Showing posts with label Tana Toraja. Show all posts
Showing posts with label Tana Toraja. Show all posts

"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu

toraja lovely december 2014
"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu. Foto: LionMag edisi Februari 2015.
Seperti apa kisahnya bila Majalah milik sebuah maskapai penerbangan bercerita tentang Toraja. Adakah diantara Sangsiuluran yg pernah membacanya..? :)

"I Love Bamboo"Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu

Kalimat diatas adalah judul artikel dalam majalah LionMag edisi Februari 2015. Berikut artikel selengkapnya yang kami sadur dari majalah LionMag:

"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu
Anak-anak Toraja juga lihai memainkan alat musik Pa'pompang. Foto: LionMag edisi Februari 2015.
"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu
Seorang nenek memainkan musik tradisional suling bersama rekannya. Foto: LionMag edisi Februari 2015.

Suatu siang di kota Makale, Tana Toraja, pada bulan Desember tahun 2014 lalu. Alunan musik bambu yang dimainkan sejumlah anak Toraja cukup menyita perhatian pengunjung. Alunan merdu tersebut berasal dari alat musik bambu khas Toraja dalam berbagai ukuran, mulai dari kecil, besar yang bersuara bas, hingga suling yang bersuara nyaring.

Alat-alat musik yang disebut masyarakat Toraja dengan Pa'pompang serta Suling Te'dek (Suling Lembang) itu memang kerap dimainkan anak-anak dan orang tua. Alat-alat musik tersebut lazim dimainkan kala ritual adat dan acara budaya seperti Aluk Rampe Matallo, Aluk Rampe Matampu', atau ritual Rambu Tuka' (upacara syukuran, upacara adat panen padi, pernikahan dan lainnya), serta Rambu Solo' (upacara adat kedukaan/kematian).

Namun, kali ini alunan musik bambu itu hadir bukan untuk sebuah ritual, tetapi ditampilkan guna memeriahkan event Toraja Lovely December 2014 (baca disini), acara tahunan pada bulan Desember untuk mengangkat lagi pariwisata di Toraja. Event penutup tahun ini sekaligus menjadi ajang silaturahmi masyarakat setempat yang selama ini merantau/bekerja di luar Toraja.

toraja lovely december 2014
"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu. Foto: LionMag edisi Februari 2015.

Mengapa Bambu

Lovely December di penghujung 2014 kemarin bertemakan "I Love Bamboo". Jadi tidak mengherankan jika alat musik serta pernak-pernik dari bambu cukup mendominasi.

Pemilihan tema itu bukannya tanpa dasar. Bambu begitu erat melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja. Kreativitas masyarakat Toraja dalam memanfaatkan bambu bisa dibilang tiada batas. Bambu bisa dimanfaatkan tidak hanya untuk atap Tongkonan dan Alang (lumbung yang bentuknya mirip rumah Tongkonan), tetapi juga mulai dari alat rumah tangga seperti membuat suke (tempat untuk minuman atau juga wadah untuk memasak makanan tradisional Pa'piong), alat-alat musik, dibuat kandang ternak, hingga sebagai bahan utama pembuatan lantang (pondokan) untuk upacara ritual adat Rambu Solo' dan Rambu Tuka'.

"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu
Dua pria Toraja membawa tabung bambu yang berisi tuak. Foto: LionMag edisi Februari 2015.

Dengan begitu banyak kegunaanya membuat bambu memang tidak bisa dipisahkan dari hajat keseharian masyarakat Toraja. Eksotisme kreasi dari bambu saat Lovely December itu pun kental terasa diantara nuansa parade budaya dan model-model cantik dalam balutan busana khas Toraja yang banyak menyita perhatian pengunjung. Para model itu tidak berjalan di catwalk, melaikan memperagakan busana di tengah jalan poros atau tepatnya di pusat kota Makale, Toraja.

"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu
Para Gadis Toraja menari massal pada puncak acara Lovely December yang dipusatkan di Kota Makale. Tarian ini melibatkan ratusan penari wanita. Foto: LionMag edisi Februari 2015.
"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu
Pemuda Toraja mengarak miniatur rumah adat khas Toraja, Tongkonan. Foto: LionMag edisi Februari 2015.
"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu
Peragaan busana Toraja juga turut menyemarakkan puncak acara Lovely December. Foto: LionMag edisi Februari 2015.
"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu
Kain tenun dengan corak khas Toraja diperagakan seorang model. Foto: LionMag edisi Februari 2015.

Semoga bermanfaat... #WondefulToraja #TorajaParadise


Sumber:

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Penunjuk arah Suaya, makam para Bangsawan Sangalla'.
Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave

Menurut beberapa penuturan, upacara Rambu Solo paling besar dan meriah adalah saat pemakaman penguasa Sangalla' terakhir, Puang Laso Rinding atau yang dikenal Puang Sangalla’, pada tahun 1972. Saat itu juga Rambu Solo Puang Sangalla didokumentasikan oleh National Geographic sehingga menjadikan Tana Toraja mulai masyhur di dunia internasional. Semenjak itu, banyak wisatawan dari berbagai penjuru dunia datang ke Toraja dan menyaksikan upacara Rambu Solo.

Kita akan ke Suaya. Ke tempat makam raja-raja Sangalla’ dan keluarganya.” Basho menginformasikan tujuan selanjutnya. Daerah Sangalla terletak sekitar 10 km di sebelah timur Makale.

Matahari sudah mulai menampakkan wujudnya. Mendung yang dari tadi menggelayut, perlahan-lahan membuka diri. Ia memberi kesempatan langit biru menjadi atap yang indah bagi Tana Toraja. Sayangnya, masih malu-malu. Belum sepenuhnya tulus mengantarkan matahari mengeringkan tanah-tanah yang basah, sisa hujan. Matahari pun terhijab lagi oleh mendung putih. Romansa langit biru yang menjadi kombinasi bumi hijau menguning masih sebatas imajinasi.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Sebuah kubur tanpa Tau tau. Tau-tau diselamatkan karena rawan pencurian. 

Tatkala masuk menyusuri area persawahan dari Makale menuju Sangalla', kami berhenti. Sebuah tebing dengan pahatan persegi panjang berlubang-lubang menyambut pandangan kami. Kosong tak ada isinya...

Harusnya di dalam lubang itu ada Tau-tau, patung boneka dari orang yang dikuburkan di tebing batu. Hanya saja oleh keluarganya, Tau-tau ini disimpan di Tongkonan yang terletak di bawahnya.” Jelas Basho.

Lho kenapa disimpan? Tidak dipajang?

Tau-tau rawan dicuri. Banyak orang asing ingin mengoleksi Tau-tau. Mereka terpesona dengan aura keunikan dan keindahan Tau-tau. Padahal, Tau-tau dipercaya untuk melindungi keluarga yang masih hidup.“ Saya paham dan sependapat dengan Basho. Miris memang. Masih ada juga orang Indonesia yang mau mengorbankan kekayaan tradisi yang tak ternilai harganya demi memenuhi kebutuhan satu dua orang asing. Hanya demi memperoleh banyak uang.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Panorama persawahan dengan latar belakang batuan granit bergerigi sepanjang Makale-Suaya. Eksotis. 

Perjalanan dilanjutkan ke Suaya. Panorama sawah bertingkat-tingkat memanjakan pandangan. Hutan di perbukitan hijau lestari. Jejeran pegunungan granit di kejauhan menyedapkan horison. Semakin elok tatkala formasi alam ini diselingi rumah-rumah Tongkonan yang begitu khas Toraja. Tak terasa, saya sudah tiba di tempat parkir Suaya.

100 meter berjalan di setapak yang masih basah. Aroma kesakralan peristirahatan para raja dan bangsawan mulai terasa. Sayangnya, area ini terkesan kurang terawat. Rumput-rumput liar tumbuh sesuka hatinya. Tempat ini sepi pengunjung. Rasanya kami adalah satu-satunya pengunjung saat itu. 

Sebuah tebing tegak lurus menjadi akhir pandangan mata saya. Kira-kira setinggi 70 meter. Puluhan Tau-tau menyambut saya dengan tangan terentang. Seperti sebuah sambutan yang ramah dari mereka untuk kehadiran saya.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Deretan Tau-tau tua dengan tangan merentang. Seolah menyambut kehadiran pengunjung.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Kubur tebing batu Suaya, makam Ningrat Sangalla'

Tau-tau Suaya termasuk yang tua di Toraja. Ada yang berusia hingga ratusan tahun. Mereka berjejer rapi di atas tebing dengan memakai pakaian adat khas Toraja. Tau-tau seluruh mendiang lengkap di Suaya. Di samping lubang Tau-Tau, ada beberapa lubang dengan pintu kayu yang di dalamnya jasad-jasad darah biru Sangalla ini ditaruh untuk dimakamkan.

Lihat di bawahnya, ada kuburan berada di tanah.” tunjuk Basho. “Itu adalah pemakaman bagi bangsawan Sangalla yang beragama Islam.” Tertulis di nisan putih bernama Haji Puang Lai Rinding. Lahir tahun 1905, wafat 23 April 1988.  Makam Islam adalah keunikan yang menjadikan Suaya berbeda dibandingkan kuburan batu lain di Toraja.

Menurut Basho, Haji Puang Lai Rinding adalah bangsawan Toraja yang merantau keluar dari Tana Toraja. Kemudian dia memeluk Islam hingga berhaji ke Mekkah. Meski demikian, sebagai orang Toraja, dia tetap menghormati leluhurnya dengan berpesan dikuburkan di tanah asalnya. Sebaliknya, orang Toraja juga menghargai agama Islam yang dianut bangsawan Lai Rinding ini. Penguburan di atas tanah adalah sebuah ‘komunikasi’ yang mengedepankan toleransi dalam masyarakat Toraja.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Makam muslim Bangsawan Sangalla' Toraja. Berbeda dengan tradisi asli Toraja.
Dalam kepercayaan Suku Toraja, tanah dianggap sebagai elemen suci. Maka, masyarakat Toraja tidak akan mengubur mayat di dalam tanah, tetapi di dalam batu atau pohon. Secara geografis, tradisi ini dipengaruhi oleh bentang alam Toraja. Tana Toraja dihiasi oleh pegunungan dan batu granit raksasa sehingga memungkinkan tradisi itu dilaksanakan.
Di depan arah kanan dari kaki bukit dibangun sebuah bangunan mirip Tongkonan untuk menaruh barang-barang milik mendiang. Di sampingnya ada pondok penyimpan beberapa perlengkapan penguburan. Ada juga bangunan cukup besar yang menyimpan beberapa barang kerajaan Sangalla. Hanya saja, sebagian besar barang kerajaan tak di sini, melainkan disimpan di Museum Buntu Kalando yang merupakan bekas istana Puang Sangalla. Museum ini terletak di atas bukit di Desa Kaero, Sangalla, tak jauh dari Suaya. 

Kuburan Batu Suaya merupakan persembahan kepada Puang Tamboro Langi’ dan keturunannya. Puang Tamboro Langi’ merupakan pendiri sekaligus penguasa pertama wilayah Kalindobulanan Lepongan Bulan (Tana Toraja). Menurut hikayat, dia turun dari langit di puncak Gunung Kandora di Kecamatan Mengkendek, Tana Toraja pada pertengahan abad 4 M.

Tanah adalah elemen suci bagi orang Toraja. Sehingga makam dibuat di atas tebing.
Tanah adalah elemen suci bagi orang Toraja. Sehingga makam dibuat di atas tebing.

Selanjutnya oleh keturunannya, yakni Puang Bullu Mattua, wilayah Lepongan Bulan dibagi menjadi tiga wilayah (lembang) yaitu Makale, Sangalla’, dan Mangkendek. Pembagian ini dilakukan di atas suatu landasan sumpah yang disebut Basse Tallu Lembangna. Ketiga wilayah ini berkuasa penuh memerintah dan mengatur wilayahnya masing-masing. Pemimpinnya disebut Puang Basse Kakanna Makale, Puang Basse Tangngana Sangalla’ dan Puang Basse Adinna Mengkendek.

Meski demikian, secara simbolis ada Puang Tomatasak Kalindobulanan Lepongan Bulan yang selalu dijabat oleh Puang Basse Tangngana Sangalla’ selama 13 periode mulai dari Puang Palodang sampai Puang Laso’Rinding (Puang Sangalla’). Wilayah Sangalla mewarisi asli Lepongan Bulan karena Tongkonan Layuk Kaero yang merupakan istana Lepongan Bulan dibangun oleh Puang Patta La Bantan itu berada di wilayah Sangalla’.

Hadir di Suaya, seperti melemparkan saya kepada sejarah panjang Tana Toraja. Khususnya masa lalu Bangsawan Sangalla. 

Namun, matahari perlahan beranjak naik. Sudah mulai menuju siang. Saya melangkahkan kaki kembali ke tempat parkir. Melangkahkan kaki kembali ke masa kini. Terjaga lagi pada kesadaran untuk menjelajahi khasanah Toraja. Masih banyak destinasi Toraja yang lain.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Lettoan, miniatur bentuk Tongkonan, bekas keranda pembawa jenazah diletakkan di kaki tebing.
Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Tau-tau berjejer rapi di atas tebing.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Tau-tau yang masih baru milik bangsawan Sangalla'.

Suaya Makam Ningrat Sangalla' - Suaya King's Grave
Sebuah bangunan berbentuk rumah adat Tongkonan, dijadikan tempat menyimpan alat pekuburan.



Artikel dan Foto: Iqbal Kautsar | @iqbal_kautsar

Tentang Penulis:
Iqbal Kautsar, seorang; Pemakna khasanah INDONESIA | Pejalan dan pencerita perjalanan | Pecinta kopi, durian dan brotowali | Yogyakarta dan Kebumen |

Anda bisa menghubunginya melalui email: iqbalkautsar@gmail.com

Sumber: artikel ini sebelumnya diposting dalam blog pribadi penulis _DIASPORA IQBAL_ dan atas izin dari penulis, artikel ini kami posting kembali untuk menambah informasi tentang pariwisata di Indonesia khususnya di Toraja.

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
WELCOME TO TORAJA  |  TAU-TAU
Manusiawi sekali jika ada orang Jakarta yang tak begitu antusias melipir ke Pulau Seribu, atau orang Bali yang belum pernah ke Nusa Penida, atau bahkan orang Papua yang sama sekali tidak tertarik ke Raja Ampat. Saya sendiri pernah berdomisili di Makassar namun tak terbesit keinginan sedikitpun untuk melancong ke Tana Toraja. Tak perlu ditentang, ini masih masuk akal. “Kan saya tinggal disini, nanti saja kapan-kapan.” Begitulah kira-kira kalimat standar yang sanggup menjinakkan hasrat.

Saya pernah bertemu dengan segerombolan turis Belanda yang mati-matian menabung demi bisa membeli tiket pesawat Amsterdam - Makassar via Denpasar. Jangan tanya sejak kapan mereka mulai gemar menyimpan uang di kaleng Khong Guan, saya rasa saat para mantan koloni itu mulai mengetahui jika mayat orang Toraja bisa berjalan sendiri ke kuburan mereka.

Zein without Maher, pemuda lajang asal Jogja ini rela datang dengan berbagai harapan. Saya, Ahlul, dan Ran yang diutus Tuhan sebagai teman jalan si bocah perawan bahagia bukan kepalang. Pertama, Zein ini temannya Ahlul, lalu karena alasan ingin memangkas krisis kantong tipis, saya dan Ran diajak melibatkan diri. Kedua, ini sudah pasti menjadi kunjungan pertama beta, Ran, dan Zein ke Toraja. Sedangkan Ahlul, entah kapan ia terakhir kesana, tapi ia masih mengingat jelas urutan kabupaten yang akan dilewati setelah bertolak dari Makassar. Ketiga, semua mimpi ini takkan pernah jadi nyata jika Ahlul dan Zein tak pernah berteman sebelummnya. Puji Tuhan!

Kami berangkat ke Toraja dengan bus bersuspensi udara yang super worth it. Butuh 8 jam perjalanan, duapuluh juta topik obrolan, satu jam perjuangan menahan mual, 3 bar lampu daya power bank sebagai genset pecinta gadget, dan secercah harapan untuk bisa tiba di kota Rantepao. Sekedar diketahui, Ibukota kabupaten Tana Toraja sendiri berada di Makale, namun pusat perekonomian dan jantung pariwisata lebih kelihatan menggeliat di kota Rantepao.

Pembaca yang terhormat, tahukah kalian jika kami telah bersepakat akan tinggal sehari disana, di hotel alakadarnya, dengan menyewa motor warga yang belum jelas keberadaannya, dan pulang dengan keadaan bahagia tak terkira? Percuma, kami terpaksa menelan mentah-mentah saran ibunda Ahlul yang membungkam kebebasan berekspresi kami. Ya, beliau pernah lama tinggal disana. Kami diyakinkan agar menuntaskan semua destinasi di wish list dalam sehari saja. Setelah itu, pulanglah ke Makassar dan jangan membantah. Baiklah, bukankah suara ibu adalah suara Tuhan?

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
KE'TE KESU  |  RAMBU SOLO'
Tak ada adegan memicingkan mata saat pertama kali tiba di Toraja. Maklum, jalan spiral trans Sulawesi disepanjang Enrekang masih meyisakkan mual tak terkira. Kami hanya butuh lima menit untuk bersepakat rute pertama segera dimulai dari mana. Masjid! Hanya di tempat ini semua hajat besar dapat dilaksanakan. Malang rupanya, pagar masjid tertutup rapat, madrasah di sampingnya pun sedang libur. Tak ada toilet untuk kalian, wahai pengembara tua bangka!

Rencana merental motor pun kami ganti dengan saweran menyewa satu mobil, termasuk supir, bensin, guide, merangkap kamus Torajapedia. Pak Ela membuat kami kagum akan keramahan beliau, katakanlah dia tahu menempatkan diri sebagai pemandu sekaligus tuan rumah yang baik. Semoga Tuhan berkati bapak.

Saya harus memulai kisah ini dari Kete’ Kesu, semacam kompleks rumah adat yang terdapat Tongkonan lengkap dengan Alang Sura, alias Tongkonan berukuran kecil yang berfungsi sebagai tempat lumbung padi. Dibelakang kompleks ini terdapat makam leluhur orang Toraja, Kubur Gantung. Untuk menuju kesana cukup dengan berjalan kaki melewati beberapa menhir, tau-tau (patung yang dipahat berbentuk manusia), dan tengkorak yang diletakkan di dinding-dinding tebing.

Jujur, saya tak begitu antusias dengan tempat ini, mungkin karena terlalu touristy bagi para pelancong. Saya bahkan lebih terkesan dengan ritual Rambu Solo yang kita jumpai setelah dari Kete’ Kesu. Ini seperti halnya saya lebih takjub berjumpa dengan Ban Ki-moon dibanding Pokemon. Rambu Solo adalah ritual kematian super meriah yang menelan banyak biaya. Hari itu, Pak Ela berinisiatif mengantar kami ke salah satu keluarga yang sedang melangsungkan upacara ini. Beruntung, oleh seorang ibu yang mengaku sebagai keluarga berduka, malah menyambut kami dengan sangat ramah. Ramah sekali.

“Duduk saja disini, ini sebenarnya panggung keluarga inti, tapi tak mengapa, kalian ini tamu, dan tamu selalu membawa berkah. Silakan menikmati, saya pamit tinggal sebentar.”

Lima menit berikutnya wajah sumringah kami menjadi lemas. 30 ekor kerbau persembahan ditebas dengan parang sepanjang lengan. Saya menutup mata, darah segar tempias dari lehernya, ia melompat, kejang-kejang, lalu tumbang. Satu, dua, belasan, hingga kerbau ke berapa puluh itu dipersilakan maju menjemput maut. Ini memang ritual, tapi tak ada salahnya meminjam istilah Ahlul. Ini seperti genosida, teman.

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
BABY GRAVES KAMBIRA  |  KUBUR GANTUNG KE'TE KESU'
Lepas tu kami nak ke Baby Graves di Kambira, I never knows about this place anyway, make sure riwayat tempat camni pun I takde buat, even tengok kat Wikipedia pun tidak. Nah, nyatanya ini salah satu tempat femes. You pernah dengar about kuburan kat pohon, ke? Inilah! Dahulu, bilamana ada bayi yang lahir dan meninggal sebelum tumbuh gigi, dia akan dimakamkan disini, ditanam di dalam pohon khusus ini. Konon, jika rumah duka menghadap timur, kubur harus menghadap ke barat. Tujuannya supaya bayi tenang diasuh pohon Tarra’ dan tak minta pulang ke rumah dukanya.

Setelahnya, kami diajak masuk ke satu Tongkonan modern yang  dimiliki beberapa keluarga sekaligus. Seperti biasa, diseberang Tongkonan utama selalu menjulang Alang Sura.  For your information, satu Tongkonan mampu menampung empat keluarga besar, untuk hitungan ideal tiap pasang suami-istri memiliki 3 orang anak. Kali ini, saya memutuskan tidak membahas panjang lebar perihal motif ukiran, filosofi, hingga makna tanduk kerbau yang disusun pada tongkonan. Sudah banyak artikel yang membahas tentang ini, semoga kau menemukan pencerahan di tempat lain, nak.

Saya lupa persis nama guide yang menemani kami siang itu, tapi ia menawarkan wisata paling fantastis setelah saya bertanya tentang mumi Toraja. “Ada tante saya yang sudah meninggal setahun lalu tapi sampai hari ini belum dibuatkan upacara pemakaman. Rumah duka tak jauh dari sini, mari saya antar, tapi bersikaplah biasa, karena kami selaku orang Toraja percaya bahwa mayat yang belum dikubur adalah orang sakit yang harus dilayani.” Kami diam seribu bahasa.

Mendengar kata mumi, pikiran pasti melayang ke sosok Fir’aun, si jahat berhati batu yang lebih durhaka dari Malin Kundang si kacang lupa kulit. Bedanya dengan ini, mayat sengaja diawetkan dan dirawat layaknya orang sakit, dengan keterlibatan semua keluarga yang bahu-membahu mencurahkan kasih sayang, karena yang meninggal ternyata ‘masih sakit’, dan tak pernah menentang Tuhan. Siapapun kamu, akan membuang jauh-jauh rasa takut, dan angkat topi untuk tradisi yang paling sakral ini. Saya pribadi, menaruh hormat untuk sang ‘tante’ yang telah berpulang, dan memberi dua jempol untuk keluarga sederhana yang sangat mulia.

Kami melanjutkan perjalanan ke Suaya, menurut Pak Ela, situs ini mirip seperti pemakaman batu yang terletak di Londa, tapi karena kami anti mainstream, ia menawarkan rajanya Londa, Suaya King’s Grave. Sudah pasti tempat dan atraksi wisata di Toraja tak akan jauh-jauh dari mayat, tengkorak, makam, kerbau, darah, dan batu. Bijaklah jika you nak bercuti kat sini with limited times, pilih satu je yang korang nak interest. For example, bilamana korang nak tengok Marcel Chandrawinata, tengok je Mischa, sebab tu sama je.

Ahlul merayu Pak Ela agar beliau mau mengantar kami ke Batutumonga, sebuah destinasi wisata alam yang berada di lereng gunung Sesean, yang juga menurut Ahlul masih terdapat bebatuan purbakala peninggalan nenek moyang Toraja. Malang, Pak Ela menolak dengan halus karena alasan cuaca dan terbatasnya waktu yang kami miliki. Masuk akal, kami harus kembali ke Makassar jam 9 malam, otomatis harus standby elegan di stasiun bus satu jam sebelumnya, dan perjalanan dari Suaya ke Batutumonga memakan paling kurang 4 jam return, sedangkan saat itu sudah pukul 3 siang, jelas kami tak akan ambil risiko.

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
SUAYA KING'S GRAVE | PERKAMPUNGAN ADAT
Tak kekurangan akal, Pak Ela kembali melakukan terobosan membosankan, kami di ajak ke Lemo, tak lain dan tak bukan adalah ke kuburan batu (lagi). Saya memilih istirahat selama perjalanan, entah apa yang tiga serangkai lakukan di jok belakang, semoga Tuhan memberkati. Melihat kami tak begitu antusias begitu tiba di Lemo, Pak Ela bergegas ke mobil, menginjak pedal dan membawa kami lekas pergi dari objek wisata yang sama persis dengan Suaya King’s Grave dan Londa. Batu.

Kali ini saya tak bisa menemukan jati diri, yang selalu sigap saat trip tak sesuai kehendak, yang sering melahirkan ide aneh ketika sebuah destinasi tak menjual apa-apa. Maaf pemirsa, ini karena kami berempat sudah mempercayakan segala rahasia Ilahi ke pundak Ela Lopez, sebuah nama samaran yang muncul begitu saja dari pojok belakang kepala beta.

Taruna tua menerbangkan segala debu dari jalanan gersang, memberitahu kami jika infrastruktur tidak pernah dinomor satukan. Kondisi seperti ini hampir terjadi di seluruh wilayah di luar kota Rantepao, yang padahal menjadi kantong-kantong penyokong pariwisata. Ah, kekesalan makin beranak-pinak ketika nasi goreng pesanan saya mengandung dua genggam garam dapur produksi Laut Mati Jordania. Asin sekali.

Ela tetap tenang memandang kedepan, kakinya naik-turun mengatur kecepatan, sengaja ia mengundang sejuknya angin memeluk kami yang kelelahan. Mobil dipacu ke sebuah pemukiman adat di perbukitan granit, kami disambut teduhnya sungai Saddang yang kecoklatan. Sawah dengan embun segar dibawah sana, menyambut matahari yang berusaha undur diri. Lihat, pemandangan seperti ini bahkan terasa lebih damai dibanding membaca pesan dari orang yang pura-pura sayang. Ups, beta kecoplosan.

Tak ada atraksi wisata selama di kampung adat ini, tapi kami menemukan wajah lain dari Tana Toraja yang terlanjur dikenal akan ritual kematian. Disini, air mengalir jernih di selokan, bunga dan rumput  berlomba siapa yang lebih tinggi, aroma segar batang pohon memenuhi tiap sudut jalan. Disinilah letaknya kehidupan, harapan, dan alam warisan nenek moyang yang mampu berjalan beriringan dengan hebohnya upacara kematian. Sudah tentu, selain lebih sakral dibanding selamatan kelahiran atau acara kawinan, ini juga merangkap barometer status sosial sejak era Hawa dan Adam. Mungkin.

Kami kembali ke Rantepao ketika langit tak lagi biru, Ela mengucapkan salam perpisahan beserta doa agar kami selamat tiba di tujuan. Masjid, target pertama sejak pertama datang kini telah membuka pintunya lebar-lebar. Usai sholat maghrib, kami harus angkat kaki saat segerombolan ibu-ibu penumpas fakir colokan memberi kode lewat meja arisan yang siap didekorasi. Kami terpaksa mengadu lapar di sebuah kedai ayam goreng lokal yang berusaha berdandan internasional.

Sebelum naik ke bus, saya seperti tak ingin pulang, pergi meninggalkan kota kematian yang sanggup memberi penghidupan. Toraja, kalau bukan karena Tongkonan, jika tak ada kematian, bila bukan karena nenek moyang, kau tak ubahnya pedalaman yang kekurangan perhatian, yang keperawananmu dikendalikan pemerintahan, yang akan mengadu keadilan pada orang-orang seperti kami, para pejalan yang berjanji mengabarkan ke seluruh dunia jika kau kau hidup serba kekurangan.

Toraja, jika bisa menitipkan sepenggal kerinduan, saya ingin tinggal saja di dalam pohon Tarra’, atau menjadi penjaga Pallawa. Kau berhasil menyelipkan putih diantara hati yang menghitam. Karena harus saya akui, hanya disini, habis gelap terbitlah terang!

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
Penulis dan rekan-rekan. Foto: Travendom

#NB: Artikel ini sebelumnya diposting di situs Travendom (*sumber). Guna memperkenalkan kekayaan khasanah Budaya Toraja kepada khalayak, maka artikel ini kami posting kembali. Salam

Foto dan Naskah berasal dari sumber yang sama.

”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja

”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja
Kerbau jenis saleko adalah kerbau termahal dalam lingkungan budaya di Toraja. Ciri khasnya adalah tanduk kuning, lingkaran putih di bola mata, serta berkulit hitam dan putih. Tingginya harga bergantung pada kelangkaannya. Harga per ekor bisa mencapai lebih dari Rp 1 miliar. Foto: KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, seekor kerbau bisa berharga lebih dari satu miliar rupiah. Namun, kerbau semahal ini bukanlah kerbau biasa alias kerbau langka. Dan, jenis yang bisa mencapai harga Rp 1 miliar adalah jenis yang disebut ”saleko” dengan ciri fisik tanduk kuning, lingkaran putih di bola mata, serta kulit berwarna hitam dan putih dalam kombinasi-kombinasi tertentu.

Saleko sangat langka. Seekor saleko jantan yang dikawinkan dengan seekor saleko betina belum tentu melahirkan anak saleko, bahkan dalam puluhan kali kelahiran pun. Sebaliknya, saleko bisa muncul dari perkawinan sepasang kerbau biasa.

”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja
Bagaimanapun kerbau gemuk lebih mahal daripada yang kurus. Maka, kerbau-kerbau di Toraja dipaksa makan oleh pemiliknya untuk menaikkan beratnya, seperti terlihat di Pasar Bolu, Rantepao, Toraja Utara, Sulsel, ini. Foto: KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Endy Allorante, seorang fotografer dari Kampung Kete Kesu di Toraja Utara, berkisah bahwa seorang rekannya pernah menemukan seekor kerbau saleko di sebuah tempat di Jawa Tengah. Walau kerbau itu masih anak-anak, rekannya itu menawar sampai Rp 40 juta. Dengan ongkos kirim beberapa juta rupiah, sampailah kerbau saleko dari Jawa Tengah itu ke Tana Toraja.

”Dibeli di Jawa Tengah seharga Rp 40 juta plus ongkos kirim tak sampai Rp 10 juta, kerbau itu laku di sini lebih dari Rp 200 juta,” ujar Endy.

”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja
Dalam upacara Rambu Solo (penguburan jenazah), pemotongan kerbau adalah sebuah bagian penting. Kerbau-kerbau langka menjadi pilihan penting di sini. Foto: KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Di Toraja, kerbau lain yang juga bisa berharga ratusan juta rupiah adalah yang memiliki kelangkaan-kelangkaan, seperti tanduknya sangat lebar (kerbau balian), tanduknya mengarah ke bawah (kerbau sokko), satu tanduk ke atas satu tanduk ke bawah (kerbau tekken langi’), atau bahkan tidak bertanduk sama sekali.

Kerbau-kerbau langka itu memegang peran penting dalam upacara adat, seperti upacara Rambu Solo (pemakaman). Makin langka kerbau yang dikorbankan, itu menunjukkan makin tingginya strata sosial orang yang dimakamkan.

”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja
Kerbau-kerbau tidak langka masih bisa menjadi istimewa kalau menjuarai sebuah acara adu kerbau. Kerbau pemenang akan mengejar kerbau pecundang. Foto: KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Meski demikian, kerbau-kerbau yang tidak langka juga bisa berharga tinggi kalau menjadi jawara dalam acara adu kerbau. Dalam sebuah kawanan kerbau, selalu ada yang agresif. Dan, kerbau-kerbau agresif ini yang biasanya dilatih untuk jadi petarung.

Pertarungan kerbau berakhir manakala salah satu petarung melarikan diri dan dikejar oleh kerbau pemenang. 


#NB: Baca juga posting kami tentang Kerbau di Toraja:





Teks & Foto: Arbain Rambey
Editor: I Made Asdhiana

Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja

Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Kerbau yang dijual di Pasar Bolu, Rantepao, Kab. Toraja Utara. Foto: Kompasiana | Muhammad Idham
Berbicara soal ritual adat Toraja dan kerbau atau dalam bahasa Toraja disebut Tedong, keduanya memiliki hubungan erat. Kerbau merupakan salah satu kebutuhan utama masyarakat Toraja untuk melakukan ritual adat Rambu Solo’ (upacara kedukaan/pemakaman). Maka tak heran jika harga jual/beli kerbau di Toraja begitu fantastis, di Toraja harga seekor kerbau berkisar antara puluhan juta hingga ratusan juta rupiah.

Dengan adanya kerbau pada setiap upacara adat Rambu Solo', bagi sebagian besar masyarakat Toraja sering dikaitkan dengan status sosial seseorang. Selain sebagai elemen utama dalam ritual adat, mungkin alasan inilah yang menjadi pemicu mengapa kerbau Toraja begitu istimewa (baca disini) sehingga harga seekor kerbau bisa melambung semahal itu. 

Pada sebuah acara pemakaman besar yang biasanya dilakukan oleh keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang dikorbankan bisa mencapai puluhan sampai ratusan, kerbau-kerbau yang dikorbankan tersebut kemudian dibagikan kepada masyarakat di kampung tempat diadakannya upacara dan kampung disekitarnya. 

Kerbau yang akan dikorbankan juga memiliki tipe/jenis tertentu yang menentukan nilai tingkatan/kasta masing-masing kerbau, hal tersebut dapat kita lihat pada ukuran, bentuk, tanduk serta perpaduan warnanya. 

Dengan demikian dalam setiap pesta adat akan banyak kita jumpai berbagai jenis kerbau yang akan di korbankan, berikut ini beberapa jenis kerbau ”Tedong”  dengan keunikan khusus yang ada di Toraja dan sebagian mungkin tidak kita temukan di daerah lain.

1.Tedong Saleko
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Saleko, jenis kerbau dengan nilai tertinggi di Toraja. Foto: google
Kerbau yang satu ini merupakan jenis kerbau yang paling mahal dari semua jenis kerbau yang ada di Toraja, harga seekornya bisa mencapai 1 miliar rupiah, ciri khusus dari kerbau ini adalah warna kulitnya yakni perpaduan antara warna dasar putih serta belang hitam, dengan tanduk kuning gading serta bola mata berwarna putih.

2.Tedong Bonga
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Bonga adalah salah satu simbol prestise masyarakat Toraja.
Foto: Pewarta Foto PPWI | Anton Vincent Acvara
Tedong Bonga, menduduki peringkat kedua setelah Tedong Saleko, dan memiliki nilai jual yang hampir sama dengan Tedong Saleko pada kisaran ratusan juta rupiah. 

Ciri fisik Tedong Bonga juga tidak jauh berbada dengan Tedong Saleko, perbedaan yang mendasar antara Saleko dan Bonga terletak hanya pada warna dasar kerbau, dimana Tedong Bonga berwarna dasar hitam dengan belang putih

3.Lotong Boko'
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Lotong Boko'. Foto: Kompasiana|Parman Pasanje
Meski jenis kerbau ini terletak di urutan ke tiga namun karena jenis kerbau yang satu ini sangat langka maka untuk urusan harga kadang kala harganya hanya selisih tipis dari Tedong Bonga dan Tedong Saleko, ciri mendasar dari kerbau ini terletak pada corak/belang hitam yang menutupi punggungnya dengan tubuh berwarna dasar putih.
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Si Lotong Boko’ meski ditawar 500juta tak dilepas oleh yang punya saking sayangnya.
Foto: obendon.com|Olive Bendon


4.Tedong Ballian
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Ballian dengan tanduk yang rentang panjangnya bisa mencapai 2 meter. Foto: Google
Jika di lihat secara sepintas jenis kerbau yang satu ini adalah yang juara, hal ini di karenakan ciri utama dari kerbau ini terletak pada tanduk yang rentang panjangnya bisa mencapai 2 meter, dengan badan gempal, serta corak warna hitam ke abu-abuan, kebanyakan kerbau ini dikebiri. Kerbau jenis ini sudah langka sehingga kisaran harganya juga mahal, biasanya diatas 100 juta rupiah.

5.Tedong Pudu’ 
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Pudu' jenis kerbau umum yang didominasi warna hitam pekat. Foto: indonesia.travel
Tedong Pudu' adalah jenis kerbau yang umum kita lihat dengan ciri khas bentuk tubuh yang kekar serta kulit yang dominasi warna hitam. Salah satu variannya adalah Pudu' Gara' yakni Tedong Pudu' yang bola matanya berwarna putih. Selain sebagai kerbau sembelihan, karena bentuk tubuhnya yang kekar tersebut jenis kerbau ini biasanya dijadikan sebagai kerbau petarung. 

Seringkali kemampuan bertarung Tedong Pudu' digunakan dalam acara Ma’palisaga Tedong (adu kerbau) yang merupakan salah satu rangkaian upacara Rambu Solo'. Acara Ma’palisaga Tedong dalam Rambu Solo' menjadi heboh dan dipadati warga yang hendak menyaksikan tontonan unik ini. Biasanya kerbau yang menang memiliki prioritas tersendiri yang mendongkrak harga jualnya.

Namun, semahal-mahalnya seekor Tedong Pudu' belum cukup untuk menyaingi harga Tedong Bonga. Harganya berkisar antara puluhan sampai 100 juta, untuk harga kerbau petarung lebih mahal lagi sampai ratusan juta rupiah.

6.Tedong Todi' 
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Todi' memiliki corak/belang putih dikepala _diantara kedua tanduknya.
Foto: ANTARA/Sahrul Manda Tikupadang
Tedong Todi’ adalah jenis kerbau yang didominasi warna hitam seperti halnya Tedong Pudu' namun memiliki corak/belang putih dikepala atau tepatnya didahi _diantara kedua tanduknya. Tedong Todi' memiliki dua varian yakni Todi' dan Todi' Gara', letak perbedaannya hanya pada bola mata yang berwarna putih di sebut Todi' Gara'. Harga Tedong Todi’ hampir sama Tedong Pudu' berkisar antara puluhan sampai 100 juta rupiah.

7.Tedong Tekken Langi'
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Tekken Langi'. Foto: Detik|Susan Stephanie - d'Traveler
Tedong Tekken Langi' memiliki keunikan tersendiri diantara jenis kerbau lainnya yakni bentuk tanduk yang tidak simetris/sejajar, dengan ciri khusus tanduk sebelah kiri menjulang keatas, sementara tanduk sebelah kanan ke bawah atau sebaliknya. 

Karena keunikannya membuat kerbau ini sangat jarang dijumpai, biasanya hanya ditampilkan dalam upacara Rambu Solo' dengan tingkatan tertentu seperti upacara Sapu Randanan (upacara adat Rambu Solo' yang tertinggi dan lengkap).  Karena kerbau ini merupakan kerbau yang langka maka harganya juga mahal berkisar diatas 100 juta rupiah.

8. Tedong Sokko
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Sokko. Foto: iffocus.wordpress.com|Sharen Adeline
Keunikan lain dari kerbau yang ada di Toraja adalah Tedong Sokko, kerbau jenis ini memiliki tanduk yang arahnya terbalik dengan kerbau umumnya yaitu arah tanduk yang menghadap ke bawah dan hampir bertemu dibawah leher. Bila berpadu dengan corak/belang tertentu contohnya Bonga Sokko (kerbau belang dengan tanduk menghadap kebawah) nilainya menjadi sangat mahal.
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Bonga Sokko. Foto: google|portal solata

9.Tedong Bulan
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Bulan, memiliki warna putih cerah agak kemerah-merahan.
Foto: iffocus.wordpress.com|Sharen Adeline
Tedong Bulan, yaitu jenis kerbau yang memiliki warna putih cerah agak kemerah-merahan disekujur tubuhnya. Jangan terkecoh dengan bentuk badan yang besar, tanduk kuning gading dan kulit putih mulus. Akan tetapi jenis kerbau yang satu ini adalah kerbau yang jika diurut berdasarkan tingkatan/kasta, maka Tedong Bulan adalah kerbau dengan kasta terendah dimata masyarakat Toraja.

10. Tedong Sambao'
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Tedong Sambao', berwarna abu-abu merupakan jenis kerbau paling murah di Toraja. Foto: Google
Masih berbicara soal kerbau dengan kasta terendah, Tedong Sambao' tidak jauh berbeda dengan bulan yang menempati tingkatan/kasta yang sama. Ciri yang mebedakan antara Tedong Sambao' dan Tedong bulan terletak pada warna Tedong Sambao' yang berwarna berwarna abu-abu atau putih kelabu seperti kebo bule di Solo.

Berbeda halnya dengan Kebo Bule di Solo yang dikeramatkan, di Toraja Tedong Sambao' justru dianggap jenis kerbau paling murah yang harganya hanya sekitar belasan juta rupiah. 


Demikianlah beberapa jenis kerbau/tedong yang ada di Toraja yang dibedakan berdasarkan tipe/jenis tertentu yang menentukan nilai tingkatan/kasta masing-masing kerbau, yang dapat kita lihat pada ukuran, bentuk, tanduk serta perpaduan warnanya. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan mengenai bagaimana serta seperti apa nilai seekor kerbau di mata masyarakat Toraja. 

Salama' kaboro' lako mintu' Sangsiuluran Toraya... :)

Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Kerbau belang endemik Toraja, Sulawesi Selatan, dengan harga bisa mencapai Rp1 miliar.
Foto: Mongabay|Maliku Pakambanan
Jenis dan Nilai Kerbau di Mata Orang Toraja
Suasana ratusan kerbau yang di jual di Pasar Bolu, Kecamatan Rantepao, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Sabtu 2 Agustus 2014. Foto: TEMPO/Iqbal Lubis



Sumber: 
Artikel seperti ini sebelumnya telah diposting oleh blog Doddyg[.]blogspot[.]com "Wara Wiri Kerbau Toraja" dan blog Portalsolata[.]blogspot[.]com "Jenis Jenis Kerbau 'Tedong' Yang Ada di Toraja" demi menyebarkan informasi tentang Toraja maka artikel tersebut diposting kembali oleh blog Orang Toraja.

Toraja Lovely December 2014 "I Love Bamboo"

Toraja Lovely December 2014
Toraja Lovely December 2014 "I Love Bamboo"
TORAJA Lovely December (TLD) VII | 4-31 December 2014 "All Bamboo Ocassion, Back to Nature" __ "I Love Bamboo"
Lovely December Toraja 2014
Lovely December merupakan acara tahunan yang diadakan oleh pemerintah Tana Toraja. Acara yang diadakan sejak tahun 2008 ini akan menampilkan berbagai karya – karya seni dari kebudayaan Tana Toraja dan dikemas dalam bentuk atraksi seni. Untuk Lovely December tahun lalu diadakan pada tanggal 17 Desember hingga 30 Desember. Untuk lokasinya sendiri mengambil tempat di Lapangan Bakti, Kota Rantepao. 

Salah satu acara yang diadakan di Lovely December tahun lalu adalah Fun Bike. Semua kalangan ikut berpartisipasi dan diakhir acara, panitia memberikan hadiah kepada pemenang. Hadiah – hadiahnya antara lain Sepeda Polygon, TV, dan kulkas. 

Upacara adat Rambu Solo adalah acara yang tidak boleh anda lewatkan. Upacara yang juga diadakan di Lovely December ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengenang dan menghargai sanak keluarga yang telah mendahului mereka. Di upacara ini, para pengunjung melihat secara langsung ritual adat Rambu Solo. Selain itu, diadakannya acara ini agar para wisatawan dapat belajar mengenai budaya Tana Toraja. 

Olahraga arum jeram juga termasuk dalam rangkaian acara Lovely December tahun lalu. Arum jeramnya sendiri diadakan di Sungai Mai’ting pada tanggal 19 Desember. Pemerintah juga mengadakan acara bertema Tour The Toraja. Acara ini dibuat dengan alasan khusus, yakni agar masyarakat dapat mengenal Tana Toraja dan menjaga serta merawatnya dengan penuh kasih sayang. Di acara ini, pengunjung menyaksikan keindahan alam dan budaya Tana Toraja. 

Lovely December tahun lalu dilaksanakan selain untuk persiapan menyambut tahun baru, juga diadakan untuk menyambut Natal. Acara Natalnya sendiri diadakan pada tanggal 18 hingga 21 Desember bertempat di Art Center, Rantepao.  

Pada tanggal 26 Desember, dimana suasana Natal masih sangat hangat, diadakan malam apresiasi budaya. Sementara tanggal 29 Desember, pemerintah mengadakan Festival Kuliner yang menyajikan jajanan khas Toraja. Sebagai pelengkap, diadakan juga pertunjukkan tari, karnaval budaya, dan atraksi musik bamboo. 

Di hari terakhir Lovely December yaitu pada tanggal 30 Desember diadakan kebaktian Natal bersama. Sementara di puncak acara yaitu perayaan Tahun Baru dimeriahkan oleh parade kembang api yang mengambil tempat  di Lapangan Kodim, Art Center. 

Acara Lovely December ini sendiri dibuat oleh pemerintah dengan tujuan membangkitkan semangat masyarakat untuk membangun pariwisata dan melestarikan budaya serta adat istiadat Tana Toraja. 

Mengapa Bambu..?
Toraja Lovely December 2014 "I Love Bamboo"
Bambu adalah salah satu bahan untuk membuat atap rumah adat khas Toraja. Foto: Iqbal Kautsar
Bambu, begitu melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja. Kreatifitas masyarakat Toraja dalam pemanfaatan bambu tidak terbatas untuk hal-hal tertentu. Bambu digunakan untuk atap Tongkonan dan Alang (lumbung), digunakan untuk membuat suke: digunakan sebagai wadah untuk minuman atau wadah untuk memasak makanan tradisional pa'piong, dibuat menjadi alat musik dan juga sebagai bahan utama pembuatan lantang (pondokan) pada saat upacara adat rambu solo' dan rambu tuka'.

Bambu dimanfaatkan dalam kegiatan sehari-hari masyarakat Toraja sehingga tidak mengherankan jika bambu diangkat menjadi tema Lovely December 2014; I Love Bamboo.  Lovely December merupakan kegiatan tahunan yang dimulai dari tahun 2009 untuk mengangkat kembali pariwisata Toraja. Karena Toraja kini terbagi menjadi dua kabupaten; Toraja Utara dan Tana Toraja, maka kedua kabupaten bergantian menjadi penyelenggaran kegiatan ini. Kabupaten Tana Toraja merupakan pelaksana kegiatan Lovely December 2014.

Bukan sebagai pelaksana kegiatan Lovely December 2014 tidak berati tidak ada kegiatan dalam rangka Lovely December 2014 di Toraja Utara. Sebagai kabupaten dengan jumlah lokasi tujuan wisata terbanyak, Toraja Utara tetap bekerjasama dengan Tana Toraja sebagai penyelenggara untuk melaksanakan beberapa kegiatan. 

Jelajah Sepeda Tour de Toraja 2014
Toraja Lovely December 2014 "I Love Bamboo"
Jelajah Sepeda Tour de Toraja 2014. | tanatorajakab[.]go[.]id
Event Lovely Desember Tahun 2014 di Tana Toraja diawali dengan kegiatan Jelajah sepeda Tour de Toraja, tanggal 6-7 Desember 2014. Kegiatan ini diikuti 632 peserta dari 65 komunitas sepeda se Indonesia termasuk 1 orang peserta dari Australia MR. David Evan. Sebelumnya peserta bermalam di lokasi dan Minggu pagi star dari Maliba Uluway menempuh jalur hutan pinus dan jalan-jalan pedesaan sepanjang kurang lebih 45 km dan finish di Plaza Makale.

Hadiah utama dalam pelaksanaan Jelajah Sepeda Tour De Toraja Tahun  ini di boyong oleh Komunitas Sepeda Jelajah Lintas Batas (SJ. LIBAS) dari Kabupaten Majene Sulawesi Barat.


PUNCAK ACARA "LOVELY DECEMBER TAGGAL 27 DESEMBER 2014 DI KOTA MAKALE

Toraja Lovely December 2014
Toraja Lovely December 2014 "I Love Bamboo"
Beberapa diantara rangkaian kegiatan Toraja Lovely December 2014:
1. Lomba Sapta Pesona
2. Jelajah Sepeda wisata
3. Lomba Rakit Tradisional ( Lembang )
4. Lomba Tangkap Ikan ( Mebale, Melendong, Mangngula ' Burinti ' )
5. Lomba Lintas Alam.
6. Lomba Cerita Rakyat yang dilakonkan.
7. Lomba Sastra dan Pidato Bahasa Toraja
8. Lomba Permainan Rakyat ( Katekka, Kacalele, Gasing dan Meoli )
9. Lomba Kidung Natal dan Lagu Daerah.
10. Lomba Foto Pesona Wisata Tana Toraja
11. Pameran Kuliner dan Kerajinan Daerah.
12. Ma'barattung ( Meriam Bambu )
13. Perayaan Puncak Lovely Desember 2014 dan Mangrara Banua Tongkonan
14. Gelar Kerajinan Bambu
15. Band Performance ( Music Entertainment ).


#INFO
Kegiatan dan jadwal yang lengkap silahkan menghubungi kontak Sekretariat Panitia Lovely December 2014 dibawah ini:

Sekretariat Panitia (Disbudpar Kab. Tana Toraja)
Jl. Veteran No. 1, Plaza (Kolam) Makale, Tana Toraja
Telp/Fax: 0423-24804
Email: budpartanatoraja@yahoo.com
CP: E. Bernard - 085 242 057 997


Artikel: Berbagai Sumber