Budaya Toraja, Berdiri Diantara Pilar Tradisi Dan Modernisasi

Gadis-gadis penari berbusana adat Toraja. Foto: google
Wilayah Hijau dalam Nuansa Budaya

Memasuki Tana Toraja melalui jalur sisi Barat jalan arteri dari Makassar, Parepare, Rappang, Enrekang, Makale hingga Rantepao merupakan perjalanan panjang yang dipenuhi sensasi pemandangan alam nan memukau. Perjalanan selama kira-kira 7 jam menempuh jarak sejauh 328 kilometer menjadi sebuah pengalaman yang akan menjadi kenangan. 

Sampai di Makale, ibukota Kabupaten Tana Toraja yang merupakan gerbang menuju wilayah ini, kita disambut oleh hamparan bentang alam bukit-bukit hijau dengan latar belakang pegunungan Quarles dan birunya langit. Pada beberapa tempat terlihat deretan titik-titik yang merupakan permukiman penduduk. Akankah nuansa alam ini tetap lestari pada masa mendatang? Diperlukan sinergi, kerja keras dan kesungguhan dari semua pemangku kepentingan untuk menerima tantangan bagi upaya pembangunan yang sejalan dengan pelestariannya.

Kabupaten Tana Toraja, adalah salah satu bagian wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yang terletak di bagian utara pada 119sampai 120Bujur Timur dengan luas wilayah sekitar 3.205,17 km(320.500 Ha) Tata guna lahannya terdiri dari 290.500 Ha (91%) berupa perkebunan/lahan kering, 24.500 Ha berupa lahan sawah, 2.500 Ha berupa perikanan dan sisanya sekitar 3.000 Ha untuk hutan dan permukiman.

Wilayah Tana Toraja dan Toraja Utara sebelum dimekarkan.
     Wilayah Tana Toraja dan Toraja Utara berbatasan dengan :
  •  Sebelah Utara    :  Kabupaten Mamuju Utara dan Kabupaten Luwu Utara
  •  Sebelah Timur   :  Kabupaten Luwu dan Kota Palopo
  •  Sebelah Selatan :  Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang
  •  Sebelah Barat     :  Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Mamuju Secara umum keadaan
Topografi wilayah Kabupaten Tana Toraja berbukit dan bergunung-gunung dengan ketinggian lahan 300 m sampai dengan 2.889 m di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayah, sekitar 143.319 Ha (+ 44,70%) berada pada ketinggian antara 500—1.100 m (dpl) dengan dominasi kelerengan antara 26% hingga > 40%. Iklim wilayah Kabupaten Tana Toraja tergolong dalam iklim tropis dengan suhu udara antara 140C – 260C dan kelembaban udara antara 82% - 86%. Curah hujan rata-rata tahunan antara 1.500 mm – 3.500 mm dengan jumlah bulan basah (8 bulan) dan bulan kering (4 bulan). 

Perpaduan antara topografi pegunungan dan iklim yang sejuk serta corak adat - istiadat dan budaya masyarakat Toraja yang unik menjadikan daerah ini sebagai salah satu tujuan wisata Nasional dan Internasional. Jumlah penduduk Kabupaten Tana Tonaja tercatat sebanyak 468.035 jiwa (2007) yang tersebar pada 40 (empat puluh) kecamatan. Kepadatan penduduk tertinggi ada pada Kecamatan Rantepao, Makale dan Sanggalangi. Ditinjau dari aspek sosial kependidikan dapat dilihat dari tingkat rasio jumlah murid/sekolah menunjukkan angka 175 (SD), 251 (SLTP), 369 (SLTA) sedangkan rasio jumlah murid/guru menunjukkan angka 21 (SD), 16 (SLTP), 15 (SLTA).


Sejalan dengan era otonomi daerah, dalam kurun waktu yang relatif singkat dari tahun 2004 sampai tahun 2006 Kabupaten Tana Toraja mengalami perubahan yang sangat penting terutama dari aspek struktural administrasi pemerintahan. Pada awal tahun 2004 wilayah Kabupaten Tana Toraja terbagi atas 15 wilayah kecamatan yang kemudian saat ini telah mekar menjadi 40 wilayah kecamatan. Hal ini akan membawa suatu konsekuensi yang cukup besar dan berdampak luas terhadap berbagai aspek lainnya yaitu: Fisik lingkungan, Sosial, Ekonomi, Budaya serta Prasarana dan sarana wilayah. Pemekaran wilayah kecamatan ini merupakan inisiasi untuk pemekaran wilayah kabupaten menjadi 2 kabupaten yaitu: Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara.

Pemekaran kabupaten ini terwujud melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Toraja Utara Di Provinsi Sulawesi Selatan. Pada UU ini dinyatakan pembagian wilayah untuk masing-masing kabupaten. Kabupaten Toraja Utara, terdiri atas 21 (dua puluh satu) kecamatan, 108 Desa/Lembang, 44 Kelurahan, dengan luas wilayah keseluruhan ± 1.216 km2 (± 38%) dengan jumlah penduduk ± 219.428 jiwa pada tahun 2007. Sedangkan wilayah Kabupaten Tana Toraja jumlah kecamatannya berkurang hingga menjadi 19 (sembilan belas) kecamatan, 112 Desa/Lembang, 43 Kelurahan, dengan luas wilayah keseluruhan ± 1.989 km2 (± 62%) dengan jumlah penduduk ± 248.607 jiwa pada tahun 2007. 


Dalam konteks Nasional kawasan Toraja dan sekitarnya ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dengan sudut kepentingan sosial budaya melalui kebijakan yang dituangkan dalam PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang nasional (RTRWN). Dalam kebijakan ini juga ditegaskan bahwa tahapan pengembangan untuk Rehabilitasi/Revitalisasi Kawasan Toraja dan sekitarnya direncanakan pada prioritas I (2010-2014). Adapun institusi pelaksana untuk pengembangannya merupakan kewenangan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

VISI DAN MISI

Visi Kabupaten Tana Toraja “Terwujudnya Tana Toraja sebagai daerah idaman yang paling indah tempat tinggal masyarakat yang beriman dan mandiri, kreatif, dinamis, sejahtera dan penuh kasih persahabatan”


MISI Kabupaten Tana Toraja
  1. Meningkatkan mutu manusia dalam berbagai eksistensi masyarakat Tana Toraja.
  2. mengoptimalkan penataan ruang dan pelestarian lingkungan.
  3. Membangun prasarana p e r h u b u n g a n d a n sarana perekonomian.
  4. Meningkatkan kualitas pendidik an dengan restrukturisasi sistem dan penyelenggaraan pendidikan pada setiap jenjang.
  5. mengoptimalkan otonomisasi daerah melalui peningkatan kualitas pemerintahan daerah.
  6. menata dan membangun kembali kelembagaan sosial, ekonomi dan bisnis termasuk koperasi.
  7. Mengoptimalkan pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Sumberdaya Pariwisata.
  8. Mendorong para pengusaha Kecil dan Menengah agar dapat mengembangkan usahanya secara mandiri, profesional.
  9. Membangun ekonomi kerakyatan Tana Toraja yang bertumpu pada sektor pertanian dan pariwisata.

BUDAYA SUKU TORAJA 
Sistem Religi, Organisasi Sosial dan Kepemimpinan Suku Toraja
Perkampungan tua Buntu Pune. Foto: google
Masyarakat Toraja memiliki kepercayaan yang disebut Aluk Todolo. Aluk berarti aturan dan Todolo berarti nenek moyang. Hakikat Aluk Todolo adalah pandangan terhadap alam dan pandangan terhadap leluhur yang diimplementasikan dalam aturan-aturan dan upacara-upacara adat. 

Sampai saat ini masyarakat Toraja masih memegang teguh aturan upacara-upacara adat seperti Aluk Rambu Tuka’ / Aluk Rampe Matallo yaitu aturan upacara pengucapan syukur untuk kehidupan dan keselamatan serta Aluk Rambu Solo’ / Aluk Rampe Matampu’ yaitu aturan upacara kematian dan pemakaman. Masyarakat Toraja juga mengenal Liang atau kuburan adapt Toraja. 


Menurut ajaran Aluk Todolo, seperti halnya semasa hidup, pada waktu mati pun manusia berkumpul dalam satu tongkonan (Tangdilingtin, 1974). Tulang belulang dan jasad tubuh dikumpulkan dalam satu tempat yang disebut Liang atau Tongkonan Tang Merambu (tongkonan tidak berasap).

Liang merupakan pasangan dari tongkonan dan dinyatakan sebagai warisan dan pusaka dari satu keluarga. Selain dalam hal upacara, adat juga menentukan dalam kehidupan perekonomian masyarakat Toraja. Hampir semua lahan persawahan, perkebunan dan tegalan yang dimiliki oleh masyarakat berada dibawah kuasa hukum adat. Pengaturan, pengendalian dan pemanfaatan ruang dan lahan termasuk didalamnya pembangunan prasarana jalan, sistem dan distribusi air yang berasal dari mata air pegunungan untuk saluran irigasi persawahan dan sebagainya ditentukan oleh penguasa dan hokum adat. 


Masyarakat Toraja memiliki lembaga dan organisasi sosial yang mengelola kehidupan di lingkungan permukiman pedesaan. Setiap daerah adat besar terdiri dari beberapa kelompok adat yang dikuasai oleh satu badan musyawarah adat yang disebut Kombongan Ada’. Setiap Kombongan Ada’ memiliki beberapa penguasa adat kecil disebut Lembang. Di daerah lembang masih terdapat penguada adapt wilayah yang disebut Bua’.

Tongkonan Sebagai Sumber Kebudayaan Masyarakat Suku Toraja

Tongkonan Sebagai Sumber Kebudayaan Masyarakat Suku Toraja. Foto: google
Tongkonan berarti tempat penguasa adat untuk mendengarkan, membicarakan dan menyelesaikan masalah-masalah penting dalam membina persatuan kehidupan dan harta warisan keluarga menurut tradisi masyarakat Toraja. 

Tongkonan sangat berperan dan berfungsi membentuk kepribadian, tradisi dan budaya Toraja dengan dasar kesatuan kekeluargaan dan gotong royong dalam hidup dan kehidupan sosial ekonomi dan budaya. Masyarakat Toraja membedakan antaraTongkonan sebagai rumah adat keluarga Toraja, sumber kekuasaan adat dan pemerintahan adat Toraja dengan Banua barang-barang yaitu rumah atau tempattinggal pribadi orang Toraja. Tongkonan merupakan sumber budaya tradisional Toraja, seperti yang tercermin dalam ungkapan-ungkapan berikut :
  • Tongkonan ditimba uainna artinya : uai berarti air dan ditimba artinya ditimba, yang mengandung makna Tongkonan sebagai sumber bahan makanan bagi warganya.
  • Tongkonan dikalette’ tanananna : dikalet te’artinya dipetik dan tanananna berarti tanaman yang mengandung makna bahwa Tongkonan sebagai sumber bahan makanan bagi warganya
  • Tongkonan dire’tok kayunna : artinya tanah milik tongkonan pemanfaatannya berfungsi sosial dalam arti kata seluas-luasnya
  • Tongkonan dikumba’ litakna : litakna artinya tanah milik tongkonan pemanfaatannya berfungsi sosial dalam arti kata seluas-luasnya.
  • Tongkonan dipoada’ ada’na, dipoaluk alukna : artinya adat istiadat, aluk artinya agama (religius) yang mengandung makna bahwa segala tindakan, tata kelakuan, pola hubungan sosial, norma-norma dan aturan-aturan dalam kehidupan bersama bersumber dari Tongkonan yang dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan.
Permukiman Perdesaan
Kondisi desa dan perdesaan di Tana Toraja mempunyai cirri yang hampir sama walaupun ada sedikit perbedaan, baik ditinjau dari sudut lokasi geografis, etnologis/silsilah dan sosial budayanya ataupun mata pencahariannya. Desa-desa tradisional Toraja pada umumnya memiliki ciri umum yaitu dengan kelompok rumah-rumah adat untuk tempat tinggal keluarga sedikitnya antara 5 - 10 keluarga dan disesuaikan dengan kondisi topografis serta lokasinya menyebar di lereng pegunungan. 

Setiap kelompok rumah-rumah penduduk memiliki tongkonan dan alang atau lumbung padi untuk kegiatan sosial ekonomi dan kehidupan tradisi dan budaya mereka. Tongkonan biasanya secara turun temurun dilengkapi dengan ladang dan sawah untuk bertani, serta binatang ternak dengan memelihara kerbau dan babi. Secara umum kondisi lingkungan permukiman di pedesaan Toraja tidak kekurangan rumah, tetapi kualitas lingkungannya tidak memadai.


Hal tersebut antara lain disebabkan oleh masih rendahnya tingkat penghasilan maupun tingkat sosial budaya masyarakatnya. Dikalangan masyarakat tertentu, karena adanya kepercayaan melindungi gangguan dari luar serta serangan terhadap penyakit, sehingga masih terdapat rumah tanpa bukaan untuk jendela dan lantai dari tanah yang lembab. Kondisi air bersih pedesaan dan saluran buangan limbah pada umumnya menunjukkan kualitas yang rendah. Kandang ternak kerbau dan babi pada umumnya sangat berdekatan atau menyatu dengan tempat tinggal di rumah adat atau tongkongan. 

Rumah adat dapat dipastikan menghadap ke utara. Posisi ini mengandung pengertian bahwa jendela yang menghadap timur secara filosofi melambangkan kehidupan karena timur adalah arah masuknya sinar matahari. Rumah adat kepemilikannya secara turun temurun dan bersifat komunal.

Dengan pola ini maka tidak ada pembagian warisan khususnya untuk wiilayah Toraja Selatan. Sementara wilayah utara ada sebagian yang dibagi sehingga ada sebagian bidang tanah yang beralih kepemilikannya. Tongkonan diseluruh Tana Toraja secara adat dan tidak tertulis terbagi menjadi 32 wilayah adat, disini terdapat suatu aturan tidak tertulis bahwa antara satu wilayah adat dengan wilayah adat lainnya tidak boleh saling mengintervensi. Di Tana Toraja tak ada bengkok seperti di daerah lain, dengan adanya bangunan tongkonan dengan segala sarananya (ladang, sawah, dan lain lainnya) dengan sendirinya wilayah Tana Toraja sudah terbagi habis dengan keberadaan tongkonan.

Tata letak bangunan pada perkampungan/desa adat tua


Desa Adat Ke’te Kesu’

Desa Ke'te Kesu.
Desa Ke’te kesu’ terletak ± 4 Km sebelah tenggara Kota Rantepao. Desa ini merupakan salah satu obyek unggulan di Tana Toraja. Terkenal karena terdapat perkampungan adapt tua, lumbung-lumbung padi dan batu menhir yang terletak di antara areal persawahan juga kompleks pemakaman bagi kaum bangsawan beberapa meter di bagian belakang rumah. Disini ditemukan kuburan purba tergantung dari atas dinding-dinding batu disertai patung-patung (tau-tau). 

Di lokasi ini terdapat pengukir dan pematung yang cakap membuat barang-barang kerajinan. Pada Desa Ke’te Kesu’ ini juga terdapat museum yang merupakan sarana penunjang aktivitas pariwisata yang ada di Desa Ke’te Kesu’ ini. Mata pencaharian utama masyarakatnya adalah pertanian. Hal ini terlihat dari banyaknya penggarap lahan yang ada. 

Pariwisata merupakan usaha sampingan, bukan merupakan Kerajinan adalah usaha sampingan bagi masyarakatnya, namun lebih banyak bersifat pemasaran/distribusi saja, karena hanya beberapa masyarakat yang membuat kerajinan, sebagian besar barang dagangan dibuat oleh masyarakat dari luar ke’te kesu’ , bahkan ada yang berasal dari luar Desa Ke’te Kesu’ sebagai contoh songket bali lombok yang berasal dari Jogya dan lainnya. Sebagian besar rumah Tongkonan yang ada di Ke’te Kesu’ tidak dihuni karena masyarakatnya banyak yang bekerja di luar namun masih ada sanak famili perwakilan dari masingmasing tongkonan yang membangun rumah batu sendiri di sekitar Ke’te Kesu’. 

Sebagian lumbung masih terpakai meski tidak effektif. Hal ini terlihat ketika musim panen melimpah, padi hanya diletakkan di bawah kemudian ditutupi dengan terpal, sehingga tidak dinaikkan ke atas lumbung.

Buntu Pune

Perkampungan tua Buntu Pune. Foto: google
Tongkonan Buntu Pune terkenal sejak jaman pemerintahan sang penguasa Pong Maramba'. Pada bulan September 1905 tempat ini menjadi saksi bisu lahirnya semboyan perjuangan Toraja "To pada tindo, To misa' pangimpi" sebuah kesepakatan antara beberapa penguasa lokal di Toraja untuk melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda yang akan memasuki Toraja melalui daerah Balusu. Pertemuan ini sekaligus menghilangkan perpecahan antara mereka (penguasa lokal) dan menyusun kekuatan untuk melawan Belanda.

Itulah sebabnya Buntu Pune ditetapkan sebagai situs purbakala karna Tongkonan yang ada ditempat ini menyimpan nilai sejarah yang luar biasa. Benteng pertahanan ini juga menyimpan benda benda perbakala dan tempat pemakaman yang sudah berumur ratusan tahun. Bahkan juga terdapat tau tau atau replika orang yang di semayamkan di kuburan ini.

Lokasi objek wisata ini berada di bagian selatan Toraja Utara jurusan ke Ke'te' kesu'  tepatnya di kecamatan Sanggalangi.

Desa Adat Palawa'
Kompleks Desa Adat Pallawa'. Foto: google
Desa Palawa' terletak ± 12 Km dari Kota Rantepao yang merupakan salah satu obyek unggulan wisata dimana terdapat perkampungan adat tua. Mata pencaharian utama masyarakatnya tetap bertani namun sebagian masyarakatnya ada juga yang menjadi pegawai negeri atau swasta.

Desa adat Pallawa , merupakan desa tradisional yang masih memiliki 11 bangunan rumah dan 15 lumbung padi khas arsitektur Toraja.

Rumah-rumah beratap susunan bambu tersebut sudah ratusan tahun usianya dan hingga kini masih dipertahankan. Susunan tanduk kerbau di bagian depan rumah, menjadi aksesoris yang segera saja menarik pandangan mata, begitu juga dengan sebaris taring babi yang digantung di dekat langit-langit di pelataran rumah.

Susunan tanduk kerbau menunjukkan strata sosial pemilik rumah, semakin banyak tanduk berarti semakin kaya karena si pemilik sering mengadakan upacara adat. Sementara taring babi menunjukkan kalau rumah tersebut sudah diupacarakan dalam adat syukuran. 

Kondisi saat ini tongkonan cenderung kosong dan tidak dihuni karena masyarakat sudah membuat rumah batu sendiri di belakang atau disekitar tongkonan keluarga mereka, alasannya selain karena tongkonan di Pallawa ini sudah dijadikan cagar budaya juga karena Tongkonan kurang praktis untuk digunakan sebagai tempat tinggal karena tidak bisa dimiliki perseorangan (milik keluarga besar) sehingga orang cenderung membuat rumah batu yang hak dan kenyamanannya lebih terjamin.

Desa Adat Siguntu'
Tongkonan di desa adat Siguntu'
Desa ini terletak ± 4 Km dari Rantepao. Di Desa Siguntu ini terdapat beberapa rumah adat tongkonan dan lumbung-lumbung padi. Situs ini adalah milik bangsawan bernama Pong Tandi Bulaan

Tongkonan Siguntu' terletak di Dusun Kadundung, Desa Nonongan, Kecamatan Sanggalangi', Kabupaten Toraja Utara, Propinsi Sulawesi Selatan.

Siguntu' berada di atas bukit dengan rumah Tongkonan (traditional house of Toraja tribe) yang unik dan pemandangan yang mempesona. Terdapat hamparan sawah di bagian timur serta tebing-tebing bukit Buntu Tabang di bagian barat. Di lokasi ini terdapat tiga rumah Tongkonan (dari timur Tongkonan Siguntu', Tongkonan Tirorano dan Tongkonan Solo') yang kesemuanya itu dalam satu lokasi disebut Siguntu'.

Tongkonan di desa adat Siguntu'
Lokasi Tongkonan Siguntu’ dibuka sebagai objek wisata tahun 1973 dan pada tahun 1974 di Tongkonan ini dilaksanakan upacara adat Rambu Tuka’ yaitu Merok Mangrara Banua / peresmian rumah baru (Tongkonan Tirorano dibangun kembali dan disatukan di Siguntu’) oleh keluarga di Siguntu’, yang dihadiri oleh para delegasi 60 negara asing yang mengikuti konferensi PATA ke-23 di Jakarta tahun 1974. Sejak itulah Toraja semakin dikenal sebagai Daerah Tujuan Wisata yang handal dan menakjubkan.

Pekerjaan masyarakat Siguntu' yaitu bertani dengan dengan sawah yang berada di daerah bawah namun tidak digarap sendiri karena jumlah masyarakat Siguntu yang sedikit, sebagian besar keturunan mereka berada di luar Tana Toraja, pembagian hasil 50 % untuk pemilik sawah dan 50 % untuk penggarap, namun hasil panen disimpan di bawah sehingga lumbung yang ada di atas lebih sering kosong dan banyak berfungsi hanya ketika upacara adat saja sebagai tempat menerima tamu. 

Disamping bertani padi sawah masyarakat Siguntu juga memiliki usaha penggemukan kerbau serta petani Kebun Kopi yang ada di Pendek. Dulu terdapat aktivitas pariwisata di Siguntu namun sekarang tidak ada karena kalah pamor dibandingkan dengan Pallawa dan Ke’te’ Kesu’. Rumah Tongkonan yang ada di Desa Siguntu ini sebagaimana halnya Tongkonan yang ada di Tana Toraja tidak dikenai PBB dan tidak disertifikatkan, namun rumah batu yang dibangun di sekitarnya dikenai PBB.

Desa Adat Baruppu’                   
Desa Tiroan Baruppu. Foto: Panoramio
Bangunan tongkonan di desa ini masih ditinggali dan masih alami meskipun ada beberapa perubahan kecil yaitu misalnya penambahan dinding pada bangunan bawah tongkonan, pembuatan kamar mandi, serta kandang babi ada di belakang rumah. Sudah ada tempat ternak hewan bersama namun sejauh ini belum terdapat banyak ternaknya. 

Mata pencaharian masyarakat disini mayoritas petani padi sawah dan petani kopi, ada juga yang berkebun alpokat dan markisa, bertambak ikan, pengelola turbin air, ternak babi dan kerbau serta ayam.


Kegiatan para wanita, membantu suami di sawah dan kebun, namun demikian masih banyak waktu luang karena sawah dan kebun tidak digarap setiapm hari. Sawah hanya digarap ketika tanam dan panen yang berlangsung 2 kali dalam setahun demikian juga dengan kopi.

Desa Rante Karassik, Londa dan Sa'dan
Pemakaman di tebing batu Londa.
Disamping desa-desa adat yang telah digambarkan di depan sesungguhnya Tana Toraja secara keseluruhan adalah hamparan semesta yang sarat dengan warisan       budaya yang berwujud material dan non material. 

Warisan berwujud material seperti bangunan dan situs-situs dan non material berupa legenda-legenda dan keyakinan yang menyatu dalam kehidupan keseharian masyarakatnya. Beberapa desa yang menonjol warisan budayanya antara lain Desa Sa’dan, Rante Karassik, Londa dan Buntupune. Sa’dan adalah desa yang merupakan hulu sungai Sa’dan yang mengairi desadesa dibawahnya. Desa ini memiliki kekayaan alam yang indah dan kerajinan kain tenun yang ditenun oleh tangan-tangan terampil mulai tahun.


Situs megalitik, batu Simbuang.
Desa Rante Karassik memiliki peninggalan berupa situs megalitik yang terletak pada lembah dengan latar belakang gunung. Yang menarik dari Rante Kerrasik ini adalah batu-batu megalitikum (menhir) besar yang tertancap megah di atas tanah. Jumlahnya ada puluhan dengan tinggi yang bervariasi, bahkan ada yang sampai 7 meteran. Sebagian juga masih ada yang terkubur di dalam tanah. Batu menhir ini adalah simbol bahwa telah sekian banyak upacara adat pemakaman bangsawan Rambu Solo’ Rapasan dilaksanakan di lokasi tersebut.

Namun disayangkan tidak ada informasi khusus tentang sejarah dari situsnya. Buntupune dan londa mirip desa adat lainnya namun disini banyak peninggalan berupa pekuburan pada tebing-tebing yang tinggi dan ditandai dengan patung-patung diri nenek moyang.

Potensi Sumber Daya Alam dan Sosial Budaya

POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN TANA TORAJA SEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL WARISAN SOSIAL BUDAYA 

Ritual Rambu Solo, tradisi yang melekat erat pada kehidupan sosial masyarakat Toraja.
Masyarakat Toraja
  • Bentang alam hijau, pegunungan dan iklim yang nyaman ditunjang pola berkebun dan bertani menciptakan harmoni alam yang khas Tana Toraja.
  • Masyarakat Tana Toraja memiliki budaya khas dan spesifik yang memiliki kekuatan dan keutuhan dalam membentuk pola kehidupan masyarakatnya. Nilai, norma dan tradisi warisan nenek moyang ini masih eksis sampai saat ini dan menjadi pegangan dan orientasi nilai nilai kehidupan keseharian masyarakatnya.
  • Warisan budaya yang berupa Arsitektur tradisional dan pola tata letak massa bangunan di permukiman perdesaan relative terpelihara dengan baik.
  • Kepercayaan Aluk Todolo yaitu pandangan untuk kelestarian atau harmonisasi kehidupan duniawi terhadap alam dan pandangan terhadap leluhur diimplementasikan dalam aturan dan upacara adat yang dipatuhi hingga saat ini.
  • Akses pendukung kawasan berupa infrastruktur jalan penghubung antar kawasan, relatif baik dengan kondisi jalan datar serta berada dekat dengan Pusat kota Rantepao.
   Permasalahan Pengembangan
  • Peran serta pemerintah, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya masih belum optimal dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan warisan budaya.
  • Beberapa Tongkonan yang telah diambil alih Pemda tidak lagi dihuni oleh pemiliknya sehingga terkesan seperti museum. Tongkonan yang masih dihuni sudah terdapat banyak perubahan sehingga bangunan memberi kesan tidak asli.
  • Warga desa merasakan adanya konflik batin, dimana ada perasaan ingin berubah sejalan dengan modernisasi jaman tapi mereka tetap patuh untuk mempertahankan nilai-nilai budaya.
  • Kepemilikan tanah yang hampir seluruhnya dikuasai hukum adat. Kondisi ini menyebabkan penataan ruang dalam kaidah normatif sulit dilaksanakan.
 UPAYA HARMONISASI PILAR TRADISI DAN MODERNISASI
  • Meningkatkan peran serta masyarakat dalam Penataan Ruang sejak tahap gagasan hingga implementasi di lapangan.
  • Kegiatan pendampingan pada proyek percontohan untuk penataan kawasan warisan budaya skala kecil sejak tahap gagasan hingga pengelolaannya.
  • Meningkatkan peran BKPRD sebagai pemrakarsa dan koordinator Penataan Ruang.
  • Meningkatkan kapasitas Sumber daya manusia dalam bidang pertanian, perkebunan dan pariwisata.
  • Meningkatkan kapasitas ekonomi mikro melalui dana stimulan bagi pengembangan usaha skala kecil bidang kerajinan, makanan/minuman dan jasa-jasa.
  • Merintis dialog antara ketua adat, dinas pertanahan dan dinas tata ruang untuk menciptakan peluang bagi pengadaan tanah untuk kepentingan public Penyelenggaraan peringatan Hari Tata Ruang/World Town Planning Day (WTPD) dilaksanakan selama 2 hari, yaitu tanggal 7 – 8 November 2009 bertempat di Plaza Barat Senayan.
Hari ke-1 adalah kegiatan Tata Ruang Expo 2009 yang dibuka oleh Deputi Bidang Tata Ruang Provinsi DKI. Peserta Tata Ruang Expo 2009 dibagi menjadi 6 cluster yaitu : cluster bangunan dan teknologi, cluster lingkungan, cluster kawasan, cluster perkotaan, cluster wilayah/regional, cluster nasional, serta stand Departemen Pu dan Pemprov DKI. 

Puncak peringatan WTPD sendiri diadakan pada hari Minggu, tanggal 8 November 2009. dengan yang diramaikan dengan kegiatan Sepeda Sehat /Fun Bike dengan jumlah peserta + 2000 orang yang dilepas di Plaza Barat Senayan oleh Walikota Jakarta Pusat. Pada kesempatan ini Menteri PU dan Gubernur DKI melakukan penyegelan SPBU di Bundaran Semanggi, sebagai wujud upaya DKI Jakarta untuk menjadikan Jakarta sebagai kota yang lebih hijau, dengan merubah SPBU tersebut menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH). 


Penandatanganan Deklarasi Forum SUD Puncak peringatan Hari Tata Ruang ditandai dengan penekanan sir ine oleh Menter i Pekerjaan Umum didampingi oleh Gubernur DKI Jakarta, dan dilanjutkan dengan penandatangan Nota Kesepahaman antara Depar temen Pekerjaan Umum dengan Pemerintah Provinsi DKI, yang didasarkan pada keinginan bersama penyelenggaraan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan serta tanggung jawab bersama untuk menjadikan DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Ke depan peringatan Hari Tata Ruang diharapkan juga diselenggarakan di daerah atas prakarsa pemangku kepentingan dengan dukungan pemerintah daerah setempat.


Prosesi Rambu Solo, tradisi yang melekat erat pada kehidupan sosial masyarakat Toraja.


Foto: Google
Sumber artikel: bulletin[.]penataanruang[.]net

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »