Showing posts with label Ritual. Show all posts
Showing posts with label Ritual. Show all posts

Foto: Ma'Nene - Baju Baru untuk Mumi Leluhur Suku Toraja

Ritual Ma’nene, Tradisi Unik dari Tana Toraja
Anggota keluarga memegang mumi leluhur mereka sebelum memasangkan pakaian baru dalam ritual Ma'nene di Toraja, Sulawesi Selatan (23/8/12). Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
Ritual Ma’nene', Tradisi Unik Suku Toraja

Salah satu keunikan tradisi kebudayaan suku Toraja di Sulawesi Selatan adalah ritual membersihkan dan mengganti pakaian jenazah/mumi para leluhurnya. Ritual ini dikenal dengan nama, Ma'nene'. Dalam beberapa postingan di internet ritual unik ini sering ditafsirkan salah, sehingga tidak sedikit yang beranggapan bahwa ritual Ma'Nene' merupakan ritual mayat berjalan. Ritual Ma'Nene' sama sekali bukanlah ritual mayat berjalan yang banyak dibicarakan (dan dipertanyakan) itu. Saat ini sulit untuk menemukan saksi hidup yang benar-benar bisa memastikan 'legenda' mayat berjalan ala Toraja, berbeda halnya dengan ritual Ma'Nene' yang bisa anda saksikan langsung di Baruppu (jika anda beruntung berada di lokasi saat ritual dilangsungkan).

Jenazah-jenazah dalam peti yang telah 'dikubur', diletakkan dalam liang gunung batu ataupun di dalam patane (juga kuburan khas Toraja berbentuk bangunan). Oleh sebagian masyarakat suku Toraja —khususnya di kawasan Baruppu, Toraja Utara— meyakini bahwa jenazah itu menjadi bagian tidak terpisahkan dari kerabat keluarganya yang masih hidup. Itu sebabnya di kawasan ini, sebagian keluarga intens memperhatikan jenazah kerabatnya, setidaknya setiap 3 tahun sekali dibersihkan. Ritual yang disebut Ma'Nene' ini dilakukan dengan cara mengeluarkan jenazah (yang telah dimumikan) dari peti untuk dibersihkan. Pakaian lama yang digunakan sang jenazah, digantikan dengan pakaian yang lebih baru.

Dibilang unik dan khas, mengingat ritual Ma'Nene' dilakukan hanya oleh sebagian kecil masyarakat Toraja di wilayah Pangala' terutama di Baruppu' dan Lempo Poton, daerah pedalaman Toraja Utara. Ritual Ma'Nene' dilakukan setiap 3 tahun sekali dan biasanya dilakukan pada bulan Agustus. Mengapa pada bulan tersebut? Karena upacara Ma'Nene' hanya boleh dilaksanakan setelah musim panen. Musim panen di Toraja biasanya jatuh pada bulan Agustus.

Masyarakat adat Toraja (khususnya di Baruppu') percaya jika ritual Ma'Nene' tidak dilakukan sebelum masa panen, maka sawah-sawah dan ladang mereka akan mengalami kerusakan dengan banyaknya hama yang datang tiba-tiba.

Setiap tiga tahun sekali kuburan leluhur mereka sengaja dibuka dan dikeluarkan dari peti, untuk didandani. Uniknya, jasad ini masih tetap utuh (seperti mumi di beberapa kebudayaan kuno lainnya). Menurut kepercayaan setempat, arwah para leluhur mereka masih 'hidup' dan mengawasi keturunannya dari 'tempat' yang lain.

Sebelum dibuka dan diangkat dari peti, para tetua yang biasa dikenal dengan sebutan Tominaa, membacakan doa-doa dalam bahasa Toraja Kuno. Setelah itu, mayat tersebut diangkat dan mulai dibersihkan dari atas kepala hingga ujung kaki dengan menggunakan kuas atau kain bersih. Setelah itu, barulah mayat tersebut dipakaikan baju yang baru dan kemudian kembali dibaringkan di dalam peti tadi. Dalam ritual tersebut, mayat yang telah dikeluarkan dari peti akan dibersihkan dan didandani layaknya pergi ke sebuah pesta meriah. 

Menurut cerita, ritual ini terinspirasi dari kisah nenek moyang mereka ratusan tahun lampau, Pong Rumasek seorang pemburu binatang, saat tengah berburu di hutan belantara, ia menemukan sesosok mayat tergeletak dan mengenaskan. Pong Rumasek tergugah, ia membawa pulang mayat itu, lalu membersihkan dan memberi pakaian bersih yang digunakannya. Sejak itu, setiap kali berburu, selalu mendapat banyak binatang buruan. Bahkan selalu mendapat buah segar yang berlebihan. Perkebunan dan persawahan milik masyarakat di kampungnya pun selalu menuai hasil panen yang melimpah ruah.

Sejak itulah Pong Rumasek menyadari bahwa merawat orang yang telah meninggal dunia, tidak jauh lebih mulia dari merawat kekerabatan dengan orang yang masih hidup. Paham Pong Rumasek secara turun temurun sekian abad diyakini dan diterapkan masyarakat suku Toraja, khususnya di Baruppu', sebuah kampung yang kini masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Toraja Utara. 

Selain ritual pesta kematian, ritual Ma'Nene' ini, juga menjadi daya tarik pariwisata khas suku Toraja yang jarang ditemukan (atau mungkin satu-satunya di dunia). Itu sebabnya, setiap kali ritual Ma'Nene' dilaksanakan menjadi magnet yang menarik kerumunan wisatawan dalam dan luar negeri, hadir menjadi saksi nyata keunikan sebuah tradisi yang masih terpelihara.

Berikut beberapa foto dokumentasi ritual Ma'Nene di Toraja yang dilansir Tempo Foto:

Ritual Ma’nene, Tradisi Unik dari Tana Toraja
Sesosok mumi dibaringkan di peti jenazah di depan bangunan kuburan (Patane) setelah pihak keluarga memakaikan pakaian baru dalam sebuah upacara adat Toraja yang disebut Ma'nene di Sulawesi Selatan (23/8). Ritual ini biasa dilakukan setiap tiga tahun sekali terhadap leluhur mereka yang telah dimumikan ketika meninggal dunia. Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
Ritual Ma’nene, Tradisi Unik dari Tana Toraja
Seorang perempuan berdiri di depan kuburan batu yang disebut 'Liang' dalam ritual Ma'nene di Toraja, Sulawesi Selatan (23/8). Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
Ritual Ma’nene, Tradisi Unik dari Tana Toraja
Seorang anggota keluarga mengeluarkan mumi leluhurnya dari dalam peti jenazah sebelum memakaikan pakaian baru dalam ritual Ma'nene di Toraja, Sulawesi Selatan (23/8). Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
Ritual Ma’nene, Tradisi Unik dari Tana Toraja
Beberapa peti jenazah berisi mumi di dalam bangunan kuburan yang disebut Patane, ketika berlangsung ritual Ma'nene di Toraja, Sulawesi Selatan (23/8). Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
Ritual Ma’nene, Tradisi Unik dari Tana Toraja
Sesosok mumi dibaringkan di peti jenazah setelah pihak keluarga memakaikan pakaian baru dalam sebuah upacara adat Toraja yang disebut Ma'nene di Sulawesi Selatan (23/8). Ritual ini merupakan bentuk penghormatan dan cinta warga Toraja kepada leluhur mereka. Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad

Sekilas tentang Suku Toraja dan Rambu Solo

Toraja adalah salah satu suku yang berdiam di daerah pegunungan Quarles bagian utara pegunungan Latimojong, wilayah utara dari Provinsi Sulawesi Selatan. Tepatnya di Kabupaten Tana Toraja, yang kini sebagian wilayahnya dimekarkan menjadi daerah otonom baru, yakni Kabupaten Toraja Utara. 

Suku Toraja yang bermukim di dua kabupaten yang memiliki hawa dingin ini, dominan penganut agama Nasrani, setelah jauh sebelumnya adalah pengikut animisme yang didasarkan pada ajaran dianut nenek moyang mereka ribuan tahun lalu, yang oleh suku Toraja disebut “Aluk Todolo” (kebiasaan, ajaran, paham dan keyakinan orang-orang terdahulu).

Meskipun saat ini sebagian besar masyarakatnya tidak lagi menganut keyakinan yang diwariskan dari nenek moyang mereka, tetapi nilai dan ajaran “Aluk Todolo” tetap dipegang teguh dan dilestarikan dalam kehidupan bermasyarakat. Misal diantaranya, sekalipun masyarakat suku Toraja telah mengikuti ajaran Nasrani, tetapi tradisi “Aluk Todolo” yang mengagungkan kematian kerabat yang meninggal dunia tetap dipertahankan dan dilestarikan hingga kini. Itu sebabnya upacara kematian bagi keluarga yang meninggal dunia, disebut “Rambu Solo”, jauh lebih meriah bila dibandingkan upacara pernikahan sanak keluarga.

Kematian bagi masyakat suku Toraja, adalah inti dan puncak pencapaian kehidupan paling agung menuju keabadian di “Puya” (Surga/Nirwana bagi kepercayaan suku Toraja). Itulah sebabnya, sebelum menuju ke mahligai nirwana di “Puya”, pemakaman jenazah menjadi momentum paling sakral dalam perjalanan hidup di muka bumi ini. Bagi Suku Toraja kematian seolah sebuah pemahaman bahwa “hidup manusia adalah untuk mati” menuju alam keabadian. Guna mencapai ketenteraman di “Puya”, setiap arwah harus melakukan pembersihan diri sebagai penebus dosa. Untuknya, setiap jenazah yang akan dikubur, sedapat mungkin diberi "bekal" sebanyaknya sesuai kemampuan keluarga.

Bekal dimaksud adalah roh sejumlah hewan yang dikurbankan pada saat upacara pemakaman “Rambu Solo” dilaksanakan. Roh sejumlah hewan yang dikurbankan itu diharapkan mampu mengiring-iringi arwah si mati menuju “Puya”. Semakin banyak jumlah hewan dikurbankan semakin sempurnalah perjalanan menuju keabadian. Semakin tinggi derajat kasta jenazah, semakin tinggi pula hewan dikurbankan. Itu sebabnya, upacara kematian suku Toraja, kadang menghabiskan dana milyaran rupiah. Bagi mereka yang belum mampu, jenazah kerabatnya di-“mumi” sementara waktu di rumah, hingga saatnya kerabat mampu mengumpul dana untuk melangsungkan upacara "Rambu Solo".

Upacara kematian “Rambu Solo” yang kadang menghabiskan anggaran Milyaran rupiah — yang kini bergeser diartikan derajat dan gengsi keluarga — berhari-hari berlangsung meriah selama sekian pekan, siang maupun malam. Uacara ini selain disertai nyanyian-nyanyian duka “ma’badong”, do’a-do’a ratapan, juga ditampilkan musik dan ragam tarian tradisional untuk menghibur kerabat keluarga yang sedang berduka, yang tak habis-habisnya berdatangan menyampaikan belangsungkawa, baik mereka yang bermukim di Tana Toraja, maupun yang jauh-jauh datang dari negeri rantau. Entah dari dalam ataupun dari luar negeri.

Penguburan mayat, pada saatnya akan dilakukan sesuai kesepakatan keluarga. Mayat yang dimakam, sebagian besar adalah jenazah yang sekian bulan atau sekian tahun dirawat di rumah, setelah sebelunya di-“mumi” melalui ramuan tradisional khas Toraja, sehingga fisik jenazah tetap utuh seperti sediakala semasa hidup. Diselimuti pakaian baru secara lengkap, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dimasukkan ke dalam peti yang terbuat dari jenis kayu tahan lama. Mayat dalam peti, diusung segenap keluarga menuju pekuburan liang gunung batu yang telah disiapkan. Peti berisi mayat di letakkan di atas gundukan batu dalam liang.

Pekuburan liang di tebing pegunungan batu, tersebar di sepanjang wilayah Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Setiap lokasi dapat disaksikan peti-peti berisikan mayat atau tengkorak manusia bergelimpangan. Pekuburan dimaksud itulah yang menjadi salah satu objek wisata (yang mungkin) terunik di dunia yang tak henti-hentinya mendapat kunjungan wisatawan nusantara dan manca negara. Selebihnya karena selain cuaca Tana Toraja yang sejuk-dingin, juga karena pemandangan alam pegunungannya yang indah, serta rumah tradisonalnya yang khas, pula karena kehidupan masyarakatnya kebanyakan masih tradisionil, khas dan unik.


Semoga bermanfaat... 



Belum Pernah Liburan ke Toraja? 10 Pesona Wisata Ini Menanti Anda

Pesona hamparan persawahan di Batutumonga, Toraja. Foto: Rice Terraces of Batutumongan by Michele Burgess
Bingung mau liburan kemana? Dari sekian banyak destinasi pilihan, Tana Toraja di Sulawesi Selatan bisa menjadi alternatif destinasi liburan yang wajib Anda kunjungi. Keeksotisan Tana Toraja terbukti telah banyak memikat wisatawan mancanegara dan domestik untuk berkunjung.

Hingga tahun 2013, Dinas Pariwisata Kabupaten Tana Toraja mencatat pelonjakan 30 persen kunjungan wisatawan mancanegara sebanyak 19.324 orang dibanding tahun 2012. Bahkan kunjungan wisatawan domestik di tahun 2013  meningkat tajam lebih dari 100 persen yaitu sebanyak 42.319 orang dibandingkan tahun 2012.

Jika belum pernah pergi ke "Kepingan Nirwana di Jantung Sulawesi" ini, berikut 10 Alasan untuk anda berlibur ke Toraja:

1. Ma’Nene, tradisi mengganti pakaian jenasah leluhur. [Baca: Baju Baru untuk Mumi Leluhur Suku Toraja]

2. Menyaksikan upacara pemakaman khas Toraja (Rambu Solo). [Baca: Rambu Solo: Ritual Pemakaman Orang Toraja]

3. Uji Nyali di Londa. [Baca: Londa: Kompleks Makam Di Tebing Batu Toraja]

4. Mengunjungi Kambira, kuburan bayi yang ditanam di dalam batang pohon. [Baca: Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra']

6. Ada Kerbau belang seharga Rp 1 miliar (Tedong Saleko), yang merupakan kerbau endemik Toraja yang sangat sulit di dapat dan mahal karena digunakan untuk ritual upacara Rambu Solo. [Baca: Mengapa Kerbau Toraja Begitu Istimewa]

7. Rumah adat Tongkonan yang unik. [Baca: Orang Toraja dan Makna Tongkonan]

8. Menikmati pesona bentang alam Toraja dari Batutumonga dan Pango-pango. [Baca: Batutumonga, Senandung Budaya di Atas Awan]

9. Mengunjungi desa adat di Ke'te Kesu' [Baca: Andina Laksmi: Kete Kesu, Wisata Kuburan dan Tulang Belulang]

10. Festival Toraja Lovely December. [Baca: Toraja Lovely December 2014 "I Love Bamboo"]

dan banyak lagi destinasi lain di Toraja yang patut anda kunjungi... :)

”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja. Foto: ist
Uji nyali...? Burial Cave in Londa.
Taman menhir atau dalam bahasa Toraja disebut Batu Simbuang di Rante Karassik.
Kubur bayi di Kambira, mayat bayi yang belum tumbuh gigi di makamkan dalam batang pohon Tarra'.
Prosesi upacara pemakaman khas Toraja, Rambu Solo.
Rumah adat khas Toraja, Tongkonan.
Ritual pembantaian kerbau yang sering dianggap menyeramkan disebut Ma'tinggoro Tedong. Ritual itu dilakukan dengan cara menyembelih kerbau hanya dengan hanya satu kali tebasan parang kecil.
Tana Toraja dapat ditempuh selama kurang lebih 8 jam melalui jalan darat dari Makassar melewati Pare-Pare dan Enrekang. Begitu memasuki kawasan Tana Toraja, anda akan serasa dikirim oleh mesin waktu kembali ke masa lalu, masa purbakala. Suasana yang tidak akan Anda dapatkan di tempat lain.

Tana Toraja merupakan salah satu tempat konservasi peradaban budaya Proto Melayu Austronesia yang masih terawat hingga kini, sehingga pemerintah Indonesia mengajukan kawasan wisata di Sulawesi Selatan ini ke UNESCO untuk menjadi Situs Warisan Budaya Dunia sejak 2009.

Keeksotisan Tana Toraja ini telah banyak mengundang wisatawan mancanegara dan domestik untuk berkunjung. Keunikan adat istiadat masyarakat Tana Toraja yang sangat menjaga tradisi para leluhur inilah yang membuat para wisatawan antusiasme berkunjung ke tempat yang terkenal dengan upacara pemakaman Rambu Solo dan tradisi mengganti pakaian jenasah leluhur Ma’ Nene yang berlangsung tiga tahun sekali ini.

Masyarakat Tana Toraja percaya bahwa adat istiadat harus selalu dipelihara, karena jika tidak maka dapat mempersulit kehidupan mereka yang telah dibangun sejak zaman nenek moyang. Meski memiliki kelimpahan sumber daya alam seperti kopi, masyarakat Tana Toraja juga menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan, karena mereka meyakini bahwa hidup adalah untuk mempersiapkan kematian.

Jadi tak lengkap rasanya, jika tidak mengunjungi situs pemakaman tradisional masyarakat Toraja yang berada di atas bukit batu. Selain itu, ada juga tempat pemakaman bayi yang belum tumbuh gigi, yang ditempatkan di sebuah batang pohon.

Jangan lewatkan juga, untuk mengunjungi tempat pengolahan dan mencicipi kenikmatan kopi Toraja yang sudah sangat terkenal.

Sebagai referensi bagi anda untuk menikmati liburan ke Tana Toraja, di bulan Desember Pemerintah Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara mengadakan program tahunan "Lovely December" guna meningkatkan kunjungan wisatawan.

Untuk tahun 2014, bambu menjadi tema sentral kegiatan, mulai dari pentas seni hingga fasilitas pendukung lainya menggunakan bambu, sehingga tema yang diangkat adalah "I Love Bamboo".




Foto: Google
Sumber: Tribunnews

Ma'Badong; Perpaduan Tari dan Nyanyian Dukacita Upacara Kematian di Toraja

Warga Toraja melakukan ritual Ma’badong pada upacara Rambu Solo di Rembon, Makale, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Sabtu (27/12) malam. Ma’badong merupakan ritual mendoakan orang yang meninggal agar diterima di alam baka, juga ratapan kesedihan dan kenangan hidup sang mendiang selama hidupnya. ANTARA FOTO/Sahrul Manda Tikupadang/nz/14
Ma'Badong; Perpaduan Tari dan Nyanyian Dukacita dalam Upacara Kematian di Toraja
Ma' Badong adalah sebuah perpaduan antara tarian dan nyanyian kedukaan berisi syair dukacita yang diadakan di upacara kematian (Rambu Solo') di Toraja, Sulawesi Selatan. 

Ma’ berarti ‘melakukan’ dan pa’ berarti pelaku, sehingga Ma’badong berarti melakukan tarian dan nyanyian Badong, dan Pa’badong berarti penari Badong. Ma'Badong dilakukan secara berkelompok oleh pria dan wanita setengah baya atau tua dengan cara membentuk lingkaran besar dan bergerak sambil menyanyikan syair-syair dukacita.

Ma'Badong dilakukan secara berkelompok. Foto: Yoseph Kungkung | fotoblur.com
Pengertian Badong

Badong dilakukan di dalam ritual upacara kematian di Toraja, dan dilakukan di tanah lapang atau pelataran yang cukup luas, yaitu di tengah-tengah lantang (pondokan yang hanya dibuat untuk sekali pakai berfungsi sebagai tempat melaksananakan upacara kematian).

Pa’badong memakai baju seragam, biasanya hitam-hitam dan memakai sarung hitam atau memakai pakaian adat Toraja. Jumlah penari dapat mencapai puluhan hingga ratusan orang, sehingga pria memakai seragam yang berbeda dengan para penari wanita. Terkadang para pria dan wanita juga mengenakan pakaian adat Toraja. Tetapi, karena badong juga terbuka untuk orang yang ingin ikut menari, jadi tamu upacara kematian yang ingin ikut Ma’badong diperbolehkan berpakaian bebas.

Pada saat Ma’badong, semua anggota tubuh pada Pa’badong juga bergerak, seperti menggerakkan kepala kedepan dan kebelakang, bahu maju-mundur dan kekiri-kekanan, kedua lengan diayunkan serentak ke depan dan belakang, tangan saling bergandengan lalu hanya dengan jari kelingking, kaki disepakkan kedepan dan belakang secara bergantian.

Lingkaran besar yang diciptakan pada saat Ma’badong dalam beberapa saat dipersempit dengan cara para Pa’badong maju, lalu mundur kembali dan pemperluas lingkaran dan saling berputar dan berganti posisi, tetapi tidak bertukar Pa’badong lain yang di sisi kanan atau kirinya.

Suara yang mengiringi Ma'badong adalah nyanyian para Pa’badong, tanpa iringan suara musik. Nyanyian yang dinyanyikan adalah lagu dalam bahasa Toraja, yang berupa syair (Kadong Badong) cerita riwayat hidup dan perjalanan kehidupan orang yang meninggal dunia, mulai dari lahir hingga meninggal. Selain syair tentang riwayat hidup, Badong pada saat upacara kematian juga berisi doa, agar arwah orang yang meninggal bisa diterima di alam baka.

Pada umumnya, Ma’badong berlangsung selama tiga hari tiga malam, karena pada umumya upacara kematian di Toraja berlangsung selama itu, tetapi tidak dilakukan sepanjang hari. Pada upacara kematian yang berlangsung selama lima hari dan tujuh hari, Ma’badong dilangsungkan dengan waktu yang berbeda pula, sesuai dengan keinginan Pa’badong dan persetujuan keluarga.

Pelaksaan upacara kematian di Toraja hanya dilakukan oleh keturunan bangsawan, serta keluarga dengan status sosial yang tinggi, yaitu mereka yang memiliki banyak harta kekayaan. Hal inilah yang menyebabkan Badong hanya dilakukan oleh golongan masyarakat yang kaya, walaupun dalam kenyataannya mereka sebagai penyelenggara, penari Badong sendiri adalah keluarga dan masyarakat umum yang dengan sukarela ingin mendoakan orang yang meninggal pada saat itu.

Penari Badong biasanya adalah masyarakat asli Toraja yang sudah lama bermukim di Toraja dan sudah mengenal kuat kebudayaan Toraja, hingga mereka tidak mengalami kesulitan dalam menyanyikan syair ini. Selain itu, karena upacara kematian masih sering diadakan, masyarakat Toraja tidak canggung dan dapat Ma’badong dengan baik dan  lancar.

Selain Ma’badong, biasanya di upacara kematian Toraja juga ada tarian tradisional Toraja yang lainnya, pengenalan keluarga yang berduka cita, pengenalan kerbau bonga (belang) dan kerbau biasa yang disembelih, ma'pasilaga tedong (beradu kerbau, yang nantinya akan disembelih sebagai pengantar arwah orang yang meninggal menuju surga), pengarakan peti menuju tempat yang disediakan, dan pembakaran kerbau dan babi sembelihan yang nantinya akan dibagi kepada keluarga, tamu, dan masyarakat umum, dan ritual-ritual lainnya.

Warga Toraja melakukan ritual Ma’badong pada upacara Rambu Solo di Rembon, Makale, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Sabtu (27/12) malam. Ma’badong merupakan ritual mendoakan orang yang meninggal agar diterima di alam baka, juga ratapan kesedihan dan kenangan hidup sang mendiang selama hidupnya. ANTARA FOTO/Sahrul Manda Tikupadang/14
Tata Cara Pelaksanaan Badong

Sebelum upacara diadakan, yaitu pada saat persiapan upacara, para anggota keluarga yang berduka cita memilih siapa saja yang akan menjadi pa’badong untuk upacara kematian, yaitu keluarga, sanak saudara, rekan, tetangga, dan orang lain.

Hingga pada saat upacara kematian berlangsung, orang-orang yang telah ditentukan sebelumnya menuju tempat yang telah ditentukan, pada saat yang sudah ditentukan pula.

Para pa’badong berdiri dan saling menunggu teman yang lain berada di posisi masing-masing, lalu pemimpin badong (pemberi aba-aba yang dipilih dari pa’badong-pa’badong) memberikan aba-aba untuk memulai tarian mereka.

Pada awal ma’badong, para pa’badong menyanyikan empat badong secara berturut-turut sesuai dengan fungsinya, yaitu badong nasihat, badong ratapan, badong berarak, dan badong selamat (berkat). Setelah itu, dilanjutkan oleh para pa’badong yang sudah menyiapkan doa dan nyanyian riwayat hidup yang sudah dipersiapkan. 

Jika tiba waktu yang telah ditentukan, namun syair badong, doa, dan nyanyian riwayat hidup belum selesai, para pa’badong akan berhenti secara bersamaan dan mereka kembali ke lantang (rumah papan dan kayu yang digunakan hanya untuk upacara) untuk beristirahat, hingga pada waktu yang mereka rencanakan bersama, mereka akan ma’badong lagi.

Cara ini berlangsung hingga tarian dan nyanyian pa’badong selesai dan upacara kematian juga selesai.

Tata Cara Badong. Banyak hal yang telah menjadi keharusan sebagai tata baku dalam upacara badong. Di antaranya adalah sebagai berikut :
  1. Untuk membentuk lingkaran sebagai nyanyian doa, penari badong paling sedikit harus berjumlah lima orang.
  2. Syair lagu badong adalah syair yang sudah terstruktur sesuai dengan keempat fungsi ditambahkan dengan riwayat hidup orang yang meninggal dunia.
  3. Badong dilaksanakan di upacara pemakaman di lapangan terbuka yang dikelilingi lantang (rumah adat).
  4. Badong dilaksanakan oleh pria dan wanita dewasa.
  5. Badong hanya dilakukan di upacara kematian dan bersifat sakral, bukan untuk permainan sehingga tidak akan dilakukan di upacara yang lain.
  6. Rangkaian gerakan badong berupa gerakan kepala, pundak, tangan, dan kaki, serta perputarannya tidak mengalami perubahan dan variasi, tetapi berupa tata cara yang masih sama dengan yang diwariskan turun-temurun.

Fungsi Badong

Fungsi Badong adalah dibagi dalam empat bagian, yaitu badong pa’ pakilala (badong nasihat), badong umbating (badong ratapan), badong ma’ palao (badong berarak), dan badong pasakke (badong selamat atau berkat).

Ma'Badong dilakukan dalam ritual upacara kematian di Toraja, dan dilakukan di tanah lapang atau pelataran yang cukup luas, yaitu di tengah-tengah lokasi pelakasanaan upacara Rambu Solo'. Foto: Claubert & Gildia's Big Journey

#Info: Tonton video Ma'Badong di YouTube disini (klik)

Contoh Syair Ma'Badong

Badong pa’ pakilala

E..! Umbamira sangtondokta ?
To mai sangbanuanta ?
Sangti’ doan tarampakta ?
Ke de’ ko anta umbanting !
Rapana ta’ rio-rio,
Tatannun rosso maa.
Tang marandenkoka iko ?
Tae’ko dallo riomu ?
Lako te datu masallo’ ?
Ambe’ perangikan mati’,
Ambe’ tanding talingakan,
Angki lolloan batingki.
Ke umpokadaki’ bating,
Untannun mario-rio ;
Da’ tabarrugai bating,
Da’ talalan peninggoi.
Umbating tengki’ siada’,
Rintin sipakilalaki’ ;
Tae’ki’ lindona senga’,
Rampo ma’kekeran bassi.
Da’ anta lambi bating ru’seng,’
Tu rintin pa’ealian ;
Anta masakke mairi’,
Madariding sola nasang.
Badong umbating
Tonna masaki ulunna,
Tiku ramman beluakna ;
Nenne’ samandu-mandunna,
Kerangan umbongi-bongi.
Samari tampak sarrona,
Te upu’ pekaindo’na ;
Ka’tu angin dipudukna,
Ronta’ tondon to batanga.
Sokan sokannamo ia,
Te dao nene’ mendeatanta ;
Sola to dolo kapuanganta,
Unnamboran tinaranna.
Namboran salarika,
Nasio’ tang tongan dika ;
Dengka tau tang nabasa,
Tang nalulun baratai ?
La ditulakraka langi’,
La dimnangairika ? ;
Sokan2 ia Nene’,
Tang ma’ga’ta’ to dolota.
Ke napapatui lenki’,
Ke nasanda simisa’ki’ ;
Sanda’2 dilempangan,
Pangkun dipentilendungan.
Tallang turanannaki’ Puang,
Awo’ bela’-belaranna ;
Aur tebas-tebasannya ;
Ke disaile sulei,
La dibandika menasan.
Inde dao to tungara,
Rintin to mennulu sau’ ;
Umpolo bintanna Sali,
Sirundu’ karasan tanga.
Malemi situru’ gaun,
Sikaloli’ rambu ruaja ;
Naempa-empa salebu’,
Sau’ tondok Pong Lalondong.
Unnola tossoan Adang,
Panta’daran Tau bunga’ ;
Dadi deatami lolo’,
Kombongmi to palullungan.
La umbengki’ tua’ sanda,
Paraja sanda’ mairi’ ;
Anta masakke mairi’,
Madarinding sola nasang.
Badong ma’palao
Tiromi tu tau tongan,
Tu to natampa puangna ;
Tae’ sanglindo susinna,
Sanginto’ rupa-rupanna.
Pada ditampa bintun tasak ;
Pada dikombang bunga’ lalan ;
Sumbang bulan naesungi,
Kurapak allo natadongkonni.
Mallulun padang naola,
Umpamampu’ padang2 ;
Buda kinallo lalanna,
Dikki’ barra’ karunna.
Malemi naturu’ gaun,
Naempa-empa salebu’ ;
Sau’ tondok Pong Lalondong.
Ilo’ bambana makkun.
La sangtondok to dolona,
Sangisungan to menggaraganna ;
Ia nasang mintu’ tau,
Mairi’ sangtolinoan.
Badong passakke
Sampa’ batingkira tondo,
Pango’tonan marioki ;
Napokinallo ilalan,
Sau’ rumombena langi’.
Sau’ tondok Pong Lalondong,
Ilo’ tondok to Mario ;
Ganna’ sampin pebalunna,
Sukku’ todeng tunuanna.
Nariamo tangkean suru’,
Nasaladan kada rapa’ ;
Anta masakke mairi’,
Madarinding sola nasang.

Badong nasihat

Hai..! Di manakah orang sekampung kita ?
Yaitu tetangga kita ?
Rumpun keluarga kita ?
Ayo! Berdirilah lalu kita menuangkan kesedihan kita
Saya terdiam dengan sangat sedih
Mari kita menguraikan kesedihan hati.
Tidakkah engaku berduka ?
Tidakkah kesedihan di hatimu?
Kepada raja yang budiman ini ?
Bapa dengarkanlah kami.
Ya bapa miringkanlah telinga.
supaya kami bisa menyampaikan syair kesedihan kami
Kalau kita hendak mengatakan kesedihan,
janganlah kita perolokkan kesedihan,
jangan kita buat seperti permainan.
Kalau kita bersedih saling memperingati :
Kita bukanlah orang lain,
Tiba untuk memakan besi (berduka)
Jangan kita sebut bersedih itu salah,
Mengungkapkan ragam pertentangan
Supaya kita selamat sekalian
Bersentosa semuanya.
Badong ratapan
Pada waktu kepalanya sakit,
Semua rambutnya merasakannya ;
Makin keras sekerasnya,
Bertambah dari malam ke malam.
Hanya sedih keluh penghabisannya,
Sehabis ratapan memanggil ibunya ;
Putuslah angin pada mulutnya (artinya mati);
Habislah jiwa pada badannya (artinya mati)
Sayang sioh sayang dia,
Yang di atas nenek leluhur kita ;
Bersama pertuanan kita,
Mengamburkan sumpitannya.
Dihamburkan salakah,
Diukur tidakkah benar;
Adakah orang yang yang tak dikena,
Yang tidak disapu ratakan ?
Akan ditantangkah langit ke atas,
Akan ditaruhkan kayu pilar?
Sayang sioh sayang ia Nenek,
Leluhur kita tidak adil.
Kalau ditunjukkan kepada kita,
Kalau dikenakan pada kita masing-masing;
Tak akan dapat dielakkan,
Tak dapat dilindungi.
Seakan kita ini pohon bambu tebangan Tuhan,
Kalau kita menoloh kembali,
Kita tidak akan membawa penyesalan.
Ini di atas orang melentang,
Yang berbaring arah ke selatan ;
Melintasi ikatan papan lantai,
Mengikuti balak tengah rumah.
Sudah pergi bersama dengan embun,
Bersama dengan asap bara api ;
Diikut-ikuti oleh awan,
Ke selatan negeri tuhannya jiwa di negeri jiwa
Mengikuti jejak Adam,
Mengikuti manusia pertama ;
Sudah menjadi berhala di sana,
Sudah menjadi pelindung.
Akan memberikan kita berkat yang cukup.
Keselamatan masing2 sekalian ;
Supaya kita selamat sekalian,
Semuanya bersentosa.
Badong berarak
Lihat orang yang sebenarnya,
Orang yang ditempa oleh ilahnya ;
Sepertinya tidak sebanding,
Yang setara dengan keadaannya.
Bersamaan ditempa dengan bintang gemerlap.
Bersamaan dibentuk dengan bunga’ lalan (nama bintang)
Bulan purnama yang didudukinya,
Sinar matahari yang ditempatinya.
Padang berlumpur dilewati olehnya,
Menganguskan rerumputan ;
Banyak perbekalan di jalannya,
Berasnya melimpah pada waktu sore.
Telah berangkat diikuti embun,
Diikuti awan-awan ;
Ke selatan negeri Pong Lalondong.
Di sana kotanya yang tetap.
Akan senegeri dengan nenek moyangnya,
Sekedudukan dengan yang menenpanya ;
Semua yang berwujud manusia,
Dengan manusia di bumi.
Badong selamat (berkat)
Begitulah uraian kesedihan kamu,
Penjelasan kesedihan kami,
Menjadi bekal perjalannya,
Keselatan ujung2nya langit.
Ke selatan negeri tuhannya jiwa.
Di sana negeri orang yang bersedih ;
Cukup dengan kain pembungkusnya,
Genap kerbau bantaiannya.
Sudahlah ditatang dengan tangkean suru,
Telah dipelihara dengan kata sepakat.
Supaya kita semua selamat,
Kita sekalian bersentosa



”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja

”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja
Kerbau jenis saleko adalah kerbau termahal dalam lingkungan budaya di Toraja. Ciri khasnya adalah tanduk kuning, lingkaran putih di bola mata, serta berkulit hitam dan putih. Tingginya harga bergantung pada kelangkaannya. Harga per ekor bisa mencapai lebih dari Rp 1 miliar. Foto: KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, seekor kerbau bisa berharga lebih dari satu miliar rupiah. Namun, kerbau semahal ini bukanlah kerbau biasa alias kerbau langka. Dan, jenis yang bisa mencapai harga Rp 1 miliar adalah jenis yang disebut ”saleko” dengan ciri fisik tanduk kuning, lingkaran putih di bola mata, serta kulit berwarna hitam dan putih dalam kombinasi-kombinasi tertentu.

Saleko sangat langka. Seekor saleko jantan yang dikawinkan dengan seekor saleko betina belum tentu melahirkan anak saleko, bahkan dalam puluhan kali kelahiran pun. Sebaliknya, saleko bisa muncul dari perkawinan sepasang kerbau biasa.

”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja
Bagaimanapun kerbau gemuk lebih mahal daripada yang kurus. Maka, kerbau-kerbau di Toraja dipaksa makan oleh pemiliknya untuk menaikkan beratnya, seperti terlihat di Pasar Bolu, Rantepao, Toraja Utara, Sulsel, ini. Foto: KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Endy Allorante, seorang fotografer dari Kampung Kete Kesu di Toraja Utara, berkisah bahwa seorang rekannya pernah menemukan seekor kerbau saleko di sebuah tempat di Jawa Tengah. Walau kerbau itu masih anak-anak, rekannya itu menawar sampai Rp 40 juta. Dengan ongkos kirim beberapa juta rupiah, sampailah kerbau saleko dari Jawa Tengah itu ke Tana Toraja.

”Dibeli di Jawa Tengah seharga Rp 40 juta plus ongkos kirim tak sampai Rp 10 juta, kerbau itu laku di sini lebih dari Rp 200 juta,” ujar Endy.

”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja
Dalam upacara Rambu Solo (penguburan jenazah), pemotongan kerbau adalah sebuah bagian penting. Kerbau-kerbau langka menjadi pilihan penting di sini. Foto: KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Di Toraja, kerbau lain yang juga bisa berharga ratusan juta rupiah adalah yang memiliki kelangkaan-kelangkaan, seperti tanduknya sangat lebar (kerbau balian), tanduknya mengarah ke bawah (kerbau sokko), satu tanduk ke atas satu tanduk ke bawah (kerbau tekken langi’), atau bahkan tidak bertanduk sama sekali.

Kerbau-kerbau langka itu memegang peran penting dalam upacara adat, seperti upacara Rambu Solo (pemakaman). Makin langka kerbau yang dikorbankan, itu menunjukkan makin tingginya strata sosial orang yang dimakamkan.

”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja
Kerbau-kerbau tidak langka masih bisa menjadi istimewa kalau menjuarai sebuah acara adu kerbau. Kerbau pemenang akan mengejar kerbau pecundang. Foto: KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Meski demikian, kerbau-kerbau yang tidak langka juga bisa berharga tinggi kalau menjadi jawara dalam acara adu kerbau. Dalam sebuah kawanan kerbau, selalu ada yang agresif. Dan, kerbau-kerbau agresif ini yang biasanya dilatih untuk jadi petarung.

Pertarungan kerbau berakhir manakala salah satu petarung melarikan diri dan dikejar oleh kerbau pemenang. 


#NB: Baca juga posting kami tentang Kerbau di Toraja:





Teks & Foto: Arbain Rambey
Editor: I Made Asdhiana

Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja

Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Kerbau yang dijual di Pasar Bolu, Rantepao, Kab. Toraja Utara. Foto: Kompasiana | Muhammad Idham
Berbicara soal ritual adat Toraja dan kerbau atau dalam bahasa Toraja disebut Tedong, keduanya memiliki hubungan erat. Kerbau merupakan salah satu kebutuhan utama masyarakat Toraja untuk melakukan ritual adat Rambu Solo’ (upacara kedukaan/pemakaman). Maka tak heran jika harga jual/beli kerbau di Toraja begitu fantastis, di Toraja harga seekor kerbau berkisar antara puluhan juta hingga ratusan juta rupiah.

Dengan adanya kerbau pada setiap upacara adat Rambu Solo', bagi sebagian besar masyarakat Toraja sering dikaitkan dengan status sosial seseorang. Selain sebagai elemen utama dalam ritual adat, mungkin alasan inilah yang menjadi pemicu mengapa kerbau Toraja begitu istimewa (baca disini) sehingga harga seekor kerbau bisa melambung semahal itu. 

Pada sebuah acara pemakaman besar yang biasanya dilakukan oleh keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang dikorbankan bisa mencapai puluhan sampai ratusan, kerbau-kerbau yang dikorbankan tersebut kemudian dibagikan kepada masyarakat di kampung tempat diadakannya upacara dan kampung disekitarnya. 

Kerbau yang akan dikorbankan juga memiliki tipe/jenis tertentu yang menentukan nilai tingkatan/kasta masing-masing kerbau, hal tersebut dapat kita lihat pada ukuran, bentuk, tanduk serta perpaduan warnanya. 

Dengan demikian dalam setiap pesta adat akan banyak kita jumpai berbagai jenis kerbau yang akan di korbankan, berikut ini beberapa jenis kerbau ”Tedong”  dengan keunikan khusus yang ada di Toraja dan sebagian mungkin tidak kita temukan di daerah lain.

1.Tedong Saleko
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Saleko, jenis kerbau dengan nilai tertinggi di Toraja. Foto: google
Kerbau yang satu ini merupakan jenis kerbau yang paling mahal dari semua jenis kerbau yang ada di Toraja, harga seekornya bisa mencapai 1 miliar rupiah, ciri khusus dari kerbau ini adalah warna kulitnya yakni perpaduan antara warna dasar putih serta belang hitam, dengan tanduk kuning gading serta bola mata berwarna putih.

2.Tedong Bonga
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Bonga adalah salah satu simbol prestise masyarakat Toraja.
Foto: Pewarta Foto PPWI | Anton Vincent Acvara
Tedong Bonga, menduduki peringkat kedua setelah Tedong Saleko, dan memiliki nilai jual yang hampir sama dengan Tedong Saleko pada kisaran ratusan juta rupiah. 

Ciri fisik Tedong Bonga juga tidak jauh berbada dengan Tedong Saleko, perbedaan yang mendasar antara Saleko dan Bonga terletak hanya pada warna dasar kerbau, dimana Tedong Bonga berwarna dasar hitam dengan belang putih

3.Lotong Boko'
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Lotong Boko'. Foto: Kompasiana|Parman Pasanje
Meski jenis kerbau ini terletak di urutan ke tiga namun karena jenis kerbau yang satu ini sangat langka maka untuk urusan harga kadang kala harganya hanya selisih tipis dari Tedong Bonga dan Tedong Saleko, ciri mendasar dari kerbau ini terletak pada corak/belang hitam yang menutupi punggungnya dengan tubuh berwarna dasar putih.
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Si Lotong Boko’ meski ditawar 500juta tak dilepas oleh yang punya saking sayangnya.
Foto: obendon.com|Olive Bendon


4.Tedong Ballian
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Ballian dengan tanduk yang rentang panjangnya bisa mencapai 2 meter. Foto: Google
Jika di lihat secara sepintas jenis kerbau yang satu ini adalah yang juara, hal ini di karenakan ciri utama dari kerbau ini terletak pada tanduk yang rentang panjangnya bisa mencapai 2 meter, dengan badan gempal, serta corak warna hitam ke abu-abuan, kebanyakan kerbau ini dikebiri. Kerbau jenis ini sudah langka sehingga kisaran harganya juga mahal, biasanya diatas 100 juta rupiah.

5.Tedong Pudu’ 
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Pudu' jenis kerbau umum yang didominasi warna hitam pekat. Foto: indonesia.travel
Tedong Pudu' adalah jenis kerbau yang umum kita lihat dengan ciri khas bentuk tubuh yang kekar serta kulit yang dominasi warna hitam. Salah satu variannya adalah Pudu' Gara' yakni Tedong Pudu' yang bola matanya berwarna putih. Selain sebagai kerbau sembelihan, karena bentuk tubuhnya yang kekar tersebut jenis kerbau ini biasanya dijadikan sebagai kerbau petarung. 

Seringkali kemampuan bertarung Tedong Pudu' digunakan dalam acara Ma’palisaga Tedong (adu kerbau) yang merupakan salah satu rangkaian upacara Rambu Solo'. Acara Ma’palisaga Tedong dalam Rambu Solo' menjadi heboh dan dipadati warga yang hendak menyaksikan tontonan unik ini. Biasanya kerbau yang menang memiliki prioritas tersendiri yang mendongkrak harga jualnya.

Namun, semahal-mahalnya seekor Tedong Pudu' belum cukup untuk menyaingi harga Tedong Bonga. Harganya berkisar antara puluhan sampai 100 juta, untuk harga kerbau petarung lebih mahal lagi sampai ratusan juta rupiah.

6.Tedong Todi' 
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Todi' memiliki corak/belang putih dikepala _diantara kedua tanduknya.
Foto: ANTARA/Sahrul Manda Tikupadang
Tedong Todi’ adalah jenis kerbau yang didominasi warna hitam seperti halnya Tedong Pudu' namun memiliki corak/belang putih dikepala atau tepatnya didahi _diantara kedua tanduknya. Tedong Todi' memiliki dua varian yakni Todi' dan Todi' Gara', letak perbedaannya hanya pada bola mata yang berwarna putih di sebut Todi' Gara'. Harga Tedong Todi’ hampir sama Tedong Pudu' berkisar antara puluhan sampai 100 juta rupiah.

7.Tedong Tekken Langi'
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Tekken Langi'. Foto: Detik|Susan Stephanie - d'Traveler
Tedong Tekken Langi' memiliki keunikan tersendiri diantara jenis kerbau lainnya yakni bentuk tanduk yang tidak simetris/sejajar, dengan ciri khusus tanduk sebelah kiri menjulang keatas, sementara tanduk sebelah kanan ke bawah atau sebaliknya. 

Karena keunikannya membuat kerbau ini sangat jarang dijumpai, biasanya hanya ditampilkan dalam upacara Rambu Solo' dengan tingkatan tertentu seperti upacara Sapu Randanan (upacara adat Rambu Solo' yang tertinggi dan lengkap).  Karena kerbau ini merupakan kerbau yang langka maka harganya juga mahal berkisar diatas 100 juta rupiah.

8. Tedong Sokko
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Sokko. Foto: iffocus.wordpress.com|Sharen Adeline
Keunikan lain dari kerbau yang ada di Toraja adalah Tedong Sokko, kerbau jenis ini memiliki tanduk yang arahnya terbalik dengan kerbau umumnya yaitu arah tanduk yang menghadap ke bawah dan hampir bertemu dibawah leher. Bila berpadu dengan corak/belang tertentu contohnya Bonga Sokko (kerbau belang dengan tanduk menghadap kebawah) nilainya menjadi sangat mahal.
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Bonga Sokko. Foto: google|portal solata

9.Tedong Bulan
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Bulan, memiliki warna putih cerah agak kemerah-merahan.
Foto: iffocus.wordpress.com|Sharen Adeline
Tedong Bulan, yaitu jenis kerbau yang memiliki warna putih cerah agak kemerah-merahan disekujur tubuhnya. Jangan terkecoh dengan bentuk badan yang besar, tanduk kuning gading dan kulit putih mulus. Akan tetapi jenis kerbau yang satu ini adalah kerbau yang jika diurut berdasarkan tingkatan/kasta, maka Tedong Bulan adalah kerbau dengan kasta terendah dimata masyarakat Toraja.

10. Tedong Sambao'
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Sambao', berwarna abu-abu merupakan jenis kerbau paling murah di Toraja. Foto: Google
Masih berbicara soal kerbau dengan kasta terendah, Tedong Sambao' tidak jauh berbeda dengan bulan yang menempati tingkatan/kasta yang sama. Ciri yang mebedakan antara Tedong Sambao' dan Tedong bulan terletak pada warna Tedong Sambao' yang berwarna berwarna abu-abu atau putih kelabu seperti kebo bule di Solo.

Berbeda halnya dengan Kebo Bule di Solo yang dikeramatkan, di Toraja Tedong Sambao' justru dianggap jenis kerbau paling murah yang harganya hanya sekitar belasan juta rupiah. 


Demikianlah beberapa jenis kerbau/tedong yang ada di Toraja yang dibedakan berdasarkan tipe/jenis tertentu yang menentukan nilai tingkatan/kasta masing-masing kerbau, yang dapat kita lihat pada ukuran, bentuk, tanduk serta perpaduan warnanya. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan mengenai bagaimana serta seperti apa nilai seekor kerbau di mata masyarakat Toraja. 

Salama' kaboro' lako mintu' Sangsiuluran Toraya... :)

Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Kerbau belang endemik Toraja, Sulawesi Selatan, dengan harga bisa mencapai Rp1 miliar.
Foto: Mongabay|Maliku Pakambanan
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Suasana ratusan kerbau yang di jual di Pasar Bolu, Kecamatan Rantepao, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Sabtu 2 Agustus 2014. Foto: TEMPO/Iqbal Lubis



Sumber: 
Artikel seperti ini sebelumnya telah diposting oleh blog Doddyg[.]blogspot[.]com "Wara Wiri Kerbau Toraja" dan blog Portalsolata[.]blogspot[.]com "Jenis Jenis Kerbau 'Tedong' Yang Ada di Toraja" demi menyebarkan informasi tentang Toraja maka artikel tersebut diposting kembali oleh blog Orang Toraja.