Sehari di "Tanah Para Raja Surgawi"

Langit Senja di Kete Kesu. Foto: KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
TANA TORAJA "tanah para raja surgawi". Bentang alam nan indah dengan hutan hijau, persawahan, dataran tinggi di utara Sulawesi Selatan ini begitu memikat hati.

Makale dan Rantepao membentang bagai permadani di bagian bawah dataran tinggi Tana Toraja, sementara Batutumonga dan Gunung Sesean seperti gardu pandang yang memberikan tempat bagi pencinta alam untuk memanjakan mata.

Berjalan lebih mendekat, menyapa para orang-orang penutur bahasa Austronesia yang berdiam di negeri atas pun bisa menjadi keasyikan tersendiri. Mereka ramah dan terbuka.

Tidak cukup sehari untuk bisa memahami Tana Toraja seutuhnya. Namun, satu hari cukup bagi mereka yang haus berpetualang ke tempat-tempat baru untuk mengenal tanah ini.

Petualangan menelusuri tanah para raja surgawi ini bisa dimulai lebih pagi dengan mengunjungi Kete Kesu, desa tua di Kecamatan Kesu, Rantepao, yang menurut sebagian orang berusia 400 tahun dan menurut sebagian lainnya berumur 700 tahun.

Kudu -- keturunan asli desa tua yang kini menjadi tujuan wisata "wajib" di Tana Toraja -- percaya usia desa leluhurnya lebih dari 700 tahun.

Papan ini dapat ditemukan saat memasuki Desa Ke'te Kesu'. Foto: Ist
"Itu, Kesu (Tongkonan Puang Ri Kesu). Rumah itu yang disebut Kesu," kata Kudu sambil menunjuk salah satu Tongkonan yang berjajar di Desa Kete Kesu.

Menurut dia, Kesu sebelumnya berada di atas bukit kapur di belakang desa tersebut. Baru setelah keadaan Toraja damai dari pertikaian antarkerajaan atau marga, saat Belanda mulai masuk dataran tinggi di utara Sulawesi Selatan tersebut, Kesu dipindahkan ke lokasi sekarang.

Dari enam Tongkonan yang berjajar berhadap-hadapan dengan 12 alang (lumbung padi) di desa tersebut, bangunan Kesu memang tampak lebih tua.

Bagian atap yang terbuat dari bambu yang menurut Kudu biasanya baru diganti setelah 40 tahun tersebut sudah tertutup lumut dan sejenis tanaman pakis.

Tongkonan yang berada di desa ini tidak lagi ditempati. Namun keluarga tetap tinggal di desa tersebut dengan membangun rumah dan kios cendera mata di sekitar rumah khas Toraja yang beratap seperti perahu tertelungkup tersebut.

Pekuburan Batu

Dari Kete Kesu, Londa bisa menjadi tujuan berikutnya. Pekuburan yang berada di bukit kapur dengan goa-goa alami yang berada sekitar lima kilometer arah selatan dari Rantepao itu merupakan makam bagi marga Tolengke.

Sekitar 10 hari sebelum kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono ke Tana Toraja, Londa berbenah. Jalan masuk ke pemakaman di semen, dan tiga pohon yang menutupi pandangan ke mulut goa dipotong. Seperti kuburan-kuburan lain di Toraja, Londa unik dan istimewa.

Presiden SBY dan Ibu Ani menerima penjelasan tentang Objek Wisata Pemakaman Londa di Kecamatan Sanggalangi, Kabupaten Toraja Utara, Sulsel (21/02). Foto: Ist
Erong (peti mati) berusia puluhan hingga ratusan tahun yang mulai lapuk termakan usia tertumpuk di luar mulut goa, tengkorak dijajarkan di dekatnya, sementara tau-tau yang merupakan boneka kayu tiruan dari orang Toraja yang dikuburkan juga di sana berderet rapi.

Erong dan peti mati dalam bentuk yang lebih modern juga banyak ditemukan di dalam goa. Peti-peti mati berukuran kecil berada lebih dekat dengan mulut goa, beberapa tengkorak berukuran kecil tergeletak di dekatnya.

Berjalan lebih ke dalam goa peti-peti mati berukuran besar tertumpuk sembarangan. Beberapa peti telah rusak sehingga tengkorak pun terlihat.

Sepasang turis Perancis tampak seksama mendengarkan penjelasan pemandu sambil menikmati pemandangan unik di dalam goa. Meski sedikit kesulitan melewati bagian goa yang berlangit-langit rendah, eksplorasi mereka di dalam goa berlanjut.

Erong atau peti-peti mati diletakkan di goa-goa yang berada di tebing bukit kapur berketinggian lebih dari 20 meter itu. Perlu orang berketerampilan khusus untuk membawa peti mati ke bagian tebing yang curam tersebut.

Menurut Edy, warga Kesu, peti mati akan diturunkan dari atas bukit dengan tali ke tebing, atau ditarik ke atas dengan tali, kemudian dimasukkan ke dalam goa-goa yang ada di tebing bukit kapur yang terjal itu.

Cara penguburan yang tidak jauh berbeda juga dilakukan di bukit kapur di belakang Desa Kete Kesu. Di sanalah para leluhur dari Kete Kesu dimakamkan. Cara sedikit berbeda dilakukan di Kuburan Batu Lemo yang terletak di Poros Makale. Di sana, tebing tinggi dilubangi agar peti-peti mati dapat diletakkan di dalamnya.

Burial Cave, Londa, Tana Toraja. Foto: google
Burial Cave, Londa, Tana Toraja. Foto: google
Burial Cave, Londa, Tana Toraja. Foto: flicker
Kubur gantung, Londa, Tana Toraja. Foto: google

Dataran Tinggi Toraja

Selesai melihat pekuburan di Goa Alam Londa, perjalanan bisa dilanjutkan ke dataran yang lebih tinggi, Batutumonga. Perkampungan khas Toraja dengan rumah-rumah Tongkonan berusia tua hingga baru berselang-seling dengan hamparan sawah selama perjalanan mendaki ke lereng Gunung Sesean yang tingginya sekitar 2.100 mdpl hingga tiba di Batutumonga.

Siapa saja yang beruntung telah menjejakkan kaki hingga ke Batutumonga pasti mengakui keindahan alam Tana Toraja. Perjalanan ke tanah raja-raja surgawi ini baru terasa lengkap setelah melihat sendiri keindahan bentang alamnya.
Pemandangan negri di awan, Batutumonga, Tana Toraja. Foto: google
Alida Petronella van de Loosdrecht-Sizoo, istri Antonie Aris van de Loosdrecht -- misionaris pertama yang tiba di Toraja sekitar 100 tahun lalu -- menyebut negeri raja-raja surgawi ini hampir seindah Swiss.

Rangkaian bukit kapur dengan latar belakang pegunungan lebih tinggi yang puncak-puncaknya tertutup awan begitu memukau hati. Sementara teras siring persawahan yang menutupi sebagian besar lereng Gunung Sesean mengingatkan pada indahnya Tegalalang di Ubud, Bali.

Hanya kubur-kubur batu di sepanjang jalan di lereng Gunung Sesean, seperti Kubur Batu Loko Mata, yang membedakannya dengan teras siring Bali.

Batutumonga juga punya banyak tongkonan tua. "Malah sepertinya lebih tua dari yang di Kete Kesu," ujar Edy, tukang ojek yang hari itu merangkap menjadi pemandu wisata.

Menurut dia, setiap keluarga Toraja harus membangun Tongkonan lengkap dengan Alang. Karena berbeda dengan rumah-rumah tradisional di daerah lain, rumah tradisional ini tidak pernah akan punah selama orang Toraja masih ada.

Saat waktu makan siang tiba, perut bisa diisi di restoran atau warung-warung makan sambil menikmati keindahan bentang alam Tana Toraja di Batutumonga.

Pemandangan negri di awan, Batutumonga, Tana Toraja. Foto: google
Atau sekadar menikmati kopi Toraja sambil menyaksikan pemandangan teras siring persawahan berseling atap-atap khas Tongkonan yang menyembul dari lebatnya pepohonan di lereng dan lembah Gunung Sesean.

Batutumonga terasa begitu hening. Waktu terasa begitu bersahabat, berjalan pelan dan damai. Tidak ada ketergesaan. Setelah puas menikmati Dataran Tinggi Toraja, perjalanan menuruni lereng Gunung Sesean bisa dilakukan menggunakan sepeda motor, menyusuri pinggir Sungai Sadan menuju Desa Sadan Malimbong, pusat tenun di desa tersebut.

Pada hari Sabtu di akhir pekan pertama Februari, pusat tenun Toraja begitu senyap, nyaris semua kios tutup. Beberapa lapak bukan tutup karena libur melainkan tutup selamanya karena bagian dalamnya kosong dan berdebu.

Aktivitas hanya terlihat di kios milik nenek Ratih (85). Seorang gadis berusia 16 tahun bernama Asni sedang menenun menggunakan alat tenun tradisional. Sudah hampir empat hari dia menenun dan paling tidak dia butuh satu bulan lagi menuntaskan apa yang sedang dikerjakan.

Nenek Ratih yang sudah hampir 20 tahun tidak menenun karena kedua kakinya sakit hanya duduk di kursi dan mengajarkan cara menenun yang baik kepada Asni sambil menunggui kiosnya yang sepi pengunjung.

"Mungkin tempat ini terlalu jauh dari Rantepao, jalannya pun tidak begitu bagus. Oleh karena itu, turis-turis jarang ada yang mau mampir," kata Edy.

Di kios Nenek Ratih yang sepi, perjalanan sehari untuk mengenal tanah raja-raja surgawi berakhir. Tapi petualangan untuk menyelami Tana Toraja juga bisa dimulai dari sini. 

Ornamen ukiran & pahatan khas Toraja di Tongkonan. Foto: OMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ornamen ukiran khas Toraja di Tongkonan. Foto: Ist


Tenun Toraja, Kain Tanda Cinta Kasih di "Rambu Solo"

Aris Palayukan di depan jenazah saudarinya, Ruth Bamba, pada upacara rambu solo (kematian)**
**Aris Palayukan di depan jenazah saudarinya, Ruth Bamba, pada upacara rambu solo (kematian) keluarga besar Tongkonan Pindah Puteh Mantunu, di Bukit Singki, Toraja, Sulawesi Selatan, Selasa (29/4/2014). Kain tenun masih digunakan sebagai sarung dengan warna putih yang melambangkan derajat bangsawan. Namun, kain tenun itu sudah tidak digunakan lagi untuk menutup jenazah ataupun keranda. Foto: KOMPAS/LASTI KURNIA 

Tenun Toraja menjadi tanda kasih bagi sanak saudara yang telah tiada. Kain tanda kasih itu berperan penting dalam ritual pemakaman keluarga Toraja yang tersebar di dataran tinggi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Itulah ungkapan pertalian kasih yang menghubungkan sanak saudara.

Tetua adat Kampung Pangrante di Kecamatan Rantepao, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Andariasamba Pongarrang, sibuk memimpin upacara rambu solo bagi Ruth Bamba yang meninggal pada usia 60-an. Memakai sarung tenun warna putih yang menunjukkan status kebangsawanannya, Andariasamba duduk di samping peti jenazah, lalu mengambil pengeras suara.

Pada hari kedua dari tiga hari rangkaian upacara kematian, Andariasamba bertugas menghitung jumlah kerbau dan babi yang akan disembelih. Satu per satu hewan ternak itu dibawa ke lapangan untuk dihitung di depan rumah adat tongkonan yang terletak di pucuk Bukit Singki’ itu. Menjelang siang, terkumpul enam kerbau yang kemudian disembelih dengan sekali tebasan di leher.

Bagi keluarga, butuh dua bulan untuk mengumpulkan dana penguburan, terutama dana pembelian kerbau yang mencapai Rp 20 juta per ekor. Selama dua bulan pula, jenazah Ruth Bamba diawetkan dan disimpan di ruang paling belakang dari rumah panggung tongkonan. Meski tergolong bangsawan yang, antara lain, ditandai dengan hadirnya pohon cendana di halaman rumah, Ruth Bamba belum layak menjalani ritual pembalutan jenazah dengan kain tenun.

Tenun Di Ritual Kematian. Foto: KOMPAS/LASTI KURNIA
Menurut Andariasamba, Aluk Todolo atau agama tua yang masih dikukuhi suku Toraja memang mensyaratkan pembalutan jenazah dengan kain tenun bagi bangsawan dengan minimal 12 kerbau yang dipotong saat rambu solo.

Tomantawa atau pemuka adat di Lembang Sangkaropi, Sa’dan, Toraja Utara, Tetty Rantelabi (46), yang akrab disapa Mama Sabbi, malah menyebut angka lebih besar bagi jumlah minimal kerbau, yaitu 24 kerbau. Di ruang paling belakang tongkonan milik keluarganya yang terletak di lokasi sentra petenun di Sa’dan To’barana, Mama Sabbi menunjukkan peti jenazah Gulung Matandung (70).

Meninggal pada Oktober tahun lalu, jenazah Gulung Matandung disimpan dengan dibungkus puluhan lembar kain tenun bermotif paramba yang dulunya pernah dipakai almarhumah. Keluarga Gulung Matandung sudah menyiapkan minimal 24 kerbau yang menurut rencana akan dipotong pada rambu solo yang digelar pada Juli mendatang.

Makin langka

Bagi warga Mamasa Toraja yang tinggal di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, tenun juga menjadi syarat utama dalam ritual rambu solo. Warga di wilayah Tandalangan, Kecamatan Nosu, Mamasa, mengenal ritual mangaro, yaitu mengeluarkan kembali jenazah (batang rabuk) dari dalam kubur (alang-alang). Jasad itu kemudian dibungkus atau dibalut dengan kain tenun. Ritual ini dilakukan berulang setiap empat-lima tahun sekali bagi jenazah yang tergolong bangsawan.

Meski masih digunakan pada ritual adat, pemakaian tenun di Toraja semakin hari cenderung semakin langka. Andariasamba, misalnya, hanya mempertahankan pemakaian sarung tenun yang dibelinya seharga Rp 1 juta ketika memimpin adat rambu solo. Demi penghematan pula, ia memilih memadukan sarung tenun dengan atasan kain pabrikan bergambar motif Toraja buatan Solo, Jawa Tengah.

Demi penghematan, kain panjang warna merah, hiasan tongkonan yang melambangkan semangat di upacara rambu solo bagi Ruth Bamba, juga tak lagi menggunakan tenun Toraja. Bahkan, tak satu pun dari ratusan pelayat yang menghadiri rambu solo yang masih memakai pakaian dari tenun. Mayoritas pelayat justru menggunakan kainkain bermotif Toraja yang didatangkan dari Jawa.

Tenun Ikat Sekomandi. Foto KOMPASLASTI KURNIA 
Salah seorang pelayat, Atik (48), yang memakai baju motif Toraja buatan DI Yogyakarta, hanya memiliki selembar tenun Toraja bermotif paruki yang dibeli seharga Rp 1,8 juta. Tenun itu sengaja ia simpan dan hanya dipakai pada acara yang benar-benar spesial. ”Saya cuma punya satu tenun warna hitam, terlalu mahal, jadi sayang. Jarang dipakai,” kata Atik.

Tak hanya kain bermotif Toraja, tenun buatan Troso dan Klaten, Jawa Tengah, juga membanjiri pasar tradisional di Rantepao. Kios tenun yang banyak didatangi wisatawan di Pasar Rantepao disesaki oleh tenun dari Jawa. Pemilik kios Tulen Arts, pasangan Yudhie dan Tulen, bahkan juga mendatangkan produk jadi berbahan tenun dari Jawa, seperti tempat tisu dan tas.

Tenun yang didatangkan dari Jawa laris manis di Toraja karena harganya lebih murah. Pemilik kios tenun lain di Pasar Rantepao, Kana, menjual tenun asli Toraja dengan harga mulai Rp 300.000 hingga Rp 5 juta, sedangkan tenun dari Jawa bisa dijual mulai harga Rp 100.000.

Berbeda dengan tenun polos asli Toraja yang dibuat dengan alat tenun tangan, tenun polos dari Jawa dihasilkan dari alat tenun bukan mesin (ATBM) yang lebih modern dan bisa memproduksi dalam jumlah lebih banyak.

Karena bisa menjual tenun yang mirip dengan tenun Toraja dengan harga lebih murah, pesanan pun mengalir mulai dari instansi pemerintah di Toraja hingga gerai oleh-oleh di Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Makassar. Meski tenun Jawa laris manis, Tulen Arts tetap menyediakan tenun asli buatan tangan perajin Toraja.

Penggunaan kain tenun di upacara kematian alm. Ruth Bamba di keluarga besar Tongkonan Pindah Puteh Mantunu di Toraja, Sulawesi Selatan, Selasa (29/4/2014). Masih digunakan pada sepu (tas wanita). Foto: KOMPAS/LASTI KURNIA

Ludes terjual

Tenun asli Toraja sebenarnya mudah dikenali. Dengan sekali sentuh, bakal terasa bahwa tenun Toraja lebih kasar daripada tenun ATBM. Meski sama-sama berbahan baku benang poliester dengan motif serupa berupa aksen permainan garis, tenun Toraja lebih tebal dan berat. Karena dibuat langsung dengan tangan, lebar tenun Toraja tak akan melebihi 70 sentimeter. Bandingkan dengan tenun ATBM yang bisa mencapai lebar lebih dari 100 sentimeter.

Serbuan tenun dari luar Toraja ini bahkan menelusup hingga ke satu-satunya sentra tenun Tana Toraja, yaitu di Sa’dan To’barana. Sembilan kios yang ada di Sa’dan To’barana juga disesaki tenun-tenun dari Jawa dan Sumba. Produksi tenun dari para perajin yang menenun di kios-kios ini tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan wisatawan sehingga mereka memilih mendatangkan tenun dari luar Toraja.

Kain tenun dijual di sebuah toko souvenir di Toraja, Sulawesi Selatan, Selasa (29/4/2014). Pedagang di Toraja secara terbuka akan menunjukkan kain tenun asli buatan Toraja dan mana yang buatan dari Jawa. Foto: KOMPAS/LASTI KURNIA
Tingginya minat wisatawan terhadap tenun Toraja belum diimbangi dengan regenerasi petenun. Kini, perajin juga sibuk memenuhi permintaan tenun dari warga lokal Toraja setelah adanya kebijakan wajib memakai tenun bagi pegawai negeri setiap satu pekan sekali. Akibatnya, produksi tenun khas Toraja ludes terjual dari tangan perajin. Pembeli bahkan harus antre hingga berbulan-bulan.

Tokoh masyarakat Toraja yang menerima anugerah kebudayaan tahun 2004 dari pemerintah pusat, Tinting Sarungallo (63), menilai lunturnya pemanfaatan tenun dalam tradisi dan keseharian masyarakat Toraja tak lepas dari perubahan zaman. Menurut dia, masyarakat Toraja mulai menjauh dari tenun untuk ritual sejak meninggalkan ajaran agama tua dan beralih ke agama Kristen yang kini dianut mayoritas warga Toraja.

Proses membungkus mayat dengan tenun, menurut Tinting, perlahan mulai ditinggalkan sejak 1990-an. ”Ada perubahan enggak harus dibungkus tenun. Kepercayaan leluhur sudah kurang. Keluarganya merasa terikat jika dibalut tenun,” ungkap Tinting.

Kini, perlahan tetapi pasti, masyarakat Toraja mulai kembali melirik tenun. Upacara keagamaan, seperti perayaan 100 tahun Injil masuk Toraja atau ibadat hari Minggu, mewajibkan jemaatnya memakai tenun. Kecintaan terhadap tenun dari tanah tinggi Toraja ini menempatkannya pada tempat tertinggi di hati dan tradisi masyarakat Toraja.