Showing posts with label Wisata Alam. Show all posts
Showing posts with label Wisata Alam. Show all posts

Negeri Di Atas Awan Versi Toraja


TORAJA UTARA. Sebuah Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang terkenal dengan wisata budaya dan kopi toraja yang sangat khas. baru-baru ini, sebuah tempat yang mulai dibicarakan adalah sebuah tempat yang berada di Kampung Lolai, Kecamatan Kapalapitu, Toraja Utara. Negeri di Atas Awan. YA begitulah namanya. karena disitu kita dapat melihat awan lebih rendah dibandingkan puncak tempat kita berdiri.


Sungguh indah dipandang oleh mata manusia. dilokasi sekitaran puncak tersebut terdapat rumah khas Toraja (Tongkonan). Tongkonan di kampung ini dinamakan Tongkonan Lempe. Teras Tongkonan bisa ditempati pengunjung untuk bersantai dan menikmati indahnya awan putih yang biasanya hanya kita lihat dari bawah. Tongkonan disana juga dapat disewa sebagai homestay wisatawan. Namun Belum ada tarif yang sudah pasti karena Kampung Lolai tepatnya “Negeri di Atas Awan” ini belum dikelola oleh pemerintah. Oleh karena itu, Sewa rumah untuk menginap di kampung tersebut hanya berdasarkan nego dan kesepakatan saja antara pengunjung dengan pemilik rumah. Pengunjung juga bisa mendirikan tenda di puncak Lolai dan bermalam disana.



Mungkin hanya itu yang mau saya bagikan. jika ada waktu dan kesempatan liburan, Toraja Utara dapat menjadi salah satu pilihannya. Selain Negeri di Atas Awan, masih banyak tempat-tempat wisata lainnya.

Baca Juga: Wisata Alam Kolam Tilangnga'
Sumber: indrabel

Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'

Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Papan penunjuk lokasi ke Kambira Baby Grave.
Bambu-bambu tumbuh lebat. Saling tegak merapat. Tak tersisa celah untuk membiarkan terik surya mengeringkan tanah basah. Sejuk nan lembab ketika saya menapak jalan menyusuri hutan bambu di Toraja.

Di tengah hutan bambu, sebuah pohon Tarra’ berdiameter sekitar 80 cm tampak gagah berdiri. Kontras dengan lingkungan sekitarnya. Pada batang pohon ini, beberapa ijuk berbentuk persegi menempel layaknya sebuah aksesoris. Ijuk ini berasal dari pohon enau yang digunakan sebagai penutup sebuah lubang tempat ditaruhnya mayat-mayat bayi. Ya, itu adalah kuburan pohon untuk bayi atau disebut ‘passiliran‘. Kambira Baby Grave.

“Bayi yang dikuburkan di pohon ini adalah yang belum tumbuh giginya. Orang Toraja menganggap bayi yang giginya belum tumbuh itu masih suci.” jelas Basho sembari menunjuk ke arah pohon. 

Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Melintasi hutan bambu, menuju kuburan bayi.
Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Kambira, Kuburan Bayi di Pohon Tarra'.
Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Pohon Tarra' menjadi rahim jasad bayi yang dikuburkan. Ditutupi oleh ijuk.
Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Jamur pun tumbuh di pohon Tarra di dekat lubang makam. Pohon Tarra' memang "menghidupi".
Dengan menguburkan bayi di pohon Tarra‘, orang Toraja menganggap bayi ini seperti dikembalikan ke rahim ibunya. Mereka berharap, pengembalian bayi ini ke rahim ibunya akan menyelamatkan bayi-bayi yang lahir kemudian. Pohon Tarra‘ dipilih sebagai tempat menguburkan bayi, karena pohon ini memiliki banyak getah berwarna putih, yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu.

Pemakaman seperti ini dilakukan orang Toraja pengikut Aluk Todolo (kepercayaan kepada leluhur). Upacara penguburan dilaksanakan secara sederhana. Bayi yang dikuburkan tidak dibungkus kain, sehingga benar-benar seperti bayi yang masih berada di rahim ibunya.

Tampak ada ijuk yang kendor pengikatnya. Saya tertarik mendekat. Kebetulan terletak di sisi kanan pohon yang dekat dengan setapak. Melongok dari bawah untuk menghalau penasaran. Ternyata, lubang tempat bayi diletakkan sudah tidak ada. Lubang itu telah menyatu menjadi badan pohon yang utuh. Getah pohon Tarra’ telah menyatukan jasad sang bayi ke rahim pohon, layaknya rahim sang ibunya.

“Di Toraja, sebenarnya banyak ditemukan kuburan pohon semacam itu. Hanya saja letaknya di tengah hutan. Susah menjangkaunya. “ungkap Basho. “Kambira ini sudah tua usianya. Sekarang, tidak digunakan lagi.” Sambil kami melangkah keluar menembus kembali rerimbunan hutan Bambu.

Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Perempuan tua Toraja turut menjaga loket Kambira Baby's Grave.
Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Tau-tau mini dijual sebagai cindera mata.
Seorang ibu yang renta datang menghampiri kami. Menjajakan beberapa souvenir khas Toraja. “Kaos Torajanya, silakan dibeli untuk cinderamata.” Namun, entah kenapa malah Basho asyik mengobrol dengan ibu itu. Tentunya dengan bahasa Toraja. Ah, saya tidak paham apa yang mereka katakan. Saya memutuskan menuju ke toko-toko cinderamata.

Deretan tau-tau mini menyambut saya. Matanya menganga lebar seakan dia memerhatikan saya sungguh-sungguh. Ah, bukan. Ternyata saya saja yang terlalu terpesona pada keindahan ukirannya. Di samping tau-tau, ada juga kotak-kotak berukiran motif toraja. Sangat indah dengan abstraksi dan geometri yang khas. 

Sayangnya, kantong saya lagi tipis. Ini tidak indahnya. Saya pun hanya melambaikan tangan kepada tau-tau cantik itu. “Maaf, saya tidak membawamu bersamaku. Semoga suatu saat nanti kau bisa ikut bersamaku.”

Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra'
Seekor kerbau sedang merumput di samping Alang Sura'. Di kawasan Tongkonan Kambira.



Artikel dan Foto: Iqbal Kautsar | @iqbal_kautsar

Tentang Penulis:
Iqbal Kautsar, seorang; Pemakna khasanah INDONESIA | Pejalan dan pencerita perjalanan | Pecinta kopi, durian dan brotowali | Yogyakarta dan Kebumen | 

Anda bisa menghubunginya melalui email: iqbalkautsar@gmail.com

Sumber: artikel ini sebelumnya diposting dalam blog pribadi penulis _DIASPORA IQBAL_ dan atas izin dari penulis, artikel ini kami posting kembali untuk menambah informasi tentang pariwisata di Indonesia khususnya di Toraja.


Belum Pernah Liburan ke Toraja? 10 Pesona Wisata Ini Menanti Anda

Pesona hamparan persawahan di Batutumonga, Toraja. Foto: Rice Terraces of Batutumongan by Michele Burgess
Bingung mau liburan kemana? Dari sekian banyak destinasi pilihan, Tana Toraja di Sulawesi Selatan bisa menjadi alternatif destinasi liburan yang wajib Anda kunjungi. Keeksotisan Tana Toraja terbukti telah banyak memikat wisatawan mancanegara dan domestik untuk berkunjung.

Hingga tahun 2013, Dinas Pariwisata Kabupaten Tana Toraja mencatat pelonjakan 30 persen kunjungan wisatawan mancanegara sebanyak 19.324 orang dibanding tahun 2012. Bahkan kunjungan wisatawan domestik di tahun 2013  meningkat tajam lebih dari 100 persen yaitu sebanyak 42.319 orang dibandingkan tahun 2012.

Jika belum pernah pergi ke "Kepingan Nirwana di Jantung Sulawesi" ini, berikut 10 Alasan untuk anda berlibur ke Toraja:

1. Ma’Nene, tradisi mengganti pakaian jenasah leluhur. [Baca: Baju Baru untuk Mumi Leluhur Suku Toraja]

2. Menyaksikan upacara pemakaman khas Toraja (Rambu Solo). [Baca: Rambu Solo: Ritual Pemakaman Orang Toraja]

3. Uji Nyali di Londa. [Baca: Londa: Kompleks Makam Di Tebing Batu Toraja]

4. Mengunjungi Kambira, kuburan bayi yang ditanam di dalam batang pohon. [Baca: Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra']

6. Ada Kerbau belang seharga Rp 1 miliar (Tedong Saleko), yang merupakan kerbau endemik Toraja yang sangat sulit di dapat dan mahal karena digunakan untuk ritual upacara Rambu Solo. [Baca: Mengapa Kerbau Toraja Begitu Istimewa]

7. Rumah adat Tongkonan yang unik. [Baca: Orang Toraja dan Makna Tongkonan]

8. Menikmati pesona bentang alam Toraja dari Batutumonga dan Pango-pango. [Baca: Batutumonga, Senandung Budaya di Atas Awan]

9. Mengunjungi desa adat di Ke'te Kesu' [Baca: Andina Laksmi: Kete Kesu, Wisata Kuburan dan Tulang Belulang]

10. Festival Toraja Lovely December. [Baca: Toraja Lovely December 2014 "I Love Bamboo"]

dan banyak lagi destinasi lain di Toraja yang patut anda kunjungi... :)

”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja. Foto: ist
Uji nyali...? Burial Cave in Londa.
Taman menhir atau dalam bahasa Toraja disebut Batu Simbuang di Rante Karassik.
Kubur bayi di Kambira, mayat bayi yang belum tumbuh gigi di makamkan dalam batang pohon Tarra'.
Prosesi upacara pemakaman khas Toraja, Rambu Solo.
Rumah adat khas Toraja, Tongkonan.
Ritual pembantaian kerbau yang sering dianggap menyeramkan disebut Ma'tinggoro Tedong. Ritual itu dilakukan dengan cara menyembelih kerbau hanya dengan hanya satu kali tebasan parang kecil.
Tana Toraja dapat ditempuh selama kurang lebih 8 jam melalui jalan darat dari Makassar melewati Pare-Pare dan Enrekang. Begitu memasuki kawasan Tana Toraja, anda akan serasa dikirim oleh mesin waktu kembali ke masa lalu, masa purbakala. Suasana yang tidak akan Anda dapatkan di tempat lain.

Tana Toraja merupakan salah satu tempat konservasi peradaban budaya Proto Melayu Austronesia yang masih terawat hingga kini, sehingga pemerintah Indonesia mengajukan kawasan wisata di Sulawesi Selatan ini ke UNESCO untuk menjadi Situs Warisan Budaya Dunia sejak 2009.

Keeksotisan Tana Toraja ini telah banyak mengundang wisatawan mancanegara dan domestik untuk berkunjung. Keunikan adat istiadat masyarakat Tana Toraja yang sangat menjaga tradisi para leluhur inilah yang membuat para wisatawan antusiasme berkunjung ke tempat yang terkenal dengan upacara pemakaman Rambu Solo dan tradisi mengganti pakaian jenasah leluhur Ma’ Nene yang berlangsung tiga tahun sekali ini.

Masyarakat Tana Toraja percaya bahwa adat istiadat harus selalu dipelihara, karena jika tidak maka dapat mempersulit kehidupan mereka yang telah dibangun sejak zaman nenek moyang. Meski memiliki kelimpahan sumber daya alam seperti kopi, masyarakat Tana Toraja juga menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan, karena mereka meyakini bahwa hidup adalah untuk mempersiapkan kematian.

Jadi tak lengkap rasanya, jika tidak mengunjungi situs pemakaman tradisional masyarakat Toraja yang berada di atas bukit batu. Selain itu, ada juga tempat pemakaman bayi yang belum tumbuh gigi, yang ditempatkan di sebuah batang pohon.

Jangan lewatkan juga, untuk mengunjungi tempat pengolahan dan mencicipi kenikmatan kopi Toraja yang sudah sangat terkenal.

Sebagai referensi bagi anda untuk menikmati liburan ke Tana Toraja, di bulan Desember Pemerintah Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara mengadakan program tahunan "Lovely December" guna meningkatkan kunjungan wisatawan.

Untuk tahun 2014, bambu menjadi tema sentral kegiatan, mulai dari pentas seni hingga fasilitas pendukung lainya menggunakan bambu, sehingga tema yang diangkat adalah "I Love Bamboo".




Foto: Google
Sumber: Tribunnews

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
WELCOME TO TORAJA  |  TAU-TAU
Manusiawi sekali jika ada orang Jakarta yang tak begitu antusias melipir ke Pulau Seribu, atau orang Bali yang belum pernah ke Nusa Penida, atau bahkan orang Papua yang sama sekali tidak tertarik ke Raja Ampat. Saya sendiri pernah berdomisili di Makassar namun tak terbesit keinginan sedikitpun untuk melancong ke Tana Toraja. Tak perlu ditentang, ini masih masuk akal. “Kan saya tinggal disini, nanti saja kapan-kapan.” Begitulah kira-kira kalimat standar yang sanggup menjinakkan hasrat.

Saya pernah bertemu dengan segerombolan turis Belanda yang mati-matian menabung demi bisa membeli tiket pesawat Amsterdam - Makassar via Denpasar. Jangan tanya sejak kapan mereka mulai gemar menyimpan uang di kaleng Khong Guan, saya rasa saat para mantan koloni itu mulai mengetahui jika mayat orang Toraja bisa berjalan sendiri ke kuburan mereka.

Zein without Maher, pemuda lajang asal Jogja ini rela datang dengan berbagai harapan. Saya, Ahlul, dan Ran yang diutus Tuhan sebagai teman jalan si bocah perawan bahagia bukan kepalang. Pertama, Zein ini temannya Ahlul, lalu karena alasan ingin memangkas krisis kantong tipis, saya dan Ran diajak melibatkan diri. Kedua, ini sudah pasti menjadi kunjungan pertama beta, Ran, dan Zein ke Toraja. Sedangkan Ahlul, entah kapan ia terakhir kesana, tapi ia masih mengingat jelas urutan kabupaten yang akan dilewati setelah bertolak dari Makassar. Ketiga, semua mimpi ini takkan pernah jadi nyata jika Ahlul dan Zein tak pernah berteman sebelummnya. Puji Tuhan!

Kami berangkat ke Toraja dengan bus bersuspensi udara yang super worth it. Butuh 8 jam perjalanan, duapuluh juta topik obrolan, satu jam perjuangan menahan mual, 3 bar lampu daya power bank sebagai genset pecinta gadget, dan secercah harapan untuk bisa tiba di kota Rantepao. Sekedar diketahui, Ibukota kabupaten Tana Toraja sendiri berada di Makale, namun pusat perekonomian dan jantung pariwisata lebih kelihatan menggeliat di kota Rantepao.

Pembaca yang terhormat, tahukah kalian jika kami telah bersepakat akan tinggal sehari disana, di hotel alakadarnya, dengan menyewa motor warga yang belum jelas keberadaannya, dan pulang dengan keadaan bahagia tak terkira? Percuma, kami terpaksa menelan mentah-mentah saran ibunda Ahlul yang membungkam kebebasan berekspresi kami. Ya, beliau pernah lama tinggal disana. Kami diyakinkan agar menuntaskan semua destinasi di wish list dalam sehari saja. Setelah itu, pulanglah ke Makassar dan jangan membantah. Baiklah, bukankah suara ibu adalah suara Tuhan?

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
KE'TE KESU  |  RAMBU SOLO'
Tak ada adegan memicingkan mata saat pertama kali tiba di Toraja. Maklum, jalan spiral trans Sulawesi disepanjang Enrekang masih meyisakkan mual tak terkira. Kami hanya butuh lima menit untuk bersepakat rute pertama segera dimulai dari mana. Masjid! Hanya di tempat ini semua hajat besar dapat dilaksanakan. Malang rupanya, pagar masjid tertutup rapat, madrasah di sampingnya pun sedang libur. Tak ada toilet untuk kalian, wahai pengembara tua bangka!

Rencana merental motor pun kami ganti dengan saweran menyewa satu mobil, termasuk supir, bensin, guide, merangkap kamus Torajapedia. Pak Ela membuat kami kagum akan keramahan beliau, katakanlah dia tahu menempatkan diri sebagai pemandu sekaligus tuan rumah yang baik. Semoga Tuhan berkati bapak.

Saya harus memulai kisah ini dari Kete’ Kesu, semacam kompleks rumah adat yang terdapat Tongkonan lengkap dengan Alang Sura, alias Tongkonan berukuran kecil yang berfungsi sebagai tempat lumbung padi. Dibelakang kompleks ini terdapat makam leluhur orang Toraja, Kubur Gantung. Untuk menuju kesana cukup dengan berjalan kaki melewati beberapa menhir, tau-tau (patung yang dipahat berbentuk manusia), dan tengkorak yang diletakkan di dinding-dinding tebing.

Jujur, saya tak begitu antusias dengan tempat ini, mungkin karena terlalu touristy bagi para pelancong. Saya bahkan lebih terkesan dengan ritual Rambu Solo yang kita jumpai setelah dari Kete’ Kesu. Ini seperti halnya saya lebih takjub berjumpa dengan Ban Ki-moon dibanding Pokemon. Rambu Solo adalah ritual kematian super meriah yang menelan banyak biaya. Hari itu, Pak Ela berinisiatif mengantar kami ke salah satu keluarga yang sedang melangsungkan upacara ini. Beruntung, oleh seorang ibu yang mengaku sebagai keluarga berduka, malah menyambut kami dengan sangat ramah. Ramah sekali.

“Duduk saja disini, ini sebenarnya panggung keluarga inti, tapi tak mengapa, kalian ini tamu, dan tamu selalu membawa berkah. Silakan menikmati, saya pamit tinggal sebentar.”

Lima menit berikutnya wajah sumringah kami menjadi lemas. 30 ekor kerbau persembahan ditebas dengan parang sepanjang lengan. Saya menutup mata, darah segar tempias dari lehernya, ia melompat, kejang-kejang, lalu tumbang. Satu, dua, belasan, hingga kerbau ke berapa puluh itu dipersilakan maju menjemput maut. Ini memang ritual, tapi tak ada salahnya meminjam istilah Ahlul. Ini seperti genosida, teman.

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
BABY GRAVES KAMBIRA  |  KUBUR GANTUNG KE'TE KESU'
Lepas tu kami nak ke Baby Graves di Kambira, I never knows about this place anyway, make sure riwayat tempat camni pun I takde buat, even tengok kat Wikipedia pun tidak. Nah, nyatanya ini salah satu tempat femes. You pernah dengar about kuburan kat pohon, ke? Inilah! Dahulu, bilamana ada bayi yang lahir dan meninggal sebelum tumbuh gigi, dia akan dimakamkan disini, ditanam di dalam pohon khusus ini. Konon, jika rumah duka menghadap timur, kubur harus menghadap ke barat. Tujuannya supaya bayi tenang diasuh pohon Tarra’ dan tak minta pulang ke rumah dukanya.

Setelahnya, kami diajak masuk ke satu Tongkonan modern yang  dimiliki beberapa keluarga sekaligus. Seperti biasa, diseberang Tongkonan utama selalu menjulang Alang Sura.  For your information, satu Tongkonan mampu menampung empat keluarga besar, untuk hitungan ideal tiap pasang suami-istri memiliki 3 orang anak. Kali ini, saya memutuskan tidak membahas panjang lebar perihal motif ukiran, filosofi, hingga makna tanduk kerbau yang disusun pada tongkonan. Sudah banyak artikel yang membahas tentang ini, semoga kau menemukan pencerahan di tempat lain, nak.

Saya lupa persis nama guide yang menemani kami siang itu, tapi ia menawarkan wisata paling fantastis setelah saya bertanya tentang mumi Toraja. “Ada tante saya yang sudah meninggal setahun lalu tapi sampai hari ini belum dibuatkan upacara pemakaman. Rumah duka tak jauh dari sini, mari saya antar, tapi bersikaplah biasa, karena kami selaku orang Toraja percaya bahwa mayat yang belum dikubur adalah orang sakit yang harus dilayani.” Kami diam seribu bahasa.

Mendengar kata mumi, pikiran pasti melayang ke sosok Fir’aun, si jahat berhati batu yang lebih durhaka dari Malin Kundang si kacang lupa kulit. Bedanya dengan ini, mayat sengaja diawetkan dan dirawat layaknya orang sakit, dengan keterlibatan semua keluarga yang bahu-membahu mencurahkan kasih sayang, karena yang meninggal ternyata ‘masih sakit’, dan tak pernah menentang Tuhan. Siapapun kamu, akan membuang jauh-jauh rasa takut, dan angkat topi untuk tradisi yang paling sakral ini. Saya pribadi, menaruh hormat untuk sang ‘tante’ yang telah berpulang, dan memberi dua jempol untuk keluarga sederhana yang sangat mulia.

Kami melanjutkan perjalanan ke Suaya, menurut Pak Ela, situs ini mirip seperti pemakaman batu yang terletak di Londa, tapi karena kami anti mainstream, ia menawarkan rajanya Londa, Suaya King’s Grave. Sudah pasti tempat dan atraksi wisata di Toraja tak akan jauh-jauh dari mayat, tengkorak, makam, kerbau, darah, dan batu. Bijaklah jika you nak bercuti kat sini with limited times, pilih satu je yang korang nak interest. For example, bilamana korang nak tengok Marcel Chandrawinata, tengok je Mischa, sebab tu sama je.

Ahlul merayu Pak Ela agar beliau mau mengantar kami ke Batutumonga, sebuah destinasi wisata alam yang berada di lereng gunung Sesean, yang juga menurut Ahlul masih terdapat bebatuan purbakala peninggalan nenek moyang Toraja. Malang, Pak Ela menolak dengan halus karena alasan cuaca dan terbatasnya waktu yang kami miliki. Masuk akal, kami harus kembali ke Makassar jam 9 malam, otomatis harus standby elegan di stasiun bus satu jam sebelumnya, dan perjalanan dari Suaya ke Batutumonga memakan paling kurang 4 jam return, sedangkan saat itu sudah pukul 3 siang, jelas kami tak akan ambil risiko.

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
SUAYA KING'S GRAVE | PERKAMPUNGAN ADAT
Tak kekurangan akal, Pak Ela kembali melakukan terobosan membosankan, kami di ajak ke Lemo, tak lain dan tak bukan adalah ke kuburan batu (lagi). Saya memilih istirahat selama perjalanan, entah apa yang tiga serangkai lakukan di jok belakang, semoga Tuhan memberkati. Melihat kami tak begitu antusias begitu tiba di Lemo, Pak Ela bergegas ke mobil, menginjak pedal dan membawa kami lekas pergi dari objek wisata yang sama persis dengan Suaya King’s Grave dan Londa. Batu.

Kali ini saya tak bisa menemukan jati diri, yang selalu sigap saat trip tak sesuai kehendak, yang sering melahirkan ide aneh ketika sebuah destinasi tak menjual apa-apa. Maaf pemirsa, ini karena kami berempat sudah mempercayakan segala rahasia Ilahi ke pundak Ela Lopez, sebuah nama samaran yang muncul begitu saja dari pojok belakang kepala beta.

Taruna tua menerbangkan segala debu dari jalanan gersang, memberitahu kami jika infrastruktur tidak pernah dinomor satukan. Kondisi seperti ini hampir terjadi di seluruh wilayah di luar kota Rantepao, yang padahal menjadi kantong-kantong penyokong pariwisata. Ah, kekesalan makin beranak-pinak ketika nasi goreng pesanan saya mengandung dua genggam garam dapur produksi Laut Mati Jordania. Asin sekali.

Ela tetap tenang memandang kedepan, kakinya naik-turun mengatur kecepatan, sengaja ia mengundang sejuknya angin memeluk kami yang kelelahan. Mobil dipacu ke sebuah pemukiman adat di perbukitan granit, kami disambut teduhnya sungai Saddang yang kecoklatan. Sawah dengan embun segar dibawah sana, menyambut matahari yang berusaha undur diri. Lihat, pemandangan seperti ini bahkan terasa lebih damai dibanding membaca pesan dari orang yang pura-pura sayang. Ups, beta kecoplosan.

Tak ada atraksi wisata selama di kampung adat ini, tapi kami menemukan wajah lain dari Tana Toraja yang terlanjur dikenal akan ritual kematian. Disini, air mengalir jernih di selokan, bunga dan rumput  berlomba siapa yang lebih tinggi, aroma segar batang pohon memenuhi tiap sudut jalan. Disinilah letaknya kehidupan, harapan, dan alam warisan nenek moyang yang mampu berjalan beriringan dengan hebohnya upacara kematian. Sudah tentu, selain lebih sakral dibanding selamatan kelahiran atau acara kawinan, ini juga merangkap barometer status sosial sejak era Hawa dan Adam. Mungkin.

Kami kembali ke Rantepao ketika langit tak lagi biru, Ela mengucapkan salam perpisahan beserta doa agar kami selamat tiba di tujuan. Masjid, target pertama sejak pertama datang kini telah membuka pintunya lebar-lebar. Usai sholat maghrib, kami harus angkat kaki saat segerombolan ibu-ibu penumpas fakir colokan memberi kode lewat meja arisan yang siap didekorasi. Kami terpaksa mengadu lapar di sebuah kedai ayam goreng lokal yang berusaha berdandan internasional.

Sebelum naik ke bus, saya seperti tak ingin pulang, pergi meninggalkan kota kematian yang sanggup memberi penghidupan. Toraja, kalau bukan karena Tongkonan, jika tak ada kematian, bila bukan karena nenek moyang, kau tak ubahnya pedalaman yang kekurangan perhatian, yang keperawananmu dikendalikan pemerintahan, yang akan mengadu keadilan pada orang-orang seperti kami, para pejalan yang berjanji mengabarkan ke seluruh dunia jika kau kau hidup serba kekurangan.

Toraja, jika bisa menitipkan sepenggal kerinduan, saya ingin tinggal saja di dalam pohon Tarra’, atau menjadi penjaga Pallawa. Kau berhasil menyelipkan putih diantara hati yang menghitam. Karena harus saya akui, hanya disini, habis gelap terbitlah terang!

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
Penulis dan rekan-rekan. Foto: Travendom

#NB: Artikel ini sebelumnya diposting di situs Travendom (*sumber). Guna memperkenalkan kekayaan khasanah Budaya Toraja kepada khalayak, maka artikel ini kami posting kembali. Salam

Foto dan Naskah berasal dari sumber yang sama.

Andina Laksmi: Impian ke Toraja itu Tercapai

Andina Laksmi: Impian ke Toraja itu Tercapai
Toraja. Asyiiikkk… akhirnya tercapai cita2ku…
Di awal bulan April tahun 2014 ini alhamdulillah saya berkesempatan untuk mengunjungi Makassar lagi (dengan gratisss lagi tentunya….). Saya kalo ke Makassar memang nunggu gratisan dengan cara daftar diklat di kantor. Hehehe… 

Andina Laksmi: Impian ke Toraja itu Tercapai
Motor yg mengantar kami keliling Toraja
Sejak dulu saya sudah bercita2 untuk berwisata ke Tana Toraja, tapi masih ragu-ragu dengan jaraknya yang jauh dan waktu yang mepet. Jadi pada awalnya saya dan teman diklat saya dari Surabaya merencanakan untuk menghabiskan weekend setelah diklat ke Tanjung Bira. Tapi kayaknya ga seru kalo ke Tanjung Bira cuma berdua aja, makanya kami ganti haluan untuk ke Toraja. Asyiiikkk…. akhirnya tercapai cita2ku…

Andina Laksmi: Impian ke Toraja itu Tercapai
Partner travellingku di Toraja.
Oya, partner travelling saya kali ini namanya Grandis, temen sekantor yang ikut diklat bareng. Grandis ini selain punya hobi travelling dia juga punya hobi fotografi, dan dia adalah seorang fotografer profesional lhooo… Dia punya usaha fotografi yang diberi nama Grafato. Hasil-hasil fotonya sumpah keren abis… Jadi nyesel dulu pas hamil Rendra belum kenal sama Grandis (pengen banget difoto pas hamil besar).

Dua hari sebelum berangkat kami membeli tiket bus Bintang Prima di pool-nya, jalan Perintis Kemerdekaan. Tarif bus dari Makassar ke Toraja adalah Rp160 ribu untuk bus type scania (yang paling bagus). Sedangkan yang air suspension tarifnya Rp140 ribu. Kami memilih yang scania dong supaya bisa tidur dengan nyaman. Jadwal keberangkatan bus adalah pukul 21.30 wita.

Andina Laksmi: Impian ke Toraja itu Tercapai
Foto di depan busnya... :D
Pada hari jumat malam kami sudah sampai di pool bus Bintang Prima pukul 21.00. Setelah menunggu cukup lama, sekitar pukul 22.00 kami baru berangkat. Bus ini sangat nyaman, tempat duduknya besar dan reclining. Ada sandaran kakinya dan juga dilengkapi dengan guling kecil dan selimut. Tapi bus ini memang tidak dilengkapi dengan toilet, mungkin supaya ga bau pesing kali yaa…

Andina Laksmi: Impian ke Toraja itu Tercapai
Tempat duduknya sangat nyaman.
Esoknya, hari sabtu pukul 6 pagi kami sampai di Rantepao, Toraja. Setelah turun dari bus, kami langsung disambut oleh tukang bentor. Kami minta diantar ke Wisma Monika, jaraknya cukup dekat, abang tukang bentor hanya meminta bayaran Rp 5 ribu. Alamat wisma ini di jalan Dr. Samratulangi No 36, Rantepao. Kami sengaja menyewa kamar di Wisma Monika hanya untuk mandi. Yaa daripada ga mandi ato numpang mandi di restoran kan lebih baik keluar duit dikit untuk kenyamanan dan kebersihan. 

Andina Laksmi: Impian ke Toraja itu Tercapai
Kamar di Wisma Monica,
not too bad kan…
Harga kamar yang paling murah di Wisma Monica adalah Rp250 ribu dengan fasilitas shower air panas dan sarapan. Oyaa.. air panas ini nantinya sangat berguna bagi kami lho. Selain Wisma Monica, ada juga wisma lain namanya Wisma Maria. Menurut blog yang saya baca di wisma maria ada kamar yang tarifnya hanya 100 ribuan. Tapi karena lihat foto kamar mandinya jelek saya jadi ogah.

Andina Laksmi: Impian ke Toraja itu Tercapai
Kamar mandi yg bersih
dan ada air panasnya... :)
Setelah selesai mandi, kami sarapan di wisma. Menunya nasi goreng dan telur ceplok. Rasanya ga enak sih, tapi ya udah dimakan aja. Sebelumnya Grandis keluar untuk mencari penyewaan motor dan dapet di Wisma Maria dengan harga Rp70 ribu per hari. Pagi itu gerimis turun, tapi gak menyurutkan niat kami untuk mengeksplore Toraja. Jadi kami menembus hujan gerimis menuju Kete’ Kesu, obyek wisata yang menjadi tujuan pertama kami.

Andina Laksmi: Impian ke Toraja itu Tercapai
Map of Tana Toraja — sorry udah lecek :D

Untuk mengetahui bagaimana perjalanan saya ke Ke'te Kesu' anda bisa membacanya di artikel "Kete Kesu, Wisata Kuburan dan Tulang Belulang"


Sumber:
Artikel dan Foto: Andina Laksmi

Tentang penulis:
Andina Laksmi, wanita kantoran dan juga seorang ibu, namun disela-sela kesibukannya sebagai pegawai kantoran, masih menyempatkan diri untuk pergi travelling dan menulis blog. Hobinya untuk travelling dan menulis sudah mengantarkannya ke berbagai tempat wisata baik dalam negeri maupun luar negeri. Anda bisa membaca kisah perjalanannya pada blog "Here, There, & Everywhere _ my travel notes". 


Semoga bermanfaat...  nantikan kisah lainnya... :)


Tips: (Ed)
Bila anda ingin menikmati bentang alam yang mempesona sepanjang perjalanan menuju Toraja sebaiknya anda menumpang bus yang jadwal keberangkatannya pagi atau siang hari. Salah satu pemandangan yang akan anda saksikan adalah pesona Gunung Nona (Buntu Kabobong _ dalam bahasa lokal). 

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja (Bag II)

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Deretan Tongkonan Karuaya. Terawat dan Asri. Jauh di pelosok Toraja.
Di langit, matahari siang menuju ke atas ubun-ubun. Namun, awan yang berarak mendinginkan suasana. Malah menjelang siang, mendung hitam berusaha mengambilalih keadaan. Tentu, saya berharap semoga hujan tak menangis di kolong langit ini. Jelajah Toraja masih belum sampai setengah hari.

Tibalah saya di Karuaya. Sebuah kampung pemukiman terpelosok yang jauh dari hingar bingar wisata Toraja. Sensasi kesunyian adalah nilai tambah yang mengunggulkan Karuaya dibanding tempat lain. Ada kompleks Tongkonan yang berumur cukup tua di sini. Tepat berada di sisi kanan jalan. Jalan itu juga menjadi pembatas kawasan di sebelah utara Tongkonan. Sedangkan di sebelah selatan, menjulang kekar sebuah tebing yang membatasi sekaligus melindungi Tongkonan Karuaya.

Lima buah rumah tradisional Toraja berdiri gagah. Rerumputan hijau menjadi alas yang halus, laksana karpet menghampar. Seni arsitektur Tongkonan ini masih tradisional dengan beratapkan rumbai-rumbai. Tetumbuhan hijau menghiasi atapnya yang hitam. Tongkonan ini menghadap ke utara, sesuai aturan adat bahwa setiap Tongkonan harus menghadap ke arah utara yang melambangkan awal kehidupan. Sedangkan bagian belakang rumah menghadap arah selatan yang melambangkan akhir kehidupan.   

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Alang Sura'. Lumbung yang digunakan menyimpan padi, gabah dan beras. Jaring pengaman ekonomi. 
Tongkonan berbentuk perahu layar. Tradisi lisan masyarakat Toraja meyakini bahwa bentuk itu dilatarbelakangi datangnya penguasa pertama di Toraja, dari arah selatan Tana Toraja dengan mempergunakan perahu yang dinamakan Lembang melalui sungai-sungai besar seperti sungai Sa’dang. Bentuk perahu itulah ilham pembuatan rumah tongkonan, sehingga bentuk atapnya menjulang ke depan dan ke belakang.

Di bagian depan Tongkonan, ada Alang Sura' yang jumlahnya sebanyak Tongkonan. Alang Sura' ini digunakan untuk menyimpan bahan-bahan makanan terutama padi, gabah dan beras. Ikat-ikatan padi sehabis dipanen terlihat di dalam Alang Sura'. Ada juga beberapa karung beras dan gabah. Pada Alang Sura', tiang-tiangnya dibuat dari batang pohon palem (bangah) yang licin. Ini dimaksudkan agar tikus tidak dapat naik ke dalam bangunan yang berfungsi sebagai lumbung itu. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari yang merupakan simbol untuk menyelesaiakan perkara.

Tiba-tiba seorang nenek tua datang menghampiri saya. Khas wanita Toraja. Berpakaian Toraja dengan passapu atau penutup kepala. Dia langsung mengulurkan tangan untuk jabat tangan dengan saya. Tak banyak kata. Tapi dia ramah menawarkan sebuah senyum yang merekah. Sebuah senyum yang bisa menyamarkan usianya. Kira-kira dia berusia 80-an tahun. Terlihat dari keriput yang menghiasi wajah rentanya. Namun terlihat semangat hidupnya masih tinggi. Enerjik. Tidak ada raut lelah dan lemah yang menyusutkan.

"Tak banyak kata. Tapi dia ramah menawarkan sebuah senyum yang merekah."

Sembari mengulum pinang daun sirih yang menjinggakan giginya, dia mengucapkan sepenggal kata pada saya. Suaranya lirih. Hingga saya perlu mendekatkan telinga saya ke dekat mulutnya.

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Berfoto dengan nenek 'artis' Karuaya, Toraja. 
“Selamat datang” ternyata dia ingin mengatakan kata sambutan kepada saya. “Dari mana ya?”, lanjut dia meneruskan sambutan dengan pertanyaan.

“Dari Jawa, nek” jawab saya.

Tidak terduga nenek itu menepuk-menepuk bahu saya. Tidak berkata. Tidak bersuara. Hanya senyumnya yang bertahan. Senyumnya tidak memudar. Sambil dia mengangkat tangan dan menunjuk ke seluruh ruang kompleks Tongkonan.

“Kamu dipersilakan melihat-lihat kawasan ini,” kata Basho mengartikan gerak tubuh itu. Si nenek tadi membalikkan badan. Saat itu juga, Basho mengajaknya mengobrol menggunakan bahasa Toraja. Saya rela. Biarlah ini menjadi romantisme Basho dengan nenek itu. Saya pun berkeliling lagi melihat-lihat lekuk kawasan Tongkonan Karuaya.

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Tongkonan yang penuh dengan ornamen tanduk kerbau.
Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Salah satu tiang di Tongkonan Karuaya penuh tanduk kerbau. Simbol kekayaan keluarga.
Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Kepala kerbau di Tongkonan. Simbol kemakmuran. 
Bola mata saya tertarik pada setiap sudut di Tongkonan. Ia menyediakan begitu banyak ensiklopedia budaya Toraja yang khas. Akhirnya, pengelanaan mata saya berlabuh pada banyaknya tanduk kerbau dipajang pada tiang utama di depan setiap rumah. Jumlah tanduk kepala kerbau tersebut berbaris dari atas ke bawah. Bagi orang Toraja, tanduk kerbau di depan Tongkonan melambangkan kemampuan ekonomi sang pemilik rumah saat upacara penguburan anggota keluarganya.

Setiap upacara adat di Toraja seperti pemakaman akan mengorbankan kerbau dalam jumlah yang banyak. Tanduk kerbau kemudian dipasang pada tongkonan milik keluarga bersangkutan. Semakin banyak tanduk yang terpasang di depan Tongkonan maka semakin tinggi pula status sosial keluarga pemilik rumah Tongkonan tersebut. Selain itu, di sisi kiri rumah menghadap ke arah barat dipasang rahang kerbau yang disembelih. Di sisi kanan yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi.

Seorang anak kecil keluar dari salah satu rumah Tongkonan. Cepat menuruni tangga, lihai karena terbiasa. Dia melintas hamparan rumput yang memisahkan Tongkonan dan Alang Sura'. Berlari. Beberapa kawannya telah menunggunya di bawah Alang Sura' bersama sang nenek tadi. Saat itu, Tongkonan Karuaya cukup ramai dengan warga setempat. Kehadiran saya di sana sepertinya adalah gula. Manis memikat untuk mengumpulkan orang. Basho kemudian mengundang saya mendekat.

“Kamu diajak nenek untuk berfoto bersama. Untuk kenang-kenangan katanya.”

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Nenek dengan cucu-cucunya penghuni Tongkonan Karuaya.
Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Anak-anak kecil di Karuaya. Malu-malu tapi ramah.
Ciiiis.. Jepreeeet. Lagi-lagi senyuman mewarnai foto kami. Saya berfoto dengan seorang nenek yang mungkin di masa mudanya adalah kembang desa di kampungnya. Kemolekan mudanya masih terkandung jelas di balik kerutan rentanya. Muda dan tua berjalan selaras di wajah dan badan nenek itu.

“Nenek ini memang ‘artis’ nya Karuaya. Setiap wisatawan yang datang ke sini pasti diajak berfoto bersamanya,“ kata Basho sembari berjalan kembali ke mobil.

Momen foto bersama tadi adalah salam perpisahan saya dengan mereka di Karuaya. Lambaian tangan nenek dan anak-anak di Tongkonan mengantarkan kepergian kami. Senyum sang nenek terus memancar dari wajahnya. Seperti sebuah simpul untuk menambatkan hati saya agar selalu mengingatnya. Saya pun luruh dalam perpisahan yang mengharukan. Di pelosok Toraja, di Karuaya inilah saya seperti menemukan saudara. Melintas suku dan agama. Barangkali dari pengalaman ke Karuaya, setiap pengelana akan menemukan perasaan itu. Hangat, membekas dan tidak terlupa.

Kini, penjelajahan Toraja harus terus berlanjut. Melepas Karuaya menuju tujuan yang berikut. Langit mendung tetap menggelayut. Tapi hujan belum ada tanda untuk datang. Awan masih bimbang. Meski begitu, tetap saja saya harus melalui sebuah siang yang tidak riang.

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Hamparan sawah pedesaan Toraja, harmoni alam dan budaya di pelataran Tongkonan.
Perjalanan seakan mengulang-ulang. Masih saja sama. Jalan berbatu dan berkubang. Bergantian sawah dan pematang yang bertingkat-tingkat dengan yang lapang. Masuk kampung keluar kampung. Bergantian Tongkonan tradisional dan modern saling menyelinap dari balik rimbun pepohonan. Namun, jalanan kini konsisten datar. Sebegitunya berulang, angan saya masih terjejak di Karuaya. Terjejak pada senyum sang nenek tadi.

Hingga saya dikejutkan pada seekor kerbau belang yang mandi di sebuah kolam. Seekor binatang yang sakral dikorbankan dalam upacara khas Toraja. Putih-merah muda dan berbelang-hitam. Si kerbau dibiarkan mandi sepuasnya. Tiada kerbau lain yang bercampur dan mengusik kenikmatan mandi si "kerbau raja" ini. Pemilik kerbau mengawasi dari tepian kolam. Tentu dia dengan setia menjaganya karena inilah asetnya yang berharga. Betapa tidak, nilai seekor kerbau belang (tedong bonga) bisa seharga mobil. Sebuah tabungan kehidupan. Sebuah jalan menuju kemakmuran.

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Kerbau Belang sedang berkubang di kolam. Hewan sakral Toraja yang berharga ratusan juta. 
Pedesaan yang penuh imajinasi tampaknya telah berakhir. Ujung jalan beraspal dimulai lagi. Tepat di persimpangan sebuah jalan menuju Kete’ Ketsu. Keasrian pedesaan telah digantikan lalu lalang kendaraan. Digantikan keriuhan wisata. Saya harus bergabung lagi bersama nuansa turisme yang riuh dengan "komoditas" budaya dan sejenisnya.

Ah, dua jam berada pada alam imajinasi Toraja rasanya sangat cepat. Seperti sekedar kelebat. Rasanya belum rela kaki saya kembali berpijak ditengah hiruk pikuk realitas.

Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja
Hamparan sawah pedesaan Toraja, harmoni alam dan budaya di pelataran Tongkonan.

Baca sebelumnya di: Harmoni Alam dan Budaya di Pelataran Tongkonan, Pedesaan Toraja (Bag I)

Harmoni kaki, kata dan hati ke penjuru negeri... INDONESIA


Artikel dan Foto oleh Iqbal Kautsar


Tentang Penulis:
Iqbal Kautsar, seorang; Pemakna khasanah INDONESIA | Pejalan dan pencerita perjalanan | Pecinta kopi, durian dan brotowali | Yogyakarta dan Kebumen | 
Anda bisa menghubunginya melalui email: iqbalkautsar@gmail.com


Sumber: artikel ini sebelumnya diposting dalam blog pribadi penulis _DIASPORA IQBAL_ dan atas izin dari penulis, artikel ini kami posting kembali untuk menambah informasi tentang pariwisata di Indonesia khususnya di Toraja.