Showing posts with label Toraja Utara. Show all posts
Showing posts with label Toraja Utara. Show all posts

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik (Bag.II)

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Deretan menhir atau simbuang batu di Bori Kalimbuang.


Basho kemudian mengajak saya menaiki setapak. Menembus rerimbunan pohon dan bambu. Suasana sejuk mengiringi perjalanan yang mengantarkan pada kesegaran. Hingga 100 meter kemudian saya tiba pada sebuah batu besar berbentuk oval yang dilubangi sebagai tempat peletakkan jenazah. Itulah Liang Pa’. Sebuah kompleks kuburan batu di Bori’ Kalimbuang.

“Pembuatan lubang ini, unsur adat masih sangat kental.” Jelas Basho. “Misalnya mau membuat siku tiap sudut saja, perlu dikurbankan hewan.” Satu lubang pada Liang Pa’ ini adalah milik satu keluarga besar. Orang yang berhak dikuburkan di situ adalah keluarga besar sang pemilik lubang tersebut.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Liang Pa' di kawasan Bori Kalimbuang. Satu lubang untuk satu keluarga.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Tengkorak berserakan dan bertumpukan di salah satu lubang Liang Pa'. Seram.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Pintu kubur di Liang Pa' yang akan dipersiapkan untuk penguburan jenazah.

Pada salah satu lubang, terdapat banyak tengkorak terpajang. Kesannya terasa mistis. Mereka bertumpuk-tumpukan seperti sedang berebutan memerhatikan perangai saya. Terlebih, di sampingnya ada beberapa pigura foto lengkap dengan sesajinya. Horor. Sepertinya itu adalah tokoh adat di Bori’ yang belum lama disemayamkan pada Liang Pa’. Untung saja kicauan burung liar berhasil menyemarakkan suasana.

Sebenarnya Basho akan mengajak untuk melanjutkan menelusuri setapak. “Ada perkampungan penduduk di sana.” katanya. Namun, sore yang kian menjadi mengubur niatan itu. Kami pun kembali ke tempat parkir. Sesampainya, saya melihat ada bangunan yang tampak diobrak-abrik di seberang pandang. Cukup jauh, tapi tetap bisa kelihatan. Ada apa gerangan?

Seorang lelaki tua setempat bercerita. “Masyarakat menghukum sang pemilik rumah karena melakukan pelanggaran berat atas adat. Rumah dan pekarangannya pun diobrak-abrik.” Sayangnya saya tak mendapatkan rincian adat apa yang dilanggar. Mobil kami pun mulai melaju. Tapi, dari balik kaca, saya tetap saja memandangi rumah yang rusak itu. Sembari pikiran saya berkelana. Ah, berarti masyarakat Toraja sangat disiplin dan tegas menjunjung tradisi adatnya. Kini kami mulai memasuki hutan. Berkelok-kelok.

Tiba-tiba tampak dua orang wisatawan asing berjalan kaki di tepian jalan. Mereka sepertinya kelelahan tetapi begitu menyesap nikmat suasana. “Turis asing suka berjalan-jalan, berpetualang menelusuri alam Toraja. Mereka biasanya berwisata secara mandiri” tutur Basho. 

Lepas dari hutan, sampailah kami di Sesean. Kota kecamatan ini begitu lengang. Sore telah membuat penghuninya sibuk di dalam rumah. Tapi, menara gereja tampak menjulang di antara pemukiman dan Tongkonan. Ini mengingatkan saya pada simbol. Tradisi leluhur dengan agama ‘mainstream’ bisa harmonis berpadu di Toraja.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Suasana yang nyaman dan asri di wilayah Sesean.

Seperempat jam kemudian, mobil berhenti. Di pinggir sebuah pohon beringin besar. Basho keluar. Dia mengajak saya dan menunjukkan sebuah jembatan bambu. Ya, sebuah arsitektur dari bambu yang saling mengikat dalam simpul-simpul yang kuat. Tanpa paku. Berbentuk segitiga meruncing ke atas di tepiannya. Melintas di bawahnya, sebuah sungai mengalir tenang. Yang diapit bebatuan granit yang berkotak-kotak. Bertingkat-tingkat. Eksotis.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Bebatuan eksotis di sungai Masupu Toraja.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Jembatan bambu gantung. Melintas di atas sungai Masupu Toraja.

Seorang ibu pembawa rumput melintas. Menyeberangi jembatan. Senyum ramah menguar darinya tatkala saya berpapasan dengannya. Dia pulang selepas dari ladangnya. 

“Rumput ini untuk makan dua kerbau milik saya.” terangnya.

Saya pun mengiringi perjalanan sang ibu itu. Berinteraksi. Berkomunikasi. Berbagi cerita. Berbagi tertawa. Ramah dan hangat. Hingga kami mesti berpisah. Karena saya harus pulang ke Rantepao dan sang ibu melanjutkan perjalanannya ke rumah. Sepertinya perjalanan dia masih cukup jauh. Berjalan kaki. Tapi, demi menghidupi sang kerbau, dia tulus menjalani aktivitas ini setiap harinya. Sosok ibu pembawa rumput pun menghilang. Tertelan pada jalan kampung menerabas belukar. 

Dan, matahari makin memudar. Tidak saja tertutup awan, tetapi karena senja kian menjelang. Empat kilometer lagi menuju Rantepao. Jejalanan beraspal yang terkelupas selekasnya kami libas. Saya masih harus berburu oleh-oleh khas Toraja dan juga pasti Kopi Toraja di Pasar Rantepao. 

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Rante Kalimbuang, pusat aktivitas Rambu Solo' di Bori Kalimbuang. 

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Tanaman sulir bisa tumbuh di atas bebatuan menhir.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Penulis berpose di jembatan bambu.


Artikel dan Foto: Iqbal Kautsar | @iqbal_kautsar



Tentang Penulis:
Iqbal Kautsar, seorang; Pemakna khasanah INDONESIA | Pejalan dan pencerita perjalanan | Pecinta kopi, durian dan brotowali | Yogyakarta dan Kebumen |

Anda bisa menghubunginya melalui email: iqbalkautsar@gmail.com

Sumber: artikel ini sebelumnya diposting dalam blog pribadi penulis _DIASPORA IQBAL_ dan atas izin dari penulis, artikel ini kami posting kembali untuk menambah informasi tentang pariwisata di Indonesia khususnya di Toraja.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik (Bag.I)

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Bori' Kalimbuang, Situs Megalitik Toraja.
Batu-batu tegak berdiri pada hamparan hijau tanah rumput. Berbentuk menhir. Tinggi memanjang menyembul dari daratan. Tapi tak seragam. Ada yang kecil, ada yang besar. Ada yang pendek ada yang tinggi. Saya tertarik menyelinap masuk di antara bebatuan ini. Berpindah dari satu batu ke batu lain. Kilat tak menjejakkan suara. Ah, saya sedang iseng bermain sembunyi-sembunyian. Dooorrr! Basho terkejut ketika sibuk mencari saya yang seperti hilang tertelan di Rante Kalimbuang.

“Keseluruhan batu menhir di sini konon berjumlah 102 buah. Terdiri dari 54 menhir kecil, 24 sedang dan 24 batu berukuran besar. “jelas Basho seraya ia menguasai diri dari kekagetannya. Untung saja Basho orangnya ramah. Tak nampak ada marah setelah saya jahili. Dia sangat profesional.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Deretan menhir di Rante Kalimbuang berusia ratusan tahun. Tampak Balakkayan berupa panggung.

Rante Kalimbuang merupakan kawasan utama di Bori’ Kalimbuang, Sesean, Toraja Utara. Rante menjadi tempat upacara pemakaman adat atau Rambu Solo’ yang dilengkapi dengan menhir-menhir yang dikenal dalam bahasa Toraja sebagai simbuang batu. Di Tana Toraja sebenarnya banyak ditemukan situs megalith seperti ini. Di Bori Kalimbuang, menhir didirikan demi menghormati pemuka adat atau keluarga bangsawan yang meninggal. Bebatuan menhir ini ada yang berusia hingga ratusan tahun. 

Namun, sifat masyarakat Toraja yang erat dalam persaudaraan dan kekeluargaan menjadikan prosesi pendirian menhir terasa mudah.

Tidak sembarang untuk membangun menhir. Masyarakat harus mengadakan suatu upacara adat Rambu Solo' (upacara pemakaman) dalam tingkatan tertentu contohnya Rapasan Sapurandanan. Dalam upacara ini, kerbau yang dikurbankan minimal sejumlah 24 ekor. Jumlah yang dikorbankan sesungguhnya tidak berdampak pada ukuran tinggi dan besar menhir. Sama saja nilai adatnya. Tetapi sekarang, banyak orang yang menganggap semakin tinggi dan besar menhir yang didirikan, maka semakin tinggi derajat kebangsawanannya. Barangkali benar juga. Pada menhir-menhir yang tinggi, saya amati batuannya masih tampak baru.

“Bagaimana mendirikan menhir-menhir ini?” tanya saya kepada Basho. Saya penasaran karena tak tampak ada sambungan di batu. Pastilah batu yang dijadikan menhir merupakan satu batu utuh yang berukuran besar. 

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Panggung mirip Tongkonan untuk para tamu Rambu Solo, dengan hiasan kerangka gigi kerbau.

Basho menceritakan muasalnya. Batu untuk menhir diambil dari gunung, dari batu-batu besar yang banyak bertebaran di Toraja. Di lokasi asal batu ini, dilakukanlah penggalian dan pemahatan batu. Pemahatan bisa berlangsung berhari-hari bahkan bisa sampai 2 bulan. Sebelumnya, untuk memulai pemahatan dilakukan penyembelihan seekor kerbau. Babi-babi juga dikurbankan.

Setelah batu menhir selesai dipahat, kemudian ditarik oleh beratus-ratus orang dengan cara tradisional. Batu ditarik atau digulirkan menggunakan batang-batang pohon dan tali-temali dari bambu. Proses penarikan ini melibatkan penduduk dan siapapun yang berkenan menyumbangkan tenaganya. Proses penarikan batu dari tempat asalnya dipahat hingga ke lokasi pendirian menhir memakan waktu behari-hari bahkan berminggu-minggu. Tergantung medan dan jarak yang dilaluinya.

Untuk mendirikan menhir di lokasi, dilakukanlah oleh beratus-ratus lelaki. Kurang lebih sepertiga tinggi batu menhir ditanam di dalam tanah. Tinggal menyisakan dua pertiganya yang menjulang di atas tanah. Bisa dibayangkan, proses mendirikan menhir membutuhkan banyak tenaga. Namun, sifat masyarakat Toraja yang erat dalam persaudaraan dan kekeluargaan menjadikan prosesi pendirian menhir terasa mudah.

Baiklah. Lepas dari muasal menhir, saya mengamati lingkungan Rante Kalimbuang. Beberapa bangunan beratap khas (mirip Tongkonan) tampak menjadi hiasan Rante. Ah, ini kan sebenarnya tempat upacara adat Rambu Solo’. Berarti bangunan-bangunan ini memiliki fungsi dengan pelaksanaan upacara tersebut.

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Bangunan paling besar Lakkian tempat jenazah disemayamkan saat Rambu Solo'. Di sampingnya ada Langi' tempat usungan jenazah. 

Di tengah, di antara ‘rerimbunan’ menhir terdapat beberapa bangunan jangkung. Salah satunya ada yang masih baru. Itulah Balakkayan. Tempat ini berbentuk panggung untuk membagi-bagikan daging hewan yang disembelih saat Rambu Solo’. Di sinilah, para pembagi daging atau dikenal To Mantawa meneriakkan nama-nama penerima daging. To Mantawa akan memanggil sesuai kedudukan sosialnya atau ‘Saroan’ nya.                     

Ada juga Lakkian di pinggir kompleks menhir. Lakkian menjadi tempat jenazah disemayamkan selama upacara Rambu Solo’ berlangsung. Terdiri atas dua tingkat. Bagian atas menjadi tempat peti jenasah disemayamkan. Adapun, bagian bawah sebagai tempat duduk keluarga yang berduka. Lakkian ini dibangun paling tinggi di antara bangunan2 lain yang terdapat di tempat upacara Rambu Solo’ berlangsung. Lakkian ini tidak boleh dirobohkan. Dibiarkan begitu saja sampai roboh dengan sendirinya.

Bangunan lainnya adalah Langi’, yaitu tempat usungan jenazah. Usungan ini berbentuk atap Tongkonan. Langi’ biasanya dihiasi dengan uang logam kuno orang Toraja, diukir dengan berbagai macam ukiran – ukiran khas orang Toraja. Berbagai macam hiasan - hiasan lain semakin menambah kemeriahan Langi’. Selain itu masih ada beberapa bangunan panggung di sekitar area menhir. Tempat ini menjadi tempat duduk para tamu undangan saat Rambu Solo’. Terdapat hiasan kerangka gigi kerbau yang dikurbankan.

Basho kemudian mengajak saya menaiki setapak. Menembus rerimbunan pohon dan bambu. Suasana sejuk mengiringi perjalanan yang mengantarkan pada kesegaran. Hingga 100 meter kemudian saya tiba pada sebuah batu besar berbentuk oval yang dilubangi sebagai tempat peletakkan jenazah. Itulah Liang Pa’. Sebuah kompleks kuburan batu di Bori’ Kalimbuang...

Bori' Kalimbuang, Deretan Menhir Megalitik nan Eksotik
Liang Pa' di kawasan Bori Kalimbuang. Kubur batu pada batuan oval.


Bersambung...



Artikel dan Foto: Iqbal Kautsar | @iqbal_kautsar

Tentang Penulis:
Iqbal Kautsar, seorang; Pemakna khasanah INDONESIA | Pejalan dan pencerita perjalanan | Pecinta kopi, durian dan brotowali | Yogyakarta dan Kebumen |

Anda bisa menghubunginya melalui email: iqbalkautsar@gmail.com

Sumber: artikel ini sebelumnya diposting dalam blog pribadi penulis _DIASPORA IQBAL_ dan atas izin dari penulis, artikel ini kami posting kembali untuk menambah informasi tentang pariwisata di Indonesia khususnya di Toraja.

Tenun Toraja, Warisan Leluhur yang Hampir Punah

Tenun Toraja, Warisan Leluhur yang Hampir Punah
Seorang pengrajin meyelesaikan tenunannya, tenun ikat khas Toraja. Foto: Google|Bangun Media

Hitam-Putih Tenun Toraja [1]

Tenun Toraja kini terancam punah karena tidak terjadi regenerasi penenun. Di Kampung Sa’dan, yang menjadi sentra tenun, kini tinggal 70 perajin saja yang berproduksi.

Aneka tenun tradisional Indonesia seolah tidak akan habis ditelusur. Selain dikenakan sebagai busana sehari-hari, di beberapa etnis, tenun juga menjadi busana utama saat berlangsung upacara adat ataupun hari besar keagamaan. Itulah sebabnya banyak ragam tenun di penjuru Nusantara ini. Pada suatu masa, corak kain tenun yang menjadi primadona dapat digunakan sebagai alat tukar jual-beli. Namun, kain-kain buatan masa lampau tersebut tidak bisa lagi kita nikmati saat ini, selain tidak lagi diproduksi, daya tahan seratnya luruh karena suhu dan kelembaban iklim tropis.

Begitu pun tenun asal Toraja. Sudah banyak ragam dan motifnya yang tidak diketahui lagi oleh para penerus zaman. Padahal, tenun Toraja memiliki sejarah ragam tekstil sebagai salah satu perlengkapan upacara adat kematian Toraja.

Ribuan tahun yang lalu, tenun Toraja dibuat dari serat kulit kayu. Kemudian material tersebut berubah lebih maju menjadi serat nanas. Konon, kain tersebut lebih sering digunakan untuk membungkus mayat karena daya serapnya tinggi. Setelah pedagang India dan Gujarat mendarat di Palopo—pantai barat Toraja sekitar 60 kilometer dari Rantepao— dikenallah campuran kapas. Kemudian kain tenun dibuat dari serat nanas yang ditambahkan serat kapas tanpa dipintal sehingga bahannya sedikit lembut. Kain tenun tersebut sudah berfungsi sebagai penutup badan.

Tenun Toraja, Warisan Leluhur yang Hampir Punah
Seorang Nenek sedang memintal benang sebagai bahan baku kain tenun khas Toraja.
Foto: Warisan Indonesia|Hardy Mendrofa

Awal mulanya produksi kain tenun Toraja memang sulit diketahui secara pasti, kapan kegiatan menenun itu dilakukan dengan alat apa mereka menenun dan bagaimana warna serta ragam corak yang dihasilkan. Konon, menenun dimulai setelah masyarakat Toraja membangun rumah tinggal yang representatif dan dapat menjadi tempat kegiatan (Said, 2004: 152). Dalam menciptakan corak dan motif untuk menghias tenun, beberapa tokoh Toraja berkeyakinan bahwa ragam tersebut diperoleh dari meniru motif ukiran yang terdapat di tongkonan—rumah adat. Namun, jika melihat perkembangan zaman dan peradaban, motif garislah yang lebih dulu ada dibandingkan tongkonan. 

Tenun Toraja yang Melegenda [2]

Sehari-hari, banyak orang yang memakai tenun Toraja sebagai pakaian, tas, dompet, selendang, maupun perlengkapan lainnya. Yang pasti, dalam setiap upacara adat Toraja, kain tenun Toraja wajib dikenakan.

Desa Sa’dan Malimbong adalah salah satu desa di Tana Toraja, Sulawesi Selatan yang terkenal dengan tradisi tenunnya. Di sini, pembuatan tenun Toraja masih menjadi kegiatan turun temurun. Anak-anak pun sudah mulai belajar menenun. Awalnya, mereka belajar menenun dengan motif-motif sederhana, seperti garis warna-warni. Setelah lebih mahir, barulah bentuk-bentuk lain diperkenalkan, seperti tedong (kerbau) dan tongkonan (rumah adat Toraja).

Di Desa Sa’dan Malimbong, proses penenunan masih menggunakan alat tenun tradisional. Tak heran, para penenun membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan sehelai kain tenun. Semakin rumit motifnya, semakin lama waktu pengerjaannya. Tentu saja, semakin mahal harganya. Bahan dan pewarna kain tenun ini pun menggunakan bahan alam. Biasanya, serat kain ada dua macam, yaitu serat kapas dan serat daun nanas. Namun, sekarang serat daun nanas mulai sulit didapat.

Tenun Toraja, Warisan Leluhur yang Hampir Punah
Salah satu motif tenun khas Toraja. Foto: Kidnesia

Untuk pewarna alami, para penenun menggunakan kulit, pelepah, biji, dan daun dari tumbuhan tertentu. Kain dengan pewarna alami tentu bernilai lebih tinggi. Harganya mencapai jutaan rupiah. Namun, kini, para penenun juga memakai pewarna buatan. Memang tak sebagus pewarna alam, namun harganya lebih murah. Ada banyak warna dalam tenun Toraja. Yang paling sering digunakan, terutama dalam upacara adat, adalah merah dan hitam.

Dulu, kain tenun Toraja menjadi lambang kemakmuran dan status sosial pemiliknya. Ada kain yang hanya boleh dipakai para bangsawan, ada yang untuk rakyat jelata. Kain-kain tertentu juga hanya digunakan untuk upacara adat tertentu. Misalnya, kain sarung hitam yang khusus digunakan untuk upacara kematian atau Rambu Solo’.  

Kini, siapa pun boleh memakai berbagai jenis kain Toraja. Meskipun masih tetap ada aturan tak tertulis tentang kain-kain yang bisa dipakai untuk upacara adat tertentu. Kalau kamu ingin berburu kain tenun Toraja, Sa’dan Malimbong bisa jadi pilihan tempat jalan-jalanmu.

Tenun Toraja, Warisan Leluhur yang Hampir Punah
Pengrajin menenun kain di tokonya dengan latar belakang Tongkonan (rumah adat Toraja) di Desa Barana, Kecamatan Saddan, Toraja Utara, Sulsel, Jumat (24/8). Foto: LTWI

Tenun, Yang Makin Populer dan Makin Punah [3]

Tenun pernah dianggap buah tangan terindah bagi pelancong yang datang ke sebuah daerah di Indonesia. Bagi beberapa suku, kain tenun bahkan dipandang begitu berharga hingga hanya bangsawan yang boleh memakainya.

Kain tenun sekarang mulai menggeser popularitas batik. Pada pria muda berkemeja tenun lengan pendek sekarang jamak dilihat di kawasan perkantoran. Sementara mengenakan atasan atau jaket tenun pun dianggap modis oleh kaum Hawa.

Kepopuleran tenun namun belum dibarengi perbaikan nasib penenun. Beberapa tenun bahkan terancam punah, seiring makin sedikitnya orang yang bisa menenun motif tertentu.

Sjamsidar Isa dari Cita Tenun Indonesia mengatakan beberapa tenun sudah sulit dicari. Contohnya, tenun dari Kabupaten Sambas di Kalimantan Barat. Banyak penenun Sambas yang justru angkat kaki ke Brunei Darussalam serta Malaysia untuk bekerja sebagai TKW. Pilihan itu terpaksa diambil meski upahnya sangat rendah, karena karya tenun mereka lebih tidak menghasilkan uang lagi.

Tenun Toraja, Warisan Leluhur yang Hampir Punah
Pengrajin menenun kain di Desa Barana, Kecamatan Saddan, Toraja Utara, Sulsel, Jumat (24/8). Foto: LTWI

"Motif-motif tua akhirnya mulai punah," sambung Dinny Jusuf, pengusaha UKM yang membuat kerajinan dari tenun toraja bermerek Toraja Melo.

Kata Dinny, ada beberapa motif yang sekarang hanya bisa ditenun oleh beberapa perajin. Umumnya mereka sudah lansia dan tidak tertarik membagi ilmu menenunnya ke kalangan muda.

Sementara kaum muda Toraja memilih bekerja sebagai TKW ke Malaysia daripada menjadi perajin tenun. "Menenun di Toraja juga merupakan pekerjaan sambilan," sambung Dinny, menceritakan kendala mengembangkan tenun toraja.

Para nenek mencicil tenunan sambil mengurus cucu yang ditinggal ibunya bekerja ke Malaysia. Listrik yang belum sepenuhnya masuk ke pelosok Toraja membuat penenun juga memilih menenun warna-warna terang karena bisa dikerjakan di dalam rumah.

Kain tenun berwarna gelap lalu harus dikerjakan di teras rumah dengan bantuan cahaya matahari. Dinny mengatakan, tenun Toraja sulit untuk maju bila proses pekerjaannya masih sangat sederhana.

Irna Mutiara, perancang busana Muslim yang pernah bekerja dengan bahan tenun asal NTB mengatakan belum semua tenun sudah terekspos. "Sulaman NTB juga makin ke sini makin hilang," ujarnya. Ketertarikan Irna pada sulaman dari Lombok dan Sumbawa membawanya merancang busana Muslim dengan aksen sulam.

Kain tenun yang diolahnya diambil dari Dusun Pringgasela, Dusun Gumise, Dusun Bun Mudrak, Dusun Sukarara, dan Kota Mataram. Irma mengambil tenun dalam warna lembut dan motif tradisional geometrik, kotak-kotak, dan garis-garis.

Namun, kendala dihadapi Irna ketika bekerja dengan tenun tersebut. "Benangnya terlalu tebal," ujarnya. Padahal, Irna ingin menggarap busana siap pakai yang ringan. Untuk menyiasatinya, Irna membawa sendiri benang dan diberinya ke perajin demi mendapat tekstur kain yang lebih halus.

Perancang busana Sonny Muchlison menilai, seorang desainer harus mengerti cara melestarikan budaya. Menurutnya, perancang busana memegang peranan penting dalam mengenalkan budaya bangsa. Lihat saja batik. Berkat tangan ulet para desainer, batik membawa nama Indonesia ke luar negeri.

Tenun Toraja, Warisan Leluhur yang Hampir Punah
Seorang pengrajin kain tenun Toraja menunggu pembeli di tokonya di Desa Barana, Kecamatan Saddan, Toraja Utara, Sulsel, Jumat (24/8). Foto: LTWI


Semoga saja tangan ulet para desainer Indonesia mampu mengangkat pamor tenun. Sekaligus melestarikannya.

Baca juga artikel sebelumnya tentang tenun Toraja:







Sumber:

Pemakaman di Tebing dan Kearifan Lokal Suku Toraja Mengolah Alamnya

Pemakaman di Tebing dan Kearifan Lokal Suku Toraja Mengolah Alamnya
Kuburan di tebing batu khas suku Toraja, Kete Kesu, Toraja Utara. Foto: ist
Hingga saat ini masyarakat Toraja masih memiliki kebiasaan menguburkan jenazah di dalam tebing bukit kapur. Selain melestarikan adat istiadat, rupanya hal ini untuk menjaga wilayah agar tidak habis terjamah. Wilayah Toraja sebagian besar terdiri dari bebatuan karts (atau tepatnya dikelilingi bukit kapur).

Menyimak pesan arif dari Sang Kepala Adat Kete' Kesu' tentang tradisi permakaman, kebersamaan, dan pluralisme di Toraja.

“Kenapa kami dimakamkan di tebing batu, atau di dalam gua?” ujar Layuk Sarungallo yang sebagian giginya sudah ompong. “Kalau kami dimakamkan di tanah, kami tidak bisa hidup karena tidak bisa berladang, tidak bisa bersawah, tidak bisa ada peternakan.”  

Pemakaman di Tebing dan Kearifan Lokal Suku Toraja Mengolah Alamnya
Layuk Sarungallo, Kepala Adat dari Tongkonan Kete' Kesu, Toraja, Sulawesi Selatan. Layuk mengisahkan teladan dari leluhurnya di lumbung padi rumah tongkonan. Dalam tradisi Toraja, lumbung merupakan tempat bersosialisasi dan tempat pertemuan keluarga. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Sembari bersila di bawah lumbung padi tinggalan leluhur, Layuk mengungkapkan bahwa Toraja merupakan dataran tinggi yang terdiri atas bukit-bukit batu dan sebagian besar adalah tanah non-produktif.  Pemahaman tentang kondisi alam Toraja itulah yang membuat leluhur Layuk memberikan teladan bagi penerus mereka untuk memakamkan jenazah di tebing-tebing batu _tradisi yang berlanjut hingga sekarang.

Layuk merupakan Kepala Adat Tongkonan dari Kete’Kesu di Kabupaten Toraja Utara. Pagi itu dia dan keluarga besarnya tengah merayakan syukuran atas pembaptisan salah seorang anggota keluarga mereka, sekaligus merayakan kehangatan Natal.

Meskipun Aluk  Todolo _atau agama nenek moyang_ tidak populer lagi dalam masayarakat Toraja, teladan dan filosofi hidup mereka masih berlanjut hingga sekarang. Kini, mayoritas warga Toraja beragama Kristen Protestan.

Pemakaman di Tebing dan Kearifan Lokal Suku Toraja Mengolah Alamnya
Barisan rumah adat Tongkonan Kete Kesu. Foto: Andina Laksmi
Pemakaman di Tebing dan Kearifan Lokal Suku Toraja Mengolah Alamnya
Salah satu rumah adat di Tongkonan Kete' Kesu, Toraja, Sulawesi Selatan. Terdapat enam rumah adat, masing-masing memiliki fungsi dan kedudukan dalam sistem sosial masyarakat Toraja. Banyaknya tanduk kerbau melambangkan lencana atau status sosial dalam masyarakat. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Tongkonan tinggalan leluhur Layuk merupakan salah satu yang tertua di masyarakat Toraja dan kini menjadi tujuan wisata unggulan Kabupaten Toraja Utara.  Dalam tradisi Toraja, rumah tongkonan merupakan satu kompleks rumah adat, berikut lumbung padi _simbol masyarakat agraris. Tongkonan Kete’ Kesu’ memiliki enam rumah adat dan dua belas lumbung padi. Semuanya berjajar rapi menghadap utara-selatan.

Di sekitar kompleks rumah pusaka itu terdapat menhir-menhir yang digunakan untuk upacara kematian.  Sementara di belakangnya menjulang tebing karst yang digunakan sebagai permakaman keluarga sejak ratusan tahun silam. Semakin tinggi lokasi liang tebing, semakin tinggi pula status sosial keluarga. Sementara, di kaki tebing terdapat beberapa bangunan beratap genting yang ruang dalamnya digunakan untuk permakaman, disebut patane.

Tampaknya Layuk seorang yang arif. Dia menyadari bahwa sekitar lima persen warganya merupakan muslim. Kemudian dia membuat salah satu bangunan makam yang di dalamnya terdapat satu petak yang tidak dipelur dengan semen. “Biar keluarga saya yang Muslim bisa satu tempat  dengan yang Kristen, tanpa harus melanggar pemakaman adat.” 

“Itu yang kami pentingkan,” Layuk berkata. “Kami jaga hubungan kekeluargaan yang begitu kental. Kalau kami terpisah, hubungan emosional kami selama hidup akan sia-sia. Untuk apa kita bertikai? Kita adalah satu!”

Kemudian seorang saudaranya yang berpeci menghampiri kami. Seorang kawan seperjalanan bertanya kepada Layuk, apakah saudara tersebut adalah seorang muslim. Sembari bersandar pada salah satu tiang lumbung, Layuk berkata, “Kami tafsirkan, di sini peci adalah topi nasional.”

Pemakaman di Tebing dan Kearifan Lokal Suku Toraja Mengolah Alamnya
Sebuah celah gua di Kete' Kesu. Dalam tradisi Toraja, ruangan gua menjadi salah satu peristirahatan terakhir. Tradisi yang masih berlanjut hingga kini. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Pemakaman di Tebing dan Kearifan Lokal Suku Toraja Mengolah Alamnya
Tradisi pemakaman Toraja di tebing karst Kete' Kesu'. Semakin tinggi letak liang di tebing, semakin tinggi pula status sosial keluarga di masyarakat. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Pemakaman di Tebing dan Kearifan Lokal Suku Toraja Mengolah Alamnya
Patane, makam keluarga yang berbentuk bangunan, biasanya diisi oleh rumpun keluarga.  Foto: Andina Laksmi


Sumber: Artikel dan Foto dikutip dari halaman National Geographic Indonesia yang ditulis oleh Mahandis Yoanata Thamrin dengan judul "Pelajaran Berharga dari Toraja"

Guna menyebarluaskan infomasi ini kepada masyarakat khususnya keturunan Toraja yang jauh diperantauan yang rindu mengenal tanah leluhurnya maka artikel ini kami posting kembali di blog yang khusus membahas tentang kebudayaan Toraja ini. Salam

Foto: Ma'Nene - Baju Baru untuk Mumi Leluhur Suku Toraja

Ritual Ma’nene, Tradisi Unik dari Tana Toraja
Anggota keluarga memegang mumi leluhur mereka sebelum memasangkan pakaian baru dalam ritual Ma'nene di Toraja, Sulawesi Selatan (23/8/12). Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
Ritual Ma’nene', Tradisi Unik Suku Toraja

Salah satu keunikan tradisi kebudayaan suku Toraja di Sulawesi Selatan adalah ritual membersihkan dan mengganti pakaian jenazah/mumi para leluhurnya. Ritual ini dikenal dengan nama, Ma'nene'. Dalam beberapa postingan di internet ritual unik ini sering ditafsirkan salah, sehingga tidak sedikit yang beranggapan bahwa ritual Ma'Nene' merupakan ritual mayat berjalan. Ritual Ma'Nene' sama sekali bukanlah ritual mayat berjalan yang banyak dibicarakan (dan dipertanyakan) itu. Saat ini sulit untuk menemukan saksi hidup yang benar-benar bisa memastikan 'legenda' mayat berjalan ala Toraja, berbeda halnya dengan ritual Ma'Nene' yang bisa anda saksikan langsung di Baruppu (jika anda beruntung berada di lokasi saat ritual dilangsungkan).

Jenazah-jenazah dalam peti yang telah 'dikubur', diletakkan dalam liang gunung batu ataupun di dalam patane (juga kuburan khas Toraja berbentuk bangunan). Oleh sebagian masyarakat suku Toraja —khususnya di kawasan Baruppu, Toraja Utara— meyakini bahwa jenazah itu menjadi bagian tidak terpisahkan dari kerabat keluarganya yang masih hidup. Itu sebabnya di kawasan ini, sebagian keluarga intens memperhatikan jenazah kerabatnya, setidaknya setiap 3 tahun sekali dibersihkan. Ritual yang disebut Ma'Nene' ini dilakukan dengan cara mengeluarkan jenazah (yang telah dimumikan) dari peti untuk dibersihkan. Pakaian lama yang digunakan sang jenazah, digantikan dengan pakaian yang lebih baru.

Dibilang unik dan khas, mengingat ritual Ma'Nene' dilakukan hanya oleh sebagian kecil masyarakat Toraja di wilayah Pangala' terutama di Baruppu' dan Lempo Poton, daerah pedalaman Toraja Utara. Ritual Ma'Nene' dilakukan setiap 3 tahun sekali dan biasanya dilakukan pada bulan Agustus. Mengapa pada bulan tersebut? Karena upacara Ma'Nene' hanya boleh dilaksanakan setelah musim panen. Musim panen di Toraja biasanya jatuh pada bulan Agustus.

Masyarakat adat Toraja (khususnya di Baruppu') percaya jika ritual Ma'Nene' tidak dilakukan sebelum masa panen, maka sawah-sawah dan ladang mereka akan mengalami kerusakan dengan banyaknya hama yang datang tiba-tiba.

Setiap tiga tahun sekali kuburan leluhur mereka sengaja dibuka dan dikeluarkan dari peti, untuk didandani. Uniknya, jasad ini masih tetap utuh (seperti mumi di beberapa kebudayaan kuno lainnya). Menurut kepercayaan setempat, arwah para leluhur mereka masih 'hidup' dan mengawasi keturunannya dari 'tempat' yang lain.

Sebelum dibuka dan diangkat dari peti, para tetua yang biasa dikenal dengan sebutan Tominaa, membacakan doa-doa dalam bahasa Toraja Kuno. Setelah itu, mayat tersebut diangkat dan mulai dibersihkan dari atas kepala hingga ujung kaki dengan menggunakan kuas atau kain bersih. Setelah itu, barulah mayat tersebut dipakaikan baju yang baru dan kemudian kembali dibaringkan di dalam peti tadi. Dalam ritual tersebut, mayat yang telah dikeluarkan dari peti akan dibersihkan dan didandani layaknya pergi ke sebuah pesta meriah. 

Menurut cerita, ritual ini terinspirasi dari kisah nenek moyang mereka ratusan tahun lampau, Pong Rumasek seorang pemburu binatang, saat tengah berburu di hutan belantara, ia menemukan sesosok mayat tergeletak dan mengenaskan. Pong Rumasek tergugah, ia membawa pulang mayat itu, lalu membersihkan dan memberi pakaian bersih yang digunakannya. Sejak itu, setiap kali berburu, selalu mendapat banyak binatang buruan. Bahkan selalu mendapat buah segar yang berlebihan. Perkebunan dan persawahan milik masyarakat di kampungnya pun selalu menuai hasil panen yang melimpah ruah.

Sejak itulah Pong Rumasek menyadari bahwa merawat orang yang telah meninggal dunia, tidak jauh lebih mulia dari merawat kekerabatan dengan orang yang masih hidup. Paham Pong Rumasek secara turun temurun sekian abad diyakini dan diterapkan masyarakat suku Toraja, khususnya di Baruppu', sebuah kampung yang kini masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Toraja Utara. 

Selain ritual pesta kematian, ritual Ma'Nene' ini, juga menjadi daya tarik pariwisata khas suku Toraja yang jarang ditemukan (atau mungkin satu-satunya di dunia). Itu sebabnya, setiap kali ritual Ma'Nene' dilaksanakan menjadi magnet yang menarik kerumunan wisatawan dalam dan luar negeri, hadir menjadi saksi nyata keunikan sebuah tradisi yang masih terpelihara.

Berikut beberapa foto dokumentasi ritual Ma'Nene di Toraja yang dilansir Tempo Foto:

Ritual Ma’nene, Tradisi Unik dari Tana Toraja
Sesosok mumi dibaringkan di peti jenazah di depan bangunan kuburan (Patane) setelah pihak keluarga memakaikan pakaian baru dalam sebuah upacara adat Toraja yang disebut Ma'nene di Sulawesi Selatan (23/8). Ritual ini biasa dilakukan setiap tiga tahun sekali terhadap leluhur mereka yang telah dimumikan ketika meninggal dunia. Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
Ritual Ma’nene, Tradisi Unik dari Tana Toraja
Seorang perempuan berdiri di depan kuburan batu yang disebut 'Liang' dalam ritual Ma'nene di Toraja, Sulawesi Selatan (23/8). Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
Ritual Ma’nene, Tradisi Unik dari Tana Toraja
Seorang anggota keluarga mengeluarkan mumi leluhurnya dari dalam peti jenazah sebelum memakaikan pakaian baru dalam ritual Ma'nene di Toraja, Sulawesi Selatan (23/8). Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
Ritual Ma’nene, Tradisi Unik dari Tana Toraja
Beberapa peti jenazah berisi mumi di dalam bangunan kuburan yang disebut Patane, ketika berlangsung ritual Ma'nene di Toraja, Sulawesi Selatan (23/8). Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
Ritual Ma’nene, Tradisi Unik dari Tana Toraja
Sesosok mumi dibaringkan di peti jenazah setelah pihak keluarga memakaikan pakaian baru dalam sebuah upacara adat Toraja yang disebut Ma'nene di Sulawesi Selatan (23/8). Ritual ini merupakan bentuk penghormatan dan cinta warga Toraja kepada leluhur mereka. Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad

Sekilas tentang Suku Toraja dan Rambu Solo

Toraja adalah salah satu suku yang berdiam di daerah pegunungan Quarles bagian utara pegunungan Latimojong, wilayah utara dari Provinsi Sulawesi Selatan. Tepatnya di Kabupaten Tana Toraja, yang kini sebagian wilayahnya dimekarkan menjadi daerah otonom baru, yakni Kabupaten Toraja Utara. 

Suku Toraja yang bermukim di dua kabupaten yang memiliki hawa dingin ini, dominan penganut agama Nasrani, setelah jauh sebelumnya adalah pengikut animisme yang didasarkan pada ajaran dianut nenek moyang mereka ribuan tahun lalu, yang oleh suku Toraja disebut “Aluk Todolo” (kebiasaan, ajaran, paham dan keyakinan orang-orang terdahulu).

Meskipun saat ini sebagian besar masyarakatnya tidak lagi menganut keyakinan yang diwariskan dari nenek moyang mereka, tetapi nilai dan ajaran “Aluk Todolo” tetap dipegang teguh dan dilestarikan dalam kehidupan bermasyarakat. Misal diantaranya, sekalipun masyarakat suku Toraja telah mengikuti ajaran Nasrani, tetapi tradisi “Aluk Todolo” yang mengagungkan kematian kerabat yang meninggal dunia tetap dipertahankan dan dilestarikan hingga kini. Itu sebabnya upacara kematian bagi keluarga yang meninggal dunia, disebut “Rambu Solo”, jauh lebih meriah bila dibandingkan upacara pernikahan sanak keluarga.

Kematian bagi masyakat suku Toraja, adalah inti dan puncak pencapaian kehidupan paling agung menuju keabadian di “Puya” (Surga/Nirwana bagi kepercayaan suku Toraja). Itulah sebabnya, sebelum menuju ke mahligai nirwana di “Puya”, pemakaman jenazah menjadi momentum paling sakral dalam perjalanan hidup di muka bumi ini. Bagi Suku Toraja kematian seolah sebuah pemahaman bahwa “hidup manusia adalah untuk mati” menuju alam keabadian. Guna mencapai ketenteraman di “Puya”, setiap arwah harus melakukan pembersihan diri sebagai penebus dosa. Untuknya, setiap jenazah yang akan dikubur, sedapat mungkin diberi "bekal" sebanyaknya sesuai kemampuan keluarga.

Bekal dimaksud adalah roh sejumlah hewan yang dikurbankan pada saat upacara pemakaman “Rambu Solo” dilaksanakan. Roh sejumlah hewan yang dikurbankan itu diharapkan mampu mengiring-iringi arwah si mati menuju “Puya”. Semakin banyak jumlah hewan dikurbankan semakin sempurnalah perjalanan menuju keabadian. Semakin tinggi derajat kasta jenazah, semakin tinggi pula hewan dikurbankan. Itu sebabnya, upacara kematian suku Toraja, kadang menghabiskan dana milyaran rupiah. Bagi mereka yang belum mampu, jenazah kerabatnya di-“mumi” sementara waktu di rumah, hingga saatnya kerabat mampu mengumpul dana untuk melangsungkan upacara "Rambu Solo".

Upacara kematian “Rambu Solo” yang kadang menghabiskan anggaran Milyaran rupiah — yang kini bergeser diartikan derajat dan gengsi keluarga — berhari-hari berlangsung meriah selama sekian pekan, siang maupun malam. Uacara ini selain disertai nyanyian-nyanyian duka “ma’badong”, do’a-do’a ratapan, juga ditampilkan musik dan ragam tarian tradisional untuk menghibur kerabat keluarga yang sedang berduka, yang tak habis-habisnya berdatangan menyampaikan belangsungkawa, baik mereka yang bermukim di Tana Toraja, maupun yang jauh-jauh datang dari negeri rantau. Entah dari dalam ataupun dari luar negeri.

Penguburan mayat, pada saatnya akan dilakukan sesuai kesepakatan keluarga. Mayat yang dimakam, sebagian besar adalah jenazah yang sekian bulan atau sekian tahun dirawat di rumah, setelah sebelunya di-“mumi” melalui ramuan tradisional khas Toraja, sehingga fisik jenazah tetap utuh seperti sediakala semasa hidup. Diselimuti pakaian baru secara lengkap, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dimasukkan ke dalam peti yang terbuat dari jenis kayu tahan lama. Mayat dalam peti, diusung segenap keluarga menuju pekuburan liang gunung batu yang telah disiapkan. Peti berisi mayat di letakkan di atas gundukan batu dalam liang.

Pekuburan liang di tebing pegunungan batu, tersebar di sepanjang wilayah Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Setiap lokasi dapat disaksikan peti-peti berisikan mayat atau tengkorak manusia bergelimpangan. Pekuburan dimaksud itulah yang menjadi salah satu objek wisata (yang mungkin) terunik di dunia yang tak henti-hentinya mendapat kunjungan wisatawan nusantara dan manca negara. Selebihnya karena selain cuaca Tana Toraja yang sejuk-dingin, juga karena pemandangan alam pegunungannya yang indah, serta rumah tradisonalnya yang khas, pula karena kehidupan masyarakatnya kebanyakan masih tradisionil, khas dan unik.


Semoga bermanfaat... 



Masyarakat di Desa Ma'dong Toraja Utara Masih Hidup Tanpa Listrik

Masyarakat di Desa Ma'dong Toraja Utara Masih Hidup Tanpa Listrik. Foto Ilustrasi
Toraja Utara - Di era perkembangan zaman modern ini, listrik sudah menjadi kebutuhan bagi setiap orang. Namun tidak dengan masyarakat di Desa Ma'dong, Kabupaten Toraja Utara, kesehariaannya mereka harus hidup tanpa listrik.

detikcom berkesempatan mengikuti kegiatan Tim Adventure PT Nagata Dinamika anak perusahaan PT Sewatama menelusuri ke lokasi kontruksi pembangunan PLTM di Desa Ma'dong, Kabupaten Toraja Utara dari tanggal 24-29 Desember 2014. PLTM sendiri merupakan pembangkit listrik tenaga Mini hidro dengan kapasitas 10 Mega Watt. Selain itu pembangunan PLTM ini juga menggunakan tenaga air.

PLTM sendiri memanfaatkan aliran air yang berada di ketinggian 1000 meter diatas permukaan laut. Sementara power house atau turbin power berada di ketinggian 900 meter diatas permukaan laut. Sepanjang perjalanan menuju lokasi sendiri melewati beberapa perkampungan. Salah satunya desa Ma'dong yang mana di desa ini hampir sebagian masyarakatnya belum mendapat aliran listrik. Terbayang jika kita melakukan perjalanan di malam hari ke desa tersebut yang mana belum ada listrik sementara sisi jalan menuju desa adalah jurang.

"Disini ada beberapa kampung yang belum mendapat aliran listrik," ujar Camat Depina, Yunus sama berbincang-bincang dengan detikcom, Senin (29/12/2014).

Kerbau dan rumah adat Toraja di Ke'te Kesu'. Ilustrasi Foto: @dwitagama | fotodedi.wordpress
Kecamatan Depina sendiri membawahi delapan desa. Jaringan listrik menuju ke delapan desa sendiri telah ada. "Akan tetapi listrik disini suka mendapat giliran secara bergantian. Ada juga yang hanya mendapat pasokan listrik hanya untuk setengah hari," ujar Yunus.

Martinus salah seorang warga dari Desa Ma'dong merupakan satu dari puluhan orang lain yang tidak dapat listrik. Adanya pembangkit listrik ini dianggap amat membantu.

"Kita merasa senang dengan dibangun PLTM ini karena akan sangat merasa terbantu, tetapi disatu sisi kami juga kecewa karena bagi kami pohon bambu itu amat bermakna dan salah satu bagian dari adat Toraja akan tetapi malah dihargai murah," tuturnya.

Rumah Martinus sendiri berada disekitar lokasi PLTM. Disekitar tanahnya ia selalu menanam pohon bambu, yang pada akhirnya pohon itu digunakannya untuk membangun rumah dan kegiatan sehari-hari.

"Mereka berjanji sama kami meski biar dihargai murah tapi pohon bambu yang sudah ditebang akan dikembalikan ke kami. Selain itu mereka juga janji ke kami menyisihkan sedikit lahan untuk kami menaman kembali pohon bambu. Kedepan saya juga berharap mereka dapat memperkerjakan warga desa ini untuk jadi bagian dari PLTM," tutupnya.


Sumber: Detik