Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja (Bag II)

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Deretan Tongkonan Karuaya. Terawat dan Asri. Jauh di pelosok Toraja.
Di langit, matahari siang menuju ke atas ubun-ubun. Namun, awan yang berarak mendinginkan suasana. Malah menjelang siang, mendung hitam berusaha mengambilalih keadaan. Tentu, saya berharap semoga hujan tak menangis di kolong langit ini. Jelajah Toraja masih belum sampai setengah hari.

Tibalah saya di Karuaya. Sebuah kampung pemukiman terpelosok yang jauh dari hingar bingar wisata Toraja. Sensasi kesunyian adalah nilai tambah yang mengunggulkan Karuaya dibanding tempat lain. Ada kompleks Tongkonan yang berumur cukup tua di sini. Tepat berada di sisi kanan jalan. Jalan itu juga menjadi pembatas kawasan di sebelah utara Tongkonan. Sedangkan di sebelah selatan, menjulang kekar sebuah tebing yang membatasi sekaligus melindungi Tongkonan Karuaya.

Lima buah rumah tradisional Toraja berdiri gagah. Rerumputan hijau menjadi alas yang halus, laksana karpet menghampar. Seni arsitektur Tongkonan ini masih tradisional dengan beratapkan rumbai-rumbai. Tetumbuhan hijau menghiasi atapnya yang hitam. Tongkonan ini menghadap ke utara, sesuai aturan adat bahwa setiap Tongkonan harus menghadap ke arah utara yang melambangkan awal kehidupan. Sedangkan bagian belakang rumah menghadap arah selatan yang melambangkan akhir kehidupan.   

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Alang Sura'. Lumbung yang digunakan menyimpan padi, gabah dan beras. Jaring pengaman ekonomi. 
Tongkonan berbentuk perahu layar. Tradisi lisan masyarakat Toraja meyakini bahwa bentuk itu dilatarbelakangi datangnya penguasa pertama di Toraja, dari arah selatan Tana Toraja dengan mempergunakan perahu yang dinamakan Lembang melalui sungai-sungai besar seperti sungai Sa’dang. Bentuk perahu itulah ilham pembuatan rumah tongkonan, sehingga bentuk atapnya menjulang ke depan dan ke belakang.

Di bagian depan Tongkonan, ada Alang Sura' yang jumlahnya sebanyak Tongkonan. Alang Sura' ini digunakan untuk menyimpan bahan-bahan makanan terutama padi, gabah dan beras. Ikat-ikatan padi sehabis dipanen terlihat di dalam Alang Sura'. Ada juga beberapa karung beras dan gabah. Pada Alang Sura', tiang-tiangnya dibuat dari batang pohon palem (bangah) yang licin. Ini dimaksudkan agar tikus tidak dapat naik ke dalam bangunan yang berfungsi sebagai lumbung itu. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari yang merupakan simbol untuk menyelesaiakan perkara.

Tiba-tiba seorang nenek tua datang menghampiri saya. Khas wanita Toraja. Berpakaian Toraja dengan passapu atau penutup kepala. Dia langsung mengulurkan tangan untuk jabat tangan dengan saya. Tak banyak kata. Tapi dia ramah menawarkan sebuah senyum yang merekah. Sebuah senyum yang bisa menyamarkan usianya. Kira-kira dia berusia 80-an tahun. Terlihat dari keriput yang menghiasi wajah rentanya. Namun terlihat semangat hidupnya masih tinggi. Enerjik. Tidak ada raut lelah dan lemah yang menyusutkan.

"Tak banyak kata. Tapi dia ramah menawarkan sebuah senyum yang merekah."

Sembari mengulum pinang daun sirih yang menjinggakan giginya, dia mengucapkan sepenggal kata pada saya. Suaranya lirih. Hingga saya perlu mendekatkan telinga saya ke dekat mulutnya.

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Berfoto dengan nenek 'artis' Karuaya, Toraja. 
“Selamat datang” ternyata dia ingin mengatakan kata sambutan kepada saya. “Dari mana ya?”, lanjut dia meneruskan sambutan dengan pertanyaan.

“Dari Jawa, nek” jawab saya.

Tidak terduga nenek itu menepuk-menepuk bahu saya. Tidak berkata. Tidak bersuara. Hanya senyumnya yang bertahan. Senyumnya tidak memudar. Sambil dia mengangkat tangan dan menunjuk ke seluruh ruang kompleks Tongkonan.

“Kamu dipersilakan melihat-lihat kawasan ini,” kata Basho mengartikan gerak tubuh itu. Si nenek tadi membalikkan badan. Saat itu juga, Basho mengajaknya mengobrol menggunakan bahasa Toraja. Saya rela. Biarlah ini menjadi romantisme Basho dengan nenek itu. Saya pun berkeliling lagi melihat-lihat lekuk kawasan Tongkonan Karuaya.

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Tongkonan yang penuh dengan ornamen tanduk kerbau.
Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Salah satu tiang di Tongkonan Karuaya penuh tanduk kerbau. Simbol kekayaan keluarga.
Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Kepala kerbau di Tongkonan. Simbol kemakmuran. 
Bola mata saya tertarik pada setiap sudut di Tongkonan. Ia menyediakan begitu banyak ensiklopedia budaya Toraja yang khas. Akhirnya, pengelanaan mata saya berlabuh pada banyaknya tanduk kerbau dipajang pada tiang utama di depan setiap rumah. Jumlah tanduk kepala kerbau tersebut berbaris dari atas ke bawah. Bagi orang Toraja, tanduk kerbau di depan Tongkonan melambangkan kemampuan ekonomi sang pemilik rumah saat upacara penguburan anggota keluarganya.

Setiap upacara adat di Toraja seperti pemakaman akan mengorbankan kerbau dalam jumlah yang banyak. Tanduk kerbau kemudian dipasang pada tongkonan milik keluarga bersangkutan. Semakin banyak tanduk yang terpasang di depan Tongkonan maka semakin tinggi pula status sosial keluarga pemilik rumah Tongkonan tersebut. Selain itu, di sisi kiri rumah menghadap ke arah barat dipasang rahang kerbau yang disembelih. Di sisi kanan yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi.

Seorang anak kecil keluar dari salah satu rumah Tongkonan. Cepat menuruni tangga, lihai karena terbiasa. Dia melintas hamparan rumput yang memisahkan Tongkonan dan Alang Sura'. Berlari. Beberapa kawannya telah menunggunya di bawah Alang Sura' bersama sang nenek tadi. Saat itu, Tongkonan Karuaya cukup ramai dengan warga setempat. Kehadiran saya di sana sepertinya adalah gula. Manis memikat untuk mengumpulkan orang. Basho kemudian mengundang saya mendekat.

“Kamu diajak nenek untuk berfoto bersama. Untuk kenang-kenangan katanya.”

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Nenek dengan cucu-cucunya penghuni Tongkonan Karuaya.
Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Anak-anak kecil di Karuaya. Malu-malu tapi ramah.
Ciiiis.. Jepreeeet. Lagi-lagi senyuman mewarnai foto kami. Saya berfoto dengan seorang nenek yang mungkin di masa mudanya adalah kembang desa di kampungnya. Kemolekan mudanya masih terkandung jelas di balik kerutan rentanya. Muda dan tua berjalan selaras di wajah dan badan nenek itu.

“Nenek ini memang ‘artis’ nya Karuaya. Setiap wisatawan yang datang ke sini pasti diajak berfoto bersamanya,“ kata Basho sembari berjalan kembali ke mobil.

Momen foto bersama tadi adalah salam perpisahan saya dengan mereka di Karuaya. Lambaian tangan nenek dan anak-anak di Tongkonan mengantarkan kepergian kami. Senyum sang nenek terus memancar dari wajahnya. Seperti sebuah simpul untuk menambatkan hati saya agar selalu mengingatnya. Saya pun luruh dalam perpisahan yang mengharukan. Di pelosok Toraja, di Karuaya inilah saya seperti menemukan saudara. Melintas suku dan agama. Barangkali dari pengalaman ke Karuaya, setiap pengelana akan menemukan perasaan itu. Hangat, membekas dan tidak terlupa.

Kini, penjelajahan Toraja harus terus berlanjut. Melepas Karuaya menuju tujuan yang berikut. Langit mendung tetap menggelayut. Tapi hujan belum ada tanda untuk datang. Awan masih bimbang. Meski begitu, tetap saja saya harus melalui sebuah siang yang tidak riang.

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Hamparan sawah pedesaan Toraja, harmoni alam dan budaya di pelataran Tongkonan.
Perjalanan seakan mengulang-ulang. Masih saja sama. Jalan berbatu dan berkubang. Bergantian sawah dan pematang yang bertingkat-tingkat dengan yang lapang. Masuk kampung keluar kampung. Bergantian Tongkonan tradisional dan modern saling menyelinap dari balik rimbun pepohonan. Namun, jalanan kini konsisten datar. Sebegitunya berulang, angan saya masih terjejak di Karuaya. Terjejak pada senyum sang nenek tadi.

Hingga saya dikejutkan pada seekor kerbau belang yang mandi di sebuah kolam. Seekor binatang yang sakral dikorbankan dalam upacara khas Toraja. Putih-merah muda dan berbelang-hitam. Si kerbau dibiarkan mandi sepuasnya. Tiada kerbau lain yang bercampur dan mengusik kenikmatan mandi si "kerbau raja" ini. Pemilik kerbau mengawasi dari tepian kolam. Tentu dia dengan setia menjaganya karena inilah asetnya yang berharga. Betapa tidak, nilai seekor kerbau belang (tedong bonga) bisa seharga mobil. Sebuah tabungan kehidupan. Sebuah jalan menuju kemakmuran.

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Kerbau Belang sedang berkubang di kolam. Hewan sakral Toraja yang berharga ratusan juta. 
Pedesaan yang penuh imajinasi tampaknya telah berakhir. Ujung jalan beraspal dimulai lagi. Tepat di persimpangan sebuah jalan menuju Kete’ Ketsu. Keasrian pedesaan telah digantikan lalu lalang kendaraan. Digantikan keriuhan wisata. Saya harus bergabung lagi bersama nuansa turisme yang riuh dengan "komoditas" budaya dan sejenisnya.

Ah, dua jam berada pada alam imajinasi Toraja rasanya sangat cepat. Seperti sekedar kelebat. Rasanya belum rela kaki saya kembali berpijak ditengah hiruk pikuk realitas.

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Hamparan sawah pedesaan Toraja, harmoni alam dan budaya di pelataran Tongkonan.

Baca sebelumnya di: Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja (Bag I)

Harmoni kaki, kata dan hati ke penjuru negeri... INDONESIA


Artikel dan Foto oleh Iqbal Kautsar


Tentang Penulis:
Iqbal Kautsar, seorang; Pemakna khasanah INDONESIA | Pejalan dan pencerita perjalanan | Pecinta kopi, durian dan brotowali | Yogyakarta dan Kebumen | 
Anda bisa menghubunginya melalui email: iqbalkautsar@gmail.com


Sumber: artikel ini sebelumnya diposting dalam blog pribadi penulis _DIASPORA IQBAL_ dan atas izin dari penulis, artikel ini kami posting kembali untuk menambah informasi tentang pariwisata di Indonesia khususnya di Toraja.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »