Anggota keluarga memegang mumi leluhur mereka sebelum memasangkan pakaian baru dalam ritual Ma'nene di Toraja, Sulawesi Selatan (23/8/12). Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad |
Ritual Ma’nene', Tradisi Unik Suku Toraja
Salah satu keunikan tradisi kebudayaan suku Toraja di Sulawesi Selatan adalah ritual membersihkan dan mengganti pakaian jenazah/mumi para leluhurnya. Ritual ini dikenal dengan nama, Ma'nene'. Dalam beberapa postingan di internet ritual unik ini sering ditafsirkan salah, sehingga tidak sedikit yang beranggapan bahwa ritual Ma'Nene' merupakan ritual mayat berjalan. Ritual Ma'Nene' sama sekali bukanlah ritual mayat berjalan yang banyak dibicarakan (dan dipertanyakan) itu. Saat ini sulit untuk menemukan saksi hidup yang benar-benar bisa memastikan 'legenda' mayat berjalan ala Toraja, berbeda halnya dengan ritual Ma'Nene' yang bisa anda saksikan langsung di Baruppu (jika anda beruntung berada di lokasi saat ritual dilangsungkan).
Jenazah-jenazah dalam peti yang telah 'dikubur', diletakkan dalam liang gunung batu ataupun di dalam patane (juga kuburan khas Toraja berbentuk bangunan). Oleh sebagian masyarakat suku Toraja —khususnya di kawasan Baruppu, Toraja Utara— meyakini bahwa jenazah itu menjadi bagian tidak terpisahkan dari kerabat keluarganya yang masih hidup. Itu sebabnya di kawasan ini, sebagian keluarga intens memperhatikan jenazah kerabatnya, setidaknya setiap 3 tahun sekali dibersihkan. Ritual yang disebut Ma'Nene' ini dilakukan dengan cara mengeluarkan jenazah (yang telah dimumikan) dari peti untuk dibersihkan. Pakaian lama yang digunakan sang jenazah, digantikan dengan pakaian yang lebih baru.
Dibilang unik dan khas, mengingat ritual Ma'Nene' dilakukan hanya oleh sebagian kecil masyarakat Toraja di wilayah Pangala' terutama di Baruppu' dan Lempo Poton, daerah pedalaman Toraja Utara. Ritual Ma'Nene' dilakukan setiap 3 tahun sekali dan biasanya dilakukan pada bulan Agustus. Mengapa pada bulan tersebut? Karena upacara Ma'Nene' hanya boleh dilaksanakan setelah musim panen. Musim panen di Toraja biasanya jatuh pada bulan Agustus.
Masyarakat adat Toraja (khususnya di Baruppu') percaya jika ritual Ma'Nene' tidak dilakukan sebelum masa panen, maka sawah-sawah dan ladang mereka akan mengalami kerusakan dengan banyaknya hama yang datang tiba-tiba.
Setiap tiga tahun sekali kuburan leluhur mereka sengaja dibuka dan dikeluarkan dari peti, untuk didandani. Uniknya, jasad ini masih tetap utuh (seperti mumi di beberapa kebudayaan kuno lainnya). Menurut kepercayaan setempat, arwah para leluhur mereka masih 'hidup' dan mengawasi keturunannya dari 'tempat' yang lain.
Sebelum dibuka dan diangkat dari peti, para tetua yang biasa dikenal dengan sebutan Tominaa, membacakan doa-doa dalam bahasa Toraja Kuno. Setelah itu, mayat tersebut diangkat dan mulai dibersihkan dari atas kepala hingga ujung kaki dengan menggunakan kuas atau kain bersih. Setelah itu, barulah mayat tersebut dipakaikan baju yang baru dan kemudian kembali dibaringkan di dalam peti tadi. Dalam ritual tersebut, mayat yang telah dikeluarkan dari peti akan dibersihkan dan didandani layaknya pergi ke sebuah pesta meriah.
Menurut cerita, ritual ini terinspirasi dari kisah nenek moyang mereka ratusan tahun lampau, Pong Rumasek seorang pemburu binatang, saat tengah berburu di hutan belantara, ia menemukan sesosok mayat tergeletak dan mengenaskan. Pong Rumasek tergugah, ia membawa pulang mayat itu, lalu membersihkan dan memberi pakaian bersih yang digunakannya. Sejak itu, setiap kali berburu, selalu mendapat banyak binatang buruan. Bahkan selalu mendapat buah segar yang berlebihan. Perkebunan dan persawahan milik masyarakat di kampungnya pun selalu menuai hasil panen yang melimpah ruah.
Sejak itulah Pong Rumasek menyadari bahwa merawat orang yang telah meninggal dunia, tidak jauh lebih mulia dari merawat kekerabatan dengan orang yang masih hidup. Paham Pong Rumasek secara turun temurun sekian abad diyakini dan diterapkan masyarakat suku Toraja, khususnya di Baruppu', sebuah kampung yang kini masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Toraja Utara.
Selain ritual pesta kematian, ritual Ma'Nene' ini, juga menjadi daya tarik pariwisata khas suku Toraja yang jarang ditemukan (atau mungkin satu-satunya di dunia). Itu sebabnya, setiap kali ritual Ma'Nene' dilaksanakan menjadi magnet yang menarik kerumunan wisatawan dalam dan luar negeri, hadir menjadi saksi nyata keunikan sebuah tradisi yang masih terpelihara.
Berikut beberapa foto dokumentasi ritual Ma'Nene di Toraja yang dilansir Tempo Foto:
Seorang perempuan berdiri di depan kuburan batu yang disebut 'Liang' dalam ritual Ma'nene di Toraja, Sulawesi Selatan (23/8). Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad |
Seorang anggota keluarga mengeluarkan mumi leluhurnya dari dalam peti jenazah sebelum memakaikan pakaian baru dalam ritual Ma'nene di Toraja, Sulawesi Selatan (23/8). Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad |
Beberapa peti jenazah berisi mumi di dalam bangunan kuburan yang disebut Patane, ketika berlangsung ritual Ma'nene di Toraja, Sulawesi Selatan (23/8). Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad |
Sekilas tentang Suku Toraja dan Rambu Solo
Toraja adalah salah satu suku yang berdiam di daerah pegunungan Quarles bagian utara pegunungan Latimojong, wilayah utara dari Provinsi Sulawesi Selatan. Tepatnya di Kabupaten Tana Toraja, yang kini sebagian wilayahnya dimekarkan menjadi daerah otonom baru, yakni Kabupaten Toraja Utara.
Suku Toraja yang bermukim di dua kabupaten yang memiliki hawa dingin ini, dominan penganut agama Nasrani, setelah jauh sebelumnya adalah pengikut animisme yang didasarkan pada ajaran dianut nenek moyang mereka ribuan tahun lalu, yang oleh suku Toraja disebut “Aluk Todolo” (kebiasaan, ajaran, paham dan keyakinan orang-orang terdahulu).
Meskipun saat ini sebagian besar masyarakatnya tidak lagi menganut keyakinan yang diwariskan dari nenek moyang mereka, tetapi nilai dan ajaran “Aluk Todolo” tetap dipegang teguh dan dilestarikan dalam kehidupan bermasyarakat. Misal diantaranya, sekalipun masyarakat suku Toraja telah mengikuti ajaran Nasrani, tetapi tradisi “Aluk Todolo” yang mengagungkan kematian kerabat yang meninggal dunia tetap dipertahankan dan dilestarikan hingga kini. Itu sebabnya upacara kematian bagi keluarga yang meninggal dunia, disebut “Rambu Solo”, jauh lebih meriah bila dibandingkan upacara pernikahan sanak keluarga.
Kematian bagi masyakat suku Toraja, adalah inti dan puncak pencapaian kehidupan paling agung menuju keabadian di “Puya” (Surga/Nirwana bagi kepercayaan suku Toraja). Itulah sebabnya, sebelum menuju ke mahligai nirwana di “Puya”, pemakaman jenazah menjadi momentum paling sakral dalam perjalanan hidup di muka bumi ini. Bagi Suku Toraja kematian seolah sebuah pemahaman bahwa “hidup manusia adalah untuk mati” menuju alam keabadian. Guna mencapai ketenteraman di “Puya”, setiap arwah harus melakukan pembersihan diri sebagai penebus dosa. Untuknya, setiap jenazah yang akan dikubur, sedapat mungkin diberi "bekal" sebanyaknya sesuai kemampuan keluarga.
Bekal dimaksud adalah roh sejumlah hewan yang dikurbankan pada saat upacara pemakaman “Rambu Solo” dilaksanakan. Roh sejumlah hewan yang dikurbankan itu diharapkan mampu mengiring-iringi arwah si mati menuju “Puya”. Semakin banyak jumlah hewan dikurbankan semakin sempurnalah perjalanan menuju keabadian. Semakin tinggi derajat kasta jenazah, semakin tinggi pula hewan dikurbankan. Itu sebabnya, upacara kematian suku Toraja, kadang menghabiskan dana milyaran rupiah. Bagi mereka yang belum mampu, jenazah kerabatnya di-“mumi” sementara waktu di rumah, hingga saatnya kerabat mampu mengumpul dana untuk melangsungkan upacara "Rambu Solo".
Upacara kematian “Rambu Solo” yang kadang menghabiskan anggaran Milyaran rupiah — yang kini bergeser diartikan derajat dan gengsi keluarga — berhari-hari berlangsung meriah selama sekian pekan, siang maupun malam. Uacara ini selain disertai nyanyian-nyanyian duka “ma’badong”, do’a-do’a ratapan, juga ditampilkan musik dan ragam tarian tradisional untuk menghibur kerabat keluarga yang sedang berduka, yang tak habis-habisnya berdatangan menyampaikan belangsungkawa, baik mereka yang bermukim di Tana Toraja, maupun yang jauh-jauh datang dari negeri rantau. Entah dari dalam ataupun dari luar negeri.
Penguburan mayat, pada saatnya akan dilakukan sesuai kesepakatan keluarga. Mayat yang dimakam, sebagian besar adalah jenazah yang sekian bulan atau sekian tahun dirawat di rumah, setelah sebelunya di-“mumi” melalui ramuan tradisional khas Toraja, sehingga fisik jenazah tetap utuh seperti sediakala semasa hidup. Diselimuti pakaian baru secara lengkap, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dimasukkan ke dalam peti yang terbuat dari jenis kayu tahan lama. Mayat dalam peti, diusung segenap keluarga menuju pekuburan liang gunung batu yang telah disiapkan. Peti berisi mayat di letakkan di atas gundukan batu dalam liang.
Pekuburan liang di tebing pegunungan batu, tersebar di sepanjang wilayah Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Setiap lokasi dapat disaksikan peti-peti berisikan mayat atau tengkorak manusia bergelimpangan. Pekuburan dimaksud itulah yang menjadi salah satu objek wisata (yang mungkin) terunik di dunia yang tak henti-hentinya mendapat kunjungan wisatawan nusantara dan manca negara. Selebihnya karena selain cuaca Tana Toraja yang sejuk-dingin, juga karena pemandangan alam pegunungannya yang indah, serta rumah tradisonalnya yang khas, pula karena kehidupan masyarakatnya kebanyakan masih tradisionil, khas dan unik.
Semoga bermanfaat...
Sumber: Foto Tempo | Kompasiana