Showing posts with label Musik Bambu. Show all posts
Showing posts with label Musik Bambu. Show all posts

Pa`pompang, Alat Musik Bambu Khas Suku Toraja

Pa`pompang, Alat Musik Bambu Khas Suku Toraja
Pertunjukkan musik bambu Pa'pompang. Foto indonesiakaya.com

Seperti halnya masyarakat Sunda di Jawa Barat yang bangga dengan musik angklung, Orang Toraja di Sulawesi Selatan pun pasti bangga karena memiliki musik bambu. Di Tana Toraja, penduduk setempat menyebutnya dengan Pa`pompang atau Pa`bas karena suara bas yang lebih dominan terdengar. 

Berbeda dengan angklung, musik bambu Toraja merupakan jenis alat musik yang ditiup untuk mengeluarkan bunyi yang memiliki jangkauan nada dua setengah oktaf tangga nada. Meski termasuk alat musik tradisional, tetapi alat musik bambu ini bisa juga dikolaborasikan dengan alat musik modern lain seperti terompet, saksofon, organ, atau piano saat mengiringi lagu.

Pa`pompang, Alat Musik Bambu Khas Suku Toraja
Seorang anak sedang memainkan alat musik bambu Pa'pompang. Foto: indonesiakaya.com

Alat musik bambu dibentuk dari perpaduan potongan-potongan bambu yang berukuran kecil dan besar. Besar-kecilnya ukuran bambu berpengaruh pada nada yang akan dihasilkan ketika ditiup.

Potongan bambu yang besar dan tinggi menghasilkan nada rendah, dan sebaliknya potongan bambu yang kecil menghasilkan nada tinggi. Potongan-potongan bambu dilubangi dan dirangkai sedemikian rupa agar bisa menghasilkan bunyi.

Pa`pompang, Alat Musik Bambu Khas Suku Toraja
Alat musik bambu, Suling dan Pa'pompang. Foto indonesiakaya.com

Biasanya potongan-potongan bambu diikat dengan rotan agar lebih kuat menyatu, sementara celah sambungan antar bambu ditutupi dengan ter atau aspal agar suara yang dihasilkan bulat dan tidak cempreng. Bambu yang dipilih untuk membuat alat musik ini adalah bambu yang tipis serta memiliki ruas yang panjang, tua, mulus, dan lurus. Hal ini tentu saja didukung oleh alam Toraja yang memang kaya dengan aneka jenis bambu.

Satu kelompok Pa`pompang biasanya terdiri dari 25 atau 35 orang, termasuk peniup suling. Alat musik ini bisa dimainkan oleh semua orang, mulai dari anak kecil sampai orang dewasa. Selain dipergunakan sebagai musik pengiring dalam kebaktian di gereja, Pa`pompang sering juga dipentaskan dalam acara-acara khusus komunitas Toraja di berbagai daerah, seperti acara-acara pernikahan.

Meski terlihat sederhana, tapi karena proses pembuatannya yang cukup sulit membuat alat musik bambu ini tergolong mahal. Satu set musik bambu Toraja yang terdiri dari 35 unit dijual dengan harga dua juta rupiah. 


Lihat video tentang Pa'pompang disini:


"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu

toraja lovely december 2014
"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu. Foto: LionMag edisi Februari 2015.
Seperti apa kisahnya bila Majalah milik sebuah maskapai penerbangan bercerita tentang Toraja. Adakah diantara Sangsiuluran yg pernah membacanya..? :)

"I Love Bamboo"Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu

Kalimat diatas adalah judul artikel dalam majalah LionMag edisi Februari 2015. Berikut artikel selengkapnya yang kami sadur dari majalah LionMag:

"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu
Anak-anak Toraja juga lihai memainkan alat musik Pa'pompang. Foto: LionMag edisi Februari 2015.
"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu
Seorang nenek memainkan musik tradisional suling bersama rekannya. Foto: LionMag edisi Februari 2015.

Suatu siang di kota Makale, Tana Toraja, pada bulan Desember tahun 2014 lalu. Alunan musik bambu yang dimainkan sejumlah anak Toraja cukup menyita perhatian pengunjung. Alunan merdu tersebut berasal dari alat musik bambu khas Toraja dalam berbagai ukuran, mulai dari kecil, besar yang bersuara bas, hingga suling yang bersuara nyaring.

Alat-alat musik yang disebut masyarakat Toraja dengan Pa'pompang serta Suling Te'dek (Suling Lembang) itu memang kerap dimainkan anak-anak dan orang tua. Alat-alat musik tersebut lazim dimainkan kala ritual adat dan acara budaya seperti Aluk Rampe Matallo, Aluk Rampe Matampu', atau ritual Rambu Tuka' (upacara syukuran, upacara adat panen padi, pernikahan dan lainnya), serta Rambu Solo' (upacara adat kedukaan/kematian).

Namun, kali ini alunan musik bambu itu hadir bukan untuk sebuah ritual, tetapi ditampilkan guna memeriahkan event Toraja Lovely December 2014 (baca disini), acara tahunan pada bulan Desember untuk mengangkat lagi pariwisata di Toraja. Event penutup tahun ini sekaligus menjadi ajang silaturahmi masyarakat setempat yang selama ini merantau/bekerja di luar Toraja.

toraja lovely december 2014
"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu. Foto: LionMag edisi Februari 2015.

Mengapa Bambu

Lovely December di penghujung 2014 kemarin bertemakan "I Love Bamboo". Jadi tidak mengherankan jika alat musik serta pernak-pernik dari bambu cukup mendominasi.

Pemilihan tema itu bukannya tanpa dasar. Bambu begitu erat melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja. Kreativitas masyarakat Toraja dalam memanfaatkan bambu bisa dibilang tiada batas. Bambu bisa dimanfaatkan tidak hanya untuk atap Tongkonan dan Alang (lumbung yang bentuknya mirip rumah Tongkonan), tetapi juga mulai dari alat rumah tangga seperti membuat suke (tempat untuk minuman atau juga wadah untuk memasak makanan tradisional Pa'piong), alat-alat musik, dibuat kandang ternak, hingga sebagai bahan utama pembuatan lantang (pondokan) untuk upacara ritual adat Rambu Solo' dan Rambu Tuka'.

"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu
Dua pria Toraja membawa tabung bambu yang berisi tuak. Foto: LionMag edisi Februari 2015.

Dengan begitu banyak kegunaanya membuat bambu memang tidak bisa dipisahkan dari hajat keseharian masyarakat Toraja. Eksotisme kreasi dari bambu saat Lovely December itu pun kental terasa diantara nuansa parade budaya dan model-model cantik dalam balutan busana khas Toraja yang banyak menyita perhatian pengunjung. Para model itu tidak berjalan di catwalk, melaikan memperagakan busana di tengah jalan poros atau tepatnya di pusat kota Makale, Toraja.

"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu
Para Gadis Toraja menari massal pada puncak acara Lovely December yang dipusatkan di Kota Makale. Tarian ini melibatkan ratusan penari wanita. Foto: LionMag edisi Februari 2015.
"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu
Pemuda Toraja mengarak miniatur rumah adat khas Toraja, Tongkonan. Foto: LionMag edisi Februari 2015.
"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu
Peragaan busana Toraja juga turut menyemarakkan puncak acara Lovely December. Foto: LionMag edisi Februari 2015.
"I Love Bamboo" Kedekatan Suku Toraja dengan Bambu
Kain tenun dengan corak khas Toraja diperagakan seorang model. Foto: LionMag edisi Februari 2015.

Semoga bermanfaat... #WondefulToraja #TorajaParadise


Sumber:

Wira Nurmansyah: Lebih dekat dengan Toraja - Travel Story

Wira Nurmansyah: Lebih dekat dengan Toraja - Travel Story
Disambut tarian Pa' Gellu' Toraja yang dimainkan anak-anak.
Langit sudah gelap ketika mobil-mobil Terios kami memasuki daerah Toraja. Mobil dibelokan ke sebuah jalan gelap kecil tanpa penerangan, perlahan-lahan menaiki sebuah jalan berbatu. Tak lama, kami memasuki perkampungan dengan rumah-rumah adat berbentuk panggung dengan atap yang berbentuk trapesium, dan dihiasi oleh tanduk-tanduk kerbau yang berbeda jumlahnya tiap rumah.

Membayangkan masuk ke perkampungan megalitik yang tak jauh dari kuburan-kuburan batu, bulu kuduk saya rasa-rasanya sudah berdiri sejak masuk wilayah Toraja. Namun, semuanya sirna ketika anak-anak kecil Toraja menyambut kami dengan orkestra alat musik bambu. Mereka lucu sekali! Dengan wajah- wajah lugunya, murid-murid sekolah dasar ini dengan apik memainkan alat musik bambu khas Toraja ini.

Sambil menikmati alunan musik bambu Toraja dan tarian Pa'Gellu' yang dimainkan anak-anak, kami disuguhi kuliner-kuliner khas Toraja seperti Pa'Piong, pamarrassan, sambal katokkon, dan tentu saja kopi Toraja.

Wira Nurmansyah: Lebih dekat dengan Toraja - Travel Story
Alunan musik bambu khas Toraja.
Pa'piong adalah daging yang dibumbui rempah dan dibakar di dalam batang bambu muda. Rasanya mirip seperti pepes. Sedangkan pamarrassan adalah masakan dari buah pangi, mirip rawon dengan kuah kental seperti rendang. Semuanya PEDAS. Dan yang paling bikin bibir saya meleleh adalah si sambal katokkon. Dibuat dengan cabai paling pedas senusantara: Lada Katokkon. Sumpah, saya tidak akan makan cabai ini lagi kecuali hadiahnya mobil terios. *bhik*

Setelah pentas tari Pa'Gellu' selesai, kamipun ikut menyelesaikan makan malam kami yang penuh peluh karena lada katokkon. Dan scene horror pun segera mulai, karena kami akan bermalam disini. Di rumah-rumah Toraja, Tongkonan.

Wira Nurmansyah: Lebih dekat dengan Toraja - Travel Story
Pa’piong dan sambal Katokkon.
Wira Nurmansyah: Lebih dekat dengan Toraja - Travel Story
Lada Kattokkon, cabe yang saya nobatkan paling pedas se-nusantara.
Wira Nurmansyah: Lebih dekat dengan Toraja - Travel Story
Memasuki kawasan Tongkonan.
Bangunan Tongkonan punya beberapa tipe. Ada yang sebagai rumah tinggal, juga ada yang sebagai lumbung padi. Kami disuruh memilih untuk menginap dimana. Bisa di rumah tinggal khusus tamu, atau di bawah lumbung padi. Jika di lumbung padi, sebetulnya kita akan kemping karena hanya tidur dengan dinding yang dibentuk oleh kain yang menyangga keempat buat tiang lumbung. Karena ini adalah dataran tinggi, saya memilih  untuk tidur di dalam rumah Tongkonan.

Tentu saja saya memastikan bahwa urusan toilet sudah selesai saat tidur. Karena di ruang tamu tetangga sebelah ada jenazah yang belum dikuburkan sebab belum bisa melaksanakan upacara Rambu Solo’. Sebuah upacara untuk mengantarkan jenazah ke alam sana, dengan bantuan ‘kendaraan’ para kerbau yang disembelih. Bukan kerbau biasa pula, harus kerbau belang dengan tanduk panjang, Tedong Saleko. Harganya yang bisa mencapai ratusan juta rupiah membuat beberapa masyarakat Toraja yang belum mampu menyembelih.

Toraja adalah salah satu destinasi wisata heritage di Sulawesi. Banyak kuburan disini yang unik-unik seperti Londa, kuburan orang Toraja yang berupa goa. Jenazah yang sudah diawetkan ditaruh saja di dalam peti tanpa dikubur.

Tak jauh dari Londa, makam untuk orang dewasa dan para bangsawan, di kawasan Kambira juga terdapat makam para bayi. Namun bayi-bayi ini tidak ditaruh begitu saja di dalam gua, melainkan dikubur. Dikubur di dalam pohon. Pohon besar bernama pohon Tarra' atau pohon cempeda dilubangi dengan bentuk kotak, kemudian bayi diletakan disana dan ditutup dengan alang-alang atau serat pohon enau. Bayi yang boleh dikubur dengan cara ini adalah bayi yang belum tumbuh gigi.

Filosofinya, bayi yang dikubur ini akan tumbuh bersama orang tua barunya di alam sana, yaitu pohon tersebut. Terlihat bekas kuburan bayi yang sudah lama di batang bagian atas, sudah menyatu dengan pohon. Tak lagi  terlihat seperti kuburan, hanya menjadi pohon biasa.

Toraja memang unik. Walaupun sekarang sebagian besar sudah menganut agama samawi, namun praktek-praktek annimisme masih dilakukan. Saya berharap supaya mereka bisa memilah-milah mana yang baik dan mana yang kurang baik bagi kehidupan mereka saat ini.

Wira Nurmansyah: Lebih dekat dengan Toraja - Travel Story
Terios 7 Wonders, parkir di kawasan Tongkonan.


Naskah dan Foto: Wira Nurmansyah

Sumber: wiranurmansyah.com | Wira Nurmansyah - Indonesia Travel & Photography Journal