Memilih Waktu Terbaik Berkunjung ke Toraja

Memilih Waktu Terbaik Berkunjung ke Toraja
Memilih Waktu Terbaik Berkunjung ke Toraja
Seorang Wisatawan mancanegara berpose di depan rumah adat Tongkonan,
Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Foto: ist
Delapan jam menempuh perjalanan darat yang berkelok-kelok dari Makassar terbayar lunas setelah kamu sampai di Tana Toraja. Lembah pegunungan berlimpah budaya yang dihuni suku Toraja itu sungguh destinasi dalam negeri yang pantang dilewatkan.

Pengen mengeksplor Toraja? Baca dulu informasi tentang waktu liburan terbaik ke sana.

Musim potong padi di Tana Toraja biasa berlangsung pada Juni dan Juli. Selanjutnya pada Agustus sampai Oktober, ada banyak upacara penguburan yang menarik ditonton. Itu sebabnya, antara Juni dan Oktober dinobatkan sebagai bulan terbaik liburan ke Tana Toraja.

Kalau kamu termasuk pehobi fotografi yang ingin menangkap panorama Tana Toraja saat sawah-sawah sedang menguning maka datang lebih awal, yakni bulan April atau Mei. Adapun, selepas Oktober cuaca di kawasan tersebut mulai hujan.

Nah, kalau wisatawan asal Prancis biasa membanjiri Tana Toraja di bulan Agustus. Mereka menyebut Agustus sebagai the month of ceremony di Tana Toraja. Di bulan tersebut, tarian dan kesenian banyak ditampilkan di desa-desa sekitar Tana Toraja. Selain untuk upacara juga untuk menyambut Hari Proklamasi 17 Agustus. Lumayan deh, dapet tontonan gratis. Dan, kebetulan juga, Agustus adalah musim liburan di Prancis.

Selain musim terbaik, Juni sampai Oktober juga padat wisatawan. Ada banyak masyarakat urban asal Tana Toraja yang pulang mudik untuk menghadiri upacara adat penguburan keluarga mereka. Sebab waktunya juga bersamaan dengan libur anak sekolah, sehingga mereka bisa ikut mengambil cuti dan kembali ke kampung.

Kalau kamu tergolong wisatawan yang anti mainstream, kamu bisa pergi di luar periode tersebut. Tapi inget, konsekuensinya gak banyak upacara adat yang bisa kamu saksikan. Padahal, Toraja itu terkenal banget sama upacaranya.

Sumber: Wego

Rambu Solo: Ritual Pemakaman Orang Toraja

Rambu Solo di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, menjadi salah satu magnet terbesar turis mancanegara. Pengen tahu apa yang menarik dari ritual kematian tersebut? Yuk, baca ulasannya.

Rambu Solo: Ritual Pemakaman Orang Toraja
Ritual adat Rambu Solo di Tana Toraja.
Disebut juga Aluk Rampe Matampu, Rambu Solo merupakan adat pemakaman Toraja yang identik dengan mengorbankan babi atau kerbau kepada arwah leluhur atau orang yang meninggal dunia. 

Upacara adat tersebut biasanya berlangsung meriah dan menguras materi. Keluarga akan mati-matian ngumpulin uang supaya mereka bisa menyelenggarakan upacara Rambu Solo, sebab Rambu Solo adalah fokus dari siklus hidup masyarakat Toraja. Rambu Solo juga dianggap sebagai bentuk tanggung jawab keluarga terhadap orang yang sudah meninggal.

Nah, Rambu Solo terbagi lagi jadi beberapa tingkatan sesuai dengan kedudukan seseorang dalam masyarakat dan kemampuan seseorang dalam membiayai upacara tersebut. Ada yang disebut Disilli, yakni upacara pemakaman paling sederhana. Dulu, penguburan bagi masyarakat dari golongan miskin biasanya hanya membekali orang yang meninggal dengan telur ayam. Tapi sekarang, upacara Disilli rata-rata menguburkan orang meninggal dengan memotong seekor babi.

Ada pula yang tahapan lain seperti Dipasang Bongi yakni upacara pemakaman yang hanya berlangsung semalam dengan korban seekor kerbau dan beberapa babi saja, Dipatallung Bongi yakni penguburan yang berlangsung tiga malam dengan korban empat kerbau dan sekitar sepuluh babi, serta Dipalimang Bongi yakni pemakaman yang berlangsung lima hari lima malam.

Rambu Solo: Ritual Pemakaman Orang Toraja
Upacara Mapasonglo adalah upacara menerima tamu. Ini bagian dari adat Rambu Solo Toraja.
Foto: Wego Photo Contest/Acchal Rose
Dan, tahapan upacara yang mewah disebut Dipapitung Bongi. Berlangsung tujuh hari tujuh malam, sepanjang upacara berlangsung setiap malam ada kerbau dan babi yang dikorbankan. Jumlah kerbau yang dipotong antara 9 dan 20 ekor, adapun kepala kerbau dipajang di rumah adat tongkonan.

Kalau menurut kamu Dipapitung Bongi sudah menguras uang, sabar … masih ada yang lebih istimewa lagi. Namanya, Dirapai. Ini adalah upacara penguburan paling mahal di Toraja. Sebelum dikubur, upacara pemakaman digelar dua kali.

Upacara pertama berlangsung di rumah tongkonan. Selanjutnya, jenazah diistirahatkan setahun sebelum upacara kedua diadakan. Saat upacara kedua, jenazah akan diarak oleh ribuan orang dari rumah tongkonan ke Rante.

Jenazah sudah terbungkus kain merah berlapisi emas tersebut dan dibuatkan tau-tau atau boneka yang menyerupai orang yang sudah meninggal. Arak-arakan juga diikuti iring-iringan puluhan ekor kerbau jantan yang siap diadu satu lawan satu.

Rambu Solo: Ritual Pemakaman Orang Toraja
Mapasilaga Tedong atau adu kerbau yang jadi bagian dalam upacara pemakaman Rambu Solo di Toraja.
Foto: Wego Photo Contest/Maman Sukirman
Ngomong-ngomong soal Rante, tempat upacara yang satu ini berkesan banget buat wisatawan dari Prancis dan ahli antropologi dari barat. Sebab di Rante ada batu megalit yang mirip sama batu yang ada di pesisir Prancis dan negara-negara Skandinavia. Cuma, generasi sekarang di Prancis dan negara Eropa lainnya gak tahu lagi fungsi batu-batu tersebut.

Peradaban Romawi pernah datang ke negara-negara Eropa Barat dan merubah sebagian kebudayaan asli mereka. Itu sebabnya wisatawan dari Prancis gembira melihat menhir atau dolmen di Toraja yang sama dengan batu megalit di negaranya. Kalau kamu mau lihat batu megalit paling menarik buat orang Prancis, kamu bisa mengunjungi batu rante yang ada di Bori, Palawa, Karassik, Sullukkan di Suaya. 


Sumber: Wego