bertahun-tahun disemayamkan diangkut keluar dari kubur. Foto: ist
Kisah Ma`nene bermula dari seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek, ratusan tahun lampau. Ketika itu, dirinya berburu hingga masuk kawasan hutan pegunungan Balla.

Dikisahkan di tengah perburuan, Pong Rumasek, warga Toraja, menemukan jasad seseorang yang meninggal dunia. Jasad itu tergeletak di tengah jalan di dalam hutan lebat. Kondisinya mengenaskan.

Tubuhnya tinggal tulang belulang. Hati Pong Rumasek tergugah. Ia ingi merawatnya. Jasad itu dibungkus dengan baju yang dipakainya. Setelah dirasa aman, Pong Rumasek kemudian melanjutkan perburuannya.

Sejak kejadian itu, setiap kali Pong mengincar binatang buruan, dia selalu mudah mendapatkannya, termasuk buah-buahan di hutan. Kejadian aneh kembali terulang ketika Pong Rumasek pulang ke rumah. Tanaman pertanian yang ditinggalkan, tiba-tiba panen lebih cepat dari waktunya. Bahkan, hasilnya berlimpah.

Sejak itu, setiap kali berburu ke hutan, Pong selalu menemui arwah orang mati yang pernah dirawatnya. Bahkan, arwah tersebut sering diajak berburu menggiring binatang.

Pong Rumasek pun berkesimpulan bahwa jasad orang yang meninggal dunia harus tetap dimuliakan, meski itu hanya tinggal tulang belulangnya. Maka dari itu, setiap tahun sekali sehabis panen besar di bulan Agustus, setiap penduduk Baruppu selalu mengadakan Ma`nene, upacara pemakaman untuk menghormati leluhur, tak lain mendiang Pong Rumasek.

Bagi masyarakat Baruppu, ritual Ma`nene juga dimaknai sebagai perekat kekerabatan di antara mereka. Bahkan Ma`nene menjadi aturan adat yang tak tertulis yang selalu dipatuhi setiap warga.

Ritual Ma' Nene' - Walking Dead From Toraja
Jenazah yang sudah jadi mummy saat peti dibuka. Foto: ist
Ketika salah satu pasangan suami istri meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma`nene. Mereka menganggap sebelum melaksanakan ritual Ma`nene, status mereka masih dianggap pasangan suami istri yang sah.

Tapi, jika sudah melakukan Ma`nene, maka pasangan yang masih hidup dianggap sudah bujangan dan berhak untuk kawin lagi.

Ritual Ma`nene sendiri dilakukan setiap tahun sekali. Ini merupakan salah satu warisan leluhur Toraja yang masih dipertahankan secara rutin hingga kini. Kesetiaan mereka terhadap amanah leluhur melekat pada setiap warga desa.

Penduduk Desa Baruppu percaya jika ketentuan adat yang diwariskan dilanggar maka akan datang musibah yang melanda seisi desa. Misalnya, gagal panen atau salah satu keluarga akan menderita sakit berkepanjangan.


Sekilas...

Dalam bahasa Bugis, Toraja diartikan sebagai orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan. Namun, masyarakat Toraja sendiri lebih menyukai dirinya disebut sebagai orang Maraya atau orang keturunan bangsawan yang bernama Sawerigading.

Berbeda dengan orang Toraja pada umumnya, masyarakat Baruppu lebih mengenal asal usulnya dari Ta`dung Langi' atau yang datang dari awan.

Lama kelamaan Ta`dung Langi' yang menyamar sebagai pemburu ini menetap di kawasan hutan Baruppu dan kawin dengan Dewi Kesuburan Bumi. Karena itu, sering terlihat ketika orang Toraja meninggal dunia, mayatnya selalu dikuburkan di liang batu.

Tradisi tersebut erat kaitannya dengan konsep hidup masyarakat Toraja bahwa leluhurnya yang suci berasal dari langit dan bumi. Maka, tak semestinya orang yang meninggal dunia, jasadnya dikuburkan dalam tanah. Bagi mereka hal itu akan merusak kesucian bumi yang berakibat pada kesuburan bumi.

Seperti yang dilakukan keluarga besar Tumonglo. Bagi keluarga Tumonglo, ritual Ma`nene adalah sakral dan wajib dilakukan. Sejak pagi, keluarga ini sudah disibukkan serangkaian kegiatan ritual yang diawali dengan memotong kerbau dan babi. Bagi keluarga Tumonglo maupun sebagian besar masyarakat Toraja lainnya pesta adalah bagian yang tak terpisahkan setiap kali menghormati orang yang akan menuju nirwana. Meski mereka sudah banyak yang menganut agama-agama samawi, adat dan tradisi yang diwariskan para leluhurnya ini tak mudah ditinggalkan.

Ritual Ma' Nene' - Walking Dead From Toraja
Jenazah yang sudah jadi mummy saat peti dibuka. Foto: ist
Kini, tiba saatnya keluarga Tumonglo menjalani ritual inti dari Ma`nene. Di bawah kuburan tebing batu Tunuan keluarga ini berkumpul menunggu peti jenazah nenek Biu–leluhur keluarga Tumonglo yang meninggal dunia setahun lalu–diturunkan.

Tak jauh dari tebing, kaum lelaki saling bergandengan tangan membentuk lingkaran sambil melantunkan Ma`badong. Sebuah gerak dan lagu yang melambangkan ratapan kesedihan mengenang jasa mendiang yang telah wafat sekaligus memberi semangat pada keluarga almarhum.

Bersamaan dengan itu, peti jenazah pun mulai diturunkan dari lubang batu secara perlahan-lahan. Peti kusam itu berisi jasad nenek Biu. Keluarga Tumonglo mempercayai bahwa ada kehidupan kekal setelah kematian. Sejatinya kematian bukanlah akhir dari segala risalah kehidupan. Karena itu, menjadi kewajiban bagi setiap keluarga untuk mengenang dan merawat jasad leluhurnya meski sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu.

Dalam ritual ini, jasad orang mati dikeluarkan kembali dari tempatnya. Kemudian, mayat tersebut dibungkus ulang dengan lembaran kain baru oleh masing-masing anak cucunya.

Di desa Bu`buk, suasananya tak jauh beda dengan desa lainnya di Kecamatan Baruppu. Di tempat ini keluarga besar Johanes Kiding juga akan melakukan Ma`nene terhadap leluhurnya Ne`kiding. Sebelum ke kuburan, masyarakat dan handai taulan berkumpul di pelataran desa di bawah deretan rumah tradisional khas Toraja, Tongkonan.

Namun, kuburan yang dituju bukan liang batu seperti umumnya, melainkan Patane, semacam kuburan batu atau rumah kecil yang digunakan untuk menyimpan jasad para leluhur mereka.

Ritual Ma' Nene' - Walking Dead From Toraja
Pakaian pada jenazah kemudian ditanggalkan untuk diganti dengan pakaian yang baru. Foto: ist
Acara dilanjutkan dengan membuka dua peti yang berisi jasad leluhur. Mayat yang sudah meninggal setahun yang lalu itu dibungkus ulang dengan kain baru. Perlakuan itu diyakini atas rasa hormat mereka pada leluhur semasa hidup. Mereka yakin arwah leluhur masih ada untuk memberi kebaikan.

Dalam setiap Ma`nene, jasad orang yang meninggal pantang diletakkan di dasar tanah. Karena itu, para sanak keluarga selalu menjaganya dengan memangku jasad leluhurnya. Tak ayal, tangis kepiluan kembali merebak. Mereka meratapi leluhurnya sambil menyebut-nyebut namanya. Jasad yang sudah dibungkus kain baru pun dimasukkan kembali ke dalam rumah patane. Kini, keluarga Johanes pun telah selesai melaksanakan amanah leluhur.


Salah Kaprah dan Legenda Mayat Berjalan

Ritual Ma' Nene' - Walking Dead From Toraja
jenazah yang sudah berganti pakaian. foto: ist
Yah, inilah cerita yang melegenda tentang Toraja. Dan, mungkin hanya ada di tempat ini. Jika selama ini mayat berjalan hanya bisa ditonton di film-film yang tidak nyata, maka cerita mayat berjalan sudah lama melegenda di Toraja.

Mayat-mayat yang dimakamkan di kuburan tebing atau kuburan batu (patane)–setelah bertahun-tahun berlalu–kemudian diangkat dan dikeluarkan. Di situ para kerabat keluarga akan menangis. Tapi ada tradisi kuno yang dilakukan warga Toraja, selain mengeluarkan mayat, mereka juga membangkitkan mayat. Lebih unik lagi, mayat tersebut bisa disuruh berjalan pulang ke rumah. Hii…ngeri.

Cerita mengenai mayat berjalan banyak versinya. Versi yang pertama menyebutkan, dulu, ratusan tahun sebelumnya pernah terjadi perang saudara di Tana Toraja. Perang itu melibatkan orang-orang Toraja Barat dan Toraja Timur.

Dalam peperangan tersebut, Toraja Barat kalah telak. Sebagian besar tewas. Tetapi pada saat akan pulang kampung, seluruh mayat Toraja Barat bangkit dari kematin. Dan, berjalan. Sedang orang Toraja Timur, walaupun hanya sedikit yang tewas, mereka tetap menggotong mayat saudara mereka yang mati. Perang itu dianggap seri.

Sementara versi kedua menurut Tampubolon, mayat berjalan kaku dan agak tersentak-sentak itu sebenarnya sudah mengakar dari kehidupan masa lalu. Dulu, orang-orang Toraja biasa menjelajah daerah-daerah yang bergunung-gunung. Di sana banyak ceruk. Dan kemana-mana mereka hanya dengan berjalan kaki.

“Dari zaman purba sampai sekarang tetap begitu. Mereka tidak mengenal pedati, delman, gerobak atau semacamnya. Dalam perjalanan itu, banyak dari mereka yang jatuh sakit dan mati,” cerita Tampubolon.

Nah, supaya mayat tidak sampai ditinggal di daerah yang tidak dikenal (orang Toraja sangat menghormati roh orang mati), maka dengan satu ilmu gaib (semacam hipnotis), mayat-mayat itu kemudian dapat berjalan pulang. Cara demikian dilakukan supaya mayat tidak menyusahkan manusia lain. Sebab akan sangat tidak mungkin menggotong terus-menerus jenazah sepanjang perjalanan yang makan waktu berhari-hari. Mayat berjalan itu baru berhenti bila ia sudah meletakkan badannya didalam rumahnya sendiri. Kendati demikian masih ada satu pantangan, yakni mayat yang berjalan tidak boleh disentuh.

Pada keturunan selanjutnya, orang-orang Toraja sering menguburkan mayatnya dengan cara mayat tersebut berjalan sendiri ke liang kuburnya. Begitu pula saat mereka ingin pulang atau dikangeni keluarganya. Di rumah, memang telah disediakan satu tempat khusus untuk mayat-mayat tersebut. Bila mereka (mayat) pulang, mereka bisa menghuni rumah itu. Setiba di rumah mereka akan tidur lagi. Tapi jika mau kembali ke rumah sebelumnya, yakni patane, mereka akan berjalan lagi.

Fenomena mayat berjalan juga dituturkan, Ardiansyah (28), warga asli Tana Toraja. Dia mengaku pernah pernah menyaksikan sendiri dengan mata telanjang, ada mayat berjalan sendiri.

“Kejadiannya sekitar tahun 1992. Waktu itu saya baru kelas 3 SD. Pada saat itu di desa saya ada seorang bernama Pongbarrak yang ibunya meninggal. Seperti adat orang Toraja, sang mayat tidak langsung dikuburkan tetapi masih harus melalui prosesi adat rambu solo atau penguburan,” jelas Ardiansyah.

Setelah mayat dimandikan, lanjut Ardiansyah, mayat itu kemudian diletakkan di tempat tidur dalam sebuah kamar khusus sebelum dimasukkan ke peti jenasah. Pada malam ketiga, seluruh keluarga berkumpul untuk membicarakan bagaimana prosesi pemakaman yang akan dilaksanakan nanti.

“Saat itu saya duduk di teras rumah, tiba-tiba ada kegaduhan dalam rumah. Semua ibu-ibu berteriak. Karena penasaran, saya berusaha melongok ke dalam rumah. Dan astaga, mayat ibu Pongbarrak berjalan keluar dari kamar,” kenang Ardiansyah.

Ardiansyah menceritakan, saat itu dia dan temannya kontan berteriak histeris. Saking takutnya mereka langsung berlari menuruni tangga.

“Saya berlari dan mendapatkan ayah saya sambil berteriak histeris. Setelah itu saya langsung dibawa pulang ke rumah dan saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya,” cerita Ardiansyah yang mengaku baru pertama kali melihat mayat berjalan.

Keesokan harinya, kejadian tersebut membuat seluruh warga heboh. Dan informasi yang diperoleh Ardiansyah, Pongbarrak sengaja melakukan ritual tersebut karena dia ingin menghormati ibunya. Cuma pada malam itu, dia tidak ingin memindahkan ibunya. Pongbarrak cuma berusaha mempraktekkan ilmunya. Sebab konon, jika sang ibu sudah berada di kuburan batu, sewaktu-waktu dia akan menarik ibunya kembali untuk diajak pulang. Tentunya dengan cara berjalan sendiri.

Pada zaman sekarang, diakui Ardiansyah, memang hal itu nyaris tidak pernah terjadi, kecuali orang-orang Toraja yang berada di pedalaman. “Generasi muda seperti saya, malah tidak tahu soal itu. Yang kami tahu, kalau orang mati itu akan diletakkan di kuburan batu. Mereka bisa awet hingga bertahun-tahun,” jelas Ardiansyah yang mengaku pernah memakamkan keluarganya di kuburan batu.

Cuma, yang membingungkan bagi Ardiansyah, adalah mayat berjalan. Menurutnya tradisi itu bukan sembarangan dilakukan oleh orang Toraja. Mereka yang bisa melakukan itu sebelumnya memiliki ilmu tertentu yang diturunkan dari guru-gurunya atau sesepuh adat.

“Itu ilmu kuno. Di jaman sekarang tak banyak orang bisa melakukan itu,” kata Ardiansyah.

Ardiansyah menambahkan, dia dulunya juga pernah diajari kakeknya. Tapi karena membangkitkan mayat dirasa ngeri, maka dia urung mempelajari ilmu tersebut.

Biasanya, orang yang memiliki ilmu membangkitkan orang mati, mereka awalnya mempraktekkan pada binatang seperti ayam atau kerbau yang diadu dalam keadaan leher terputus.

“Binatang seperti kerbau yang sudah dipotong kepalanya dan dikuliti habis pun, jika diberi mantera-mantera atau ilmu gaib Toraja, mereka masih bisa dibuat berdiri dan berlari kencang, mengamuk ke sana sini,” kutip Ardiansyah yang mengaku bangga dengan adat leluhurnya.

Meski begitu, tradisi Toraja menjalankan mayat dari rante (tempat persemayaman) ke patane, diakui Ardiansyah, hanya bisa dilakukan oleh masyarakat Toraja. Mayat-mayat tersebut dapat berjalan karena doa-doa yang dipanjatkan ke leluhur dan arwah almarhum.

Sayang, ritual ini perlahan mulai ditinggalkan. Sebab masyarakat Toraja telah banyak yang memeluk agama samawi. 

Berikut video yang diunggah di youtube tentang ritual Ma'nene' di Toraja.



NB:
Artikel ini sebelumnya diposting oleh halaman Kebudayaan Kemendikbud, mungkin masih banyak informasi yang simpang siur mengenai tradisi leluhur Toraja diatas. Admin berharap bila ada Orang Toraja yang paham dan mengetahui seluk beluk dari Ritual Ma'Nene' dan Cerita Mayat Berjalan silahkan meninggalkan pesan dalam kolom komentar dibawah.

Salam Sang Torayan...

Aluk Todolo Warisan Leluhur Masyarakat Toraja

Aluk Todolo Masyarakat Toraja
Upacara Rambu Solo', warisan budaya leluhur masyarakat Toraja. Foto: ist
Aluk Todolo atau Alukta adalah aturan tata hidup yang telah dimiliki sejak dahulu oleh masyarakat Suku Toraja, Sulawesi Selatan. Aturan tata hidup tersebut berkenaan dengan sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan, dan sistem kepercayaan. Aluk Todolo adalah kepercayaan asli suku Toraja yang merupakan warisan leluhur masyarakat Toraja. 

Dalam hal keyakinan, penduduk Suku Toraja percaya kepada satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah Puang Matua (Tuhan yang maha mulia). Meski begitu, penganut Aluk Todolo relatif terbuka terhadap modernisasi dan dunia luar. Mereka meyakini, aturan yang dibuat leluhurnya akan memberikan rasa aman, mendamaikan, mensejahterakan, serta memberi kemakmuran warga.

Walau terbuka bagi agama luar, warga sepakat, yang telah menganut selain Aluk Todolo wajib keluar dari Dusun Kanan. Tentu saja mereka tetap boleh berkunjung ke sana, tapi tak dapat tinggal lama. Di luar penganut Aluk Todolo, sekalipun bangsawan dan memiliki banyak uang, mereka tidak boleh dimakamkan dengan ritual pa'tomate, upacara penguburan jenazah khas dusun. 

Penganut Aluk Todolo menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran. Mereka begitu tegas menerapkan aturan leluhur. Berani melanggar berarti bakal menyengsarakan warga dusun, misalnya mendatangkan petaka gagal panen. Semua kesalahan dan kecurangan berhadapan dengan hukum dan hal itu berlaku bagi semua, termasuk keluarga dekat, saudara jauh, atau pendatang.

Dalam beberapa versi mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, sang pencipta. Alam semesta, menurut kepercayaan Aluk Todolo, dibagi menjadi dunia atas (surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (Dewa Bumi), Indo' Ongon-Ongon (Dewi Gempa Bumi), Pong Lalondong (Dewa Kematian), Indo' Belo Tumbang (Dewi Pengobatan), dan banyak lainnya.

Hewan tinggal di dunia bawah. Dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar. Bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana atau perahu. Di dalam menjalankan ritualnya, Aluk Todolo mengenal dua macam yaitu: Upacara kedukaan disebut Rambu Solo' dan Rambu Tuka' merupakan upacara kegembiraan atau syukuran. Upacara Rambu Solo' meiliputi tujuh tahapan, yaitu: Rapasan, Barata Kendek, To di Balang, To di Rondon, To di Sangoloi, Di Silli, dan To di Tanaan. Sementara itu, upacara Rambu Tuka' pun meliputi tujuh tahapan, yaitu; Tananan Bua’, Tokonan Tedong, Batemanurun, Surasan Tallang, Remesan Para, Tangkean Suru, Kapuran Pangugan.

Aluk Todolo Masyarakat Toraja
Upacara Rambu Solo', warisan budaya leluhur masyarakat Toraja. foto: ist
To Minaa adalah pendeta Aluk Todolo yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman. Kepercayaan Aluk Todolo bukan hanya sistem keyakinan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk Todolo mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. 

Tata cara Aluk Todolo bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Masyarakat Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya.

Aluk Todolo pernah menjadi tali pengikat masyarakat Toraja yang begitu kuat, bahkan menjadi landasan kesatuan Sang Torayan yang sangat kokoh sehingga kemanapun orang Toraja pergi akan selalu ingat kampung halaman, dan rindu untuk kembali kesana. Ikatan batin yang Sang Torayan yang begitu kokoh tentu saja antara lain adalah buah-buah dari tempaan Aluk Todolo itu. 

Karena itu kita patut prihatin bila aluk todolo itu kini nyaris lenyap diterpa arus dunia modern. Maka mari kita lestarikan bersama warisan leluhur yang begitu berharga ini.


Berbagai Sumber