Showing posts with label Tradisi. Show all posts
Showing posts with label Tradisi. Show all posts

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata [Bag. I]

Lama meredup di peta wisata, Toraja kini hendak memulihkan pamornya sebagai destinasi favorit. Ritual kematian tak lagi menjadi mantra utama.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata

Banyak orang Toraja masih menyalahkan Bom Bali sebagai pangkal jatuhnya industri pariwisata. Tapi, saat Bali kian pulih dari duka, Toraja masih berlinang air mata. Apa yang salah? Juni adalah bulan yang penuh darah. Banyak desa sibuk menggelar upacara kematian Rambu Solo. Ternak hilir mudik. Orang-orang berbusana hitam berkeliaran. Amis darah menjalar di udara.

Bulan ini, Toraja adalah tempat yang mengingatkan kita betapa singkatnya hidup. Di kampungnya, Pak Almen sedang menggelar Rambu Solo bagi ibunya yang meninggal enam bulan silam. Berapa harga yang harus dibayar untuk sebuah kematian? Berliter-liter air mata,  atau barangkali kerinduan yang tak berujung? Di Toraja, orang mesti membayar lebih. “Selusin kerbau dan ratusan babi,” jawab Pak Almen.

Di Toraja, kematian seseorang bisa membiayai kehidupan orang lain selama setahun. Atau mungkin bertahun-tahun. Di pasar ternak, babi dibanderol antara Rp1-3 juta. Kerbau jauh, jauh lebih mahal, mulai dari Rp30 juta hingga menembus Rp1 miliar, tergantung dari jumlah user-user bulunya, corak tubuhnya, juga tentu saja, bobotnya. Di kawasan dengan pendapatan per kapita di bawah Rp15 juta ini, kematian jelas peristiwa yang boros. Pak Almen terpaksa memakai tabungan dari hasil kerja kerasnya merantau ke Bekasi selama 10 tahun.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Warga lokal yang ramah menyambut turis. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Saya memberikan satu slof rokok kepada si pemilik hajat. Sesuai tradisi, pelayat sepatutnya menghibahkan sesuatu kepada keluarga almarhum. Pak Almen mempersilakan saya duduk dan menyuguhkan makanan. Untuk orang yang sedang berkabung, dia sangat murah senyum, bahkan usai mengetahui saya tengah melanggar banyak norma adat. Toraja mengenal sistem kasta dan orang seperti saya berada di dasar piramida. Saya masuk ke arena upacara dari jalur tengah, lalu duduk di sisi depan lumbung dan membiarkan kedua kaki bergelantungan di atas tanah. Tempat saya duduk sebenarnya dikhususkan bagi para bangsawan. Di sini, kita diwajibkan duduk bersila.

Rambu Solo adalah upacara yang memancing mual. Usai rapalan doa dari pastor, satu per satu babi dan kerbau “dieksekusi” di padang rumput memakai metode yang membuat kaum penyayang hewan pingsan di tempat. Babi ditusuk perutnya. Kerbau ditebas lehernya. Seperti film Slasher dalam versi riil.

Menjelang tengah hari, padang rumput berubah merah. Tapi saya masih menonton, tertegun di tempat. Sejak kecil saya suka menonton prosesi Idul Adha. Tak jelas mengapa peristiwa berdarah kerap menyedot mata. Orang-orang hobi mengerubungi korban kecelakaan. Adegan buaya menerkam zebra diulang-ulang di televisi. Mungkin benar, sadism memiliki pesonanya sendiri.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Kerbau memegang peranan penting dalam upacara tradisional di Toraja. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Benarkah Rambu Solo sadis? Melihat Lebih Luas

Rambu Solo bukan semata soal tebas-menebas. Ia bukan tontonan semacam Tauromachia di mana matador berdansa dengan banteng sembari menusukkan pedang berulang kali demi mendulang tepuk tangan. Bagaikan Idul Adha versi Toraja, pengorbanan ternak Rambu Solo menyimpan filosofi sosial yang luhur. Daging babi dan kerbau dibagikan kepada para keluarga dan tetangga. Orang-orang “kiri” mungkin akan menyebutnya sistem “redistribusi kekayaan.” 

Berkat sistem “barter sosial,” Rambu Solo juga bagaikan tali yang menyambung silaturahmi. Jika Anda mendonasikan seekor babi, kelak Anda menerima “hadiah” serupa saat berkabung. Di Toraja, di mana mayoritas orang merantau ke luar pulau, Rambu Solo adalah momen pengikat keluarga-keluarga yang terpisah jarak. “Hari upacara sengaja ditetapkan pada tengah tahun supaya keluarga bisa memanfaatkan liburan sekolah,” ujar Pak Almen yang mengenakan peci walau sebenarnya telah lama memeluk Kristen, agama mayoritas di Toraja.

Rambu Solo telah lama menjadi magnet Toraja. Upacara kematian ini adalah jendela ideal untuk melihat kultur Toraja, sebuah dataran tinggi di Sulawesi di mana tradisi megalitik Austronesia masih berdenyut. Di sini, mati bukanlah pemberhentian terakhir. Jenazah akan terlebih dulu diawetkan di rumah untuk disapa sanak famili. Setelah dimakamkan, keluarganya membuatkan versi patungnya (tau-tau), yang kemudian dipajang di tebing-tebing tinggi.

Jika ia berstatus bangsawan, setonggak menhir mungkin akan ditanam untuk mengenangnya. Suatu hari nanti, mayat akan dikeluarkan dari liang lahad, dibersihkan, dikenakan baju baru, dan keluarga kembali berkumpul. Di Toraja, almarhum seolah tak pernah benar-benar wafat. Siapa yang tak senang mengetahui bahwa kita tak begitu saja dilupakan, bahkan setelah mati?

Mengendarai motor, saya meniti jalan-jalan sempit penuh meander dan lubang. Acap kali lubang terlalu dalam hingga bodi motor terantuk. Hanya panorama menawan yang membuat saya berhenti mengeluh. Di kedua sisi jalan, sawah melapisi lembah seperti permadani. Di lereng-lereng, gereja putih bertengger, dihubungkan oleh jalan setapak berliku yang menyerupai ular cokelat di padang hijau. “Istilah hijau royo-royo paling sempurna, ya di Toraja,” ujar Trinity, seorang penulis buku travel.

Sampai di puncak Batutumonga, lanskap Toraja tampak seperti lukisan Mooi Indie dalam arti harfiah. Di kejauhan, perbukitan batu berbaris seperti punggung naga. Di kakinya, sungai sebening vodka meluncur menerjang bebatuan. Dari tempat saya berdiri, Toraja bagaikan gadis cantik berbalut tenun yang berjalan gemulai melewati pematang.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Tanduk-tanduk kerbau yang menjadi hiasan di rumah Tongkonan. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Menengok sejarah, Rambu Solo jugalah yang memperkenalkan Toraja pada dunia. Syahdan, pada 1972, upacara kematian seorang raja digelar besar-besaran. Puang Sangalla disebut-sebut sebagai raja besar terakhir yang berdarah murni. Lebih dari 400 turis datang, termasuk tim dari National Geographic, serta duet Lawrence dan Lorne Blair yang sedang mendokumentasikan Indonesia dengan disponsori BBC dan Ringo Starr. “Upacara kematian Puang adalah ajang media internasional pertama. Rekamannya ditayangkan oleh televisi di sejumlah negara Eropa,” tulis Toby Volkman dalam Tana Toraja: A Decade of Tourism.

Sejak itu, industri pariwisata merekah. Pada 1976, sekitar 12.000 turis melawat, walau di masa itu perjalanan ke Toraja belum menjanjikan kenyamanan. Kakak beradik Blair misalnya, menghabiskan 14 jam berkendara dari Makassar dengan menaiki jip tentara. Perjalanannya menegangkan.

Di jalur rawan begal ini, wajar bagi sopir untuk menganut prinsip “lebih aman melihat daripada terlihat.” Saat mendapati kendaraan lain di kejauhan, lampu-lampu akan dipadamkan, hingga kedua mobil saling bersisian dalam gulita. Begitu tulis Lawrence Blair dalam Ring of Fire.

Memasuki 1980-an, Toraja kian jelas tertera di peta: hampir 200.000 turis datang. Pemerintah menetapkannya sebagai “primadona” Sulawesi. Gambar Tongkonan bahkan dicetak pada lembaran uang Rp5.000. Seiring itu, Toraja menikmati pertumbuhan hotel baru, ruas jalan baru, moda transportasi baru. Berbeda dari duet Blair, saya datang menumpang bus mewah yang sepertinya didesain untuk seorang rock star. Kursinya ditata dalam formasi 2-1 dan dilengkapi pemijat elektrik.

“Bus ini didatangkan dari Swedia,” kata pemiliknya. Pariwisata digadang-gadang sebagai masa depan Toraja. Lewat pariwisata, warga bisa mengail devisa guna menghidupi tradisi, termasuk menjaga rumah adat yang menuntut biaya perawatan tinggi. Lewat pariwisata pula, Toraja berharap mengikis demam merantau yang membuat banyak sawah terbengkalai. Tapi itu dulu. Usai bulan madu tourism boom yang gempita, pariwisata meratap masygul.

Menuju desa tenun Sa’dan, motor saya kembali meraung-raung. Baliho-baliho calon bupati bertaburan menebar janji. Di hadapan wajah-wajah rupawan mereka, jalan berkerawangan seperti papan yang digerogoti rayap. “Dulu, desa ini penuh turis. Saya sampai gak sempat makan,” Ibu Aminah bernostalgia pada masa lalunya yang gemilang. Kini, desanya sepi. Turis hanya datang di bulan-bulan liburan tengah tahun. Desa Sa’dan tidak lagi mencerminkan motif tenun Toraja yang bernyawa. Saya melewati ibu-ibu yang termenung muram, kemudian membayar tiket dan mengisi buku tamu. Turis terakhir datang dua minggu silam. Kemana mereka?

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Pembuat patung tau-tau di kawasan wisata Lemo. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Dunia Mengenal Toraja & 'Menghilangnya' Tau-Tau

Upacara kematian Puang Sangalla memang membuka pintu bagi dunia, tapi bukan cuma turis yang datang bertamu. Kolektor mulai merangsek untuk berburu artefak. Target mereka: tau-tau. Pada 1984, persis saat Toraja dideklarasikan sebagai destinasi “resmi” kedua setelah Bali, sebuah tau-tau dijual di sebuah galeri di Paris dengan harga $75.000. Empat tahun sebelumnya, Kompas memberitakan pencurian delapan tau-tau di makam tebing Lemo.

Bagaikan nisan tanpa aksara, tau-tau adalah totem suci yang dipandang sebagai representasi almarhum. “Menjual tau-tau seperti menjual nenek sendiri,” ujar seorang penjaga makam. Maraknya pencurian tak cuma menggemparkan, tapi juga mengherankan. Warga menempatkan makam di tebing-tebing tinggi sebagai respons atas penjarahan di masa lampau. Menjangkaunya butuh keahlian lokal. Siapa maling-maling lihai itu?

“Secara umum diasumsikan tau-tau dicuri dari tebing oleh anak kecil atau saudara dari para keluarga almarhum sendiri. Orang asing, kata warga, tidak bisa mengakses situs-situs pemakaman yang sulit dijangkau,” tulis Toby Volkman dalam jurnal American Ethnologist. Toby juga mengisahkan bagaimana makelar seni Eropa mengutus agen-agen lapangan yang dibekali lensa 300 milimeter untuk memotret tau-tau, kemudian menunjukkan hasilnya ke para kolektor. “Pada 1985, tau-tau, menurut banyak orang Toraja, hampir punah sepenuhnya.”

Raibnya banyak tau-tau mengguncang bisnis pariwisata. Turis datang dan mendapati bahwa tempat terbaik untuk melihat tau-tau bukanlah Toraja, melainkan galeri atau balai lelang di Eropa. Seorang turis Jerman yang kecewa bahkan sempat hendak menuntut Joop Ave, Dirjen Pariwisata kala itu, atas tuduhan promosi palsu.

Dan pencurian masih berlangsung. Di Kete’ Kesu’, kampung adat paling tersohor di Toraja, sebuah toko suvenir memajang beberapa tau-tau di ruangan belakang. Salah satunya terlihat kusam, tercampur tanah, berbaju compeng layaknya mayat yang baru bangkit dari kubur. Replika atau orisinal? Saya tak pandai menghitung umur kayu nangka.

“Usianya lebih dari 100 tahun,” kata si penjual. Saya menanyakan harganya dan si penjual menelepon rekannya, membuat transaksi ini terasa berlapis dan rahasia. “Jika lebih dari 100 tahun, berarti diambil dari makam?” tanya saya lagi berlagak bodoh. Si penjual tersentak, lalu menjawab gagap. Pencurian tau-tau bukan satu-satunya masalah. Industri pariwisata Toraja juga terpukul oleh fenomena global yang tak seorang pun mampu mencegahnya: modernisasi.

Hari baru dimulai saat saya mengunjungi kompleks makam Londa. Obyek andalan Toraja ini hanya didatangi lima turis, sudah termasuk saya dan fotografer. Saya melewati sejumlah keranda dan tabela berukir yang dipenuhi tulang-belulang, lalu memasuki gua alami di rahim tebing batu. Penjaga makam menyulut petromaks dan mengantarkan saya memasuki lorong yang penuh liku. Panoramanya mencekam. Sisa-sisa jasad bertaburan...

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Rumah-rumah tradisional yang sempat menjadi primadona pariwisata Toraja. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo



Bagaimana Menuju Toraja; 
—Rute
Toraja bisa dijangkau dari Makassar dengan menaiki bus. Salah satu operatornya, Primadona (Jl. Perintis Kemerdekaan Km.13, Ruko Bukit Khatulistiwa Blok B/8, Makassar; 0811-4497-212), memiliki bus mewah dengan kursi yang menyerupai kelas bisnis pesawat. Ada dua jadwal keberangkatan: pukul 21:00 dan tiba pukul 06:00, atau pukul 09:00 dan tiba pukul 18:00. Pesawat sebenarnya tersedia, tapi jadwalnya kadang direvisi mendadak. Aviastar (aviastar.biz) melayani penerbangan dari Makassar menuju Bandara Pongtiku dua kali per minggu. 
—Penginapan
Selain menawarkan 134 kamar yang disebar dalam bangunan berbentuk tongkonan, Toraja Heritage Hotel (Jl. Kete Kesu, Rantepao; 0423/211-92; toraja-heritage.com) memiliki kolam renang yang fotogenik, serta menawarkan akses mudah ke desa-desa adat. Berdiri di atas lahan seluas delapan hektare, Misiliana Hotel (Jl. Pongtiku 27, Rantepao; 0423/212-12; torajamisiliana.com) menaungi dua kolam renang, ballroom, restoran, spa, serta 98 kamar. Hotel ini juga menawarkan pengalaman homestay: menginap di tongkonan tua yang telah disulap menjadi suite. 
—Makan & Minum
Restoran terbaik umumnya hanya terdapat di hotel. Salah satu yang berhasil menembus dominasi itu adalah Mambo (Jl. DR. Sam Ratulangi 34, Rantepao; 0423/211-34; mamborestaurant.co), restoran yang menyuguhkan beragam menu, termasuk masakan lokal pa’piong dan pamarrasan. Sarang hangout populer di kalangan turis, Café Aras (Jl. A. Mappanyukki 64, Rantepao; 0823-9627-5688), menawarkan bangunan yang sejuk di tengah kota Rantepao yang bising. Bagi penikmat kopi, dua tempat yang layak didatangi adalah Warung Kopi Toraja (Jl. Poros Makale, Rantepao; 0852-4824-7654) dan Hotel Pison (Jl. Pongtiku 2 No.8, Rantepao; 0423/213-44). 
—Aktivitas 
Situs-situs tua masih menjadi obyek andalan di peta wisata. Untuk menyaksikan menhir, pergilah ke Rante Kalimbuang di Bori’. Di Londa, kita bisa memasuki makam gua, sementara di Lemo kita bisa menyaksikan tau-tau dalam desain orisinal. Kampung adat yang paling tersohor, Kete’ Kesu’ lazim dijadikan tempat upacara-upacara besar. Dibandingkan desa adat lain, Buntu Pune’ relatif masih autentik. Kala di sini, carilah Marla, sarjana arkeologi yang lancar bercerita tentang kebudayaan Toraja, termasuk tentang benteng di samping desanya.
Desa-desa tenun terpusat di sisi timur laut, salah satunya Sa’dan To’ Barana. Bawa uang tunai jika ingin berbelanja. Jika ingin menyerap panorama Toraja yang paling karismatik, pergilah ke Batutumonga. Bawalah sepatu trekking, karena Anda pasti tergoda untuk mengarungi sawah dan lembah hijaunya. 
—Informasi 
Menyewa pemandu adalah metode terbaik. Tapi jika ingin berwisata secara mandiri, Anda bisa menyewa mobil, kemudian menggali informasi dari pihak DMO (visittoraja.com) atau Swisscontact (Jl. Makula’ Tampo, Sangalla, Makale Utara; 0423/264-43; swisscontact.or.id). Peta wisata baru belum dicetak, tapi versi lamanya masih tersedia di kantor Dinas Pariwisata Toraja Utara (Jl. Ahmad Yani 62A, Rantepao; 0423/212-77). Rambu Solo umumnya digelar di tengah tahun. Upacara kematian ini menampilkan prosesi pengorbanan kerbau dan babi. Tamu sepatutnya memberikan sesuatu kepada keluarga almarhum. Idealnya, berupa seekor babi, tapi kita bisa menggantinya dengan satu slof rokok atau beberapa kilogram gula pasir. Siapkan pakaian hitam jika ingin hadir.


Oleh: Cristian Rahadiansyah

Foto oleh: Suryo Wibowo



Sumber: DestinAsian

TORAJA: Ketika Tradisi Terkoyak Ambisi

Toraja - Ketika Tradisi Terkoyak Ambisi. | Warisan Indonesia
Upacara rambu solo’ merupakan ritual budaya tertinggi yang masih dilestarikan Suku Toraja. Banyak yang mengeluarkan biaya miliaran rupiah untuk menyelenggarakan upacara tersebut karena mereka percaya, betapa berharganya memberikan persembahan terbaik bagi orangtua yang meninggal. Menurut mitologi Toraja, kehidupan bermula di langit.

Desember 2011, Toraja ramai dengan penyelenggaraan rambu solo’. Hal itu, antara lain, diselenggarakan oleh keluarga besar Philipus Tappi di Tongkonan Limbong, Kelurahan Sereale, Kecamatan Tikala, Kabupaten Toraja Utara, dan oleh keluarga besar Agnes Datu Sarongallo di Tongkonan Siguntu’, Kelurahan Nonongan, Kecamatan Sopai, Kabupaten Toraja Utara. 

Kedua penyelenggaraan rambu solo’ itu masing-masing memakan biaya lebih dari Rp 50 miliar karena selain memakan waktu panjang rata-rata dua minggu, juga dihadiri oleh ribuan orang—dari kalangan keluarga, undangan, bahkan yang datang sebagai turis sehingga selain harus membeli ratusan kerbau _sebagai simbol kendaraan tokoh yang meninggal menuju alam puya_ juga menyembelih ratusan ekor babi _yang dalam bahasa Toraja disebut bai_ untuk konsumsi selama upacara.

Rambu solo’ adalah upacara kematian, yang merupakan ritual tertinggi _bahkan lebih tinggi daripada ritual pernikahan_ dalam aluk todolo, kepercayaan leluhur nenek moyang suku Toraja yang masih dijalani oleh sebagian besar masyarakat Toraja sampai sekarang. Menurut kepercayaan aluk todolo _yang konon sejak 1970 resmi diterima di sekte Hindu Bali_ itu, setelah melalui hidup yang hanya sementara ini, manusia akan menuju alam puya, yaitu perhimpunan arwah sebelum menjadi dewa. Hubungan yang terjalin antara yang masih hidup dan yang sudah meninggal didasari pemikiran bahwa bahwa nenek moyang mereka tetap memelihara dari langit.

Dalam kehidupan seharian masyarakat Toraja, aluk todolo diwujudkan dalam dua upacara yang berkaitan dengan kehidupan manusia, yaitu upacara syukuran/sukacita (rambu tuka’) dan upacara kematian/dukacita (rambu solo’). 

Namun, yang paling menonjol adalah upacara kematian. Hal itu karena bila mengikuti kepercayaan tersebut, masyarakat Tana Toraja hidup untuk mendapatkan kehidupan berikutnya. Bila biasanya kematian diidentikkan dengan kesedihan, bahkan harus diratapi, karena ditinggal oleh yang meninggal, aluk todolo melihatnya dari pemikiran yang positif, yaitu bahwa kematian terjadi karena kasih sayang leluhur yang mengajak yang dikasihinya itu untuk kembali ke asal.

Dengan demikian, ketika yang meninggal itu tiba di tempat asal, akan disambut dengan sukacita oleh leluhurnya. Dalam salah satu tulisannya, Prof. Dr. H. Abu Hamid, antropolog dari Universitas Hasanuddin, Makassar, mengatakan bahwa penganut aluk todolo memandang hidup ini sebagai proses untuk mencapai yang lebih tinggi dan suci.

Itu sebabnya seorang perempuan penderita kanker, yang semula nyaris putus asa lantaran merasa tak siap menghadapi kematian, menjadi muncul kepercayaan dirinya setelah ke Toraja dan melihat makna kematian menurut aluk todolo. Dan perempuan itu, Helen Marshall, fotografer dari Inggris, kemudian pada 5-12 Januari 2012 memamerkan foto-foto menarik tentang Toraja di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) bersama Risang Yuwono. 

Berikut adalah beberapa penggalan artikel tentang Toraja dalam Majalah Warisan Indonesia Vol.02 No.14 :

Cover depan majalah Warisan Indonesia vol.02 no.14
Toraja Tradisi Terkoyak Ambisi | A Tradition Ripped by Ambitions
Upacara Merok, Mesyukuri Pengakuan
Markas Mumi Penjaga Tradisi
Ma'badong, Kidung Senja untuk Nirwana
Hitam-Putih Tenun Toraja
Berkah dari Tanah yang Diberkati
Kuantar ke Surga Bersama Tedong


Oleh: WI/Rita Sri hastuti/Viesta Karwila


Baca artikel lengkapnya di Majalah Warisan Indonesia Vol.02 No.14 --> Disini


Catatan:
Artikel dan foto diambil dari sumber yang sama, yang sebelumnya diterbitkan oleh majalah Warisan Indonesia, demi menyebarkan informasi tentang kekayaan khasanah kebudayaan Toraja maka artikel tersebut kami posting kembali.

Semoga Bermanfaat.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Penunjuk arah Suaya, makam para Bangsawan Sangalla'.
Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave

Menurut beberapa penuturan, upacara Rambu Solo paling besar dan meriah adalah saat pemakaman penguasa Sangalla' terakhir, Puang Laso Rinding atau yang dikenal Puang Sangalla’, pada tahun 1972. Saat itu juga Rambu Solo Puang Sangalla didokumentasikan oleh National Geographic sehingga menjadikan Tana Toraja mulai masyhur di dunia internasional. Semenjak itu, banyak wisatawan dari berbagai penjuru dunia datang ke Toraja dan menyaksikan upacara Rambu Solo.

Kita akan ke Suaya. Ke tempat makam raja-raja Sangalla’ dan keluarganya.” Basho menginformasikan tujuan selanjutnya. Daerah Sangalla terletak sekitar 10 km di sebelah timur Makale.

Matahari sudah mulai menampakkan wujudnya. Mendung yang dari tadi menggelayut, perlahan-lahan membuka diri. Ia memberi kesempatan langit biru menjadi atap yang indah bagi Tana Toraja. Sayangnya, masih malu-malu. Belum sepenuhnya tulus mengantarkan matahari mengeringkan tanah-tanah yang basah, sisa hujan. Matahari pun terhijab lagi oleh mendung putih. Romansa langit biru yang menjadi kombinasi bumi hijau menguning masih sebatas imajinasi.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Sebuah kubur tanpa Tau tau. Tau-tau diselamatkan karena rawan pencurian. 

Tatkala masuk menyusuri area persawahan dari Makale menuju Sangalla', kami berhenti. Sebuah tebing dengan pahatan persegi panjang berlubang-lubang menyambut pandangan kami. Kosong tak ada isinya...

Harusnya di dalam lubang itu ada Tau-tau, patung boneka dari orang yang dikuburkan di tebing batu. Hanya saja oleh keluarganya, Tau-tau ini disimpan di Tongkonan yang terletak di bawahnya.” Jelas Basho.

Lho kenapa disimpan? Tidak dipajang?

Tau-tau rawan dicuri. Banyak orang asing ingin mengoleksi Tau-tau. Mereka terpesona dengan aura keunikan dan keindahan Tau-tau. Padahal, Tau-tau dipercaya untuk melindungi keluarga yang masih hidup.“ Saya paham dan sependapat dengan Basho. Miris memang. Masih ada juga orang Indonesia yang mau mengorbankan kekayaan tradisi yang tak ternilai harganya demi memenuhi kebutuhan satu dua orang asing. Hanya demi memperoleh banyak uang.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Panorama persawahan dengan latar belakang batuan granit bergerigi sepanjang Makale-Suaya. Eksotis. 

Perjalanan dilanjutkan ke Suaya. Panorama sawah bertingkat-tingkat memanjakan pandangan. Hutan di perbukitan hijau lestari. Jejeran pegunungan granit di kejauhan menyedapkan horison. Semakin elok tatkala formasi alam ini diselingi rumah-rumah Tongkonan yang begitu khas Toraja. Tak terasa, saya sudah tiba di tempat parkir Suaya.

100 meter berjalan di setapak yang masih basah. Aroma kesakralan peristirahatan para raja dan bangsawan mulai terasa. Sayangnya, area ini terkesan kurang terawat. Rumput-rumput liar tumbuh sesuka hatinya. Tempat ini sepi pengunjung. Rasanya kami adalah satu-satunya pengunjung saat itu. 

Sebuah tebing tegak lurus menjadi akhir pandangan mata saya. Kira-kira setinggi 70 meter. Puluhan Tau-tau menyambut saya dengan tangan terentang. Seperti sebuah sambutan yang ramah dari mereka untuk kehadiran saya.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Deretan Tau-tau tua dengan tangan merentang. Seolah menyambut kehadiran pengunjung.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Kubur tebing batu Suaya, makam Ningrat Sangalla'

Tau-tau Suaya termasuk yang tua di Toraja. Ada yang berusia hingga ratusan tahun. Mereka berjejer rapi di atas tebing dengan memakai pakaian adat khas Toraja. Tau-tau seluruh mendiang lengkap di Suaya. Di samping lubang Tau-Tau, ada beberapa lubang dengan pintu kayu yang di dalamnya jasad-jasad darah biru Sangalla ini ditaruh untuk dimakamkan.

Lihat di bawahnya, ada kuburan berada di tanah.” tunjuk Basho. “Itu adalah pemakaman bagi bangsawan Sangalla yang beragama Islam.” Tertulis di nisan putih bernama Haji Puang Lai Rinding. Lahir tahun 1905, wafat 23 April 1988.  Makam Islam adalah keunikan yang menjadikan Suaya berbeda dibandingkan kuburan batu lain di Toraja.

Menurut Basho, Haji Puang Lai Rinding adalah bangsawan Toraja yang merantau keluar dari Tana Toraja. Kemudian dia memeluk Islam hingga berhaji ke Mekkah. Meski demikian, sebagai orang Toraja, dia tetap menghormati leluhurnya dengan berpesan dikuburkan di tanah asalnya. Sebaliknya, orang Toraja juga menghargai agama Islam yang dianut bangsawan Lai Rinding ini. Penguburan di atas tanah adalah sebuah ‘komunikasi’ yang mengedepankan toleransi dalam masyarakat Toraja.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Makam muslim Bangsawan Sangalla' Toraja. Berbeda dengan tradisi asli Toraja.
Dalam kepercayaan Suku Toraja, tanah dianggap sebagai elemen suci. Maka, masyarakat Toraja tidak akan mengubur mayat di dalam tanah, tetapi di dalam batu atau pohon. Secara geografis, tradisi ini dipengaruhi oleh bentang alam Toraja. Tana Toraja dihiasi oleh pegunungan dan batu granit raksasa sehingga memungkinkan tradisi itu dilaksanakan.
Di depan arah kanan dari kaki bukit dibangun sebuah bangunan mirip Tongkonan untuk menaruh barang-barang milik mendiang. Di sampingnya ada pondok penyimpan beberapa perlengkapan penguburan. Ada juga bangunan cukup besar yang menyimpan beberapa barang kerajaan Sangalla. Hanya saja, sebagian besar barang kerajaan tak di sini, melainkan disimpan di Museum Buntu Kalando yang merupakan bekas istana Puang Sangalla. Museum ini terletak di atas bukit di Desa Kaero, Sangalla, tak jauh dari Suaya. 

Kuburan Batu Suaya merupakan persembahan kepada Puang Tamboro Langi’ dan keturunannya. Puang Tamboro Langi’ merupakan pendiri sekaligus penguasa pertama wilayah Kalindobulanan Lepongan Bulan (Tana Toraja). Menurut hikayat, dia turun dari langit di puncak Gunung Kandora di Kecamatan Mengkendek, Tana Toraja pada pertengahan abad 4 M.

Tanah adalah elemen suci bagi orang Toraja. Sehingga makam dibuat di atas tebing.
Tanah adalah elemen suci bagi orang Toraja. Sehingga makam dibuat di atas tebing.

Selanjutnya oleh keturunannya, yakni Puang Bullu Mattua, wilayah Lepongan Bulan dibagi menjadi tiga wilayah (lembang) yaitu Makale, Sangalla’, dan Mangkendek. Pembagian ini dilakukan di atas suatu landasan sumpah yang disebut Basse Tallu Lembangna. Ketiga wilayah ini berkuasa penuh memerintah dan mengatur wilayahnya masing-masing. Pemimpinnya disebut Puang Basse Kakanna Makale, Puang Basse Tangngana Sangalla’ dan Puang Basse Adinna Mengkendek.

Meski demikian, secara simbolis ada Puang Tomatasak Kalindobulanan Lepongan Bulan yang selalu dijabat oleh Puang Basse Tangngana Sangalla’ selama 13 periode mulai dari Puang Palodang sampai Puang Laso’Rinding (Puang Sangalla’). Wilayah Sangalla mewarisi asli Lepongan Bulan karena Tongkonan Layuk Kaero yang merupakan istana Lepongan Bulan dibangun oleh Puang Patta La Bantan itu berada di wilayah Sangalla’.

Hadir di Suaya, seperti melemparkan saya kepada sejarah panjang Tana Toraja. Khususnya masa lalu Bangsawan Sangalla. 

Namun, matahari perlahan beranjak naik. Sudah mulai menuju siang. Saya melangkahkan kaki kembali ke tempat parkir. Melangkahkan kaki kembali ke masa kini. Terjaga lagi pada kesadaran untuk menjelajahi khasanah Toraja. Masih banyak destinasi Toraja yang lain.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Lettoan, miniatur bentuk Tongkonan, bekas keranda pembawa jenazah diletakkan di kaki tebing.
Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Tau-tau berjejer rapi di atas tebing.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Tau-tau yang masih baru milik bangsawan Sangalla'.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Sebuah bangunan berbentuk rumah adat Tongkonan, dijadikan tempat menyimpan alat pekuburan.



Artikel dan Foto: Iqbal Kautsar | @iqbal_kautsar

Tentang Penulis:
Iqbal Kautsar, seorang; Pemakna khasanah INDONESIA | Pejalan dan pencerita perjalanan | Pecinta kopi, durian dan brotowali | Yogyakarta dan Kebumen |

Anda bisa menghubunginya melalui email: iqbalkautsar@gmail.com

Sumber: artikel ini sebelumnya diposting dalam blog pribadi penulis _DIASPORA IQBAL_ dan atas izin dari penulis, artikel ini kami posting kembali untuk menambah informasi tentang pariwisata di Indonesia khususnya di Toraja.

Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'

Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Papan penunjuk lokasi ke Kambira Baby Grave.
Bambu-bambu tumbuh lebat. Saling tegak merapat. Tak tersisa celah untuk membiarkan terik surya mengeringkan tanah basah. Sejuk nan lembab ketika saya menapak jalan menyusuri hutan bambu di Toraja.

Di tengah hutan bambu, sebuah pohon Tarra’ berdiameter sekitar 80 cm tampak gagah berdiri. Kontras dengan lingkungan sekitarnya. Pada batang pohon ini, beberapa ijuk berbentuk persegi menempel layaknya sebuah aksesoris. Ijuk ini berasal dari pohon enau yang digunakan sebagai penutup sebuah lubang tempat ditaruhnya mayat-mayat bayi. Ya, itu adalah kuburan pohon untuk bayi atau disebut ‘passiliran‘. Kambira Baby Grave.

“Bayi yang dikuburkan di pohon ini adalah yang belum tumbuh giginya. Orang Toraja menganggap bayi yang giginya belum tumbuh itu masih suci.” jelas Basho sembari menunjuk ke arah pohon. 

Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Melintasi hutan bambu, menuju kuburan bayi.
Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Kambira, Kuburan Bayi di Pohon Tarra'.
Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Pohon Tarra' menjadi rahim jasad bayi yang dikuburkan. Ditutupi oleh ijuk.
Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Jamur pun tumbuh di pohon Tarra di dekat lubang makam. Pohon Tarra' memang "menghidupi".
Dengan menguburkan bayi di pohon Tarra‘, orang Toraja menganggap bayi ini seperti dikembalikan ke rahim ibunya. Mereka berharap, pengembalian bayi ini ke rahim ibunya akan menyelamatkan bayi-bayi yang lahir kemudian. Pohon Tarra‘ dipilih sebagai tempat menguburkan bayi, karena pohon ini memiliki banyak getah berwarna putih, yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu.

Pemakaman seperti ini dilakukan orang Toraja pengikut Aluk Todolo (kepercayaan kepada leluhur). Upacara penguburan dilaksanakan secara sederhana. Bayi yang dikuburkan tidak dibungkus kain, sehingga benar-benar seperti bayi yang masih berada di rahim ibunya.

Tampak ada ijuk yang kendor pengikatnya. Saya tertarik mendekat. Kebetulan terletak di sisi kanan pohon yang dekat dengan setapak. Melongok dari bawah untuk menghalau penasaran. Ternyata, lubang tempat bayi diletakkan sudah tidak ada. Lubang itu telah menyatu menjadi badan pohon yang utuh. Getah pohon Tarra’ telah menyatukan jasad sang bayi ke rahim pohon, layaknya rahim sang ibunya.

“Di Toraja, sebenarnya banyak ditemukan kuburan pohon semacam itu. Hanya saja letaknya di tengah hutan. Susah menjangkaunya. “ungkap Basho. “Kambira ini sudah tua usianya. Sekarang, tidak digunakan lagi.” Sambil kami melangkah keluar menembus kembali rerimbunan hutan Bambu.

Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Perempuan tua Toraja turut menjaga loket Kambira Baby's Grave.
Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Tau-tau mini dijual sebagai cindera mata.
Seorang ibu yang renta datang menghampiri kami. Menjajakan beberapa souvenir khas Toraja. “Kaos Torajanya, silakan dibeli untuk cinderamata.” Namun, entah kenapa malah Basho asyik mengobrol dengan ibu itu. Tentunya dengan bahasa Toraja. Ah, saya tidak paham apa yang mereka katakan. Saya memutuskan menuju ke toko-toko cinderamata.

Deretan tau-tau mini menyambut saya. Matanya menganga lebar seakan dia memerhatikan saya sungguh-sungguh. Ah, bukan. Ternyata saya saja yang terlalu terpesona pada keindahan ukirannya. Di samping tau-tau, ada juga kotak-kotak berukiran motif toraja. Sangat indah dengan abstraksi dan geometri yang khas. 

Sayangnya, kantong saya lagi tipis. Ini tidak indahnya. Saya pun hanya melambaikan tangan kepada tau-tau cantik itu. “Maaf, saya tidak membawamu bersamaku. Semoga suatu saat nanti kau bisa ikut bersamaku.”

Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Seekor kerbau sedang merumput di samping Alang Sura'. Di kawasan Tongkonan Kambira.



Artikel dan Foto: Iqbal Kautsar | @iqbal_kautsar

Tentang Penulis:
Iqbal Kautsar, seorang; Pemakna khasanah INDONESIA | Pejalan dan pencerita perjalanan | Pecinta kopi, durian dan brotowali | Yogyakarta dan Kebumen | 

Anda bisa menghubunginya melalui email: iqbalkautsar@gmail.com

Sumber: artikel ini sebelumnya diposting dalam blog pribadi penulis _DIASPORA IQBAL_ dan atas izin dari penulis, artikel ini kami posting kembali untuk menambah informasi tentang pariwisata di Indonesia khususnya di Toraja.


Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Suasana kampung Nanggala di malam hari. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
"Di akhir perjalanan, saya tertarik dengan potongan ucapan salah satu anggota keluarga mendiang. Beginilah kehidupan di Toraja, bertahun-tahun mencari uang akhirnya hanya dihabiskan dalam sekali waktu saat Rambu Solo atau pemakaman. Kematian adalah hal yang mewah dengan harapan roh yang meninggal dapat menuju alam baka dengan keceriaan dan ketenangan." _ Alfian Widiantono Suroso (Aan)

Malam hampir berganti hari, mobil akhirnya sampai di tujuan terakhir. Enggan rasanya  pantat ini beranjak dari kursi akibat lelah menggelayut efek dari perjalanan panjang nonstop, 4 jam Jakarta-Makassar via udara, 10 jam Makassar-Rantepao via bis, dan 45 menit Rantepao-Nanggala via mobil jemputan. Satu-satunya penyemangat bagi Kami untuk bangkit adalah nyala lampu dari susunan bangunan yang bentuknya selalu terbayang di pikiran Saya seharian ini. Tak lama beranjak, akhirnya susunan bangunan dengan kedua ujungnya yang lancip tersaji langsung di depan mata, Tongkonan, rumah adat Toraja. Lelah pun berganti dengan semangat dan rasa penasaran dengan apa yang akan Saya hadapi esok hari.
***
Night was about leaving us. Our car finally took us to final stop for that day. It was very hard for me leaving my seat because I was very exhausted due to our long journey. It was a non-stop trip which spent 4 hours air travel from Jakarta to Makassar, 10 hours Makassar-Rantepao journey via bus, then 45 minutes via car from Rantepao to Nanggala.The last spirit left emerged from lights that was shining from the building of which structures has obsessed my mind all day long. Before long, we officially hopped on in the location where I could enjoy the beauty of Tongkonan, traditional house of Toraja, completed with two sharp and pointed ends. Its beauty was totally successful in spoiling my eyes. My tiredness suddenly disappeared and turned into a blow of spirit which led me to get so excited and curious on things I would get on the next day.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Lakkian, tempat menaruh jeazah sebelum dikuburkan di liang batu. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Ornamen yang menghiasi sisi Lakkian. Foto: Aan
Bersama dua orang rekan, Fatur dan Yoyo, Kami merasa cukup beruntung bahwa perjalanan kami yang pertama kali ke bumi Sulawesi ini bertepatan dengan berlangsungnya Rambu Solo, upacara pemakaman adat khas Toraja. Saat itu di kampung Nanggala tengah diadakan pemakaman bagi Elisa Siman Pongpalita, yang meninggal tahun 2005 lalu pada usia 80 tahun. Mendiang adalah salah satu tokoh masyarakat sekaligus keturunan ke enam Raja Luwu, salah satu penguasa Toraja jaman dulu. Kami datang agak terlambat sebenarnya. Karena acara prosesi yang memakan waktu hampir satu minggu ini sudah berlangsung 3 hari sebelum kami tiba di Nanggala. Akibatnya kami terlewatkan 3 prosesi, pemindahan jenazah dari rumah Tongkonan ke Alang/Lumbung (tempat menyimpan padi) lalu ke Lakkian (tempat khusus menaruh jenazah sebelum dimakamkan) , penyambutan tamu dan Ma’pasilaga Tedong atau adu kerbau. Namun demikian tetap saja kami beruntung karena bisa mengikuti sisa prosesi secara lebih dalam, karena kami tinggal di Lantang , yaitu bangunan yang dibuat khusus untuk para tamu dan keluarga yang menginap dalam rangka menghadiri Rambu Solo ini. Jadi kami memiliki kesempatan untuk mengenal dan memahami budaya Toraja secara lebih mendalam. Semua ini berkat bantuan dari seorang teman, Theresia Kurniasari Pongpalita, yang tak lain adalah cucu mendiang.
***
Together with Fatur and Yoyo, my companions during this journey, we felt lucky enough since this very first journey to Sulawesi gave us chance to look closer at Rambu Solo, Toraja’s traditional funeral ceremony. At that time, there was a funeral ceremony for Elisa Siman Pongpalita at Nanggala village. Elisa passed away in 2005 at the age of 80. The deceased was not only one of community figures but also was the sixth generation of King Luwu, one of the ruler of Toraja in the past time. To be honest, we were a bit late since the ceremony has run for three days before we arrived at Nanggala. That forced us leave three processions includes moving the dead body from Tongkonan to Alang/Lumbung (a place to store paddy), which was followed by moving it to Lakkian. It was a special place to put the dead body before burying it. The procession continued to guest welcoming, and Ma’pasilaga Tedong or buffalo fight. But still above all, we felt so grateful since we’re living in Lantang, a special building for guests and family. It gave us access to experience the rest of the procession to the full. A friend of us namely Theresia Kurniasari Pongpalita, the grandchild of the deceased, gave us a huge help to know and understand the culture of Toraja deeply.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Salah satu kerabat almarhum. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Ma'tinggoro Tedong, tradisi menyembelih kerbau dengan sekali tebas. Foto: Aan
Hari pertama, atau hari keempat rangkaian prosesi, Kami disuguhi dengan prosesi Ma’tinggoro Tedong atau penyembelihan kerbau khas Toraja, yaitu menyembelih dengan parang dan hanya dengan sekali tebas. Sebenarnya bukan hanya kerbau saja yang dikorbankan, tapi ada juga babi. Kerbau dan babi ini adalah persembahan dari keluarga sebagai bentuk persembahan terakhir bagi almarhum. Total ada 17 kerbau dan 3 ekor babi yang dikorbankan, termasuk 1 ekor kerbau belang atau biasa disebut Tedong Bonga. Sekedar diketahui, semakin banyak belangnya, semakin mahal harganya. Kisaran harga kerbau belang bisa mencapi sampai ratusan juta rupiah. Bandingkan dengan kerbau biasa yang berharga sekitar 20 juta. 
***
On my first day, or the fourth day of the series of procession, we watched Ma’tinggoro Tedong procession. It was a procession of buffalo slaughtering. What makes it special is that its way of cutting buffalo’s head. The slaughterer used chopping knife with a single cutting movement. Not only buffalo, pigs are also another animal that could be sacrificed. Buffalo and pig are the form of last tribute for the family for the deceased. There were 3 pigs and 17 buffaloes including one Tedong Bonga, a buffalo with strips over its body. The bigger number of strip existed in the buffalo’s body, the higher price should be paid for it. The price of one Tedong Bonga could be hundreds of millions rupiahs. As a comparison, the price of regular buffalo is about 20 millions rupiahs.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Membersihkan bulu babi dengan cara dibakar sebelum dipotong. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Menguliti kerbau yang sudah disembelih. Foto: Aan
Selanjutnya daging dan organ kerbau atau babi ini dimasak untuk disajikan ke keluarga dan dibagi-bagikan atau dilelang ke para tetangga dan orang-orang yang terlibat dalam acara pemakaman. Yang unik adalah tanduk kerbau yang setelah dibersihkan kemudian dipasang di bagian depan Tongkonan sebagai penanda jumlah kerbau yang dikorbankan oleh keluarga. Semakin banyak tanduk yang dipasang, artinya semakin makmur juga keluarga yang bersangkutan.
***
After being cut to pieces, the organ and meat of these buffaloes or pigs was cooked before it was served to the family. Then, it was given or sold by auction to the neighbours or any other people who were involved in the ceremony. There is a unique thing from this series of procession, related to the use of buffalo’s horn which was placed in the front part of Tongkonan. For sure, the horn was cleaned initially. The point of this part of custom is as indicator to show the number of buffaloes which have been sacrificed by the family. More horns show higher level of family’s wealth.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Anggota keluarga almarhum sedang meratap. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Foto bersama keluarga almarhum. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Ludia Ramma, istri kedua almarhum. Foto: Aan
Hari kedua, atau hari kelima rangkaian upacara sekaligus hari terakhir, berlangsung prosesi penurunan peti jenazah dari Lakkian ke lapangan yang biasanya berada di depan Tongkonan. Peti jenazah ini kemudian dirangkai dengan Lettoan/Duba-Duba, yaitu keranda khas Toraja yang bentuknya mirip atap Tongkonan. Di tengah prosesi perangkaian ini, beberapa anggota keluarga tampak menangis. Dua orang diantaranya bahkan histeris meratap di samping keranda. Ada kejadian langka sebelum prosesi ini berlangsung. Saat itu para keluarga dan orang-orang yang terlibat dalam proses berkumpul di pinggir lapangan dan beberapa orang yang kami yakini tokoh masyarakat setempat bergantian berorasi dalam bahasa Toraja. Kami tidak tahu persis apa maknanya, tapi dari teman kami Sari, kami tahu bahwa mereka tengah menyuarakan kegelisahan dan penolakan mereka terhadap pemerintah daerah dan gereja setempat yang melarang adanya prosesi adu kerbau dan adu ayam yang berlangsung selama prosesi Rambu Solo karena dianggap kental berbau judi. Padahal ritual tersebut memang sudah menjadi bagian tradisi Rambu Solo sejak dulu kala.
***
On the second day, which was also the last day in the ceremony, the procession of coffin lowering from Lakkian to the field was held. Most of the time, the field is located in front of Tongkonan. In the middle of the procession, I saw some members of the family were in tears. Two of them even cried hysterically while staring at the coffin. There was a rare moment happened on the procession. At that time, the family and people who were involved in the ceremony gathered at the edge of the field. Some people who we believed as local figures deliver an oration in turn by using local language. It made us have no idea on what they talked about. From Sari, we know that they talked about their worry and rejection to local government and church that prohibit the implementation of chicken or buffalo fight during the procession of Rambu Solo as it indicates gambling activity. This situation is in contrast with their belief which considers it merely as a ritual in parts of Rambu Solo’s tradition.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Proses menurunkan peti jenazah dari Lakkian. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Prosesi saling menarik Lettoan/duba-duba dengan arah berlawanan. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Mengarak Lettoan/duba-duba. Foto: Aan
Peti telah dipasang pada Lettoan/Duba-Duba. Ada satu prosesi unik, yaitu secara beramai-ramai peti jenazah diangkat sementara orang-orang pembawa peti berjingkrak-jingkrak sambil meneriakkan semacam mantra. Sebenarnya rencana awal mendiang akan dimakamkan ke kubur batu. Namun karena kondisi lubang di tebing yang akan dijadikan makam masih kurang memadai, maka peti disemayamkan dulu di Patane, yaitu rumah khusus untuk menaruh peti jenazah. Nanti setelah lubang kubur batu diperbaiki, barulah peti dipindahkan lagi. Peti pun dibawa beramai-ramai dengan dikawal pembawa gong dan umbul-umbul. Orang-orang beramai-ramai berteriak dengan sesekali terjadi prosesi unik yaitu para pembawa Duba-Duba yang jumlahnya banyak itu menarik dengan arah yang berbeda, ke depan dan belakang. Sesampainya di Patane, peti jenazah dimasukkan ke dalam, bergabung dengan lima peti lainnya.
***
There is another unique procession which got my full attention. I was amazed seeing people who lifted the coffin pranced while shouting a kind of spell. The initial plan was burying the body in a sarcophagus. However, the condition of the cliff did not support it at that time. There were holes in the cliff which would be used as the grave. Therefore, the coffin was placed in Patane, a special house to put the coffin. After fixing the holes in the cliff, the coffin will be moved. The coffin was brought by many people who were guided by some people bringing gong and umbul-umbul. Gong is part of Gamelan instruments, a traditional musical instrument made of brass, while umbul-umbul is a kind of flag which is usually used to celebrate special events such as country’s Independence Day. Those people yelled during the procession. I wondered on the thing that they did, especially when they pulled the coffin in some different directions, back and forth. Once they got to Patane, the coffin was placed into the house, together with other five coffins.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Patane, bangunan tempat menaruh peti jenazah. Foto: Aan
Malam harinya, sambil menikmati suguhan kopi toraja, kami mengobrol dengan beberapa anggota keluarga almarhum. Inilah kesempatan untuk mencari informasi. Kenapa harus ada upacara Rambu Solo ini? Itulah pertanyaan pertama yang terlontar. Tidur atau sakit. Ya itulah jawabannya. Meninggal secara medis, bagi tradisi Toraja baru dianggap sebagai tidur atau sakit, sampai keluarga bersangkutan melaksanakan Rambu Solo. Tidak heran, sebelum Rambu Solo diadakan, almarhum masih diperlakukan layaknya orang hidup seperti ditemani, disediakan makan minum dan rokok. Selain itu menurut ajaran Aluk To Dolo (kepercayaan tradisional Toraja), Rambu Solo adalah bentuk penghormatan terakhir bagi anggota keluarga yang meninggal sebelum menuju alam baka.
***
At night, we chatted with some family members of the deceased while enjoying a cup of coffee, special from Toraja. At this moment, we asked some questions to get deeper understanding on their way of life. The first question was why they should hold Rambu Solo. A very short answer came out at that time. They said, ‘sick or sleep’. It might be short but not so simple to understand. For them, someone is considered as dead person only when Rambu Solo is conducted for him or her. When the family has not conducted this procession, it means that they are considered in a condition of ‘sick or sleep’. This belief makes them treat the deceased as if they are alive. They accompany, give food, drink, and even cigarette to them. Besides, according to the lesson from Aluk To Dolo (traditional belief of Toraja), Rambu Solo is a form of last admiration to the family members who passed away before going to afterlife.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Lanskap persawahan di kampung Nanggala. Foto: Aan
Dalam tradisi Toraja sendiri dikenal empat jenis tingkatan Rambu Solo. Dipasang Bongi, upacara yang berlangsung hanya satu malam saja. Dipatallung Bongi, berlangsung tiga malam di rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan. Dipalimang Bongi, berlangsung lima malam di rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan. Terakhir, Dipapitung Bongi, berlangsung selama tujuh malam dengan disertai pemotongan hewan setiap malamnya. Semakin tinggi strata sosial si almarhum, semakin lama waktu prosesinya. Dalam hal ini, pemakaman bagi almarhum Elisa Siman Pongpalita termasuk dalam Dipalimang Bongi.
***
In Toraja’s tradition itself, there are four levels of Rambu Solo. The first is Dipasang Bongi. It lasts only for a day. The next is called Dipatallung Bongi. It last for three days. It was located at the house of the deceased together with the implementation animal slaughtering, meanwhile Dipalimang Bongi, which is almost the same as ‘Dipatallung Bongi’ last for five days. The last is called Dipapitung Bongi, it last for seven days with animal slaughtering done every night. The higher social status, the longer time of the procession it will take. In this case, the funeral of Elisa Siman Pongpalita belongs to Dipalimang Bongi.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Barisan Alang/Lumbung di depan rumah adat Tongkonan di Kete Kesu. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Kubur di tebing batu Lemo. Foto: Aan
Uang dan waktu. Itulah jawaban untuk pertanyaan Kami berikutnya, kenapa Rambu Solo bagi mendiang baru diadakan tahun 2013, berselang hampir delapan tahun sejak almarhum mulai ‘tidur’. Rambu Solo butuh biaya yang banyak. Meskipun keluarga almarhum tidak menyebut secara detil, tapi kami perkirakan untuk melaksanakan Rambu Solo yang sedang kami ikuti ini menghabiskan lebih dari lima ratus juta, bahkan bisa hampir satu milyar. Untuk membuat bangunan dan ornamennya saja menghabiskan empat ratus juta sendiri. Belum lagi hewan persembahan dan biaya operasional selama upacara berlangsung. Ketika uang sudah terkumpul, yang tak kalah sulitnya adalah menemukan waktu yang tepat untuk mengumpulkan anggota keluarga. Hal ini berkaitan dengan adanya ketentuan bahwa semua anggota keluarga wajib hadir ketika Rambu Solo berlangsung. Almarhum sendiri memiliki dua orang istri. Istri pertama, Yohana Tambing, menghasilkan dua orang putri, Corry Taruk Datu dan Alberthin Siman Taruk. Kemudian dengan istri kedua, Ludia Ramma, menghasilkan dua orang putra, Samuel Barumbun dan Yusuf Kadang Pongtinamba.
***
Then, we asked on the reason why Rambu Solo for Elisa Siman Pongpalita was done in 2013, almost 8 years after she was in the stage of considered as ‘sleeping’. They said it was about money and time. Rambu Solo needs a high budget. Though they did not mention it in detail, we calculated the cost. It could reach five hundred millions rupiahs or even until one billion rupiahs. To make the building and its ornament they spent almost four hundreds millions rupiahs. It did not include the animals and operational cost during the procession happened. Further, when the family has been able to gather the money, it was quite hard to find a perfect time to gather all members of the family. It is related with the requirement which states that all family members have to come when Rambu Solo is held. In this case, the deceased has two wives. The first wife is Yohana Tambing. From her, they have two daughters, Corry Taruk Datu and Alberthin Siman Taruk. Then, from his second wife namely Ludia Ramma, he has two sons. They are Samuel Barumbun and Yusuf Kadang Pongtinamba.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Miniatur Tau-tau. Foto: Aan
Selain budayanya yang khas, Toraja dianugrahi tanah yang subur dengan lanskap dinding bukit yang seolah menjadi benteng alam. Setidaknya itu yang muncul dalam benak Saya ketika di hari terakhir kami mengunjungi lokasi-lokasi makam batu yang sekaligus menjadi obyek wisata di Toraja seperti Kete’kesu, Londa dan Lemo. Di akhir perjalanan, kami tertarik dengan potongan ucapan salah satu anggota keluarga mendiang Elisa yang ikut menemani kami. Beginilah kehidupan Toraja, bertahun-tahun mencari uang akhirnya hanya dihabiskan dalam sekali waktu yaitu saat Rambu Solo atau pemakaman. Kematian adalah hal yang mewah dengan harapan roh yang meninggal dapat menuju alam baka dengan keceriaan dan ketenangan. Dan itulah bentuk penghomatan terakhir dari mereka yang ditinggalkan.
***
Not only owning a special culture, Toraja is blessed with a fertile land with landscape of hill wall which is acted as natural cover. That was my thought on our last day in the land of Toraja when we visited some locations of sarcophagus. These places also become some tourist destinations in Toraja. They are Kete’kesu, Londa and Lemo. At the end of the journey, we were interested in what was said by one of the family members of Elisa who accompanied us. He said, “This is life in Toraja, we spent years to look for money then spent it all at once in Rambu Solo or funeral”. Death is a luxurious with an expectation that the soul of the deceased successfully reach afterlife stage to get happiness and peace. That is the last honor given from the persons who are left behind.


==========

Artikel dan Foto oleh:

Alfian Widiantono Suroso (Aan)
Indonesian-based photographer & volunteer. Sharing the inspirations through images & words. A man who believes, both home and school are everywhere.


Sumber: Artikel ini sebelumnya telah diposting oleh Penulis di blog pribadinya [aansmile.wordpress.com] dengan judul sama TORAJA, HIDUP UNTUK MEWAHNYA KEMATIAN (LIFE FOR A LUXURIOUS DEATH). Guna menyebarkan informasi tentang salah satu khasanah budaya Nusantara yakni budaya Toraja, maka artikel ini kami posting kembali.


Terimakasih kami kepada Penulis. :)

Semoga bermanfaat...