Showing posts with label Tentang Toraja. Show all posts
Showing posts with label Tentang Toraja. Show all posts

Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan

Selamat berjumpa kembali Sangsiuluran Toraja...

Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan
Gambara' Tedong mentombang. Kerbau sedang berkubang. Foto: brommel.net

kita kembali ke topik "Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan"

Seandainya boleh memilih dari sekian arti dan asal kata 'Toraja', saya lebih memilih kata Toraya yang berasal dari dua kata yakni To (Tau) dan Raya (Maraya) yang bisa diartikan sebagai orang-orang 'besar' atau bangsawan. Bukannya keinginan untuk menyebut diri bangsawan, tetapi lebih kepada 'orang besar' tadi. Sebagai seorang anak manusia yang harus siap menghadapi tuntutan jaman untuk tetap berjiwa besar dan menjadi tuan atas dirinya sendiri. Lain dari itu adalah sebuah ketertarikan terhadap sejarah dan legenda yang turun temurun diwariskan melalui budaya tutur tentang keagungan budaya di tanah leluhur. Hmmm cerita panjang yang patut ditelusuri.

Selama ini, Toraja dikenal sebagai salah satu destinasi pariwisata Indonesia dan juga dikenal di dunia bahkan diusulkan untuk masuk sebagai salah satu situs warisan dunia (kebanggan tersendiri sebagai orang Toraja). 

Selain Bali, Toraja juga dikenal sebagai destinasi wisata budaya, adalah ritual-ritual budaya nan unik berbalut nuansa mistik yang tidak dipungkiri sudah menjadi salah satu daya tarik pariwisata Toraja. Selain itu, situs-situs bersejarah seperti pekuburan di tebing batu, rumah adat berusia ratusan tahun, peninggalan megalitik seperti batu simbuang yang sampai hari ini semua itu masih terjaga dan dipertahankan dalam tradisi masyarakat Toraja. Sebuah penghargaan anak cucu terhadap karya keagungan peradaban leluhur.

Nah berikut ini adalah beberapa hal yang membuat Toraja tak terlupakan menurut versi Toraja Paradise;

Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan
Ma'Badong, salah satu ritual dalam upacara Rambu Solo' di Toraja. Foto: Wego 
1) Ritual Budaya Rambu Solo'

Ritual budaya yang satu ini memang berbeda dengan yang lain, Rambu Solo' selalu meninggalkan banyak 'kenangan' baik itu asam _seperti katapi_ atau manis _susi golla-golla_. Seluruh keluarga (kecuali yang berhalang hadir), sanak famili, kerabat dekat maupun jauh, berkumpul bersama untuk mengadakan ritual pemakaman paling meriah ini. 

Masih utuh dalam ingatan, saat malam di lantang menyaksikan to ma'badong atau sekedar mendengarkan cerita orang-orang tua dulu, mulai dari rentetan silsilah, sejarah perang (kisah to balanda dan dai nippon cukup menarik), hasil panen, cerita rakyat, kisah legenda (biasanya dipermanis dengan bingkai mistik) sampai panggung politik tak luput jadi bahan obrolan. Tuak dan kopi Toraja juga tak mau ketinggalan ditambah cemilan tradisional cukup mampu membentengi tubuh dari serbuan hawa dingin khas pegunungan Toraja, dan jangan lupakan peran Sambu' Lotong... 

Ritual Rambu Solo' di Toraja, menjadi salah satu magnet terbesar turis mancanegara maupun turis domestik. Disebut juga Aluk Rampe Matampu, Rambu Solo' merupakan ritual pemakaman orang Toraja yang identik dengan mengorbankan hewan ternak seperti babi atau kerbau (biasanya dalam jumlah besar) kepada arwah leluhur atau orang yang meninggal dunia. 

Ritual adat tersebut biasanya berlangsung meriah dan menguras materi. Pihak keluarga akan berusaha keras mengumpulkan semua 'keperluan' agar mereka bisa menyelenggarakan ritual Rambu Solo', sebab Rambu Solo' adalah salah satu bagian utama dari siklus hidup masyarakat Toraja. Rambu Solo' juga dianggap sebagai bentuk tanggung jawab keluarga terhadap orang yang sudah meninggal. 

yaah, meski sering menimbulkan banyak pro dan kontra terutama budaya Pantunu/Mantunu (menyembelih hewan ternak dalam jumlah besar, biasanya saat ritual Rambu Solo'). Namun itulah Toraja, tetap menjaga tradisi yang sudah mengakar selama ratusan tahun. Kematian adalah sesuatu yang mewah di Toraja (baca disini)

Berlandaskan kearifan nenek moyang dan diwariskan dari generasi ke generasi, tentunya budaya Toraja tidak akan luntur hanya karena persepsi segelintir orang. Segelintir orang yang pastinya termasuk beberapa generasi muda Toraja, dengan pendidikan yang lebih baik serta pemahaman peradaban modern menganggap ritual budaya di Toraja sebagai pemborosan, kekerasan terhadap hewan, termasuk juga mengkafirkan Aluk Todolo (kepercayaan leluhur Toraja) atau 'dipaksa' masuk sebagai salah satu aliran kepercayaan Hindu Bali, serta banyak pernyataan lain tentang 'buruknya' budaya Toraja yang terus menggerus eksistensi jatidiri orang Toraja.

Budaya Toraja bukanlah budaya yang baru dilahirkan dan akan mati muda. Sebagai bukti, aturan adat Toraja (meski sebagian besar hanya diwariskan melalui budaya tutur) sudah jauh ada sebelum budaya modern dan agama-agama impor berkembang di Toraja. Tetapi aturan adat itu tetap hidup dalam keseharian masyarakat Toraja, terus beradaptasi dan tidak kehilangan jatidirinya ditengah gempuran peradaban modern. 

Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan
Deretan Tongkonan Karuaya, salah satu kompleks Tongkonan di Toraja. Foto: Iqbal Kautsar
2) Rumah adat Tongkonan

Tidak jarang kita mendengar bila sesama orang Toraja bertanya dari Tongkonan mana? yaa Tongkonan merupakan akar silsilah rumpun keluarga orang Toraja. Jadinya miris bila generasi muda Toraja melupakan atau pura-pura lupa asal usul leluhur keluarganya.

Seni arsitektur yang masih tradisional ini menurut tradisi lisan masyarakat Toraja meyakini bahwa bentuk itu dilatarbelakangi awal datangnya leluhur orang Toraja dengan menggunakan perahu. Bentuk perahu itulah ilham pembuatan rumah Tongkonan, sehingga bentuk atapnya menjulang ke depan dan ke belakang. Rumah adat berbentuk perahu ini biasa juga disebut Lembang (masih ingat lirik lagu Toraja; "garagan ki' Lembang Sura', lopi di maya-maya")

Rumah adat khas Toraja ini, selain berfungsi sebagai tempat tinggal, juga mempunyai fungsi dan peranan serta arti yang sangat penting dan bernilai tinggi dalam kehidupan masyarakat Toraja. Tongkonan, bangunan dengan atap berbentuk perahu ini dianggap sebagai pusaka warisan dan hak milik turun temurun dari orang yang pertama kali membangun Tongkonan tersebut. 

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan rumah adat ini sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja. Kata Tongkonan berasal dari kata “Tongkon” (duduk_berkumpul) mengandung arti bahwa rumah Tongkonan itu ditempati untuk duduk mendengarkan serta tempat untuk membicarakan dan menyelesaikan segala permasalahan penting dari anggota masyarakat dan keturunannya.


Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan
Kubur batu Lemo, salah satu kompleks pemakaman di tebing batu Toraja. Foto: Mezak Yapin
3) Kubur di Toraja

Di Toraja, areal pekuburan punya daya tariknya tersendiri. Kubur-kubur unik orang Toraja menawarkan citarasa wisata yang berbeda dengan destinasi wisata lain di Indonesia, diantaranya liang kuburan di tebing-tebing batu, kuburan bayi di batang pohon, dan model-model pekuburan yang lain. Mungkin bagi sebagian orang kuburan itu menyeramkan, tapi di Toraja kuburan malah ramai dikunjungi setiap tahunnya. 

Bahkan di saat-saat tertentu, keluarga dari yang dikuburkan membuka kubur tersebut baik untuk sekedar menjenguk maupun membersihkan dan mengganti pakaian anggota keluarga yang dikuburkan. Ritual mengganti pakaian leluhur yang sudah dikuburkan ini disebut Ma'nene'.

Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan
Harmoni alam dan budaya. Museum Ne' Gandeng, Toraja Utara. Foto: Mezak Yapin
4) Harmoni Alam Pedesaan, Budaya dan Masyarakatnya

Hal-hal menarik dan tak terlupakan di Toraja bukan hanya ritual pemakaman dan wisata kuburan. Bentang alam Toraja juga mampu menyuguhkan panorama nan eksotik yang memanjakan mata, tak perlu banyak bersolek untuk memikat wisatawan. 

Di Toraja, terutama di pedesaan, petak-petak areal persawahan hijau membentang ada pula yang behimpit meramping di punggung perbukitan dialiri sungai kecil seperti sebuah simpul yang menambatkan hati saya agar selalu mengingat betapa besar anugerah sang pencipta. 

Budaya siangkaran sipakaboro' telah mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional Toraja. Akar budaya yang mewariskan senyum keramahan kepada semua yang hidup, bentuk ketulusan yang jauh dari sekat-sekat gengsi kemapanan ala komunitas perkotaan. 

Juga slogan Sipamisa', Sang Torayan, Solata, dll, menjadi ikatan pemersatu etnis Toraja, baik di kampung halaman maupun di tanah rantau. 

Singkatnya Toraja adalah perpaduan yang harmonis antara keindahan alam dan masyarakat yang berbudaya. Sebuah pelukan hangat yang membekas dan tidak terlupa.

Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan
Pa'piong, Tollo' Lendong dan lada Katokkon. Foto: ist
5) Kuliner Khas Toraja

Setiap orang punya selera masing-masing untuk urusan kuliner. Bagi saya sendiri Pa'piong Bulunangko dan Tollo' Lendong dengan bumbu Pamarrasan menempati peringkat utama dan tiada duanya (ya iyalah, adanya cuma di Toraja). Kedua masakan ini bisa dipadukan dengan nasi jagung (bassang dalle). hmmm jadi lapar, manasu mo raka Indo'...?

Untuk selera makanan ringan, deppa tori' dan la'pa' dua' kayu memberi rasa manis di lidah dan ingatan saya. 

Tapi ada salah satu bumbu dalam campuran kuliner Toraja yang membuat saya sulit melupakan kampung halaman, lada katokkon itu pedisnya bikin trauma...! 

Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan
Contoh produk kopi Toraja dalam kemasan.
6) Kopi Toraja

Berawal dari tangan para petani di pegunungan Toraja, hingga tersebar di seluruh dunia, kopi Toraja telah meninggalkan jejak-jejak aroma kebanggan bagi negeri ini. Menikmati kopi Toraja di tempat asalnya usai menjelajah alam Toraja yang indah permai tentunya menjadi keinginan para penikmat kopi. 

Bayangkan minum kopi Toraja di pelataran Tongkonan pada sore hari, sambil memandangi barisan perbukitan nan hijau serta hamparan persawahan yang mulai menguning, anak-anak kecil yang masih asik bermain, petani yang kembali pulang, kerbau dan babi yang mulai berisik di kandang, nyanyian burung-burung berpadu senandung rumpun bambu, aah... biarkan imajinasi lepas tanpa batas menuju negeri dongeng. Atau lebih tepatnya kepingan surga di jantung Sulawesi.  

Kopi Toraja merupakan kopi jenis Arabica yang punya karakteristik sendiri, coba menikmatinya tanpa menggunakan gula atau pemanis, kita akan merasakan rasa gurih yang jarang ditemukan dalam kopi-kopi lokal di daerah lain. Rasa gurih ini merupakan salah satu ciri khas utama kopi Toraja yang membuat orang ketagihan menikmati kopi ini. 

Kopi Toraja merupakan komoditas yang patut diperhitungkan, Jepang dan Amerika merupakan negara utama pengimpor kopi ini. Bahkan di Jepang, merek dagang kopi Toraja sudah dipatenkan oleh Key Coffee. Di beberapa kafe-kafe di dunia punya kelasnya sendiri dengan harga jual yang tentunya tidak murah. Sayangnya harga yang berkelas itu tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani kopi di tempat asalnya.  


Gambaran di atas hanya secuil kisah tentang Toraja. Akan lebih indah bila anda menyaksikan dan mengabadikannya sendiri.

Bonus: 
Foto: @sanggar_tari_dilangi

Hal-hal Tentang Toraja yang Tidak Terlupakan
sekian dan terimakasih

Bila ada diantara pembaca yang budiman memiliki pendapat berbeda atau sekedar ingin menambahkan silahkan dititipkan pada kolom komentar yang tersedia dibawah postingan ini. 


Semoga bermanfaat, Salam.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata [Bag.II]


Londa; Wisata Makam dan Tulang Belulang

Hari baru dimulai saat saya mengunjungi kompleks makam Londa. Obyek andalan Toraja ini hanya didatangi lima turis, sudah termasuk saya dan fotografer. Saya melewati sejumlah keranda dan tabela berukir yang dipenuhi tulang-belulang, lalu memasuki gua alami di rahim tebing batu. Penjaga makam menyulut petromaks dan mengantarkan saya memasuki lorong yang penuh liku. Panoramanya mencekam. Sisa-sisa jasad bertaburan...

Londa bagaikan sebuah sarkofagus gigantik. Saya mesti berhati-hati saat melangkah atau berpegangan pada dinding, seraya berharap petromaks tidak tiba-tiba padam kehabisan minyak. Langit-langit kemudian merendah hingga saya mesti merangkak. “Bagaikan beruang yang berpura-pura menjadi laba-laba,” tulis Lawrence Blair dulu saat memasuki makam di Toraja.

Dalam sebuah brosur kapal pesiar, Londa dipromosikan sebagai tempat yang menawarkan sensasi petualangan Indiana Jones. Di dalam gua, atmosfernya memang menegangkan. Tapi di luar, Londa adalah sebuah obyek yang dikemas rapi.

Di sekitar mulut gua, ada jalan setapak berbahan semen, toilet umum, beberapa tempat duduk. Sejauh mana kita boleh memodifikasi petilasan tua atas nama kenyamanan? Pertanyaan saya mungkin berlebihan. Keluar dari gua, lagu If Tomorrow Never Comes berkumandang dari toko suvenir dan memantul-mantul di dinding kapur.

Di atas mulut gua, tau-tau berbaris rapi seperti para bangsawan di balkon istana. Berbeda dari tau-tau yang dijual di Eropa, wujud mereka lebih modern. Dulu, totem ini lebih simpel: bertubuh gelap, memiliki iris kecil, berbalut kain polos. Dulu juga, tangan kanannya menengadah sebagai simbol kesejahteraan bagi keluarga yang ditinggalkan, sementara telapak kirinya menghadap ke sisi dalam sebagai tanda perlindungan. Setelah zaman jauh bergulir dan selera berubah, tau-tau dipahat lebih riil, lebih mirip manusia, sampai-sampai wajahnya tertangkap face detector kamera. Mereka tak ubahnya patung lilin di Madame Tussauds. Filosofi lama yang kaya makna, tergeser. Betapa Toraja telah berubah.
Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Gua-gua alami yang banyak tersebar di Toraja. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Rantepao; Salib Raksasa, Jalanan Rusak dan Kopi

Saya kembali mengarungi jalan. Di Rantepao, salib raksasa menjulang di atas bukit, seolah hendak membaptis kota ini dalam sinar Tuhan. Kota tetangga, Makale, sedang membangun patung Yesus. Jauh di kaki monumen-monumen suci itu, jalan-jalan rusak dan sampah berserakan.

Di Hotel Pison, saya berhenti untuk menyeruput kopi. Berbeda dari kopi Gayo yang menyetrum mata, kopi Toraja menyulut suasana melankolis, seolah merayu kita untuk mencomot buku dan merebahkan tubuh. “Lebih enak jika dibiarkan sejenak di cangkir. Mirip kain luntur yang dicelupkan ke ember, biarkan sampai lunturnya hilang,” jelas Eli, perintis Kaana Toraya, merek dengan status kultus di kalangan penggemar kopi. Dia memakai kata “Toraya,” istilah lawas yang hanya digunakan oleh sesama orang lokal.

Biji-biji kopi terbaik dipetik dari Perbukitan Awan dan Sapan. Dua perusahaan asing sudah lama mengeruk uang di sana. Di luar kopi, Toraja praktis tak punya mesin ekonomi yang mumpuni. “Tidak ada industri di Toraja. Hanya ada kopi,” ujar Aras Parura, seorang pemilik kafe di Rantepao. Fakta itulah yang menurutnya memicu gelombang eksodus warga, terutama di kalangan kaum terdidik yang menikmati berkah program Repelita Orde Baru.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Kalung tradisional yang terbuat dari taring babi atau hewan lain. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Perantau Toraja; Golongan Kaya Baru, Godaan Senikmat Kopi

Kopi menghangatkan malam-malam dingin, tapi kopi tak cukup memuaskan para sarjana muda yang penuh mimpi. Di saat yang bersamaan, investasi asing merambah Kalimantan, Papua, dan Jawa. Lapangan kerja terbuka lebar. 

Suku Toraja, kaum yang percaya leluhur mereka diturunkan dari bintang-bintang di angkasa, mendadak menemukan sumur uang baru untuk hidup mereka di dunia. 

“Penduduk Toraja paling 500 ribu,” kata Aras lagi, “tapi yang tinggal di luar lebih dari satu juta jiwa.” Tradisi merantau melahirkan golongan kaya baru. Di kampung halaman, kisah-kisah mereka menyebar secepat gosip artis. Godaan migrasi menular dari mulut ke mulut. 

Rumput tetangga terlihat semakin hijau. Anak-anak pun menghampiri bapaknya. Tetangga menyusul tetangga. Bagi mereka yang berada di kasta budak, merantau punya insentif yang lebih sukar ditampik: solusi untuk membuka lembaran baru di negeri seberang sebagai “orang merdeka.”

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Kristen adalah agama mayoritas di Toraja meski mereka memiliki agama tradisional Aluk Todolo. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Perantau Toraja; Masuknya Injil, Pergeseran Nilai Budaya & Negosiasi Status Sosial

Dampak merantau juga menyentuh domain ritual. Lagi-lagi, kita bisa melihatnya pada Rambu Solo. Ritual suci ini kerap berubah menjadi ajang unjuk kekayaan. Golongan kaya baru berusaha mendaki tangga mobilitas sosial dengan royal membeli kerbau, membangun Tongkonan, bahkan kasta. Status bangsawan yang tadinya diwariskan lewat jalur darah, kini hendak didapuk lewat lembaran rupiah. Tapi Rambu Solo semacam itu jauh dari ekspektasi turis. Mereka datang untuk menonton upacara yang digelar masyarakat tribal keturunan langit, bukan seremoni mewah yang didanai oleh kaum diaspora yang datang mengendarai Rubicon dan menggenggam iPhone. Betapa Toraja telah berubah. Toraja “dataran tinggi yang sakral,” tulis sebuah semboyan wisata.

“Salah satu penyebab utama perubahan adalah masuknya Injil,” kata Eric Crystal Lantang. “Aturan Aluk To Dolo dan dogma Injil kerap berbenturan.” Eric, seorang penganut Kristen, adalah keturunan dari raja besar Puang Sangalla. Dia menilai masuknya Injil lebih dari 100 tahun silam telah menggeser sendi-sendi budaya lokal. Dalam banyak catatan, konflik memang pecah antara gereja dan keyakinan pagan. “Pada 1985, sebuah gereja Protestan menyatakan tau-tau adalah sebuah isu besar yang merongrong gereja,” tulis Toby Volkman lagi dalam esainya, Toraja Culture and the Tourist Gaze. Gereja menolak hidup manunggal dengan keyakinan purba. Aluk To Dolo juga kian terjepit setelah pemerintah Orde Baru melakukan “perampingan” religi dengan mengakui hanya lima agama resmi.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Kostum penari tradisional Toraja. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Aluk To Dolo memang akhirnya selamat dari cap sesat usai dikategorikan sebagai “cabang” dari Hindu Bali, tapi proses desakralisasi sudah terlanjur bergulir dan adat kian tergerus. Eric, yang namanya diambil dari seorang peneliti Amerika, kini berusaha menjadi penengah antara agama samawi dan kepercayaan leluhurnya. Babad monarki sudah lama ditutup, tapi peran sosialnya sebagai bangsawan belum rampung. Melalui mimbar gereja, Eric mengajak warganya menyudahi benturan antara ajaran Kristen dan Aluk To Dolo. Dia percaya, solusi kompromi bisa tercipta di antara kedua kubu. “Dulu, tau-tau dilarang karena dianggap penyembahan terhadap berhala,” ujarnya. “Saya lalu jelaskan, tau-tau tak ubahnya foto, tapi tiga dimensi. Tujuannya untuk mengenang almarhum, bukan untuk disembah.”

Di Toraja, adat bagaikan kumpulan kaidah lawas yang rapuh. Tafsirnya ditentukan oleh generasi sekarang, oleh orang-orang yang menatap dunia dalam kacamata modern. Pertanyaannya, ketika banyak tau-tau lenyap, pastor memimpin ritual adat, budak duduk sederajat dengan bangsawan di bangku sekolah, dan atap Tongkonan diganti seng, masih relevankah Toraja “menjual” eksotisme budaya?

Barangkali saya yang keliru mencerna zaman. Toraja adalah sebuah kebudayaan yang bergerak, sebuah “living villages” tulis Kathleen Adams dalam Cultural Commoditization in Tana Toraja. Tak mungkin bagi kita mengharapkan Toraja membeku dalam waktu layaknya sebuah artefak dari zaman purba. Lagi pula, kebudayaan Toraja sejak awal tak pernah dikemas sebagai atraksi wisata. Rambu Solo adalah acara privat keluarga. Tau-tau juga milik keluarga, begitu pula makam dan Tongkonan. Orang Toraja berhak memutuskan sejauh mana mereka hendak mengubah apa yang mereka punya.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Staf Toraja Heritage Hotel di tepi kolam dengan latar struktur berarsitektur tongkonan yang berisi kamar tamu. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Semangat Baru Pariwisata Toraja

Namun, bukan berarti harapan sudah pupus bagi pariwisata. Asa masih ada. Dalam transisi besar yang membasuh dataran tinggi ini, turis menangkap pesona lain yang selama ini terpinggirkan oleh tema-tema besar “kematian.” Sebuah survei yang didukung LSM Swisscontact pada Agustus 2014 mendapati, turis justru mencantumkan “alam” sebagai daya tarik terbesar Toraja. Prosesi kematian yang selama ini menjadi mantra pemikat, jatuh ke peringkat kedua. Pelancong ternyata lebih menyukai lanskap elok yang terhampar di balik Tongkonan dan tebing-tebing makam.

Swisscontact hadir di Toraja guna mendukung kinerja DMO (Destination Management Organization), semacam tourism council yang beranggotakan para pemangku kepentingan lokal. Luther Barrung, mantan Direktur Pemasaran Kementerian Pariwisata, didaulat sebagai pemimpinnya. Generasi muda seperti Yohan Tangkesalu, General Manager Misiliana Hotel, duduk di struktur pengurus. Bahkan figur bersuara lantang sekaliber Eric Crystal turut terlibat. Setelah sekian lama didikte oleh suku tetangga mereka di selatan, nasib pariwisata Toraja kini berada di tangan warganya sendiri.

Selain survei, DMO merumuskan logo baru pariwisata. Tahun ini, mereka bakal mengikuti bursa pariwisata di Bali, melakukan pemetaan ulang obyek, menciptakan situs wisata, juga mencetak peta dan brosur-brosur baru. “Diversifikasi produk kini sedang digarap. Toraja butuh banyak inovasi baru,” ujar Tri Laksono, Project Officer for Destination Development Swisscontact.

Di bawah panji DMO, Toraja bersiap menulis lembaran baru: menjadi destinasi bagi para petualang alam, bukan cuma peziarah. Kelak, turis melancong ke sini bukan semata untuk menonton Rambu Solo atau menembus gua makam, melainkan untuk menjelajah sawah, trekking ke kebun kopi, atau bermain arung jeram. Awalnya bersandar pada kematian, Toraja kini berharap pada kehidupan —pada padi yang tertiup angin, biji-biji kopi yang ranum, sungai yang tak lelah mengalir.


Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Bus eksklusif yang melayani transportasi dari Makassar ke Toraja. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Bagaimana Menuju Toraja;

—Rute
Toraja bisa dijangkau dari Makassar dengan menaiki bus. Salah satu operatornya, Primadona (Jl. Perintis Kemerdekaan Km.13, Ruko Bukit Khatulistiwa Blok B/8, Makassar; 0811-4497-212), memiliki bus mewah dengan kursi yang menyerupai kelas bisnis pesawat. Ada dua jadwal keberangkatan: pukul 21:00 dan tiba pukul 06:00, atau pukul 09:00 dan tiba pukul 18:00. Pesawat sebenarnya tersedia, tapi jadwalnya kadang direvisi mendadak. Aviastar (aviastar.biz) melayani penerbangan dari Makassar menuju Bandara Pongtiku dua kali per minggu.

—Penginapan
Selain menawarkan 134 kamar yang disebar dalam bangunan berbentuk tongkonan, Toraja Heritage Hotel (Jl. Kete Kesu, Rantepao; 0423/211-92; toraja-heritage.com) memiliki kolam renang yang fotogenik, serta menawarkan akses mudah ke desa-desa adat. Berdiri di atas lahan seluas delapan hektare, Misiliana Hotel (Jl. Pongtiku 27, Rantepao; 0423/212-12; torajamisiliana.com) menaungi dua kolam renang, ballroom, restoran, spa, serta 98 kamar. Hotel ini juga menawarkan pengalaman homestay: menginap di tongkonan tua yang telah disulap menjadi suite.

—Makan & Minum
Restoran terbaik umumnya hanya terdapat di hotel. Salah satu yang berhasil menembus dominasi itu adalah Mambo (Jl. DR. Sam Ratulangi 34, Rantepao; 0423/211-34; mamborestaurant.co), restoran yang menyuguhkan beragam menu, termasuk masakan lokal pa’piong dan pamarrasan. Sarang hangout populer di kalangan turis, Café Aras (Jl. A. Mappanyukki 64, Rantepao; 0823-9627-5688), menawarkan bangunan yang sejuk di tengah kota Rantepao yang bising. Bagi penikmat kopi, dua tempat yang layak didatangi adalah Warung Kopi Toraja (Jl. Poros Makale, Rantepao; 0852-4824-7654) dan Hotel Pison (Jl. Pongtiku 2 No.8, Rantepao; 0423/213-44).

—Aktivitas 
Situs-situs tua masih menjadi obyek andalan di peta wisata. Untuk menyaksikan menhir, pergilah ke Rante Kalimbuang di Bori’. Di Londa, kita bisa memasuki makam gua, sementara di Lemo kita bisa menyaksikan tau-tau dalam desain orisinal. Kampung adat yang paling tersohor, Kete’ Kesu’ lazim dijadikan tempat upacara-upacara besar. Dibandingkan desa adat lain, Buntu Pune’ relatif masih autentik. Kala di sini, carilah Marla, sarjana arkeologi yang lancar bercerita tentang kebudayaan Toraja, termasuk tentang benteng di samping desanya.

Desa-desa tenun terpusat di sisi timur laut, salah satunya Sa’dan To’ Barana. Bawa uang tunai jika ingin berbelanja. Jika ingin menyerap panorama Toraja yang paling karismatik, pergilah ke Batutumonga. Bawalah sepatu trekking, karena Anda pasti tergoda untuk mengarungi sawah dan lembah hijaunya.

—Informasi 
Menyewa pemandu adalah metode terbaik. Tapi jika ingin berwisata secara mandiri, Anda bisa menyewa mobil, kemudian menggali informasi dari pihak DMO (visittoraja.com) atau Swisscontact (Jl. Makula’ Tampo, Sangalla, Makale Utara; 0423/264-43; swisscontact.or.id). Peta wisata baru belum dicetak, tapi versi lamanya masih tersedia di kantor Dinas Pariwisata Toraja Utara (Jl. Ahmad Yani 62A, Rantepao; 0423/212-77). Rambu Solo umumnya digelar di tengah tahun. Upacara kematian ini menampilkan prosesi pengorbanan kerbau dan babi. Tamu sepatutnya memberikan sesuatu kepada keluarga almarhum. Idealnya, berupa seekor babi, tapi kita bisa menggantinya dengan satu slof rokok atau beberapa kilogram gula pasir. Siapkan pakaian hitam jika ingin hadir.


____________________

Oleh: Cristian Rahadiansyah

Foto oleh: Suryo Wibowo




Sumber: DestinAsian

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata [Bag. I]

Lama meredup di peta wisata, Toraja kini hendak memulihkan pamornya sebagai destinasi favorit. Ritual kematian tak lagi menjadi mantra utama.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata

Banyak orang Toraja masih menyalahkan Bom Bali sebagai pangkal jatuhnya industri pariwisata. Tapi, saat Bali kian pulih dari duka, Toraja masih berlinang air mata. Apa yang salah? Juni adalah bulan yang penuh darah. Banyak desa sibuk menggelar upacara kematian Rambu Solo. Ternak hilir mudik. Orang-orang berbusana hitam berkeliaran. Amis darah menjalar di udara.

Bulan ini, Toraja adalah tempat yang mengingatkan kita betapa singkatnya hidup. Di kampungnya, Pak Almen sedang menggelar Rambu Solo bagi ibunya yang meninggal enam bulan silam. Berapa harga yang harus dibayar untuk sebuah kematian? Berliter-liter air mata,  atau barangkali kerinduan yang tak berujung? Di Toraja, orang mesti membayar lebih. “Selusin kerbau dan ratusan babi,” jawab Pak Almen.

Di Toraja, kematian seseorang bisa membiayai kehidupan orang lain selama setahun. Atau mungkin bertahun-tahun. Di pasar ternak, babi dibanderol antara Rp1-3 juta. Kerbau jauh, jauh lebih mahal, mulai dari Rp30 juta hingga menembus Rp1 miliar, tergantung dari jumlah user-user bulunya, corak tubuhnya, juga tentu saja, bobotnya. Di kawasan dengan pendapatan per kapita di bawah Rp15 juta ini, kematian jelas peristiwa yang boros. Pak Almen terpaksa memakai tabungan dari hasil kerja kerasnya merantau ke Bekasi selama 10 tahun.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Warga lokal yang ramah menyambut turis. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Saya memberikan satu slof rokok kepada si pemilik hajat. Sesuai tradisi, pelayat sepatutnya menghibahkan sesuatu kepada keluarga almarhum. Pak Almen mempersilakan saya duduk dan menyuguhkan makanan. Untuk orang yang sedang berkabung, dia sangat murah senyum, bahkan usai mengetahui saya tengah melanggar banyak norma adat. Toraja mengenal sistem kasta dan orang seperti saya berada di dasar piramida. Saya masuk ke arena upacara dari jalur tengah, lalu duduk di sisi depan lumbung dan membiarkan kedua kaki bergelantungan di atas tanah. Tempat saya duduk sebenarnya dikhususkan bagi para bangsawan. Di sini, kita diwajibkan duduk bersila.

Rambu Solo adalah upacara yang memancing mual. Usai rapalan doa dari pastor, satu per satu babi dan kerbau “dieksekusi” di padang rumput memakai metode yang membuat kaum penyayang hewan pingsan di tempat. Babi ditusuk perutnya. Kerbau ditebas lehernya. Seperti film Slasher dalam versi riil.

Menjelang tengah hari, padang rumput berubah merah. Tapi saya masih menonton, tertegun di tempat. Sejak kecil saya suka menonton prosesi Idul Adha. Tak jelas mengapa peristiwa berdarah kerap menyedot mata. Orang-orang hobi mengerubungi korban kecelakaan. Adegan buaya menerkam zebra diulang-ulang di televisi. Mungkin benar, sadism memiliki pesonanya sendiri.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Kerbau memegang peranan penting dalam upacara tradisional di Toraja. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Benarkah Rambu Solo sadis? Melihat Lebih Luas

Rambu Solo bukan semata soal tebas-menebas. Ia bukan tontonan semacam Tauromachia di mana matador berdansa dengan banteng sembari menusukkan pedang berulang kali demi mendulang tepuk tangan. Bagaikan Idul Adha versi Toraja, pengorbanan ternak Rambu Solo menyimpan filosofi sosial yang luhur. Daging babi dan kerbau dibagikan kepada para keluarga dan tetangga. Orang-orang “kiri” mungkin akan menyebutnya sistem “redistribusi kekayaan.” 

Berkat sistem “barter sosial,” Rambu Solo juga bagaikan tali yang menyambung silaturahmi. Jika Anda mendonasikan seekor babi, kelak Anda menerima “hadiah” serupa saat berkabung. Di Toraja, di mana mayoritas orang merantau ke luar pulau, Rambu Solo adalah momen pengikat keluarga-keluarga yang terpisah jarak. “Hari upacara sengaja ditetapkan pada tengah tahun supaya keluarga bisa memanfaatkan liburan sekolah,” ujar Pak Almen yang mengenakan peci walau sebenarnya telah lama memeluk Kristen, agama mayoritas di Toraja.

Rambu Solo telah lama menjadi magnet Toraja. Upacara kematian ini adalah jendela ideal untuk melihat kultur Toraja, sebuah dataran tinggi di Sulawesi di mana tradisi megalitik Austronesia masih berdenyut. Di sini, mati bukanlah pemberhentian terakhir. Jenazah akan terlebih dulu diawetkan di rumah untuk disapa sanak famili. Setelah dimakamkan, keluarganya membuatkan versi patungnya (tau-tau), yang kemudian dipajang di tebing-tebing tinggi.

Jika ia berstatus bangsawan, setonggak menhir mungkin akan ditanam untuk mengenangnya. Suatu hari nanti, mayat akan dikeluarkan dari liang lahad, dibersihkan, dikenakan baju baru, dan keluarga kembali berkumpul. Di Toraja, almarhum seolah tak pernah benar-benar wafat. Siapa yang tak senang mengetahui bahwa kita tak begitu saja dilupakan, bahkan setelah mati?

Mengendarai motor, saya meniti jalan-jalan sempit penuh meander dan lubang. Acap kali lubang terlalu dalam hingga bodi motor terantuk. Hanya panorama menawan yang membuat saya berhenti mengeluh. Di kedua sisi jalan, sawah melapisi lembah seperti permadani. Di lereng-lereng, gereja putih bertengger, dihubungkan oleh jalan setapak berliku yang menyerupai ular cokelat di padang hijau. “Istilah hijau royo-royo paling sempurna, ya di Toraja,” ujar Trinity, seorang penulis buku travel.

Sampai di puncak Batutumonga, lanskap Toraja tampak seperti lukisan Mooi Indie dalam arti harfiah. Di kejauhan, perbukitan batu berbaris seperti punggung naga. Di kakinya, sungai sebening vodka meluncur menerjang bebatuan. Dari tempat saya berdiri, Toraja bagaikan gadis cantik berbalut tenun yang berjalan gemulai melewati pematang.

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Tanduk-tanduk kerbau yang menjadi hiasan di rumah Tongkonan. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Menengok sejarah, Rambu Solo jugalah yang memperkenalkan Toraja pada dunia. Syahdan, pada 1972, upacara kematian seorang raja digelar besar-besaran. Puang Sangalla disebut-sebut sebagai raja besar terakhir yang berdarah murni. Lebih dari 400 turis datang, termasuk tim dari National Geographic, serta duet Lawrence dan Lorne Blair yang sedang mendokumentasikan Indonesia dengan disponsori BBC dan Ringo Starr. “Upacara kematian Puang adalah ajang media internasional pertama. Rekamannya ditayangkan oleh televisi di sejumlah negara Eropa,” tulis Toby Volkman dalam Tana Toraja: A Decade of Tourism.

Sejak itu, industri pariwisata merekah. Pada 1976, sekitar 12.000 turis melawat, walau di masa itu perjalanan ke Toraja belum menjanjikan kenyamanan. Kakak beradik Blair misalnya, menghabiskan 14 jam berkendara dari Makassar dengan menaiki jip tentara. Perjalanannya menegangkan.

Di jalur rawan begal ini, wajar bagi sopir untuk menganut prinsip “lebih aman melihat daripada terlihat.” Saat mendapati kendaraan lain di kejauhan, lampu-lampu akan dipadamkan, hingga kedua mobil saling bersisian dalam gulita. Begitu tulis Lawrence Blair dalam Ring of Fire.

Memasuki 1980-an, Toraja kian jelas tertera di peta: hampir 200.000 turis datang. Pemerintah menetapkannya sebagai “primadona” Sulawesi. Gambar Tongkonan bahkan dicetak pada lembaran uang Rp5.000. Seiring itu, Toraja menikmati pertumbuhan hotel baru, ruas jalan baru, moda transportasi baru. Berbeda dari duet Blair, saya datang menumpang bus mewah yang sepertinya didesain untuk seorang rock star. Kursinya ditata dalam formasi 2-1 dan dilengkapi pemijat elektrik.

“Bus ini didatangkan dari Swedia,” kata pemiliknya. Pariwisata digadang-gadang sebagai masa depan Toraja. Lewat pariwisata, warga bisa mengail devisa guna menghidupi tradisi, termasuk menjaga rumah adat yang menuntut biaya perawatan tinggi. Lewat pariwisata pula, Toraja berharap mengikis demam merantau yang membuat banyak sawah terbengkalai. Tapi itu dulu. Usai bulan madu tourism boom yang gempita, pariwisata meratap masygul.

Menuju desa tenun Sa’dan, motor saya kembali meraung-raung. Baliho-baliho calon bupati bertaburan menebar janji. Di hadapan wajah-wajah rupawan mereka, jalan berkerawangan seperti papan yang digerogoti rayap. “Dulu, desa ini penuh turis. Saya sampai gak sempat makan,” Ibu Aminah bernostalgia pada masa lalunya yang gemilang. Kini, desanya sepi. Turis hanya datang di bulan-bulan liburan tengah tahun. Desa Sa’dan tidak lagi mencerminkan motif tenun Toraja yang bernyawa. Saya melewati ibu-ibu yang termenung muram, kemudian membayar tiket dan mengisi buku tamu. Turis terakhir datang dua minggu silam. Kemana mereka?

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Pembuat patung tau-tau di kawasan wisata Lemo. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo

Dunia Mengenal Toraja & 'Menghilangnya' Tau-Tau

Upacara kematian Puang Sangalla memang membuka pintu bagi dunia, tapi bukan cuma turis yang datang bertamu. Kolektor mulai merangsek untuk berburu artefak. Target mereka: tau-tau. Pada 1984, persis saat Toraja dideklarasikan sebagai destinasi “resmi” kedua setelah Bali, sebuah tau-tau dijual di sebuah galeri di Paris dengan harga $75.000. Empat tahun sebelumnya, Kompas memberitakan pencurian delapan tau-tau di makam tebing Lemo.

Bagaikan nisan tanpa aksara, tau-tau adalah totem suci yang dipandang sebagai representasi almarhum. “Menjual tau-tau seperti menjual nenek sendiri,” ujar seorang penjaga makam. Maraknya pencurian tak cuma menggemparkan, tapi juga mengherankan. Warga menempatkan makam di tebing-tebing tinggi sebagai respons atas penjarahan di masa lampau. Menjangkaunya butuh keahlian lokal. Siapa maling-maling lihai itu?

“Secara umum diasumsikan tau-tau dicuri dari tebing oleh anak kecil atau saudara dari para keluarga almarhum sendiri. Orang asing, kata warga, tidak bisa mengakses situs-situs pemakaman yang sulit dijangkau,” tulis Toby Volkman dalam jurnal American Ethnologist. Toby juga mengisahkan bagaimana makelar seni Eropa mengutus agen-agen lapangan yang dibekali lensa 300 milimeter untuk memotret tau-tau, kemudian menunjukkan hasilnya ke para kolektor. “Pada 1985, tau-tau, menurut banyak orang Toraja, hampir punah sepenuhnya.”

Raibnya banyak tau-tau mengguncang bisnis pariwisata. Turis datang dan mendapati bahwa tempat terbaik untuk melihat tau-tau bukanlah Toraja, melainkan galeri atau balai lelang di Eropa. Seorang turis Jerman yang kecewa bahkan sempat hendak menuntut Joop Ave, Dirjen Pariwisata kala itu, atas tuduhan promosi palsu.

Dan pencurian masih berlangsung. Di Kete’ Kesu’, kampung adat paling tersohor di Toraja, sebuah toko suvenir memajang beberapa tau-tau di ruangan belakang. Salah satunya terlihat kusam, tercampur tanah, berbaju compeng layaknya mayat yang baru bangkit dari kubur. Replika atau orisinal? Saya tak pandai menghitung umur kayu nangka.

“Usianya lebih dari 100 tahun,” kata si penjual. Saya menanyakan harganya dan si penjual menelepon rekannya, membuat transaksi ini terasa berlapis dan rahasia. “Jika lebih dari 100 tahun, berarti diambil dari makam?” tanya saya lagi berlagak bodoh. Si penjual tersentak, lalu menjawab gagap. Pencurian tau-tau bukan satu-satunya masalah. Industri pariwisata Toraja juga terpukul oleh fenomena global yang tak seorang pun mampu mencegahnya: modernisasi.

Hari baru dimulai saat saya mengunjungi kompleks makam Londa. Obyek andalan Toraja ini hanya didatangi lima turis, sudah termasuk saya dan fotografer. Saya melewati sejumlah keranda dan tabela berukir yang dipenuhi tulang-belulang, lalu memasuki gua alami di rahim tebing batu. Penjaga makam menyulut petromaks dan mengantarkan saya memasuki lorong yang penuh liku. Panoramanya mencekam. Sisa-sisa jasad bertaburan...

Transformasi Toraja; Memulihkan Pamornya Sebagai Destinasi Wisata
Rumah-rumah tradisional yang sempat menjadi primadona pariwisata Toraja. Foto: DestinAsian|Suryo Wibowo



Bagaimana Menuju Toraja; 
—Rute
Toraja bisa dijangkau dari Makassar dengan menaiki bus. Salah satu operatornya, Primadona (Jl. Perintis Kemerdekaan Km.13, Ruko Bukit Khatulistiwa Blok B/8, Makassar; 0811-4497-212), memiliki bus mewah dengan kursi yang menyerupai kelas bisnis pesawat. Ada dua jadwal keberangkatan: pukul 21:00 dan tiba pukul 06:00, atau pukul 09:00 dan tiba pukul 18:00. Pesawat sebenarnya tersedia, tapi jadwalnya kadang direvisi mendadak. Aviastar (aviastar.biz) melayani penerbangan dari Makassar menuju Bandara Pongtiku dua kali per minggu. 
—Penginapan
Selain menawarkan 134 kamar yang disebar dalam bangunan berbentuk tongkonan, Toraja Heritage Hotel (Jl. Kete Kesu, Rantepao; 0423/211-92; toraja-heritage.com) memiliki kolam renang yang fotogenik, serta menawarkan akses mudah ke desa-desa adat. Berdiri di atas lahan seluas delapan hektare, Misiliana Hotel (Jl. Pongtiku 27, Rantepao; 0423/212-12; torajamisiliana.com) menaungi dua kolam renang, ballroom, restoran, spa, serta 98 kamar. Hotel ini juga menawarkan pengalaman homestay: menginap di tongkonan tua yang telah disulap menjadi suite. 
—Makan & Minum
Restoran terbaik umumnya hanya terdapat di hotel. Salah satu yang berhasil menembus dominasi itu adalah Mambo (Jl. DR. Sam Ratulangi 34, Rantepao; 0423/211-34; mamborestaurant.co), restoran yang menyuguhkan beragam menu, termasuk masakan lokal pa’piong dan pamarrasan. Sarang hangout populer di kalangan turis, Café Aras (Jl. A. Mappanyukki 64, Rantepao; 0823-9627-5688), menawarkan bangunan yang sejuk di tengah kota Rantepao yang bising. Bagi penikmat kopi, dua tempat yang layak didatangi adalah Warung Kopi Toraja (Jl. Poros Makale, Rantepao; 0852-4824-7654) dan Hotel Pison (Jl. Pongtiku 2 No.8, Rantepao; 0423/213-44). 
—Aktivitas 
Situs-situs tua masih menjadi obyek andalan di peta wisata. Untuk menyaksikan menhir, pergilah ke Rante Kalimbuang di Bori’. Di Londa, kita bisa memasuki makam gua, sementara di Lemo kita bisa menyaksikan tau-tau dalam desain orisinal. Kampung adat yang paling tersohor, Kete’ Kesu’ lazim dijadikan tempat upacara-upacara besar. Dibandingkan desa adat lain, Buntu Pune’ relatif masih autentik. Kala di sini, carilah Marla, sarjana arkeologi yang lancar bercerita tentang kebudayaan Toraja, termasuk tentang benteng di samping desanya.
Desa-desa tenun terpusat di sisi timur laut, salah satunya Sa’dan To’ Barana. Bawa uang tunai jika ingin berbelanja. Jika ingin menyerap panorama Toraja yang paling karismatik, pergilah ke Batutumonga. Bawalah sepatu trekking, karena Anda pasti tergoda untuk mengarungi sawah dan lembah hijaunya. 
—Informasi 
Menyewa pemandu adalah metode terbaik. Tapi jika ingin berwisata secara mandiri, Anda bisa menyewa mobil, kemudian menggali informasi dari pihak DMO (visittoraja.com) atau Swisscontact (Jl. Makula’ Tampo, Sangalla, Makale Utara; 0423/264-43; swisscontact.or.id). Peta wisata baru belum dicetak, tapi versi lamanya masih tersedia di kantor Dinas Pariwisata Toraja Utara (Jl. Ahmad Yani 62A, Rantepao; 0423/212-77). Rambu Solo umumnya digelar di tengah tahun. Upacara kematian ini menampilkan prosesi pengorbanan kerbau dan babi. Tamu sepatutnya memberikan sesuatu kepada keluarga almarhum. Idealnya, berupa seekor babi, tapi kita bisa menggantinya dengan satu slof rokok atau beberapa kilogram gula pasir. Siapkan pakaian hitam jika ingin hadir.


Oleh: Cristian Rahadiansyah

Foto oleh: Suryo Wibowo



Sumber: DestinAsian

Alam dan Budaya Mamasa, Mengenal Sisi Lain Etnis Toraja

Wanita Mamasa dalam balutan busana adat.

Jejak kebudayaan suku Toraja tidak hanya terdapat di dua kabupaten (Tana Toraja dan Toraja) saja. Salah satunya adalah Kabupaten Mamasa, merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Polewali Mamasa, berdasarkan UU No.11 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Mamasa dan Kota Palopo di Sulawesi Selatan. Wilayah Kabupaten Mamasa memiliki luas 3.005,88 km2. 

Surga Bagi Penggemar Aktivitas Outdoor

Alam Mamasa, surga bagi penggemar aktivitas outdoor.

Di Mamasa ada banyak hal yang menarik untuk dilihat, kota kecil yang sudah menjadi kabupaten ini adalah daerah gunung, hutan dan sungai, juga memiliki ikatan kekerabatan dengan adat/budaya Toraja, tapi  "bukan Toraja pada umumnya".   Mendatangi tempat ini seperti surga bagi yang gemar trekking, hiking, rafting, dan bisa juga mountain-biking, atau mau menjajal bawa mobil via jalan poros Sulawesi yang terkenal dengan jurang dalamnya dan rute yang "hancur". Bagi yang merasa shape-up, dan suka outdoor activities, inilah tempat yang cocok buat mereka. Daerah masih perawan ini nyaris belum di "ubek-ubek" secara membabi buta.

Perjalan kemari cukup lama dan melelahkan. Dari  Makasar larikan mobil kearah kota penghasil beras Pinrang dan tancap terus melalui jalan mulus hingga kekota Polewali (waktu tempuh 5 jam). Rute ini adalah daerah dataran rendah melewati bibir pantai yang berudara panas garang. Setelah lewat Pinrang tetap pacu kendaraan menuju Polewali.  Dari sini, belok masuk menanjak tajam, jalan rusak semi permanen (Oktober 2003) ke Melabu dan terus mentok di Mamasa selama 4 jam lebih . Dengan lama perjalanan seperti itu dan kondisi jalan "hancur" dari  Polewali ke Mamasa, ada baiknya tidak membawa anak kecil karena akan membuat mereka kelelahan dan menderita.

Perjalanan paling berat terasa ketika lepas dari Polewali menuju Mamasa. Panjang jalan yang hanya 90 km itu terasa amat lambat dan cukup berat karena kondisi jala yang tidak bagus. Rute Polewali ke Mamasa juga jarang dijumpai rumah penduduk, tidak ada warung, tidak ada pombensin, dan udara terasa kian dingin dan dingin ketika posisi ketinggian makin naik kepegunungan.Karena itu, sangat disarankan utk mengisi penuh bahan bakar di Polewali sebelum belok masuk.




Hubungan Kekerabatan, Serta Sisi Mistis Mamasa dan Toraja


Selain terkenal dengan alam perawannya dan udara yang dingin menyengat, Mamasa juga dianggap sebagai pusat kekuatan mistik terbesar bagi etnis Toraja. Menurut penuturan, cukup banyak orang Toraja mengakui bahwa mereka segan jika berhadapan dengan kekuatan mistik Mamasa yang dianggap "masih kental" dari apa yang ada dalam khasanah ilmu gaib orang Tator.

Kabar kehebatan mistik orang Mamasa memang kondang, selama disana cerita itu juga terdengar dan diutarakan dengan gaya biasa saja. Salah satunya yang terkenal adalah membangkitkan mayat dari kematiannya dan disuruh berjalan sendiri (memiliki kemiripan dengan cerita mistis mayat berjalan di Toraja).  

Ratusan tahun silam, banyak orang Mamasa pergi merantau memotong gunung dan hutan. Dalam perantauan bisa saja terjadi salah satu kawan dalam perjalanan mendadak meninggal dunia. Karena kondisi alam yg berat melewati hutan dan gunung, maka teman-teman (yang masih hidup) bisa membawa pulang si mati dengan membuat upacara pembangkitan mayat. Dan jadilah mayat itu berjalan sendiri pulang kerumahnya, melewati hutan dan jurang berhari hari !

Sesampainya dikampung halaman, mayat itu disambut dengan upacara tertentu. Setelah itu si mayat didudukan didalam rumahnya hingga beberapa hari kemudian sebelum dikuburkan. 

Urusan "bangkit-membangkitkan" mayat ini bukan cuma kepada manusia saja. Binatang seperti kerbau yang sudah dipotong kepalanya dan dikuliti habis, masih bisa dibuat berdiri dan berlari kencang, mengamuk kesana sini!  Bedanya, jika membangkitkan mayat manusia itu bertujuan untuk kebaikan, sedangkan jika membuat kerbau tanpa kepala mengamuk adalah kerjaan orang berilmu yang iseng hendak mengacau sebuah pesta dirumah orang lain karena dendam pribadi.

Bentuk rumah adat di Mamasa memiliki kemiripan dengan rumah adat yang umum kita saksikan di Toraja.

Motif ukiran pada rumah adat Mamasa.

Sekian semoga bermanfaat. Salam

Sumber: navigasi.net

Referensi:
>  wikipedia
> torajaparadise.com

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Suasana kampung Nanggala di malam hari. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
"Di akhir perjalanan, saya tertarik dengan potongan ucapan salah satu anggota keluarga mendiang. Beginilah kehidupan di Toraja, bertahun-tahun mencari uang akhirnya hanya dihabiskan dalam sekali waktu saat Rambu Solo atau pemakaman. Kematian adalah hal yang mewah dengan harapan roh yang meninggal dapat menuju alam baka dengan keceriaan dan ketenangan." _ Alfian Widiantono Suroso (Aan)

Malam hampir berganti hari, mobil akhirnya sampai di tujuan terakhir. Enggan rasanya  pantat ini beranjak dari kursi akibat lelah menggelayut efek dari perjalanan panjang nonstop, 4 jam Jakarta-Makassar via udara, 10 jam Makassar-Rantepao via bis, dan 45 menit Rantepao-Nanggala via mobil jemputan. Satu-satunya penyemangat bagi Kami untuk bangkit adalah nyala lampu dari susunan bangunan yang bentuknya selalu terbayang di pikiran Saya seharian ini. Tak lama beranjak, akhirnya susunan bangunan dengan kedua ujungnya yang lancip tersaji langsung di depan mata, Tongkonan, rumah adat Toraja. Lelah pun berganti dengan semangat dan rasa penasaran dengan apa yang akan Saya hadapi esok hari.
***
Night was about leaving us. Our car finally took us to final stop for that day. It was very hard for me leaving my seat because I was very exhausted due to our long journey. It was a non-stop trip which spent 4 hours air travel from Jakarta to Makassar, 10 hours Makassar-Rantepao journey via bus, then 45 minutes via car from Rantepao to Nanggala.The last spirit left emerged from lights that was shining from the building of which structures has obsessed my mind all day long. Before long, we officially hopped on in the location where I could enjoy the beauty of Tongkonan, traditional house of Toraja, completed with two sharp and pointed ends. Its beauty was totally successful in spoiling my eyes. My tiredness suddenly disappeared and turned into a blow of spirit which led me to get so excited and curious on things I would get on the next day.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Lakkian, tempat menaruh jeazah sebelum dikuburkan di liang batu. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Ornamen yang menghiasi sisi Lakkian. Foto: Aan
Bersama dua orang rekan, Fatur dan Yoyo, Kami merasa cukup beruntung bahwa perjalanan kami yang pertama kali ke bumi Sulawesi ini bertepatan dengan berlangsungnya Rambu Solo, upacara pemakaman adat khas Toraja. Saat itu di kampung Nanggala tengah diadakan pemakaman bagi Elisa Siman Pongpalita, yang meninggal tahun 2005 lalu pada usia 80 tahun. Mendiang adalah salah satu tokoh masyarakat sekaligus keturunan ke enam Raja Luwu, salah satu penguasa Toraja jaman dulu. Kami datang agak terlambat sebenarnya. Karena acara prosesi yang memakan waktu hampir satu minggu ini sudah berlangsung 3 hari sebelum kami tiba di Nanggala. Akibatnya kami terlewatkan 3 prosesi, pemindahan jenazah dari rumah Tongkonan ke Alang/Lumbung (tempat menyimpan padi) lalu ke Lakkian (tempat khusus menaruh jenazah sebelum dimakamkan) , penyambutan tamu dan Ma’pasilaga Tedong atau adu kerbau. Namun demikian tetap saja kami beruntung karena bisa mengikuti sisa prosesi secara lebih dalam, karena kami tinggal di Lantang , yaitu bangunan yang dibuat khusus untuk para tamu dan keluarga yang menginap dalam rangka menghadiri Rambu Solo ini. Jadi kami memiliki kesempatan untuk mengenal dan memahami budaya Toraja secara lebih mendalam. Semua ini berkat bantuan dari seorang teman, Theresia Kurniasari Pongpalita, yang tak lain adalah cucu mendiang.
***
Together with Fatur and Yoyo, my companions during this journey, we felt lucky enough since this very first journey to Sulawesi gave us chance to look closer at Rambu Solo, Toraja’s traditional funeral ceremony. At that time, there was a funeral ceremony for Elisa Siman Pongpalita at Nanggala village. Elisa passed away in 2005 at the age of 80. The deceased was not only one of community figures but also was the sixth generation of King Luwu, one of the ruler of Toraja in the past time. To be honest, we were a bit late since the ceremony has run for three days before we arrived at Nanggala. That forced us leave three processions includes moving the dead body from Tongkonan to Alang/Lumbung (a place to store paddy), which was followed by moving it to Lakkian. It was a special place to put the dead body before burying it. The procession continued to guest welcoming, and Ma’pasilaga Tedong or buffalo fight. But still above all, we felt so grateful since we’re living in Lantang, a special building for guests and family. It gave us access to experience the rest of the procession to the full. A friend of us namely Theresia Kurniasari Pongpalita, the grandchild of the deceased, gave us a huge help to know and understand the culture of Toraja deeply.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Salah satu kerabat almarhum. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Ma'tinggoro Tedong, tradisi menyembelih kerbau dengan sekali tebas. Foto: Aan
Hari pertama, atau hari keempat rangkaian prosesi, Kami disuguhi dengan prosesi Ma’tinggoro Tedong atau penyembelihan kerbau khas Toraja, yaitu menyembelih dengan parang dan hanya dengan sekali tebas. Sebenarnya bukan hanya kerbau saja yang dikorbankan, tapi ada juga babi. Kerbau dan babi ini adalah persembahan dari keluarga sebagai bentuk persembahan terakhir bagi almarhum. Total ada 17 kerbau dan 3 ekor babi yang dikorbankan, termasuk 1 ekor kerbau belang atau biasa disebut Tedong Bonga. Sekedar diketahui, semakin banyak belangnya, semakin mahal harganya. Kisaran harga kerbau belang bisa mencapi sampai ratusan juta rupiah. Bandingkan dengan kerbau biasa yang berharga sekitar 20 juta. 
***
On my first day, or the fourth day of the series of procession, we watched Ma’tinggoro Tedong procession. It was a procession of buffalo slaughtering. What makes it special is that its way of cutting buffalo’s head. The slaughterer used chopping knife with a single cutting movement. Not only buffalo, pigs are also another animal that could be sacrificed. Buffalo and pig are the form of last tribute for the family for the deceased. There were 3 pigs and 17 buffaloes including one Tedong Bonga, a buffalo with strips over its body. The bigger number of strip existed in the buffalo’s body, the higher price should be paid for it. The price of one Tedong Bonga could be hundreds of millions rupiahs. As a comparison, the price of regular buffalo is about 20 millions rupiahs.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Membersihkan bulu babi dengan cara dibakar sebelum dipotong. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Menguliti kerbau yang sudah disembelih. Foto: Aan
Selanjutnya daging dan organ kerbau atau babi ini dimasak untuk disajikan ke keluarga dan dibagi-bagikan atau dilelang ke para tetangga dan orang-orang yang terlibat dalam acara pemakaman. Yang unik adalah tanduk kerbau yang setelah dibersihkan kemudian dipasang di bagian depan Tongkonan sebagai penanda jumlah kerbau yang dikorbankan oleh keluarga. Semakin banyak tanduk yang dipasang, artinya semakin makmur juga keluarga yang bersangkutan.
***
After being cut to pieces, the organ and meat of these buffaloes or pigs was cooked before it was served to the family. Then, it was given or sold by auction to the neighbours or any other people who were involved in the ceremony. There is a unique thing from this series of procession, related to the use of buffalo’s horn which was placed in the front part of Tongkonan. For sure, the horn was cleaned initially. The point of this part of custom is as indicator to show the number of buffaloes which have been sacrificed by the family. More horns show higher level of family’s wealth.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Anggota keluarga almarhum sedang meratap. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Foto bersama keluarga almarhum. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Ludia Ramma, istri kedua almarhum. Foto: Aan
Hari kedua, atau hari kelima rangkaian upacara sekaligus hari terakhir, berlangsung prosesi penurunan peti jenazah dari Lakkian ke lapangan yang biasanya berada di depan Tongkonan. Peti jenazah ini kemudian dirangkai dengan Lettoan/Duba-Duba, yaitu keranda khas Toraja yang bentuknya mirip atap Tongkonan. Di tengah prosesi perangkaian ini, beberapa anggota keluarga tampak menangis. Dua orang diantaranya bahkan histeris meratap di samping keranda. Ada kejadian langka sebelum prosesi ini berlangsung. Saat itu para keluarga dan orang-orang yang terlibat dalam proses berkumpul di pinggir lapangan dan beberapa orang yang kami yakini tokoh masyarakat setempat bergantian berorasi dalam bahasa Toraja. Kami tidak tahu persis apa maknanya, tapi dari teman kami Sari, kami tahu bahwa mereka tengah menyuarakan kegelisahan dan penolakan mereka terhadap pemerintah daerah dan gereja setempat yang melarang adanya prosesi adu kerbau dan adu ayam yang berlangsung selama prosesi Rambu Solo karena dianggap kental berbau judi. Padahal ritual tersebut memang sudah menjadi bagian tradisi Rambu Solo sejak dulu kala.
***
On the second day, which was also the last day in the ceremony, the procession of coffin lowering from Lakkian to the field was held. Most of the time, the field is located in front of Tongkonan. In the middle of the procession, I saw some members of the family were in tears. Two of them even cried hysterically while staring at the coffin. There was a rare moment happened on the procession. At that time, the family and people who were involved in the ceremony gathered at the edge of the field. Some people who we believed as local figures deliver an oration in turn by using local language. It made us have no idea on what they talked about. From Sari, we know that they talked about their worry and rejection to local government and church that prohibit the implementation of chicken or buffalo fight during the procession of Rambu Solo as it indicates gambling activity. This situation is in contrast with their belief which considers it merely as a ritual in parts of Rambu Solo’s tradition.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Proses menurunkan peti jenazah dari Lakkian. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Prosesi saling menarik Lettoan/duba-duba dengan arah berlawanan. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Mengarak Lettoan/duba-duba. Foto: Aan
Peti telah dipasang pada Lettoan/Duba-Duba. Ada satu prosesi unik, yaitu secara beramai-ramai peti jenazah diangkat sementara orang-orang pembawa peti berjingkrak-jingkrak sambil meneriakkan semacam mantra. Sebenarnya rencana awal mendiang akan dimakamkan ke kubur batu. Namun karena kondisi lubang di tebing yang akan dijadikan makam masih kurang memadai, maka peti disemayamkan dulu di Patane, yaitu rumah khusus untuk menaruh peti jenazah. Nanti setelah lubang kubur batu diperbaiki, barulah peti dipindahkan lagi. Peti pun dibawa beramai-ramai dengan dikawal pembawa gong dan umbul-umbul. Orang-orang beramai-ramai berteriak dengan sesekali terjadi prosesi unik yaitu para pembawa Duba-Duba yang jumlahnya banyak itu menarik dengan arah yang berbeda, ke depan dan belakang. Sesampainya di Patane, peti jenazah dimasukkan ke dalam, bergabung dengan lima peti lainnya.
***
There is another unique procession which got my full attention. I was amazed seeing people who lifted the coffin pranced while shouting a kind of spell. The initial plan was burying the body in a sarcophagus. However, the condition of the cliff did not support it at that time. There were holes in the cliff which would be used as the grave. Therefore, the coffin was placed in Patane, a special house to put the coffin. After fixing the holes in the cliff, the coffin will be moved. The coffin was brought by many people who were guided by some people bringing gong and umbul-umbul. Gong is part of Gamelan instruments, a traditional musical instrument made of brass, while umbul-umbul is a kind of flag which is usually used to celebrate special events such as country’s Independence Day. Those people yelled during the procession. I wondered on the thing that they did, especially when they pulled the coffin in some different directions, back and forth. Once they got to Patane, the coffin was placed into the house, together with other five coffins.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Patane, bangunan tempat menaruh peti jenazah. Foto: Aan
Malam harinya, sambil menikmati suguhan kopi toraja, kami mengobrol dengan beberapa anggota keluarga almarhum. Inilah kesempatan untuk mencari informasi. Kenapa harus ada upacara Rambu Solo ini? Itulah pertanyaan pertama yang terlontar. Tidur atau sakit. Ya itulah jawabannya. Meninggal secara medis, bagi tradisi Toraja baru dianggap sebagai tidur atau sakit, sampai keluarga bersangkutan melaksanakan Rambu Solo. Tidak heran, sebelum Rambu Solo diadakan, almarhum masih diperlakukan layaknya orang hidup seperti ditemani, disediakan makan minum dan rokok. Selain itu menurut ajaran Aluk To Dolo (kepercayaan tradisional Toraja), Rambu Solo adalah bentuk penghormatan terakhir bagi anggota keluarga yang meninggal sebelum menuju alam baka.
***
At night, we chatted with some family members of the deceased while enjoying a cup of coffee, special from Toraja. At this moment, we asked some questions to get deeper understanding on their way of life. The first question was why they should hold Rambu Solo. A very short answer came out at that time. They said, ‘sick or sleep’. It might be short but not so simple to understand. For them, someone is considered as dead person only when Rambu Solo is conducted for him or her. When the family has not conducted this procession, it means that they are considered in a condition of ‘sick or sleep’. This belief makes them treat the deceased as if they are alive. They accompany, give food, drink, and even cigarette to them. Besides, according to the lesson from Aluk To Dolo (traditional belief of Toraja), Rambu Solo is a form of last admiration to the family members who passed away before going to afterlife.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Lanskap persawahan di kampung Nanggala. Foto: Aan
Dalam tradisi Toraja sendiri dikenal empat jenis tingkatan Rambu Solo. Dipasang Bongi, upacara yang berlangsung hanya satu malam saja. Dipatallung Bongi, berlangsung tiga malam di rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan. Dipalimang Bongi, berlangsung lima malam di rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan. Terakhir, Dipapitung Bongi, berlangsung selama tujuh malam dengan disertai pemotongan hewan setiap malamnya. Semakin tinggi strata sosial si almarhum, semakin lama waktu prosesinya. Dalam hal ini, pemakaman bagi almarhum Elisa Siman Pongpalita termasuk dalam Dipalimang Bongi.
***
In Toraja’s tradition itself, there are four levels of Rambu Solo. The first is Dipasang Bongi. It lasts only for a day. The next is called Dipatallung Bongi. It last for three days. It was located at the house of the deceased together with the implementation animal slaughtering, meanwhile Dipalimang Bongi, which is almost the same as ‘Dipatallung Bongi’ last for five days. The last is called Dipapitung Bongi, it last for seven days with animal slaughtering done every night. The higher social status, the longer time of the procession it will take. In this case, the funeral of Elisa Siman Pongpalita belongs to Dipalimang Bongi.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Barisan Alang/Lumbung di depan rumah adat Tongkonan di Kete Kesu. Foto: Aan
Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Kubur di tebing batu Lemo. Foto: Aan
Uang dan waktu. Itulah jawaban untuk pertanyaan Kami berikutnya, kenapa Rambu Solo bagi mendiang baru diadakan tahun 2013, berselang hampir delapan tahun sejak almarhum mulai ‘tidur’. Rambu Solo butuh biaya yang banyak. Meskipun keluarga almarhum tidak menyebut secara detil, tapi kami perkirakan untuk melaksanakan Rambu Solo yang sedang kami ikuti ini menghabiskan lebih dari lima ratus juta, bahkan bisa hampir satu milyar. Untuk membuat bangunan dan ornamennya saja menghabiskan empat ratus juta sendiri. Belum lagi hewan persembahan dan biaya operasional selama upacara berlangsung. Ketika uang sudah terkumpul, yang tak kalah sulitnya adalah menemukan waktu yang tepat untuk mengumpulkan anggota keluarga. Hal ini berkaitan dengan adanya ketentuan bahwa semua anggota keluarga wajib hadir ketika Rambu Solo berlangsung. Almarhum sendiri memiliki dua orang istri. Istri pertama, Yohana Tambing, menghasilkan dua orang putri, Corry Taruk Datu dan Alberthin Siman Taruk. Kemudian dengan istri kedua, Ludia Ramma, menghasilkan dua orang putra, Samuel Barumbun dan Yusuf Kadang Pongtinamba.
***
Then, we asked on the reason why Rambu Solo for Elisa Siman Pongpalita was done in 2013, almost 8 years after she was in the stage of considered as ‘sleeping’. They said it was about money and time. Rambu Solo needs a high budget. Though they did not mention it in detail, we calculated the cost. It could reach five hundred millions rupiahs or even until one billion rupiahs. To make the building and its ornament they spent almost four hundreds millions rupiahs. It did not include the animals and operational cost during the procession happened. Further, when the family has been able to gather the money, it was quite hard to find a perfect time to gather all members of the family. It is related with the requirement which states that all family members have to come when Rambu Solo is held. In this case, the deceased has two wives. The first wife is Yohana Tambing. From her, they have two daughters, Corry Taruk Datu and Alberthin Siman Taruk. Then, from his second wife namely Ludia Ramma, he has two sons. They are Samuel Barumbun and Yusuf Kadang Pongtinamba.

Toraja, Hidup untuk Mewahnya Kematian (Life for a Luxurious Death)
Miniatur Tau-tau. Foto: Aan
Selain budayanya yang khas, Toraja dianugrahi tanah yang subur dengan lanskap dinding bukit yang seolah menjadi benteng alam. Setidaknya itu yang muncul dalam benak Saya ketika di hari terakhir kami mengunjungi lokasi-lokasi makam batu yang sekaligus menjadi obyek wisata di Toraja seperti Kete’kesu, Londa dan Lemo. Di akhir perjalanan, kami tertarik dengan potongan ucapan salah satu anggota keluarga mendiang Elisa yang ikut menemani kami. Beginilah kehidupan Toraja, bertahun-tahun mencari uang akhirnya hanya dihabiskan dalam sekali waktu yaitu saat Rambu Solo atau pemakaman. Kematian adalah hal yang mewah dengan harapan roh yang meninggal dapat menuju alam baka dengan keceriaan dan ketenangan. Dan itulah bentuk penghomatan terakhir dari mereka yang ditinggalkan.
***
Not only owning a special culture, Toraja is blessed with a fertile land with landscape of hill wall which is acted as natural cover. That was my thought on our last day in the land of Toraja when we visited some locations of sarcophagus. These places also become some tourist destinations in Toraja. They are Kete’kesu, Londa and Lemo. At the end of the journey, we were interested in what was said by one of the family members of Elisa who accompanied us. He said, “This is life in Toraja, we spent years to look for money then spent it all at once in Rambu Solo or funeral”. Death is a luxurious with an expectation that the soul of the deceased successfully reach afterlife stage to get happiness and peace. That is the last honor given from the persons who are left behind.


==========

Artikel dan Foto oleh:

Alfian Widiantono Suroso (Aan)
Indonesian-based photographer & volunteer. Sharing the inspirations through images & words. A man who believes, both home and school are everywhere.


Sumber: Artikel ini sebelumnya telah diposting oleh Penulis di blog pribadinya [aansmile.wordpress.com] dengan judul sama TORAJA, HIDUP UNTUK MEWAHNYA KEMATIAN (LIFE FOR A LUXURIOUS DEATH). Guna menyebarkan informasi tentang salah satu khasanah budaya Nusantara yakni budaya Toraja, maka artikel ini kami posting kembali.


Terimakasih kami kepada Penulis. :)

Semoga bermanfaat...