Showing posts with label Pemakaman. Show all posts
Showing posts with label Pemakaman. Show all posts

Belum Pernah Liburan ke Toraja? 10 Pesona Wisata Ini Menanti Anda

Pesona hamparan persawahan di Batutumonga, Toraja. Foto: Rice Terraces of Batutumongan by Michele Burgess
Bingung mau liburan kemana? Dari sekian banyak destinasi pilihan, Tana Toraja di Sulawesi Selatan bisa menjadi alternatif destinasi liburan yang wajib Anda kunjungi. Keeksotisan Tana Toraja terbukti telah banyak memikat wisatawan mancanegara dan domestik untuk berkunjung.

Hingga tahun 2013, Dinas Pariwisata Kabupaten Tana Toraja mencatat pelonjakan 30 persen kunjungan wisatawan mancanegara sebanyak 19.324 orang dibanding tahun 2012. Bahkan kunjungan wisatawan domestik di tahun 2013  meningkat tajam lebih dari 100 persen yaitu sebanyak 42.319 orang dibandingkan tahun 2012.

Jika belum pernah pergi ke "Kepingan Nirwana di Jantung Sulawesi" ini, berikut 10 Alasan untuk anda berlibur ke Toraja:

1. Ma’Nene, tradisi mengganti pakaian jenasah leluhur. [Baca: Baju Baru untuk Mumi Leluhur Suku Toraja]

2. Menyaksikan upacara pemakaman khas Toraja (Rambu Solo). [Baca: Rambu Solo: Ritual Pemakaman Orang Toraja]

3. Uji Nyali di Londa. [Baca: Londa: Kompleks Makam Di Tebing Batu Toraja]

4. Mengunjungi Kambira, kuburan bayi yang ditanam di dalam batang pohon. [Baca: Kambira: Pemakaman Bayi Toraja di "Rahim" Pohon Tarra']

6. Ada Kerbau belang seharga Rp 1 miliar (Tedong Saleko), yang merupakan kerbau endemik Toraja yang sangat sulit di dapat dan mahal karena digunakan untuk ritual upacara Rambu Solo. [Baca: Mengapa Kerbau Toraja Begitu Istimewa]

7. Rumah adat Tongkonan yang unik. [Baca: Orang Toraja dan Makna Tongkonan]

8. Menikmati pesona bentang alam Toraja dari Batutumonga dan Pango-pango. [Baca: Batutumonga, Senandung Budaya di Atas Awan]

9. Mengunjungi desa adat di Ke'te Kesu' [Baca: Andina Laksmi: Kete Kesu, Wisata Kuburan dan Tulang Belulang]

10. Festival Toraja Lovely December. [Baca: Toraja Lovely December 2014 "I Love Bamboo"]

dan banyak lagi destinasi lain di Toraja yang patut anda kunjungi... :)

”Saleko” Kerbau Seharga Satu Miliar Rupiah di Toraja. Foto: ist
Uji nyali...? Burial Cave in Londa.
Taman menhir atau dalam bahasa Toraja disebut Batu Simbuang di Rante Karassik.
Kubur bayi di Kambira, mayat bayi yang belum tumbuh gigi di makamkan dalam batang pohon Tarra'.
Prosesi upacara pemakaman khas Toraja, Rambu Solo.
Rumah adat khas Toraja, Tongkonan.
Ritual pembantaian kerbau yang sering dianggap menyeramkan disebut Ma'tinggoro Tedong. Ritual itu dilakukan dengan cara menyembelih kerbau hanya dengan hanya satu kali tebasan parang kecil.
Tana Toraja dapat ditempuh selama kurang lebih 8 jam melalui jalan darat dari Makassar melewati Pare-Pare dan Enrekang. Begitu memasuki kawasan Tana Toraja, anda akan serasa dikirim oleh mesin waktu kembali ke masa lalu, masa purbakala. Suasana yang tidak akan Anda dapatkan di tempat lain.

Tana Toraja merupakan salah satu tempat konservasi peradaban budaya Proto Melayu Austronesia yang masih terawat hingga kini, sehingga pemerintah Indonesia mengajukan kawasan wisata di Sulawesi Selatan ini ke UNESCO untuk menjadi Situs Warisan Budaya Dunia sejak 2009.

Keeksotisan Tana Toraja ini telah banyak mengundang wisatawan mancanegara dan domestik untuk berkunjung. Keunikan adat istiadat masyarakat Tana Toraja yang sangat menjaga tradisi para leluhur inilah yang membuat para wisatawan antusiasme berkunjung ke tempat yang terkenal dengan upacara pemakaman Rambu Solo dan tradisi mengganti pakaian jenasah leluhur Ma’ Nene yang berlangsung tiga tahun sekali ini.

Masyarakat Tana Toraja percaya bahwa adat istiadat harus selalu dipelihara, karena jika tidak maka dapat mempersulit kehidupan mereka yang telah dibangun sejak zaman nenek moyang. Meski memiliki kelimpahan sumber daya alam seperti kopi, masyarakat Tana Toraja juga menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan, karena mereka meyakini bahwa hidup adalah untuk mempersiapkan kematian.

Jadi tak lengkap rasanya, jika tidak mengunjungi situs pemakaman tradisional masyarakat Toraja yang berada di atas bukit batu. Selain itu, ada juga tempat pemakaman bayi yang belum tumbuh gigi, yang ditempatkan di sebuah batang pohon.

Jangan lewatkan juga, untuk mengunjungi tempat pengolahan dan mencicipi kenikmatan kopi Toraja yang sudah sangat terkenal.

Sebagai referensi bagi anda untuk menikmati liburan ke Tana Toraja, di bulan Desember Pemerintah Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara mengadakan program tahunan "Lovely December" guna meningkatkan kunjungan wisatawan.

Untuk tahun 2014, bambu menjadi tema sentral kegiatan, mulai dari pentas seni hingga fasilitas pendukung lainya menggunakan bambu, sehingga tema yang diangkat adalah "I Love Bamboo".




Foto: Google
Sumber: Tribunnews

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
WELCOME TO TORAJA  |  TAU-TAU
Manusiawi sekali jika ada orang Jakarta yang tak begitu antusias melipir ke Pulau Seribu, atau orang Bali yang belum pernah ke Nusa Penida, atau bahkan orang Papua yang sama sekali tidak tertarik ke Raja Ampat. Saya sendiri pernah berdomisili di Makassar namun tak terbesit keinginan sedikitpun untuk melancong ke Tana Toraja. Tak perlu ditentang, ini masih masuk akal. “Kan saya tinggal disini, nanti saja kapan-kapan.” Begitulah kira-kira kalimat standar yang sanggup menjinakkan hasrat.

Saya pernah bertemu dengan segerombolan turis Belanda yang mati-matian menabung demi bisa membeli tiket pesawat Amsterdam - Makassar via Denpasar. Jangan tanya sejak kapan mereka mulai gemar menyimpan uang di kaleng Khong Guan, saya rasa saat para mantan koloni itu mulai mengetahui jika mayat orang Toraja bisa berjalan sendiri ke kuburan mereka.

Zein without Maher, pemuda lajang asal Jogja ini rela datang dengan berbagai harapan. Saya, Ahlul, dan Ran yang diutus Tuhan sebagai teman jalan si bocah perawan bahagia bukan kepalang. Pertama, Zein ini temannya Ahlul, lalu karena alasan ingin memangkas krisis kantong tipis, saya dan Ran diajak melibatkan diri. Kedua, ini sudah pasti menjadi kunjungan pertama beta, Ran, dan Zein ke Toraja. Sedangkan Ahlul, entah kapan ia terakhir kesana, tapi ia masih mengingat jelas urutan kabupaten yang akan dilewati setelah bertolak dari Makassar. Ketiga, semua mimpi ini takkan pernah jadi nyata jika Ahlul dan Zein tak pernah berteman sebelummnya. Puji Tuhan!

Kami berangkat ke Toraja dengan bus bersuspensi udara yang super worth it. Butuh 8 jam perjalanan, duapuluh juta topik obrolan, satu jam perjuangan menahan mual, 3 bar lampu daya power bank sebagai genset pecinta gadget, dan secercah harapan untuk bisa tiba di kota Rantepao. Sekedar diketahui, Ibukota kabupaten Tana Toraja sendiri berada di Makale, namun pusat perekonomian dan jantung pariwisata lebih kelihatan menggeliat di kota Rantepao.

Pembaca yang terhormat, tahukah kalian jika kami telah bersepakat akan tinggal sehari disana, di hotel alakadarnya, dengan menyewa motor warga yang belum jelas keberadaannya, dan pulang dengan keadaan bahagia tak terkira? Percuma, kami terpaksa menelan mentah-mentah saran ibunda Ahlul yang membungkam kebebasan berekspresi kami. Ya, beliau pernah lama tinggal disana. Kami diyakinkan agar menuntaskan semua destinasi di wish list dalam sehari saja. Setelah itu, pulanglah ke Makassar dan jangan membantah. Baiklah, bukankah suara ibu adalah suara Tuhan?

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
KE'TE KESU  |  RAMBU SOLO'
Tak ada adegan memicingkan mata saat pertama kali tiba di Toraja. Maklum, jalan spiral trans Sulawesi disepanjang Enrekang masih meyisakkan mual tak terkira. Kami hanya butuh lima menit untuk bersepakat rute pertama segera dimulai dari mana. Masjid! Hanya di tempat ini semua hajat besar dapat dilaksanakan. Malang rupanya, pagar masjid tertutup rapat, madrasah di sampingnya pun sedang libur. Tak ada toilet untuk kalian, wahai pengembara tua bangka!

Rencana merental motor pun kami ganti dengan saweran menyewa satu mobil, termasuk supir, bensin, guide, merangkap kamus Torajapedia. Pak Ela membuat kami kagum akan keramahan beliau, katakanlah dia tahu menempatkan diri sebagai pemandu sekaligus tuan rumah yang baik. Semoga Tuhan berkati bapak.

Saya harus memulai kisah ini dari Kete’ Kesu, semacam kompleks rumah adat yang terdapat Tongkonan lengkap dengan Alang Sura, alias Tongkonan berukuran kecil yang berfungsi sebagai tempat lumbung padi. Dibelakang kompleks ini terdapat makam leluhur orang Toraja, Kubur Gantung. Untuk menuju kesana cukup dengan berjalan kaki melewati beberapa menhir, tau-tau (patung yang dipahat berbentuk manusia), dan tengkorak yang diletakkan di dinding-dinding tebing.

Jujur, saya tak begitu antusias dengan tempat ini, mungkin karena terlalu touristy bagi para pelancong. Saya bahkan lebih terkesan dengan ritual Rambu Solo yang kita jumpai setelah dari Kete’ Kesu. Ini seperti halnya saya lebih takjub berjumpa dengan Ban Ki-moon dibanding Pokemon. Rambu Solo adalah ritual kematian super meriah yang menelan banyak biaya. Hari itu, Pak Ela berinisiatif mengantar kami ke salah satu keluarga yang sedang melangsungkan upacara ini. Beruntung, oleh seorang ibu yang mengaku sebagai keluarga berduka, malah menyambut kami dengan sangat ramah. Ramah sekali.

“Duduk saja disini, ini sebenarnya panggung keluarga inti, tapi tak mengapa, kalian ini tamu, dan tamu selalu membawa berkah. Silakan menikmati, saya pamit tinggal sebentar.”

Lima menit berikutnya wajah sumringah kami menjadi lemas. 30 ekor kerbau persembahan ditebas dengan parang sepanjang lengan. Saya menutup mata, darah segar tempias dari lehernya, ia melompat, kejang-kejang, lalu tumbang. Satu, dua, belasan, hingga kerbau ke berapa puluh itu dipersilakan maju menjemput maut. Ini memang ritual, tapi tak ada salahnya meminjam istilah Ahlul. Ini seperti genosida, teman.

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
BABY GRAVES KAMBIRA  |  KUBUR GANTUNG KE'TE KESU'
Lepas tu kami nak ke Baby Graves di Kambira, I never knows about this place anyway, make sure riwayat tempat camni pun I takde buat, even tengok kat Wikipedia pun tidak. Nah, nyatanya ini salah satu tempat femes. You pernah dengar about kuburan kat pohon, ke? Inilah! Dahulu, bilamana ada bayi yang lahir dan meninggal sebelum tumbuh gigi, dia akan dimakamkan disini, ditanam di dalam pohon khusus ini. Konon, jika rumah duka menghadap timur, kubur harus menghadap ke barat. Tujuannya supaya bayi tenang diasuh pohon Tarra’ dan tak minta pulang ke rumah dukanya.

Setelahnya, kami diajak masuk ke satu Tongkonan modern yang  dimiliki beberapa keluarga sekaligus. Seperti biasa, diseberang Tongkonan utama selalu menjulang Alang Sura.  For your information, satu Tongkonan mampu menampung empat keluarga besar, untuk hitungan ideal tiap pasang suami-istri memiliki 3 orang anak. Kali ini, saya memutuskan tidak membahas panjang lebar perihal motif ukiran, filosofi, hingga makna tanduk kerbau yang disusun pada tongkonan. Sudah banyak artikel yang membahas tentang ini, semoga kau menemukan pencerahan di tempat lain, nak.

Saya lupa persis nama guide yang menemani kami siang itu, tapi ia menawarkan wisata paling fantastis setelah saya bertanya tentang mumi Toraja. “Ada tante saya yang sudah meninggal setahun lalu tapi sampai hari ini belum dibuatkan upacara pemakaman. Rumah duka tak jauh dari sini, mari saya antar, tapi bersikaplah biasa, karena kami selaku orang Toraja percaya bahwa mayat yang belum dikubur adalah orang sakit yang harus dilayani.” Kami diam seribu bahasa.

Mendengar kata mumi, pikiran pasti melayang ke sosok Fir’aun, si jahat berhati batu yang lebih durhaka dari Malin Kundang si kacang lupa kulit. Bedanya dengan ini, mayat sengaja diawetkan dan dirawat layaknya orang sakit, dengan keterlibatan semua keluarga yang bahu-membahu mencurahkan kasih sayang, karena yang meninggal ternyata ‘masih sakit’, dan tak pernah menentang Tuhan. Siapapun kamu, akan membuang jauh-jauh rasa takut, dan angkat topi untuk tradisi yang paling sakral ini. Saya pribadi, menaruh hormat untuk sang ‘tante’ yang telah berpulang, dan memberi dua jempol untuk keluarga sederhana yang sangat mulia.

Kami melanjutkan perjalanan ke Suaya, menurut Pak Ela, situs ini mirip seperti pemakaman batu yang terletak di Londa, tapi karena kami anti mainstream, ia menawarkan rajanya Londa, Suaya King’s Grave. Sudah pasti tempat dan atraksi wisata di Toraja tak akan jauh-jauh dari mayat, tengkorak, makam, kerbau, darah, dan batu. Bijaklah jika you nak bercuti kat sini with limited times, pilih satu je yang korang nak interest. For example, bilamana korang nak tengok Marcel Chandrawinata, tengok je Mischa, sebab tu sama je.

Ahlul merayu Pak Ela agar beliau mau mengantar kami ke Batutumonga, sebuah destinasi wisata alam yang berada di lereng gunung Sesean, yang juga menurut Ahlul masih terdapat bebatuan purbakala peninggalan nenek moyang Toraja. Malang, Pak Ela menolak dengan halus karena alasan cuaca dan terbatasnya waktu yang kami miliki. Masuk akal, kami harus kembali ke Makassar jam 9 malam, otomatis harus standby elegan di stasiun bus satu jam sebelumnya, dan perjalanan dari Suaya ke Batutumonga memakan paling kurang 4 jam return, sedangkan saat itu sudah pukul 3 siang, jelas kami tak akan ambil risiko.

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
SUAYA KING'S GRAVE | PERKAMPUNGAN ADAT
Tak kekurangan akal, Pak Ela kembali melakukan terobosan membosankan, kami di ajak ke Lemo, tak lain dan tak bukan adalah ke kuburan batu (lagi). Saya memilih istirahat selama perjalanan, entah apa yang tiga serangkai lakukan di jok belakang, semoga Tuhan memberkati. Melihat kami tak begitu antusias begitu tiba di Lemo, Pak Ela bergegas ke mobil, menginjak pedal dan membawa kami lekas pergi dari objek wisata yang sama persis dengan Suaya King’s Grave dan Londa. Batu.

Kali ini saya tak bisa menemukan jati diri, yang selalu sigap saat trip tak sesuai kehendak, yang sering melahirkan ide aneh ketika sebuah destinasi tak menjual apa-apa. Maaf pemirsa, ini karena kami berempat sudah mempercayakan segala rahasia Ilahi ke pundak Ela Lopez, sebuah nama samaran yang muncul begitu saja dari pojok belakang kepala beta.

Taruna tua menerbangkan segala debu dari jalanan gersang, memberitahu kami jika infrastruktur tidak pernah dinomor satukan. Kondisi seperti ini hampir terjadi di seluruh wilayah di luar kota Rantepao, yang padahal menjadi kantong-kantong penyokong pariwisata. Ah, kekesalan makin beranak-pinak ketika nasi goreng pesanan saya mengandung dua genggam garam dapur produksi Laut Mati Jordania. Asin sekali.

Ela tetap tenang memandang kedepan, kakinya naik-turun mengatur kecepatan, sengaja ia mengundang sejuknya angin memeluk kami yang kelelahan. Mobil dipacu ke sebuah pemukiman adat di perbukitan granit, kami disambut teduhnya sungai Saddang yang kecoklatan. Sawah dengan embun segar dibawah sana, menyambut matahari yang berusaha undur diri. Lihat, pemandangan seperti ini bahkan terasa lebih damai dibanding membaca pesan dari orang yang pura-pura sayang. Ups, beta kecoplosan.

Tak ada atraksi wisata selama di kampung adat ini, tapi kami menemukan wajah lain dari Tana Toraja yang terlanjur dikenal akan ritual kematian. Disini, air mengalir jernih di selokan, bunga dan rumput  berlomba siapa yang lebih tinggi, aroma segar batang pohon memenuhi tiap sudut jalan. Disinilah letaknya kehidupan, harapan, dan alam warisan nenek moyang yang mampu berjalan beriringan dengan hebohnya upacara kematian. Sudah tentu, selain lebih sakral dibanding selamatan kelahiran atau acara kawinan, ini juga merangkap barometer status sosial sejak era Hawa dan Adam. Mungkin.

Kami kembali ke Rantepao ketika langit tak lagi biru, Ela mengucapkan salam perpisahan beserta doa agar kami selamat tiba di tujuan. Masjid, target pertama sejak pertama datang kini telah membuka pintunya lebar-lebar. Usai sholat maghrib, kami harus angkat kaki saat segerombolan ibu-ibu penumpas fakir colokan memberi kode lewat meja arisan yang siap didekorasi. Kami terpaksa mengadu lapar di sebuah kedai ayam goreng lokal yang berusaha berdandan internasional.

Sebelum naik ke bus, saya seperti tak ingin pulang, pergi meninggalkan kota kematian yang sanggup memberi penghidupan. Toraja, kalau bukan karena Tongkonan, jika tak ada kematian, bila bukan karena nenek moyang, kau tak ubahnya pedalaman yang kekurangan perhatian, yang keperawananmu dikendalikan pemerintahan, yang akan mengadu keadilan pada orang-orang seperti kami, para pejalan yang berjanji mengabarkan ke seluruh dunia jika kau kau hidup serba kekurangan.

Toraja, jika bisa menitipkan sepenggal kerinduan, saya ingin tinggal saja di dalam pohon Tarra’, atau menjadi penjaga Pallawa. Kau berhasil menyelipkan putih diantara hati yang menghitam. Karena harus saya akui, hanya disini, habis gelap terbitlah terang!

Travendom: Toraja, Habis Gelap Terbitlah Terang
Penulis dan rekan-rekan. Foto: Travendom

#NB: Artikel ini sebelumnya diposting di situs Travendom (*sumber). Guna memperkenalkan kekayaan khasanah Budaya Toraja kepada khalayak, maka artikel ini kami posting kembali. Salam

Foto dan Naskah berasal dari sumber yang sama.

Budaya Toraja Diusul Masuk Warisan Dunia


Budaya Toraja Diusul Masuk Warisan Dunia
Seorang penari dalam balutan busana adat Toraja, menarikan tarian tradisional Toraja.
MAKALE– Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berupaya memasukkan pemukiman tradisional Toraja dicatat sebagai salah satu warisan dunia.

Saat ini,Kemendikbud tengah melakukan pengumpulan data dan informasi,serta penelitian dan penyempurnaan dokumen tentang pemukiman tradisional sebagai salah satu bagian kebudayaan Toraja. Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar A Muh Said mewakili Kemendikbud menyatakan, sejak 2005 lalu, pemerintah pusat mengusulkan dua nominasi warisan budaya Indonesia ke UNESCO menjadi warisan dunia, yakni Bali dan Toraja.

Pada Oktober lalu, UNESCO sudah menyetujui dan menetapkan Bali sebagai warisan dunia,sedangkan Toraja direncanakan akan menyusul. Status pemukiman tradisional Toraja saat ini sudah masuk dalam daftar nominasi, tetapi belum ditetapkan sebagai warisan dunia.Itu disebabkan dokumen- dokumen pengusulan pemukiman Toraja sebagai warisan dunia tidak dilengkapi dengan nilai-nilai budaya yang ada di balik rumah adat Toraja.

“Dokumen pengusulan pemukiman tradisional Toraja lebih mengarah pada fisik bangunan dan tidak dilengkapi nilai budaya, sehingga sampai sekarang belum ditetapkan menjadi warisan dunia,” tuturnya dalam diskusi nominasi warisan dunia pemukiman tradisional Toraja yang berlangsung di Pantan Toraja Hotel, kemarin. Dia mengatakan, untuk menjadikan Toraja sebagai warisan dunia, pemerintah harus lebih bekerja keras guna melengkapi dokumen tentang nilai-nilai kebudayaan Toraja.

Salah satunya, menghimpun data dan informasi serta penelitian tentang kebudayaan Toraja dalam rangka penyempurnaan dan penyusunan dokumen untuk mendapat pengakuan dari UNESCO. “Dokumen tentang nilai-nilai kebudayaan secara keseluruhan sudah harus diterima UNESCO sebelum mereka melakukan kajian dan evaluasi untuk mendapat pengakuan sebagai warisan dunia,”tuturnya. Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Tana Toraja Enos Karoma menyatakan,Pemkab terus berupaya untuk menyiapkan data dan informasi tentang kebudayaan dalam melengkapi dokumen yang ada sebelumnya.

Pemkab juga menjamin data dan informasi kebudayaan Toraja tidak direkayasa dan tidak terkait dengan kepentingan oknum pribadi atau kelompok tertentu.“Kami siap memberikan data dan informasi tentang kebudayaan daerah yang benar dan akurat untuk ditetapkan menjadi warisan dunia,” katanya.

Sementara Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Toraja Jidon Sitohang mengaku, salah satu keunikan budaya yang terkandung dalam rumah adat Toraja sebagai sistem sosial di masyarakat untuk mempererat persatuan dan kesatuan antarkeluarga dan masyarakat Toraja.

[joni lembang]
@[seputar_indonesia]

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja (Bag.III)

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Patung Lakipadada di pusat kota Makale. Lakipadada adalah salah satu legenda dalam cerita rakyat Suku Toraja.
Filosofi Tau - Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. 

Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau.

Kebudayaan

Tongkonan

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja 'tongkon' (duduk).

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.

Ukiran kayu Toraja

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Passura' ukiran kayu khas Toraja.
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Passura' (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.

Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. 

Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Seorang nenek dengan ornamen karya seni suku Toraja.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja, selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat ornamen geometris.

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. 

Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.

Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Sebuah makam di tebing batu.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". 

Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puyajika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.

Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

Musik dan Tarian

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Tarian adat suku Toraja.
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). 

Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. 

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Ma'badong, salah satu tarian khas suku Toraja.
Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.

Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musimpanen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarianMa'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. 

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Ma'bas, salah satu alat musik bambu tradisional Toraja.
Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.

Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Selain itu ada juga alat musik yang terbuat dari tabung-tabung bambu yang sering disebut Ma'bas. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.

[***]

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja (Bag.II)

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Upacara pemakaman adat Suku Toraja
Masyarakat

Keluarga
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. 

Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Busana adat Suku Toraja
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.

Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. 

Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.

Kelas sosial

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Tongkonan, rumah adat Suku Toraja
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.

Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.

Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

Agama

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Gereja Sion, dibangun di atas bukit di Makale
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. 

Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.

Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. 

Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. 

Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.

Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesiasebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.

Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.


Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
Ekonomi

Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.

Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.

Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.

Komersialisasi

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu.
Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah satu tempat wisata di Tana Toraja.
Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. 

Peristiwa tersebut didokumentasikan olehNational Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara. "Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar.

Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagaiprimadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelahBali". Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik), dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989. Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981.

Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desazaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh". Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh suku Toraja.

Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman mereka. 

Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir.

Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat, sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja (Bag.I)

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Rambu Solo, tradisi, ritual pemakaman suku Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Asal usul kata Toraja sampai saat ini masih menjadi perdebatan termasuk berbagi versi dan referensi masing-masing. Ada beberapa versi asal kata Toraja diantaranya sebagai berikut; dari istilah orang Bugis yang menyebut, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Namun beberapa sumber lain menyatakan bahwa orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya (dalam keseharian kita masih sering mendengar orang-orang tua di Toraja menyebut Toraja dengan kata tersebut), berasal dari 2 kata yakni To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar | bisa diartikan orang-orang besar atau bangsawan). Seiring waktu dan beberapa perubahan ejaan, kata Toraja masih mempertahankan ejaan lama dalam penulisannya. Adapun kata Tana dapat diartikan sebagai negeri. Hingga dikemudian hari wilayah pemukiman mayoritas suku Toraja lebih dikenal dengan sebutan Tana Toraja, yang akhirnya menjadi nama kabupaten dalam wilayah admistrasi Provinsi Sulawesi Selatan. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. 

Diatas adalah beberapa versi yang sering kita baca dari berbagai literatur. Memang jika menyangkut asal-usul nama Toraja masih perlu dikaji lebih mendalam sumber sejarahnya, dan hal tersebut tentunya bukanlah sesuatu yang mudah tanpa kerjasama dari berbagai pihak. 


Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.

Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.

Identitas etnis

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Salah satu tarian tradisional suku Toraja
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelumpenjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. 

Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.[3]Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. 

Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja.[4] Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).[6]

Sejarah

Sejarah dan Asal Usul Suku Toraja
Tongkonan, rumah adat tradisional suku Toraja
Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.

Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. 

Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.

Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.

Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.

Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.