Showing posts with label Batutumonga. Show all posts
Showing posts with label Batutumonga. Show all posts

Belum Pernah Liburan ke Toraja? 10 Pesona Wisata Ini Menanti Anda

Pesona hamparan persawahan di Batutumonga, Toraja. Foto: Rice Terraces of Batutumongan by Michele Burgess
Bingung mau liburan kemana? Dari sekian banyak destinasi pilihan, Tana Toraja di Sulawesi Selatan bisa menjadi alternatif destinasi liburan yang wajib Anda kunjungi. Keeksotisan Tana Toraja terbukti telah banyak memikat wisatawan mancanegara dan domestik untuk berkunjung.

Hingga tahun 2013, Dinas Pariwisata Kabupaten Tana Toraja mencatat pelonjakan 30 persen kunjungan wisatawan mancanegara sebanyak 19.324 orang dibanding tahun 2012. Bahkan kunjungan wisatawan domestik di tahun 2013  meningkat tajam lebih dari 100 persen yaitu sebanyak 42.319 orang dibandingkan tahun 2012.

Jika belum pernah pergi ke "Kepingan Nirwana di Jantung Sulawesi" ini, berikut 10 Alasan untuk anda berlibur ke Toraja:

1. Ma’Nene, tradisi mengganti pakaian jenasah leluhur. [Baca: Baju Baru untuk Mumi Leluhur Suku Toraja]

2. Menyaksikan upacara pemakaman khas Toraja (Rambu Solo). [Baca: Rambu Solo: Ritual Pemakaman Orang Toraja]

3. Uji Nyali di Londa. [Baca: Londa: Kompleks Makam Di Tebing Batu Toraja]

4. Mengunjungi Kambira, kuburan bayi yang ditanam di dalam batang pohon. [Baca: Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra']

6. Ada Kerbau belang seharga Rp 1 miliar (Tedong Saleko), yang merupakan kerbau endemik Toraja yang sangat sulit di dapat dan mahal karena digunakan untuk ritual upacara Rambu Solo. [Baca: Mengapa Kerbau Toraja Begitu Istimewa]

7. Rumah adat Tongkonan yang unik. [Baca: Orang Toraja dan Makna Tongkonan]

8. Menikmati pesona bentang alam Toraja dari Batutumonga dan Pango-pango. [Baca: Batutumonga, Senandung Budaya di Atas Awan]

9. Mengunjungi desa adat di Ke'te Kesu' [Baca: Andina Laksmi: Kete Kesu, Wisata Kuburan dan Tulang Belulang]

10. Festival Toraja Lovely December. [Baca: Toraja Lovely December 2014 "I Love Bamboo"]

dan banyak lagi destinasi lain di Toraja yang patut anda kunjungi... :)

”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja. Foto: ist
Uji nyali...? Burial Cave in Londa.
Taman menhir atau dalam bahasa Toraja disebut Batu Simbuang di Rante Karassik.
Kubur bayi di Kambira, mayat bayi yang belum tumbuh gigi di makamkan dalam batang pohon Tarra'.
Prosesi upacara pemakaman khas Toraja, Rambu Solo.
Rumah adat khas Toraja, Tongkonan.
Ritual pembantaian kerbau yang sering dianggap menyeramkan disebut Ma'tinggoro Tedong. Ritual itu dilakukan dengan cara menyembelih kerbau hanya dengan hanya satu kali tebasan parang kecil.
Tana Toraja dapat ditempuh selama kurang lebih 8 jam melalui jalan darat dari Makassar melewati Pare-Pare dan Enrekang. Begitu memasuki kawasan Tana Toraja, anda akan serasa dikirim oleh mesin waktu kembali ke masa lalu, masa purbakala. Suasana yang tidak akan Anda dapatkan di tempat lain.

Tana Toraja merupakan salah satu tempat konservasi peradaban budaya Proto Melayu Austronesia yang masih terawat hingga kini, sehingga pemerintah Indonesia mengajukan kawasan wisata di Sulawesi Selatan ini ke UNESCO untuk menjadi Situs Warisan Budaya Dunia sejak 2009.

Keeksotisan Tana Toraja ini telah banyak mengundang wisatawan mancanegara dan domestik untuk berkunjung. Keunikan adat istiadat masyarakat Tana Toraja yang sangat menjaga tradisi para leluhur inilah yang membuat para wisatawan antusiasme berkunjung ke tempat yang terkenal dengan upacara pemakaman Rambu Solo dan tradisi mengganti pakaian jenasah leluhur Ma’ Nene yang berlangsung tiga tahun sekali ini.

Masyarakat Tana Toraja percaya bahwa adat istiadat harus selalu dipelihara, karena jika tidak maka dapat mempersulit kehidupan mereka yang telah dibangun sejak zaman nenek moyang. Meski memiliki kelimpahan sumber daya alam seperti kopi, masyarakat Tana Toraja juga menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan, karena mereka meyakini bahwa hidup adalah untuk mempersiapkan kematian.

Jadi tak lengkap rasanya, jika tidak mengunjungi situs pemakaman tradisional masyarakat Toraja yang berada di atas bukit batu. Selain itu, ada juga tempat pemakaman bayi yang belum tumbuh gigi, yang ditempatkan di sebuah batang pohon.

Jangan lewatkan juga, untuk mengunjungi tempat pengolahan dan mencicipi kenikmatan kopi Toraja yang sudah sangat terkenal.

Sebagai referensi bagi anda untuk menikmati liburan ke Tana Toraja, di bulan Desember Pemerintah Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara mengadakan program tahunan "Lovely December" guna meningkatkan kunjungan wisatawan.

Untuk tahun 2014, bambu menjadi tema sentral kegiatan, mulai dari pentas seni hingga fasilitas pendukung lainya menggunakan bambu, sehingga tema yang diangkat adalah "I Love Bamboo".




Foto: Google
Sumber: Tribunnews

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
WELCOME TO TORAJA  |  TAU-TAU
Manusiawi sekali jika ada orang Jakarta yang tak begitu antusias melipir ke Pulau Seribu, atau orang Bali yang belum pernah ke Nusa Penida, atau bahkan orang Papua yang sama sekali tidak tertarik ke Raja Ampat. Saya sendiri pernah berdomisili di Makassar namun tak terbesit keinginan sedikitpun untuk melancong ke Tana Toraja. Tak perlu ditentang, ini masih masuk akal. “Kan saya tinggal disini, nanti saja kapan-kapan.” Begitulah kira-kira kalimat standar yang sanggup menjinakkan hasrat.

Saya pernah bertemu dengan segerombolan turis Belanda yang mati-matian menabung demi bisa membeli tiket pesawat Amsterdam - Makassar via Denpasar. Jangan tanya sejak kapan mereka mulai gemar menyimpan uang di kaleng Khong Guan, saya rasa saat para mantan koloni itu mulai mengetahui jika mayat orang Toraja bisa berjalan sendiri ke kuburan mereka.

Zein without Maher, pemuda lajang asal Jogja ini rela datang dengan berbagai harapan. Saya, Ahlul, dan Ran yang diutus Tuhan sebagai teman jalan si bocah perawan bahagia bukan kepalang. Pertama, Zein ini temannya Ahlul, lalu karena alasan ingin memangkas krisis kantong tipis, saya dan Ran diajak melibatkan diri. Kedua, ini sudah pasti menjadi kunjungan pertama beta, Ran, dan Zein ke Toraja. Sedangkan Ahlul, entah kapan ia terakhir kesana, tapi ia masih mengingat jelas urutan kabupaten yang akan dilewati setelah bertolak dari Makassar. Ketiga, semua mimpi ini takkan pernah jadi nyata jika Ahlul dan Zein tak pernah berteman sebelummnya. Puji Tuhan!

Kami berangkat ke Toraja dengan bus bersuspensi udara yang super worth it. Butuh 8 jam perjalanan, duapuluh juta topik obrolan, satu jam perjuangan menahan mual, 3 bar lampu daya power bank sebagai genset pecinta gadget, dan secercah harapan untuk bisa tiba di kota Rantepao. Sekedar diketahui, Ibukota kabupaten Tana Toraja sendiri berada di Makale, namun pusat perekonomian dan jantung pariwisata lebih kelihatan menggeliat di kota Rantepao.

Pembaca yang terhormat, tahukah kalian jika kami telah bersepakat akan tinggal sehari disana, di hotel alakadarnya, dengan menyewa motor warga yang belum jelas keberadaannya, dan pulang dengan keadaan bahagia tak terkira? Percuma, kami terpaksa menelan mentah-mentah saran ibunda Ahlul yang membungkam kebebasan berekspresi kami. Ya, beliau pernah lama tinggal disana. Kami diyakinkan agar menuntaskan semua destinasi di wish list dalam sehari saja. Setelah itu, pulanglah ke Makassar dan jangan membantah. Baiklah, bukankah suara ibu adalah suara Tuhan?

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
KE'TE KESU  |  RAMBU SOLO'
Tak ada adegan memicingkan mata saat pertama kali tiba di Toraja. Maklum, jalan spiral trans Sulawesi disepanjang Enrekang masih meyisakkan mual tak terkira. Kami hanya butuh lima menit untuk bersepakat rute pertama segera dimulai dari mana. Masjid! Hanya di tempat ini semua hajat besar dapat dilaksanakan. Malang rupanya, pagar masjid tertutup rapat, madrasah di sampingnya pun sedang libur. Tak ada toilet untuk kalian, wahai pengembara tua bangka!

Rencana merental motor pun kami ganti dengan saweran menyewa satu mobil, termasuk supir, bensin, guide, merangkap kamus Torajapedia. Pak Ela membuat kami kagum akan keramahan beliau, katakanlah dia tahu menempatkan diri sebagai pemandu sekaligus tuan rumah yang baik. Semoga Tuhan berkati bapak.

Saya harus memulai kisah ini dari Kete’ Kesu, semacam kompleks rumah adat yang terdapat Tongkonan lengkap dengan Alang Sura, alias Tongkonan berukuran kecil yang berfungsi sebagai tempat lumbung padi. Dibelakang kompleks ini terdapat makam leluhur orang Toraja, Kubur Gantung. Untuk menuju kesana cukup dengan berjalan kaki melewati beberapa menhir, tau-tau (patung yang dipahat berbentuk manusia), dan tengkorak yang diletakkan di dinding-dinding tebing.

Jujur, saya tak begitu antusias dengan tempat ini, mungkin karena terlalu touristy bagi para pelancong. Saya bahkan lebih terkesan dengan ritual Rambu Solo yang kita jumpai setelah dari Kete’ Kesu. Ini seperti halnya saya lebih takjub berjumpa dengan Ban Ki-moon dibanding Pokemon. Rambu Solo adalah ritual kematian super meriah yang menelan banyak biaya. Hari itu, Pak Ela berinisiatif mengantar kami ke salah satu keluarga yang sedang melangsungkan upacara ini. Beruntung, oleh seorang ibu yang mengaku sebagai keluarga berduka, malah menyambut kami dengan sangat ramah. Ramah sekali.

“Duduk saja disini, ini sebenarnya panggung keluarga inti, tapi tak mengapa, kalian ini tamu, dan tamu selalu membawa berkah. Silakan menikmati, saya pamit tinggal sebentar.”

Lima menit berikutnya wajah sumringah kami menjadi lemas. 30 ekor kerbau persembahan ditebas dengan parang sepanjang lengan. Saya menutup mata, darah segar tempias dari lehernya, ia melompat, kejang-kejang, lalu tumbang. Satu, dua, belasan, hingga kerbau ke berapa puluh itu dipersilakan maju menjemput maut. Ini memang ritual, tapi tak ada salahnya meminjam istilah Ahlul. Ini seperti genosida, teman.

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
BABY GRAVES KAMBIRA  |  KUBUR GANTUNG KE'TE KESU'
Lepas tu kami nak ke Baby Graves di Kambira, I never knows about this place anyway, make sure riwayat tempat camni pun I takde buat, even tengok kat Wikipedia pun tidak. Nah, nyatanya ini salah satu tempat femes. You pernah dengar about kuburan kat pohon, ke? Inilah! Dahulu, bilamana ada bayi yang lahir dan meninggal sebelum tumbuh gigi, dia akan dimakamkan disini, ditanam di dalam pohon khusus ini. Konon, jika rumah duka menghadap timur, kubur harus menghadap ke barat. Tujuannya supaya bayi tenang diasuh pohon Tarra’ dan tak minta pulang ke rumah dukanya.

Setelahnya, kami diajak masuk ke satu Tongkonan modern yang  dimiliki beberapa keluarga sekaligus. Seperti biasa, diseberang Tongkonan utama selalu menjulang Alang Sura.  For your information, satu Tongkonan mampu menampung empat keluarga besar, untuk hitungan ideal tiap pasang suami-istri memiliki 3 orang anak. Kali ini, saya memutuskan tidak membahas panjang lebar perihal motif ukiran, filosofi, hingga makna tanduk kerbau yang disusun pada tongkonan. Sudah banyak artikel yang membahas tentang ini, semoga kau menemukan pencerahan di tempat lain, nak.

Saya lupa persis nama guide yang menemani kami siang itu, tapi ia menawarkan wisata paling fantastis setelah saya bertanya tentang mumi Toraja. “Ada tante saya yang sudah meninggal setahun lalu tapi sampai hari ini belum dibuatkan upacara pemakaman. Rumah duka tak jauh dari sini, mari saya antar, tapi bersikaplah biasa, karena kami selaku orang Toraja percaya bahwa mayat yang belum dikubur adalah orang sakit yang harus dilayani.” Kami diam seribu bahasa.

Mendengar kata mumi, pikiran pasti melayang ke sosok Fir’aun, si jahat berhati batu yang lebih durhaka dari Malin Kundang si kacang lupa kulit. Bedanya dengan ini, mayat sengaja diawetkan dan dirawat layaknya orang sakit, dengan keterlibatan semua keluarga yang bahu-membahu mencurahkan kasih sayang, karena yang meninggal ternyata ‘masih sakit’, dan tak pernah menentang Tuhan. Siapapun kamu, akan membuang jauh-jauh rasa takut, dan angkat topi untuk tradisi yang paling sakral ini. Saya pribadi, menaruh hormat untuk sang ‘tante’ yang telah berpulang, dan memberi dua jempol untuk keluarga sederhana yang sangat mulia.

Kami melanjutkan perjalanan ke Suaya, menurut Pak Ela, situs ini mirip seperti pemakaman batu yang terletak di Londa, tapi karena kami anti mainstream, ia menawarkan rajanya Londa, Suaya King’s Grave. Sudah pasti tempat dan atraksi wisata di Toraja tak akan jauh-jauh dari mayat, tengkorak, makam, kerbau, darah, dan batu. Bijaklah jika you nak bercuti kat sini with limited times, pilih satu je yang korang nak interest. For example, bilamana korang nak tengok Marcel Chandrawinata, tengok je Mischa, sebab tu sama je.

Ahlul merayu Pak Ela agar beliau mau mengantar kami ke Batutumonga, sebuah destinasi wisata alam yang berada di lereng gunung Sesean, yang juga menurut Ahlul masih terdapat bebatuan purbakala peninggalan nenek moyang Toraja. Malang, Pak Ela menolak dengan halus karena alasan cuaca dan terbatasnya waktu yang kami miliki. Masuk akal, kami harus kembali ke Makassar jam 9 malam, otomatis harus standby elegan di stasiun bus satu jam sebelumnya, dan perjalanan dari Suaya ke Batutumonga memakan paling kurang 4 jam return, sedangkan saat itu sudah pukul 3 siang, jelas kami tak akan ambil risiko.

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
SUAYA KING'S GRAVE | PERKAMPUNGAN ADAT
Tak kekurangan akal, Pak Ela kembali melakukan terobosan membosankan, kami di ajak ke Lemo, tak lain dan tak bukan adalah ke kuburan batu (lagi). Saya memilih istirahat selama perjalanan, entah apa yang tiga serangkai lakukan di jok belakang, semoga Tuhan memberkati. Melihat kami tak begitu antusias begitu tiba di Lemo, Pak Ela bergegas ke mobil, menginjak pedal dan membawa kami lekas pergi dari objek wisata yang sama persis dengan Suaya King’s Grave dan Londa. Batu.

Kali ini saya tak bisa menemukan jati diri, yang selalu sigap saat trip tak sesuai kehendak, yang sering melahirkan ide aneh ketika sebuah destinasi tak menjual apa-apa. Maaf pemirsa, ini karena kami berempat sudah mempercayakan segala rahasia Ilahi ke pundak Ela Lopez, sebuah nama samaran yang muncul begitu saja dari pojok belakang kepala beta.

Taruna tua menerbangkan segala debu dari jalanan gersang, memberitahu kami jika infrastruktur tidak pernah dinomor satukan. Kondisi seperti ini hampir terjadi di seluruh wilayah di luar kota Rantepao, yang padahal menjadi kantong-kantong penyokong pariwisata. Ah, kekesalan makin beranak-pinak ketika nasi goreng pesanan saya mengandung dua genggam garam dapur produksi Laut Mati Jordania. Asin sekali.

Ela tetap tenang memandang kedepan, kakinya naik-turun mengatur kecepatan, sengaja ia mengundang sejuknya angin memeluk kami yang kelelahan. Mobil dipacu ke sebuah pemukiman adat di perbukitan granit, kami disambut teduhnya sungai Saddang yang kecoklatan. Sawah dengan embun segar dibawah sana, menyambut matahari yang berusaha undur diri. Lihat, pemandangan seperti ini bahkan terasa lebih damai dibanding membaca pesan dari orang yang pura-pura sayang. Ups, beta kecoplosan.

Tak ada atraksi wisata selama di kampung adat ini, tapi kami menemukan wajah lain dari Tana Toraja yang terlanjur dikenal akan ritual kematian. Disini, air mengalir jernih di selokan, bunga dan rumput  berlomba siapa yang lebih tinggi, aroma segar batang pohon memenuhi tiap sudut jalan. Disinilah letaknya kehidupan, harapan, dan alam warisan nenek moyang yang mampu berjalan beriringan dengan hebohnya upacara kematian. Sudah tentu, selain lebih sakral dibanding selamatan kelahiran atau acara kawinan, ini juga merangkap barometer status sosial sejak era Hawa dan Adam. Mungkin.

Kami kembali ke Rantepao ketika langit tak lagi biru, Ela mengucapkan salam perpisahan beserta doa agar kami selamat tiba di tujuan. Masjid, target pertama sejak pertama datang kini telah membuka pintunya lebar-lebar. Usai sholat maghrib, kami harus angkat kaki saat segerombolan ibu-ibu penumpas fakir colokan memberi kode lewat meja arisan yang siap didekorasi. Kami terpaksa mengadu lapar di sebuah kedai ayam goreng lokal yang berusaha berdandan internasional.

Sebelum naik ke bus, saya seperti tak ingin pulang, pergi meninggalkan kota kematian yang sanggup memberi penghidupan. Toraja, kalau bukan karena Tongkonan, jika tak ada kematian, bila bukan karena nenek moyang, kau tak ubahnya pedalaman yang kekurangan perhatian, yang keperawananmu dikendalikan pemerintahan, yang akan mengadu keadilan pada orang-orang seperti kami, para pejalan yang berjanji mengabarkan ke seluruh dunia jika kau kau hidup serba kekurangan.

Toraja, jika bisa menitipkan sepenggal kerinduan, saya ingin tinggal saja di dalam pohon Tarra’, atau menjadi penjaga Pallawa. Kau berhasil menyelipkan putih diantara hati yang menghitam. Karena harus saya akui, hanya disini, habis gelap terbitlah terang!

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
Penulis dan rekan-rekan. Foto: Travendom

#NB: Artikel ini sebelumnya diposting di situs Travendom (*sumber). Guna memperkenalkan kekayaan khasanah Budaya Toraja kepada khalayak, maka artikel ini kami posting kembali. Salam

Foto dan Naskah berasal dari sumber yang sama.

Sehari di "Tanah Para Raja Surgawi"

Langit Senja di Kete Kesu. Foto: KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
TANA TORAJA "tanah para raja surgawi". Bentang alam nan indah dengan hutan hijau, persawahan, dataran tinggi di utara Sulawesi Selatan ini begitu memikat hati.

Makale dan Rantepao membentang bagai permadani di bagian bawah dataran tinggi Tana Toraja, sementara Batutumonga dan Gunung Sesean seperti gardu pandang yang memberikan tempat bagi pencinta alam untuk memanjakan mata.

Berjalan lebih mendekat, menyapa para orang-orang penutur bahasa Austronesia yang berdiam di negeri atas pun bisa menjadi keasyikan tersendiri. Mereka ramah dan terbuka.

Tidak cukup sehari untuk bisa memahami Tana Toraja seutuhnya. Namun, satu hari cukup bagi mereka yang haus berpetualang ke tempat-tempat baru untuk mengenal tanah ini.

Petualangan menelusuri tanah para raja surgawi ini bisa dimulai lebih pagi dengan mengunjungi Kete Kesu, desa tua di Kecamatan Kesu, Rantepao, yang menurut sebagian orang berusia 400 tahun dan menurut sebagian lainnya berumur 700 tahun.

Kudu -- keturunan asli desa tua yang kini menjadi tujuan wisata "wajib" di Tana Toraja -- percaya usia desa leluhurnya lebih dari 700 tahun.

Papan ini dapat ditemukan saat memasuki Desa Ke'te Kesu'. Foto: Ist
"Itu, Kesu (Tongkonan Puang Ri Kesu). Rumah itu yang disebut Kesu," kata Kudu sambil menunjuk salah satu Tongkonan yang berjajar di Desa Kete Kesu.

Menurut dia, Kesu sebelumnya berada di atas bukit kapur di belakang desa tersebut. Baru setelah keadaan Toraja damai dari pertikaian antarkerajaan atau marga, saat Belanda mulai masuk dataran tinggi di utara Sulawesi Selatan tersebut, Kesu dipindahkan ke lokasi sekarang.

Dari enam Tongkonan yang berjajar berhadap-hadapan dengan 12 alang (lumbung padi) di desa tersebut, bangunan Kesu memang tampak lebih tua.

Bagian atap yang terbuat dari bambu yang menurut Kudu biasanya baru diganti setelah 40 tahun tersebut sudah tertutup lumut dan sejenis tanaman pakis.

Tongkonan yang berada di desa ini tidak lagi ditempati. Namun keluarga tetap tinggal di desa tersebut dengan membangun rumah dan kios cendera mata di sekitar rumah khas Toraja yang beratap seperti perahu tertelungkup tersebut.

Pekuburan Batu

Dari Kete Kesu, Londa bisa menjadi tujuan berikutnya. Pekuburan yang berada di bukit kapur dengan goa-goa alami yang berada sekitar lima kilometer arah selatan dari Rantepao itu merupakan makam bagi marga Tolengke.

Sekitar 10 hari sebelum kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono ke Tana Toraja, Londa berbenah. Jalan masuk ke pemakaman di semen, dan tiga pohon yang menutupi pandangan ke mulut goa dipotong. Seperti kuburan-kuburan lain di Toraja, Londa unik dan istimewa.

Presiden SBY dan Ibu Ani menerima penjelasan tentang Objek Wisata Pemakaman Londa di Kecamatan Sanggalangi, Kabupaten Toraja Utara, Sulsel (21/02). Foto: Ist
Erong (peti mati) berusia puluhan hingga ratusan tahun yang mulai lapuk termakan usia tertumpuk di luar mulut goa, tengkorak dijajarkan di dekatnya, sementara tau-tau yang merupakan boneka kayu tiruan dari orang Toraja yang dikuburkan juga di sana berderet rapi.

Erong dan peti mati dalam bentuk yang lebih modern juga banyak ditemukan di dalam goa. Peti-peti mati berukuran kecil berada lebih dekat dengan mulut goa, beberapa tengkorak berukuran kecil tergeletak di dekatnya.

Berjalan lebih ke dalam goa peti-peti mati berukuran besar tertumpuk sembarangan. Beberapa peti telah rusak sehingga tengkorak pun terlihat.

Sepasang turis Perancis tampak seksama mendengarkan penjelasan pemandu sambil menikmati pemandangan unik di dalam goa. Meski sedikit kesulitan melewati bagian goa yang berlangit-langit rendah, eksplorasi mereka di dalam goa berlanjut.

Erong atau peti-peti mati diletakkan di goa-goa yang berada di tebing bukit kapur berketinggian lebih dari 20 meter itu. Perlu orang berketerampilan khusus untuk membawa peti mati ke bagian tebing yang curam tersebut.

Menurut Edy, warga Kesu, peti mati akan diturunkan dari atas bukit dengan tali ke tebing, atau ditarik ke atas dengan tali, kemudian dimasukkan ke dalam goa-goa yang ada di tebing bukit kapur yang terjal itu.

Cara penguburan yang tidak jauh berbeda juga dilakukan di bukit kapur di belakang Desa Kete Kesu. Di sanalah para leluhur dari Kete Kesu dimakamkan. Cara sedikit berbeda dilakukan di Kuburan Batu Lemo yang terletak di Poros Makale. Di sana, tebing tinggi dilubangi agar peti-peti mati dapat diletakkan di dalamnya.

Burial Cave, Londa, Tana Toraja. Foto: google
Burial Cave, Londa, Tana Toraja. Foto: google
Burial Cave, Londa, Tana Toraja. Foto: flicker
Kubur gantung, Londa, Tana Toraja. Foto: google

Dataran Tinggi Toraja

Selesai melihat pekuburan di Goa Alam Londa, perjalanan bisa dilanjutkan ke dataran yang lebih tinggi, Batutumonga. Perkampungan khas Toraja dengan rumah-rumah Tongkonan berusia tua hingga baru berselang-seling dengan hamparan sawah selama perjalanan mendaki ke lereng Gunung Sesean yang tingginya sekitar 2.100 mdpl hingga tiba di Batutumonga.

Siapa saja yang beruntung telah menjejakkan kaki hingga ke Batutumonga pasti mengakui keindahan alam Tana Toraja. Perjalanan ke tanah raja-raja surgawi ini baru terasa lengkap setelah melihat sendiri keindahan bentang alamnya.
Pemandangan negri di awan, Batutumonga, Tana Toraja. Foto: google
Alida Petronella van de Loosdrecht-Sizoo, istri Antonie Aris van de Loosdrecht -- misionaris pertama yang tiba di Toraja sekitar 100 tahun lalu -- menyebut negeri raja-raja surgawi ini hampir seindah Swiss.

Rangkaian bukit kapur dengan latar belakang pegunungan lebih tinggi yang puncak-puncaknya tertutup awan begitu memukau hati. Sementara teras siring persawahan yang menutupi sebagian besar lereng Gunung Sesean mengingatkan pada indahnya Tegalalang di Ubud, Bali.

Hanya kubur-kubur batu di sepanjang jalan di lereng Gunung Sesean, seperti Kubur Batu Loko Mata, yang membedakannya dengan teras siring Bali.

Batutumonga juga punya banyak tongkonan tua. "Malah sepertinya lebih tua dari yang di Kete Kesu," ujar Edy, tukang ojek yang hari itu merangkap menjadi pemandu wisata.

Menurut dia, setiap keluarga Toraja harus membangun Tongkonan lengkap dengan Alang. Karena berbeda dengan rumah-rumah tradisional di daerah lain, rumah tradisional ini tidak pernah akan punah selama orang Toraja masih ada.

Saat waktu makan siang tiba, perut bisa diisi di restoran atau warung-warung makan sambil menikmati keindahan bentang alam Tana Toraja di Batutumonga.

Pemandangan negri di awan, Batutumonga, Tana Toraja. Foto: google
Atau sekadar menikmati kopi Toraja sambil menyaksikan pemandangan teras siring persawahan berseling atap-atap khas Tongkonan yang menyembul dari lebatnya pepohonan di lereng dan lembah Gunung Sesean.

Batutumonga terasa begitu hening. Waktu terasa begitu bersahabat, berjalan pelan dan damai. Tidak ada ketergesaan. Setelah puas menikmati Dataran Tinggi Toraja, perjalanan menuruni lereng Gunung Sesean bisa dilakukan menggunakan sepeda motor, menyusuri pinggir Sungai Sadan menuju Desa Sadan Malimbong, pusat tenun di desa tersebut.

Pada hari Sabtu di akhir pekan pertama Februari, pusat tenun Toraja begitu senyap, nyaris semua kios tutup. Beberapa lapak bukan tutup karena libur melainkan tutup selamanya karena bagian dalamnya kosong dan berdebu.

Aktivitas hanya terlihat di kios milik nenek Ratih (85). Seorang gadis berusia 16 tahun bernama Asni sedang menenun menggunakan alat tenun tradisional. Sudah hampir empat hari dia menenun dan paling tidak dia butuh satu bulan lagi menuntaskan apa yang sedang dikerjakan.

Nenek Ratih yang sudah hampir 20 tahun tidak menenun karena kedua kakinya sakit hanya duduk di kursi dan mengajarkan cara menenun yang baik kepada Asni sambil menunggui kiosnya yang sepi pengunjung.

"Mungkin tempat ini terlalu jauh dari Rantepao, jalannya pun tidak begitu bagus. Oleh karena itu, turis-turis jarang ada yang mau mampir," kata Edy.

Di kios Nenek Ratih yang sepi, perjalanan sehari untuk mengenal tanah raja-raja surgawi berakhir. Tapi petualangan untuk menyelami Tana Toraja juga bisa dimulai dari sini. 

Ornamen ukiran & pahatan khas Toraja di Tongkonan. Foto: OMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ornamen ukiran khas Toraja di Tongkonan. Foto: Ist


Batutumonga, Senandung Budaya di Atas Awan

“Tidaklah lengkap perjalanan wisata Anda ke Toraja, jika tidak menginjakkan kaki di Batutumonga.”
Batutumonga, Tana Toraja
Batutumonga, Senandung Budaya di Atas Awan
Itu pernyataan yang saya dengar dari Ibu Nelsi, wisatawan asal Probolinggo, Jawa Timur, yang kebetulan bertemu di sebuah coffee shop di daerah Tinimbayo, sebuah tempat yang diibaratkan sebagai pintu gerbangnya kawasan wisata alam, Batutumonga, beberapa waktu lalu. Ibu Nelsi ini datang bersama rombongan yang berjumlah enam orang (dua diantaranya orang Toraja yang kebetulan tinggal di Probolinggo), untuk menghabiskan waktu liburan selama seminggu di Toraja.

“Kami menggunakan mobil pribadi dari Makassar dan sudah melewati banyak tempat indah di Tator dan Toraja Utara, tetapi tidak lengkap memang kalau tidak mengunjungi tempat ini (Batutumonga-red). Teman saya benar, memang tidak lengkap kalau tidak mengunjungi Batutumonga kalau kita ke Toraja,” urai Ibu Nelsi, yang mengaku sudah tiga hari berada di Rantepao, untuk mengikuti acara Rambu Solo’ (upacara kematian) ibu dari salah satu sahabatnya.

Batutumonga Toraja
Bentang alam pegunungan Toraja dilihat dari Batutumonga.
Pernyataan ibu dua anak, yang mengaku memiliki home industry batik ini, memang ada benarnya. Selain kawasan Pango-Pango, yang baru mau dibuka oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, kawasan Batutumonga ini memang merupakan tempat terindah di Toraja Utara. Dari tempat ini, hampir semua hal yang didambakan para turis, bisa terpenuhi. Mulai alamnya yang indah, kombinasi antara gunung, bukit, lembah yang dibalut kabut, dan panorama sawah yang bertingkat-tingkat, serta keramahan penduduk setempat. Untuk mengetahui sejarah atau teknis pembuatan makam dari batu, yang merupakan tradisi orang Toraja, ahlinya ada di tempat ini. Lempo, yang merupakan salah satu daerah di kawasan Batutumonga, merupakan tempat asal banyak ahli pemahat kuburan batu ini. Jika ingin melihat komplek rumah adat Toraja (Tongkonan) beserta belasan lumbung padi yang berada di depannya, di kawasan Batutumonga ini juga menyediakannya. Mulai dari Lempo, sampai Lo’ko’ Mata, terlihat banyak deretan Tongkonan plus lumbung padinya.

Selain itu, di kawasan ini juga biasa digelar upacara adat kematian dalam skala besar, dengan menyembelih banyak hewan kurban, dan melibatkan orang dalam jumlah besar. Pengrajin ukiran Toraja juga banyak terdapat di tempat ini. Letaknya yang tepat di kaki gunung Sesean, memungkinkan Batutumonga menjadi tempat homebase untuk para turis yang gemar mendaki gunung. Dari tempat ini, seluruh hamparan wilayah mulai dari Sa’dan, Sesean, Tondon, Tallunglipu, Rantepao, hingga daerah Sanggalangi bisa terlihat dengan jelas.

Batutumonga Toraja
Lubang-lubang makam yang dipahat pada batu, Loko Mata.
Jarak Batutumonga dari Rantepao, sebagai destinasi utama pariwisata Toraja, cukup jauh, sekitar 20 kilometer. Untuk mencapai tempat ini, banyak alternatif transportasi yang bisa digunakan. Angkutan pedesaan, dari dan ke Batutumonga cukup lancar setiap hari. Rental mobil atau sepeda motor juga cukup banyak tersedia di kota Rantepao dan cukup murah. Para penggemar sepeda bisa menggunakan sepeda sambil menikmati pemandangan maha indah di sisi kiri dan kanan jalan, mulai dari Rantepao hingga ke Batutumonga. Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir ini, kondisi jalan menuju ke Batutumonga cukup buruk, sehingga sangat mengganggu kenyamanan para pengunjung. Lubang-lubang besar tampak menganga di sepanjang jalan. Lubang-lubang ini berubah menjadi kolam-kolam kecil saat hujan. 

Pada hal, sebelum sampai ke tujuan utama, Batutumonga, banyak hal yang bisa dinikmati, baik pemandangan alam, kuburan-kuburan batu, yang banyak terdapat di sisi kiri dan kanan jalan, hamparan areal persawahan di sisi bukit, atau aliran sungai Sa’dan yang berkelok mengikuti kemiringan lereng. “Ya, satu kekurangannya, jalannya jelek sekali, semua badan sakit karena mobil goyang sekali di jalan tadi,” keluh Ibu Nelsi. “Padahal kita sekali nyaman menikmati perjalanan sehingga tidak kelelahan saat pulang,” sambungnya.

Soal fasilitas, di tempat ini cukup lengkap untuk memenuhi kebutuhan pengunjung. Hotel dan homestay, cukup banyak tersedia di tempat ini. Tarifnya juga cukup variatif dan terjangkau. Di tempat ini juga tersedia coffee shop untuk para penikmat kopi, sambil menikmati ciptaan Tuhan yang Maha Indah itu. Souvenir dan oleh-oleh khas Toraja, juga tersedia. Sayangnya di tempat ini tidak tersedia tempat hiburan, sehingga tempat ini hanya cocok untuk orang-orang yang menginginkan suasana sepi untuk melepas kepenatan dari setumpuk aktivitas harian di kota. 

Tinimbayo Coffee Shop
Kafe Tinimbayo, tempat menikmati kopi Toraja dan pemandangan di Batutumonga.
Jika Anda ingin menginap di Batutumonga dan menghabiskan waktu liburan atau akhir pekan, memang tidak banyak yang bisa diperbuat di Batutumonga ini, selain melihat kecantikan alam saja. Wilayah lereng Sesean ini termasuk salah satu tempat yang sepi di Toraja. Hampir tidak ada aktifitas berarti di seputaran wilayah ini selain para warga lokal yang mencari pakan ternak mereka. Jumlah mereka pun bisa dihitung dengan jari. Cocok memang untuk bermalas-malasan disini sambil menikmati pemandangan di ketinggian. Walaupun sejuk, namun sengatan matahari pada tengah hari cukup bisa membakar kulit. 

Untuk mengatasi kejenuhan akibat tidak adanya aktivitas di Batutumonga, Anda bisa bergeser ke berbagai arah, kecuali arah utara, karena akan menabrak tembok batu gunung Sesean. Ke arah barat, Anda bisa mengunjungi Lo’ko’ Mata, sebuah situs kuburan purbakala, yang lokasinya sekitar 2 kilometer dari Batutumonga atau sekitar 30 menit perjalanan. Situs Lo’ko’ Mata ini, merupakan kompleks pemakaman alam, yang terletak di sebuah batu besar di sisi sebelah kanan jalan. Di batu yang berukuran raksasa ini, penduduk setempat memahatnya dan membentuk lubang-lubang makam. Jumlah lubang makam di Lo’ko’ Mata ini mencapai puluhan. Tetapi mayat yang ada di dalamnya bisa berjumlah ratusan.

Rice terrace in Toraja
Pemandangan kabut diatas persawahan ditepi jalan menuju Batutumonga.
Ke arah timur, Anda bisa mengunjungi desa/lembang To’yasa Akung, atau terus ke objek wisata Palawa’, atau terus ke daerah Sa’dan, yang jaraknya juga tidak jauh dari Batutumonga. Akses jalan menuju ke tempat-tempat ini, tersedia, meski masih dalam kondisi yang cukup berat. Lebih mudah akses jalannya adalah menuju ke daerah Bori’, kecamatan Sesean, via Buntu Lobo. Karena di daerah Buntu Lobo dan Bori’ ini, juga tersedia objek wisata lain, yang tidak kalah menarik. Yang jelas, ketika Anda mengunjungi Batutumonga, dijamin Anda tidak akan merasa kecewa. Bahkan banyak cerita indah yang Anda bawa pulang.

Satu hal lagi, jika Anda menginap di Batutumonga, Anda akan merasa seperti tidur di atas awan. Mengapa? Pertama, daerah ini benar-benar dingin di malam hari. Kedua, dari tempat ini, Anda bisa menyaksikan kelap-kelip lampu-lampu di kota Rantepao dan sekitarnya pada malam hari. Terakhir, jika Anda bangun di bagi hari, Anda akan menyaksikan hamparan kabut yang menutupi semua tempat yang ada di bawah Batutumonga, sehingga kesan yang akan timbul adalah Anda ada di atas awan. Akhir kata, jangan mati dulu sebelum mengunjungi Batutumonga. (***)


Sumber: Tabloid Kareba