Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

Orang Toraja dan Makna Tongkonan

Orang Toraja dan Makna Tongkonan
Orang Toraja dan Makna Tongkonan. Foto: Tongkonan | IndonesiaTravel
Tongkonan adalah rumah tradisional masyarakat Toraja. Terdiri dari tumpukan kayu yang dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, putih dan kuning. Kata “tongkonan” berasal dari bahasa Toraja "tongkon" yang artinya duduk.

Selain rumah, Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan rumah adat ini sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja. Oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena melambangkan hubungan mereka dengan leluhur mereka. 

Tongkonan bukanlah nama satu bentuk bangunan, tetapi Tongkonan merupakan rangkaian dari sekelompok bangunan dimana didalamnya terdapat Banua Sura' (rumah yang diukir / rumah utama), Alang Sura' (lumbung yang diukir), Lemba (juga berfungsi sebagai lumbung namun tidak berukir) dan juga sering terdapat rumah panggung yang memiliki ruangan yang lebih luas, seperti yang banyak kita saksikan sekarang ini.

Tongkonan kini mempunyai banyak versi modernisasi (seperti mulai menggunakan seng sebagai atapnya) namun tidak terlepas dari tradisi yang sudah diwariskan secara turun temurun, dahulu kala bangunan Tongkonan ada yang beratap rumbia / alang-alang / ijuk (serat pohon enau), ada juga yang beratapkan bilah-bilah bambu, bahkan di salah satu Tongkonan tua ditemukan bangunan yang beratapkan batu (banua dipapa batu). 

Orang Toraja dan Makna Tongkonan
Tongkonan di Papa Batu, desa Desa Banga - Bittuang. Menurut keterangan Tongkonan yang berumur lebih dari 700 tahun ini sudah dihuni lebih dari sepuluh generasi. Foto: BongaToraja.com
Salah satu tradisi bangunan Tongkonan yang tetap bertahan adalah model atapnya yang menyerupai bentuk perahu serta banguan yang kesemuanya menghadap arah utara, hal tersebut tidak terlepas dari filosofi hidup dan asal-usul orang Toraja.

Tempat Tinggal dan Pusat Kehidupan Sosial

Orang Toraja dan Makna Tongkonan
Tongkonan Kete Kesu merupakan salah satu Tongkonan tua yang menjadi objek wisata di Toraja yang ramai dikunjungi wisatawan. Foto: Okezone
Rumah adat di Toraja, selain berfungsi sebagai tempat tinggal, juga mempunyai fungsi dan peranan serta arti yang sangat penting dan bernilai tinggi dalam kehidupan masyarakat Toraja. Rumah yang sering disebut Tongkonan dianggap sebagai pusaka warisan dan hak milik turun temurun dari orang yang pertama kali membangun Tongkonan tersebut. 

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan rumah adat ini sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja. Kata Tongkonan berasal dari kata “Tongkon” (duduk_berkumpul) mengandung arti bahwa rumah Tongkonan itu ditempati untuk duduk mendengarkan serta tempat untuk membicarakan dan menyelesaikan segala permasalahan penting dari anggota masyarakat dan keturunannya.

Dahulu kala, seseorang yang memegang kekuasaan serta menjabat suatu tugas adat selalu menjadi narasumber bagi masyarakat sekitar yang datang meminta petunjuk, keterangan, dan perintah karena permasalahan di daerah penguasa tersebut tinggal, dimana orang yang datang itu akan duduk dengan tertib mendengar dan menerima petunjuk atau perintah. 

Inilah permulaan kata Tongkonan ini digunakan, karena duduk berkumpul disebut “Ma’ Tongkon” dan tempat berkumpul adalah Tongkonan yang merupakan kediaman penguasa adat. Lama kelamaan, rumah dari penguasa tersebut menjadi pusat kekuasaan dan pemerintahan adat.

Simbol Persatuan

Orang Toraja dan Makna Tongkonan
Simbol ukiran pada dinding salah satu Tongkonan. Foto: Torajan Tongkonan House In Sulawesi, Indonesia. Print by Glen Allison
Tongkonan merupakan lambang persekutuan orang Toraja, berdasarkan hubungan kekerabatan/keturunan/darah daging. Pada dasarnya bentuk hubungan kekerabatan dalam Tongkonan adalah bahwa setiap keluarga _sepasang suami istri_ membangun rumah atas usaha sendiri atau secara bersama-sama dengan anak-anak dan cucu-cucu. Rumah itu adalah Tongkonan dari setiap orang yang berada dalam garis keturunan dari suami-istri yang mendirikan rumah. 

Orang Toraja cukup mudah menelusuri garis keturunannya melalui hubungan Tongkonan. Seorang Toraja bisa saja berasal lebih dari satu Tongkonan, karena diantara orang Toraja tentunya ada pertalian kekerabatan dalam bentuk perkawinan dari Tongkonan yang lain. 

Dalam sejarah Toraja, Tongkonan yang pertama dikenal adalah Tongkonan Banua Puan di Marinding yang di bangun oleh Tangdilino’. Jadi orang Toraja adalah satu persekutuan, walaupun dengan struktur masyarakat yang berbeda-beda. Ossoran Nene’ / silsilah orang Toraja pada akhirnya bermuara pada persekutuan Sang Torayan yang berasal dari Tongkonan Banua Puan.

Tongkonan Banua Puan, Tongkonan Tertua di Tana Toraja (**)

Orang Toraja dan Makna Tongkonan
Salah satu upacara adat di kaki gunung Kandora. Foto: Youtube|Torajaland
Menurut cerita rakyat Toraja, Tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

Dalam kisah lainnya, diceritakan ketika seorang Pemangku Adat bernama Londong di Rura (Ayam jantan dari Rura) berupaya menyatukan kelompok dengan menyelenggarakan upacara besar. Upacara itu dinamai Ma'Bua' tanpa melalui musyawarah dan aturan upacara adat. Kemudian Tuhan menjatuhkan laknat dan kutukan sehingga tempat upacara terbakar dan menjadi danau yang dapat disaksikan sekarang antara perjalanan dari Toraja ke Makassar (KM 75). Kemudian bercerai-berailah komunitas tersebut ada yang ke selatan dan ke arah utara.

Sementara kelompok yang menuju ke utara sampai di sebuah tempat di kaki Gunung Kandora yang dinamakan Tondok Puan. Mereka mendirikan rumah adat tempat pertemuan dengan nama Banua Puan. Kemudian dinamakan Tongkonan yang artinya Balai Musyawarah. Bangunan itu merupakan Tongkonan pertama di Toraja dan komunitas pertama yang terbentuk bernama To Tangdilino'; artinya pemilik bumi yang diambil dari nama Pemangku Adat pertama (Pimpinan Komunitas To Lembang).

Tongkonan Banua Puan yang terletak di Lembang Marinding Kecamatan Mengkendek Kab. Tana Toraja, dan merupakan Tongkonan tertua dalam sejarah kehidupan suku Toraja. Kini tak ada lagi bangunan Tongkonan di lokasi yang sekarang tinggal nama tersebut. 

Aluk Sanda Pitunna yang disebarkan dari Banua Puan di Marinding itu didalamnya mencakup aturan hidup dan kehidupan manusia serta aturan memuliakan Puang Matua menyembah kepada Deata dan menyembah kepada Tomembali Puang/Todolo ( Puang Matua = Sang Pencipta, Deata =Dewa – Dewa, Tomembali Puang / Todolo = Arwah Leluhur).

Dalam sejarah Toraja disebut bahwa Tangdilino' menikah dengan anak dari Puang Ri Tabang yang tidak lain adalah sepupunya sendiri bernama Buen Manik. Dari pernikahan mereka itu lahir 9 ( Sembilan ) orang anak dan merekalah yang menyebarkan ajaran Aluk Sanda Pitunna serta melebarkan kekuasaan dari Tangdilino’ dengan pusat kekuasaan dari Banua Puan Marinding.

Kesembilan anak dari Tangdilino antara lain yaitu :
1.    Tele Bue yang Pergi ke daerah Duri Enrekang.
2.    Kila’ yang pergi ke daerah Buakayu.
3.    Bobong Langi’ yang pergi ke daerah Mamasa.
4.    Parange yang pergi ke daerah Buntao’
5.    Pata’ba’ yang pergi ke daerah Pantilang
6.    Lanna’ yang pergi ke daerah Sangalla’
7.    Sirrang yang pergi ke daerah Dangle’
8.    Patang tinggal di Banua Puan Marinding
9.    Pabane’ pergi ke daerah Kesu’.

Bentuk, Jenis dan Fungsi Tongkonan

Orang Toraja dan Makna Tongkonan
Tongkonan salah satu masyarakat desa Bulu Langkan, menurut pemilik tongkonan bahwa bangunan ini sudah berumur 100 tahun pada tahun 2012. Foto: geppmatormksr.blogspot.com
Rumah adat ini merupakan rumah panggung dengan konstruksi rangka kayu. Bangunannya terdiri atas 3 bagian, yaitu ulu banua (atap rumah), kalle banua (badan rumah), dan sulluk banua (kaki rumah). Bentuknya persegi karena sebagai mikro kosmos rumah terikat pada 4 penjuru mata angin dengan 4 nilai ritual tertentu. Tongkonan harus menghadap ke utara agar kepala rumah berhimpit dengan kepala langit (ulunna langi’) sebagai sumber kebahagiaan.

Secara teknis pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan, sehingga biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Jadi Tongkonan bagi masyarakat Toraja lebih dari sekedar rumah adat. Dan setiap Tongkonan terdiri dari; Banua (rumah) dan Alang (lumbung) yang dianggap pasangan suami-istri. Deretan Banua dan Alang saling berhadapan. Halaman memanjang antara Banua dan Alang disebut Ulu ba’ba.

Selain sebagai rumah adat, Suku Toraja mengenal 3 jenis Tongkonan menurut peran adatnya, walau bentuknya sama persis, yaitu: Tongkonan Layuk (Pesiok Aluk): sebagai pusat kekuasaan adat dan tempat untuk menyusun aturan-aturan sosial dan keagamaan. Tongkonan Pekaindoran/Pekanberan (Kaparengesan): adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal, tempat untuk  mengurus dan mengatur serta melaksanakan peraturan dan pemerintahan adat. Tongkonan Batu A’riri: berfungsi sebagai Tongkonan penunjang yang mengatur dan membina persatuan keluarga serta membina warisan. (* Jenis-jenis Tongkonan ini akan diuraikan dalam artikel lain)

Eksklusivitas kaum bangsawan atas Tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang dapat pekerjaan menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun Tongkonan yang besar.

Orang Toraja dan Makna Tongkonan
Foto Tongkonan di Kete Kesu Tana Toraja yg diambil dari udara. Alam & budaya yg memukau. Foto: IndonesiaTravel | Barry Kusuma
Beberapa Pendapat dan Pemahaman Mengenai Tongkonan

Bagi masyarakat umum (diluar Toraja) bahkan buku-buku pelajaran IPS di sekolah memiliki pemahaman tersendiri tentang rumah adat Toraja yang disebut Tongkonan. Dalam gambaran mereka Tongkonan adalah sebuah bentuk bangunan yang dindingnya diukir dan atap berbentuk perahu.

Namun pemahaman umum tersebut berbeda halnya dalam kalangan masyarakat Toraja, ada beberapa pemahaman yang berkembang tentang keberadaan Tongkonan. Pemahaman tersebut berasal baik dari tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh gereja maupun dari anggota masyarakat, antara lain: 

1. Bahwa Tongkonan adalah tempat duduk atau kedudukan yang berarti rumah pusaka yang telah turun-temurun lama (bnd. J. Tammu & van der Veen) . Pemahaman ini berarti pula bahwa Tongkonan merupakan suatu “tempat/kedudukan” yang mempunyai fungsi, peran dan nilai sosial, keagamaan dan hukum dalam masyarakat.

2. Bahwa Tongkonan itu adalah rumah adat Toraja. Dalam arti bahwa semua rumah yang berbentuk perahu itu adalah Tongkonan.

3. Rumah Tongkonan adalah lebih berorientasi pada fungsi sosial dan bukan dalam bentuk/fisik.

4. Bahwa Tongkonan adalah pusat kebudayaan Toraja, sama seperti keraton di Jawa atau istana kerajaan-kerajaan di mana saja. Hal ini menandakan bahwa Tongkonan merupakan lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat dalam wilayah Tongkonan tersebut. 

5. Bahwa Tongkonan adalah tempat bermusyawarah/balai pertemuan keluarga dan masyarakat yang lahir dan berketurunan dari Tongkonan tersebut.

Orang Toraja dan Makna Tongkonan
Tata letak Tongkonan yang berjajar saling berhadapan erat kaitannya dengan filosofi dan asal-usul Orang Toraja. Foto: google
Berikut adalah beberapa pendapat dan pemahaman Orang Toraja di media sosial tentang Tongkonan:

1. Elia Landa: Tongkon-madokko. tongkonan-kapa,dokkoan. semua juga tau klau tongkonan adalah rumah adat suku toraja. tapi bagi kita orang toraja. tongkonan punya arti yg sangat mendalam. dari semangat gotong royong saat membangun baik itu dr dana, tenaga, jg pikiran. begitu jg saat peresmian. tongkonan jg dpt mempertemukan saudara wlupun tdk saling kenal tpi d tongkonan tersimpan rapi silsilah keluarga walaupun secara lisan. banyak lg fungsi tongkonan bgi kehidupan bermasyarakat d toraja. tabe lako siulu solanasang ke denni sala kata! salama, beraktifitas!

2. Yun Nait: Tongkonan merupakan rumah adat roraja dimana sebagai akar dari silsila kekeluargaan sebagai alat pemersatu dan silaturami serta benteng untuk memperkuat tali kekeluargaan.

3. Albert: Tongkonan adalah rumah persatuan rumpun keluarga dari adat ke nenek moyang kita di mana semua keturunan berkumpul dan mendirikan sebuah tanda rumah adat tana toraja. Toraya tondok mala'bi.

4. Yuliana Daunallo: Tongkonan adlh rumah adat tana toraja sebagai tempat pertemuan keluarga besar....

5. Ayoe Wahyoenii PiLo: Tongkonan itu tempat tongkon dulu digunakan sebagai tempat musyawarah atau sekedar duduk bercerita

6. Endang Shruyo Banua: pa'rapuan tu dipamatua lan misa' keluarga

7. Suhartin Balalembang: Tongkonan merupakn nama rumah adat tana toraja yg berarti tempat berkumpulx seluruh rumpun kluarga baik itu dlam keadan susah maupun senang.

8. Yati Tappang: Tongkonan adalah asal nenek moyang kita turun temurun sampai ke anak cucu tdk bisa di lupkan yg kita asal dr mana di sanalah kita bangunkan sebuah rmh tongkonan dlm satu keluarga besar.tabek lako siuluk salama sola......


Semoga Bermanfaat... :)


NB: 
Bila ada yang memiliki pendapat lain atau sumber yang lebih akurat silahkan berbagi dalam kolom komentar. 
(**) Lebih lengkap mengenai "Tongkonan Banua Puan" akan diuraikan pada artikel lain




Sumber Rujukan:

Den Upa Rombelayuk. ___. Kelembagaan Masyarakat Adat Desa Di Tana Toraja – Sulawesi Selatan. Makalah. 

H. Umar R. Soeroer. 1998. Kepercayaan aluk todolo : kajian agama dalam dimensi sosial dan budaya lokal di Tana Toraja. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama.


Suku Toraja - Wikipedia

Pongtiku, Torajan Leader and Guerrilla Fighter

Pongtiku, Torajan Leader and Guerrilla Fighter
Patung Pongtiku bertengger di Anjungan Losari, kawasan wisata di pinggir laut Kota Makassar. Foto: Google|independen
Pong Tiku (also spelled Pontiku and Pongtiku; 1846 – 10 July 1907), known among his Buginese allies as Ne' Baso, was a Torajan leader and guerrilla fighter who operated in southern Sulawesi, part of modern-day Indonesia.

The son of the lord of Pangala', after Tiku captured the neighbouring kingdom Baruppu' he became its leader, later ruling Pangala' after his father's death. By exploiting the coffee trade and allying with the lowlands Buginese, Tiku was able to obtain large amounts of wealth, land, and power. During the Coffee War (1889–1890), his capital at Tondon was razed by another lord, but retaken the same day. When the Dutch colonials, based in Java, invaded Sulawesi in the early 1900s, Tiku and his soldiers utilised fortresses to withstand and launch attacks. Captured in October 1906, in January 1907 he escaped and remained at large until June. He was executed several days later.

Tiku was the longest lasting resistance leader in Sulawesi, such that Governor-General J. B. van Heutsz considered him damaging the stability of Dutch control over the region and dispatched the Governor of Sulawesi to oversee his capture. Since his death, Tiku has been used as a symbol of Torajan resistance. Long commemorated in Sulawesi, he was officially declared a National Hero of Indonesia in 2002.

Pongtiku, Torajan Leader and Guerrilla Fighter
Patung Pongtiku di Town Square kota Rantepao berdiri gagah menantang langit. Foto: Denny Raharjo|panoramio
Early life and rise to power
Tiku was born near Rantepao in the highlands of Sulawesi (now part of North Toraja Regency, South Sulawesi) in 1846.[1] At the time, southern Sulawesi was home to a booming coffee trade and controlled by numerous warlords. Tiku was the last of six children born one of these warlords; he was born to Siambo' Karaeng, lord of Pangala', and his wife Leb'ok. An athletic youth,[2] Tiku was friendly with coffee traders who visited his village.[3]

In 1880, a war broke out between Pangala' and Baruppu', a neighbouring state led by Pasusu. Tiku took an active role in a successful campaign against the neighbouring state, and when Pasusu was defeated Tiku took his place as ruler of Baruppu'.[3] The newly annexed kingdom was rich in rice fields and easily defensible, giving Tiku great power. Although the Torajans traditionally valued manpower and did not kill more people than necessary, Baruppu' oral history describes Tiku as killing men, women, and children with abandon.[4]

When, not long afterwards, Tiku's father died, Tiku became leader of Pangala'. As a leader, Tiku worked to strengthen the economy with an increase in the coffee trade and strategic alliances with predominantly Buginese lowlands groups. The economic success this brought led nearby rulers to respect and envy Tiku.[5][6]

Coffee and civil wars
Fearing competition from the kingdoms of Luwu and Bone to the north and Sidareng and Sawitto to the south, Tiku worked on reinforcing his country's defences. The kingdoms eventually reached several trade agreements.[5] However, Buginese encroaches led to renewed tensions between the states, climaxing in the Coffee War (Perang Kopi) in 1889. Tiku sided with the Buginese-influenced southern kingdoms.[7]

The Bone military leader Petta Panggawae and his Songko' Borrong soldiers[a] invaded Pangala' and sided with Pong Maramba', a minor lord. Panggawae overtook Tiku's capital at Tondon and razed the city, leading Tiku and the civilian population to abandon the area. Tiku, having sided with the Sidenreng leader Andi Guru, was able to retake the remains of the capital that night.[8] The war ended in 1890,[7] after Dutch scouts – representing the colonial government on Java – reached Bone. However, the remaining states soon began another series of struggles over the arms and slave trade, where states would exchange weapons for slaves; Tiku also participated in the trade.[9]

Tiku eventually formed an alliance with nearby Buginese leaders, which reduced tensions and improved trade;[10] he also learned the group's writing system and language, allowing him to easily correspond with Buginese leaders.[11] By this time Tiku had captured numerous lands.[12] To avoid a repetition of the raze of Tondon, Tiku began construction of seven fortresses in his lands, as well as several surveillance outposts and storeholds.[10] The Torajan fortresses were designed to prevent entry to the valleys leading to population centres, and Tiku's were divided between the eastern and western parts of his land.[13] He instituted a tax system to fund these defensive measures: owners of rice fields were obligated to tax two thirds of their produce, while other farmers were taxed ten per cent.[12]

Pongtiku, Torajan Leader and Guerrilla Fighter
Patung Pongtiku di Makale, Tana Toraja. Foto: Wahyu Sanyoto|panoramio
Dutch advances
By 1905 the previously fragmented Buginese and Torajan lands had united into four major areas, one of which was under Tiku.[14] In July of that year the king of Gowa, a nearby state, began collecting soldiers to fight off the invaders and prevent the remainder of the Torajan lands from conquest. Ma'dika Bombing, a leader from a southern state, approached Tiku for his assistance. A month after the messengers had dispersed, the leaders gathered at Gowa to make a plan of action. The result was that the local lords were to stop warring amongst themselves and focus on the Dutch, who had superior strength;[15] these internal conflicts, however, did not completely abate.[16] By the time the meeting adjourned, the Dutch had already begun making advances on Luwu. Tiku, tasked with diverting the Dutch from the indefensible town of Rantepo, began to build his army and work on his defences.[17][18]

In January 1906 Tiku sent scouts to Sidareng and Sawitto, which the Dutch were invading, to observe their way of battle. When the scouts reported of the Dutch forces' overwhelming strength and seemingly magical powers used against the Bugis soldiers, he ordered his fortresses to increase readiness and begin stocking up on rice;[17][18] that month, Luwu fell to Dutch forces, who then moved further inland. In February Tiku's men, sent to reinforce the southern kingdoms, reported that there was no longer coherent leadership and that both kingdoms were losing against the Europeans. This convinced Tiku to train more troops and form a nine-member military council, with himself as its leader.[19]

By March 1906 the other kingdoms had all fallen, leaving Tiku as the last Torajan lord.[19] The Dutch took Rantepao without a struggle, unaware that the city's surrender had been arranged by Tiku. Through a letter, the Dutch commander Captain Kilian told Tiku to surrender, a demand Tiku was unwilling to entertain.[20] Aware of Tiku's gathered forces and numerous fortresses, Kilian did not attempt a direct attack. Instead, in April 1906 he sent an expeditionary party to Tondon. Although the party's approach was not resisted, after nightfall Tiku's troops attacked the Dutch camp in Tondon; this forced the Dutch forces to retreat to Rantepao with Tiku's men in pursuit, suffering numerous casualties along the way.[21]

Tiku's military actions were based on the experience he had gained fighting the other lords.[22] The Dutch and their mixed native forces,[b] on the other hand, underestimated Tiku's forces and were unable to cope with the cold weather of the high altitudes.[23]

Initial struggle
The failed expeditionary force led to open warfare between Tiku, who went into hiding in his fortress at Buntu Batu, and Dutch troops. Tiku kept spies on the Dutch forces at Rantepao. On 22 June they reported that the preceding night a Dutch battalion consisting of roughly 250 men and 500 porters had departed the village, headed south towards Tiku's fortress at Lali' Londong. Tiku ordered the road sabotaged, extending the travel time from one day to five. On the night of 26 June, Tiku's forces attacked the Dutch forces outside of Lali' Londong, an attack for which the Dutch were unprepared; nobody was killed in the attack. The following morning, the Dutch began a siege on Lali' Londong,[24] using hand grenades and ladders. Unable to deal with the grenades, which the Dutch had not used on the other lords, that afternoon the fortress was captured.[25][23]

This loss led Tiku to reinforce his men.[26] The Torajan troops were armed with rifles, spears, boulders, swords, and chili pepper extract,[27] sprayed into enemy eyes with a device called a tirik lada, or blowgun, to blind them. Tiku himself was armed with a Portuguese rifle, spear, and labo. He wore protective armour, a sepu (crotch guard), and a songkok with protrusions in the shape of buffalo horns, and carried a decorated shield. With his soldiers, Tiku dug pits filled with bamboo stakes along Dutch supply routes; those who wandered over the pits would fall in and be impaled.[1][28] However, these were not enough to stop the advancing Dutch. On 17 October 1906, two more fortresses, Bamba Puang and Kotu, fell,[29] after several unsuccessful Dutch attacks since June.[30] As the campaign against Tiku, which had already lasted longer than most other campaigns in the occupation, was thought to undermine Dutch authority in Sulawesi, Governor-General J. B. van Heutsz dispatched Governor of Sulawesi Swart to personally lead the attack.[23]

After a long siege, Andi Guru and Tiku's former lieutenant Tandi Bunna' – both by then working for the Dutch – approached Tiku on 26 October and offered a cease fire. Although initially unwilling, Tiku was reportedly convinced by civilians who reminded him that his mother – who had died in the siege – needed to be buried.[31] After three days of peaceful intermingling, on the night of 30 October the Dutch forces took over the fortress, appropriated all weapons, and captured Tiku. He and his soldiers were forced to go to Tondon.[32]

Makam dan monumen Pongtiku di Pangala'. Foto: geppmatormksr.blogspot.com
Second struggle and death
In Tondon Tiku began preparations for his mother's funeral, preparations which, in Torajan culture, took several months. While taking care of the preparations, he had an advisor collect weapons secretly while another went to his fortresses in Alla' and Ambeso.[33] Tiku then made preparations to escape Dutch custody; he also returned all property that he had taken as a lord, as he knew he would no longer use it. While in Tondon, Dutch forces may have harassed the Torajan leader.[31] The night before his mother's funeral, in January 1907, Tiku and 300 of his followers escaped Tondon, heading south.[34]

After he was told that the Dutch had followed him, Tiku ordered most of his followers to return to Tondon while he and a group of fifteen, including his two wives, continued south.[35] They first arrived at Ambeso, but the fortress fell several days later, at which time they evacuated to Alla'. This fortress fell at the end of March 1907 and Tiku began to work his way back to Tondon through the forest. He and the other leaders, Buginese and Torajan alike, were chased by Dutch troops.[36] The other leaders capitulated to the Dutch and were sentenced to either three years in a prison in Makassar or exile to Buton.[37] Tiku, meanwhile, stayed hidden in the forests.[38]

On 30 June 1907 Tiku and two of his men were caught by the Dutch forces; he was the last guerrilla leader to be caught. After several days in prison,[39] on 10 July 1907 Tiku was shot and killed by the Dutch soldiers near the Sa'dan River; some reports have him bathing at the time.[27] He was buried with the rest of his family in Tondol, while his cousin Tandibua' became the native rule of Pangala', serving under the Dutch;[40]

Legacy
After Tiku's death, the colonial powers hoped that he would be forgotten, a hope which was not realised;[27] Tandibua' rebelled in 1917, and other local rebellions arose in different areas of Sulawesi until the Dutch withdrawal following the Japanese occupation.[40] During the occupation, the Japanese forces used Tiku as a symbol of Torajan struggle against colonial aggression, working to unite the people against Europeans. However, this was poorly received in conquered areas such as Baruppu'[41] and Sesean, where Tiku was remembered as a man who killed others to steal their wives.[42]

The Tana Toraja Regency government declared Tiku a national hero in 1964,[28] and in 1970 a monument to him was built on the bank of the Sa'dan.[27] Tiku was declared a National Hero of Indonesia with Presidential Decree 073/TK/2002 on 6 November 2002.[43] On the anniversary of Tiku's death, commemorative ceremonies are held in the provincial capital of Makassar.[27] Aside from several streets, Pongtiku Airport in Tana Toraja is named after him.[44]

Notes
Jump up ^ Named after their hats, which were red. In the local language, songko '​ means hat and borrong means red.
Jump up ^ The native forces mainly consisted of Ambonese, Batak, Javanese, and Timorese conscripts.[23]



References
Footnotes

  1. ^ Jump up to: a b Draeger 1992, p. 218.
  2. Jump up ^ Tangdilintin 1976, p. 1.
  3. ^ Jump up to: a b Tangdilintin 1976, p. 2.
  4. Jump up ^ Bigalke 2005, p. 43.
  5. ^ Jump up to: a b Tangdilintin 1976, p. 3.
  6. Jump up ^ Bigalke 2005, p. 27.
  7. ^ Jump up to: a b Tangdilintin 1976, pp. 4–5.
  8. Jump up ^ Tangdilintin 1976, p. 6.
  9. Jump up ^ Tangdilintin 1976, p. 7.
  10. ^ Jump up to: a b Tangdilintin 1976, pp. 8–9.
  11. Jump up ^ Bigalke 2005, pp. 34–35.
  12. ^ Jump up to: a b Bigalke 2005, p. 44.
  13. Jump up ^ Bigalke 2005, p. 57.
  14. Jump up ^ Bigalke 2005, p. 51.
  15. Jump up ^ Tangdilintin 1976, pp. 10–13.
  16. Jump up ^ Bigalke 2005, pp. 53–54.
  17. ^ Jump up to: a b Tangdilintin 1976, p. 14.
  18. ^ Jump up to: a b Bigalke 2005, p. 52.
  19. ^ Jump up to: a b Tangdilintin 1976, p. 16-17.
  20. Jump up ^ Tangdilintin 1976, p. 18.
  21. Jump up ^ Tangdilintin 1976, pp. 19–20.
  22. Jump up ^ Bigalke 2005, p. 56.
  23. ^ Jump up to: a b c d Bigalke 2005, p. 58.
  24. Jump up ^ Tangdilintin 1976, pp. 21–26.
  25. Jump up ^ Tangdilintin 1976, pp. 27–28.
  26. Jump up ^ Tangdilintin 1976, p. 32.
  27. ^ Jump up to: a b c d e Adams 2006, p. 143.
  28. ^ Jump up to: a b Friend 2003, p. 352.
  29. Jump up ^ Tangdilintin 1976, p. 30.
  30. Jump up ^ Tangdilintin 1976, pp. 33–36.
  31. ^ Jump up to: a b Bigalke 2005, p. 60.
  32. Jump up ^ Tangdilintin 1976, pp. 47–50.
  33. Jump up ^ Tangdilintin 1976, pp. 51–52.
  34. Jump up ^ Tangdilintin 1976, pp. 54–55.
  35. Jump up ^ Tangdilintin 1976, p. 56.
  36. Jump up ^ Tangdilintin 1976, pp. 60–61.
  37. Jump up ^ Tangdilintin 1976, p. 62.
  38. Jump up ^ Tangdilintin 1976, p. 63.
  39. Jump up ^ Tangdilintin 1976, p. 64.
  40. ^ Jump up to: a b Tangdilintin 1976, pp. 65–66.
  41. Jump up ^ Bigalke 2005, p. 199.
  42. Jump up ^ Volkman 1985, p. 27.
  43. Jump up ^ Indonesian Social Ministry, Daftar Nama Pahlawan.
  44. Jump up ^ Volkman 1985, p. 166.



Bibliography

  • Adams, Kathleen M (2006). Art As Politics: Re-crafting Identities, Tourism, and Power in Tana Toraja, Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-3072-4.
  • Bigalke, Terance William (2005). Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People. Singapore: Singapore University Press. ISBN 978-9971-69-313-8.
  • "Daftar Nama Pahlawan Nasional Republik Indonesia" [List of Names of National Heroes of the Republic of Indonesia]. Awards of the Republic of Indonesia (in Indonesian). Indonesian Social Ministry. Archived from the original on 25 May 2012. Retrieved 25 May 2012.
  • Draeger, Donn F (1992). Weapons and Fighting Arts of Indonesia. Clarendon: Tuttle. ISBN 978-0-8048-1716-5.
  • Friend, Theodore (2003). Indonesian Destinies. Cambridge: Harvard University Press. ISBN 978-0-674-01137-3.
  • Tangdilintin, L T (1976). Sejarah Perjuangan Pahlawan Pong Tiku [History of the Hero Pong Tiku's Struggle] (in Indonesian). Rantepao: Lepongan Bulan Tana Toraja. OCLC 13501891.
  • Volkman, Toby Alice (1985). Feasts of Honor: Ritual and Change in the Toraja Highlands. Urbana: University of Illinois Press. ISBN 978-0-252-01183-2.



NB: 
* Artikel diatas bersumber dari halaman Wikipedia berbahasa Inggris, untuk versi berbahasa Indonesia masih dalam tahap rintisan. 
* Artikel diatas sedang dalam proses penerjemahan ke bahasa Indonesia untuk ditampilkan dalam posting selanjutnya. 


Semoga bermanfaat, 
Selamat Hari Pahlawan 10 November 2014
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para Pahlawannya" :)

Lokot: Kembalikan Toraja Seperti Dulu

Kembalikan Toraja Seperti Dulu
Pesona Tana Toraja
Kembalikan Toraja Seperti Dulu
Pusat kota Makale, ibu kota Kab. Tana Toraja.
Makassar - Sejak zaman Belanda, Indonesia memiliki tiga destinasi wisata utama, yakni Bali, Toba, dan Toraja. Akibat krisis moneter pada 1998, jumlah wisatawan di ketiga destinasi tersebut sempat menurun, lalu kembali mengalami peningkatan. Namun hanya Toraja yang ketinggalan dibanding Bali dan Toba. Salah satu sebabnya, faktor geografis yang cukup jauh, dan makin singkatnya waktu kunjungan para wisatawan mancanegara (wisman), khususnya asal Eropa ke Toraja. 

Hal itu diungkapkan Lokot Ahmad Enda, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dikutip GATRAnews, di Makassar, Kamis (23/4). Lokot menegaskan, Toraja kini bertekad untuk "merebut" kembali para wisatawan, terutama wisman, agar kembali mengunjungi obyek wisata yang kaya dengan tradisi budaya, seperti upacara pemakaman, dan keindahan alamnya itu. 

Menurut Lokot, sebenarnya dulu para wisman mau mengunjungi Toraja dari Makassar lewat jalur darat dengan waktu tempuh 8 sampai 9 jam perjalanan (320 km), baik menggunakan kendaraan minibus sewaan, maupun bus antarkota reguler. Namun karena makin singkatnya kunjungan para wisman tersebut ke Indonesia, mereka "melirik" destinasi wisata lain, seperti Yogyakarta, Lombok, atau kepulauan Wakatobi.

Dia berharap, dengan dibangunnya bandar udara (bandara) baru, menggantikan bandara lama yang berlokasi di atas bukit dan sangat tergantung cuaca, kunjungan wisatawan, terutama wisman, bisa kembali ditingkatkan. Bandara baru sepanjang 2.500 meter yang berlokasi di Buntu Kunyi, Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja ini, nantinya mampu didarati pesawat berbadan lebar, seperti Boeing. Diperkirakan, pembangunan bandara Toraja senilai Rp 400 milyar ini, akan selesai pada akhir 2015. Maka jalur transportasi wisata Toraja bisa dibuka secara langsung ke Bali, Hongkong, Singapura, atau bandara internasional lainnya. Sehingga tingkat kunjungan wisatawan pun bisa kembali ke angka 170 ribu kunjungan per tahun.

Lokot menjelaskan, sementara ini wisatawan bisa ke Tana Toraja lewat bandara Palopo. Kemudian perjalanan dilanjutkan lewat darat sejauh 66 km ke Tana Toraja. "Hanya saja, mereka (pemerintah kabupaten, Red.) ingin juga punya bandara sendiri. Sebab, ujar Lokot, bandara merupakan salah satu prestige (kebanggaan) bagi suatu daerah, karena itu mempermudah akses. 

Selain jalur udara, jalur darat juga semakin ditingkatkan. Infrastruktur jalan, yang tadinya masing-masing satu jalur dibuat masing-masing dua jalur dengan pemisah jalan. Menurut pengamatan GATRAnews, jalan provinsi selebar 25 meter tersebut, membentang dari Makassar ke Parepare sekitar 100 kilometer itu, seluruhnya dibeton. Sisanya, dari Parepare hingga Tana Toraja, berupa jalan kabupaten, dua jalur untuk dua arah kendaraan. 

Kembalikan Toraja Seperti Dulu
Tarian Toraya Mamali’ yang ternyata memecahkan rekor versi Museum Rekor Indonesia (Muri) dalam segi jumlah penari tarian tradisional Toraja terbanyak. (***)
"Jalan ini lebih lebar dari jalan Puncak Bogor. Gubernur (Sulawesi Selatan) memang harus 'nekad' kalau ingin maju," kata Lokot. Sebab, menurutnya, dengan dukungan infrastruktur jalan yang memadai, maka sektor-sektor lainnya lebih mudah dikembangkan. Ia memberi contoh, sektor kerajinan seperti miniatur rumah Tongkonan (rumah adat khas Toraja) dan parang khas Toraja, bisa dijajakan di jalur sepanjang Makassar-Toraja. Juga sektor kuliner, bisa dibuka berbagai restoran yang menjajakan menu khas daerah setempat. 

Lokot menegaskan bahwa yang terpenting adalah, dengan adanya pengembangan infrastruktur wisata Toraja ini, yang diuntungkan masyarakat. Termasuk masyarakat kabupaten lain di jalur menuju Toraja, turut mengalami kemajuan. "Supaya bisa jadi stop-over. Restorannya, toko kerajinannya, toiletnya dan lain-lain, turut dibenahi," katanya.  

Ia menambahkan, kebersilan pariwisata terutama ditentukan oleh pemerintah setempat. "Maukah bupatinya? Didukungkah oleh DPRD-nya? Padahal dampaknya itu luar biasa ke masyarakat. Seperti industri rumahan empek-empek di Sumatera Selatan. Dampaknya itu beruntun. Mulai dari tukang empek-empeknya, tukang ikannya, tukang telurnya, dan seterusnya. Ini adalah ekonomi kreatif," tutupnya.


Sumber: GATRAnews



(***) Sebuah pesta besar selalu berdampak besar juga, itulah harapan dari diadakannya kegiatan Toraya Mamali'. Toraya Mamali' secara harafiah berarti “orang Toraja (Toraya) yang rindu kampung halaman (Mamali')”.

Ajang ini digelar pada 19-30 Oktober, dengan mengonsentrasikan acara-acara besar pada hari libur besar, yaitu tanggal 25-28 Oktober. Puncak acara adalah kehadiran Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Sabtu, 28 Oktober 2006, di ibu kota kabupaten, Makale, Tana Toraja.

Wapres hadir untuk meresmikan sebuah monumen bertinggi keseluruhan 26 meter itu yang diberi nama Monumen Perjuangan. Monumen itu pun kini berdiri tegak di pusat kota, tepatnya di Kolam Makale, di depan Gedung DPRD Tana Toraja, dan rumah dinas Bupati Johannis Amping Situru, SH.
Di kesempatan yang sama, masyarakat Tana Toraja juga disuguhi tarian Toraya Mamali’ yang ternyata memecahkan rekor versi Museum Rekor Indonesia (Muri) dalam segi jumlah penari tarian tradisional Toraja terbanyak.

Landorundun: Ulelean Pare Dibingkai Dalam Novel



Landorundun: Ulelean Pare Dibingkai Dalam Novel
Cover Novel Landorundun
karya Rampa' Maega


Landorundun adalah karya yang patut dan harus kita baca dan beri penghargaan yang tinggi. Dalamnya kita menikmati legenda tradisional yang disandingkan dengan kehidupan modern.  Jonathan Para'pak

Barangkali, anak-anak kecil di Toraja tidak lagi familiar dengan istilah Ulelean Pare. Sebuah tradisi lisan yang diwariskan turun-temurun melalui beragam cerita yang sarat makna dan pesan-pesan hidup. 

Ada cerita tentang Tulang Didi’ yang hidup kembali dari kematian setelah ‘ditolong’ oleh seekor ayam jantan yang kemudian membawanya terbang ke bulan.


Juga, kisah-kisah fabel seperti Seba sola Wati (Monyet dan Larva Kumbang), Seba sola Balao (Monyet dan Tikus), Sokko Mebali (Kerbau bertanduk menghadap tanah yang bisa berbicara), dan banyak lagi.

Ulelean Pare secara harfiah bisa diterjemahkan menjadi ‘obrolan padi’ ini kemudian menjadi dasar bagi Rampa’ Maega untuk menulis sebuah novel yang berjudul Landorundun. Selain berisi kisah utuh dari versi lisan cerita aslinya yang diwariskan turun-temurun, Landorundun juga berkisah tentang Kinaa Landorundun, perempuan berdarah Australia-Indonesia yang tak pernah menduga jika nama belakangnya terkait dengan sebuah cerita rakyat Toraja.

Tidak hanya karena kesamaan nama, tapi juga sekelumit kisah yang telah ratusan tahun menjadi sebuah rahasia. Perkenalannya dengan seorang pemuda Toraja bernama Bendurana lewat jejaring facebook membawa Kinaa menjelajahi eksotisme Toraja beserta peristiwa-peristiwa masa lalu yang ternyata masih berhubungan dengan masa lalunya sendiri. Kedua kisah ini – modern dan klasik – kemudian saling mengisi membentuk jalinan cerita yang terbentang dari Toraja hingga Australia.

Novel setebal 250 halaman ini ditulis selama kurang lebih 3,5 tahun, termasuk proses riset yang melibatkan beberapa tokoh adat dari berbagai kampung di Toraja, seperti Sesean, Sa’dan, dan La’bo’. Sebagai sebuah bentuk kekaguman penulisnya kepada cerita-cerita rakyat, Landorundun merupakan sebuah bentuk adaptasi terhadap cerita rakyat Toraja dengan judul yang sama.

Ada harapan agar melalui novel ini, generasi muda Toraja dapat kembali mengenali cerita-cerita rakyat kampung halaman, yang dulu hanya dikisahkan secara lisan dari generasi ke generasi. Dan untuk konteks yang lebih luas, semoga Landorundun – juga cerita-cerita rakyat Toraja lainnya – dikenal pula oleh masyarakat Indonesia secara umum, untuk ‘bersanding’ dengan Loro Jonggrang, Sangkuriang, dan Malin Kundang.

Salah satu tokoh masyarakat Toraja, Jonathan Para’pak, memberi apresiasi terhadap novel pertama dari Rampa’ Maega ini. Di sampul depan novel ini, Pak Para’pak memberikan endorsement seperti berikut: “Landorundun adalah karya yang patut dan harus kita baca dan beri penghargaan yang tinggi. Dalamnya kita menikmati legenda tradisional yang disandingkan dengan kehidupan modern. Karya ini mengedepankan nilai-nilai luhur budaya Toraja yang harus kita lestarikan dalam kehidupan modern. Semoga buku ini dinikmati oleh orang Toraja dan masyarakat luas.”

Tino Saroengallo, penulis buku ‘Ayah Anak Beda Warna! Anak Toraja Kota Menggugat, ikut pula memberikan endorsement untuk novel ini. Juga, seorang novelis nasional bernama Tasaro GK yang sudah menghasilkan belasan novel, seperti Galaksi Kinanthi dan Muhammad; Lelaki Penggenggam Hujan.

Sekilas tentang Novel Landorundun : 

Landorundun: Ulelean Pare Dibingkai Dalam Novel
Rampa' Maega.
Foto: Facebook
Sebuah kearifan yang tersembunyi di sebalik tradisi, keluhuran budaya, dan eksotisme Toraja. Dituturkan dalam cerita modern dan klasik menjadi satu romansa yang saling berkelindan: LANDORUNDUN.


Landorundun adalah novel pertama karya Rampa' Maega yang diterbitkan oleh Penerbit Senandika, Bandung.


Selain berisi kisah utuh dari versi lisan cerita aslinya, Landorundun juga berkisah tentang Kinaa Landorundun, perempuan berdarah Australia-Indonesia yang tak pernah menduga jika nama belakangnya terkait dengan sebuah cerita rakyat Toraja. Tak hanya karena kesamaan nama, tapi juga sekelumit kisah yang telah ratusan tahun menjadi legenda turun-temurun. Perkenalannya dengan seorang pemuda Toraja bernama Bendurana lewat jejaring facebook membawa Kinaa menjelajahi eksotisme Toraja beserta peristiwa-peristiwa yang ternyata masih berhubungan dengan masa lalunya sendiri. Kedua kisah ini – modern dan klasik – kemudian saling mengisi membentuk jalinan cerita yang terbentang dari Toraja hingga Australia.

Sebagai wujud kekaguman penulisnya kepada cerita-cerita rakyat, Landorundun merupakan sebuah bentuk adaptasi terhadap cerita rakyat Toraja dengan judul yang sama. Ada harapan agar melalui novel ini, generasi muda Toraja dapat kembali mengenali cerita-cerita rakyat kampung halaman, yang dulu hanya dikisahkan secara lisan dari generasi ke generasi. Dan untuk konteks yang lebih luas, semoga Landorundun – juga cerita-cerita rakyat Toraja lainnya – juga dikenal oleh masyarakat Indonesia secara umum, untuk ‘bersanding’ dengan Loro Jonggrang, Sangkuriang, atau Malin Kundang.


Selamat membaca! Semoga ada nostalgia, informasi, dan kerinduan pada kampung halaman yang bertumbuh dari dalamnya.

Apresiasi : 
“Tentang Toraja, semula sayup saya tahu tentang kuburan batu. Landorundun memberi tahu saya, di sana juga ada semua alasan untuk jatuh cinta: legenda, budaya, dan romansa. Angkat topi!” Tasaro GK. (Penulis Novel Galaksi Kinanthi dan Muhammad; Lelaki Penggenggam Hujan)
"Landorundun adalah karya yang patut dan harus kita baca dan beri penghargaan yang tinggi. Dalamnya kita menikmati legenda tradisional yang disandingkan dengan kehidupan modern. Karya ini mengedepankan nilai-nilai luhur budaya Toraja yang harus kita lestarikan dalam kehidupan modern. Semoga buku ini dinikmati oleh orang Toraja dan masyarakat luas." Dr. (Hon) Jonathan L. Parapak, M.Eng.Sc. (Tokoh Masyarakat Toraja, Rektor Universitas Pelita Harapan, Tangerang) 
"Pendekatan dunia sekarang dengan dongeng masa lalu dijalin menjadi satu cerita sangat menarik. Penulis tidak hanya berhasil menceritakan kembali legenda yang berasal dari suku Toraja, tapi juga menyuguhkannya dalam bentuk novel modern yang mudah dibaca, dalam situasi yang dekat dengan pembaca era globalisasi. Jelas penulis paham betul akan sejarah dan kebudayaan suku Toraja. Buku ini akan semakin melengkapi buku-buku tentang kebudayaan suku Toraja yang pernah terbit sebelumnya. Layak baca!" Tino Saroengallo. (Pekerja Film, Penulis Ayah Anak Beda Warna! Anak Toraja Kota Menggugat)


Sumber  :   

Luwuraya[.]com
Fanpage Novel Landorundun
Daftar Nama-Nama Bupati Kepala Daerah Tingkat II TANA TORAJA

Daftar Nama-Nama Bupati Kepala Daerah Tingkat II TANA TORAJA

Daftar Nama-Nama Bupati Kepala Daerah Tingkat II TANA TORAJA:

No
Nama
Jabatan
Masa Jabatan
1
LAKITTA
Kepala Daerah Tana Toraja  
1-3- 1957 s/d 23-7-1958
2
S.J. SARUNGNGU
DPD merangkap Wakil Kepala Daerah Tana Toraja
23-7-1958 s/d 21-10-1958
3
D.S. RANTESALU
Wakil Ketua DPD/Kepala Daerah Tana Toraja
21-10-1958 s/d 15-5-1959
4
B.A. SIMATUPANG
Kepala Daerah Swatantra Tk II Tana Toraja
15-5-1959 s/d 12-7-1960
5
H.L. LETHE
Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tana Toraja
12-7-1960 s/d 24-3-1963
6
A.J.K. ANDI LOLO
Pelaksana Tugas Jabatan BKDH Tk II Tana Toraja
24-3-1963 s/d 11-1-1964
7
D.S RANTESALU
Bupati KDH Tk II Tana Toraja
11-1-1964 s/d 25-6-1966
8
A. TAMPUBOLON
Bupati KDH Tk II Tana Toraja
25-6-1966 s/d 4-9-1972
9
A. TAMPUBOLON
Pj. BKDH Tk II Tana Toraja
4-9-1972 s/d 11-4-1973
10
DRS. NUSU’ LEPONG BULAN
Pj. BKDH Tk II Tana Toraja 
11-4-1973 s/d 24-1-1974
11
A.J.K. ANDI LOLO
Bupati KDH Tk II Tana Toraja
24-1-1974 s/d 6-6-1979
12
A.J.K. ANDI LOLO
Bupati KDH Tk II Tana Toraja
6-6-1979 s/d 4-7-1984
13
A.J.K. ANDI LOLO
Pj. BKDH Tk II Tana Toraja
4-7-1984 s/d 3-12-1984
14
A. JACOBS
Bupati KDH Tk II Tana Toraja
3-12-1984 s/d 2-12-1989
15
DR. T.R. ANDI LOLO
Bupati KDH Tk II Tana Toraja
2-12-1989 s/d 12-1-1995
16
DRS TARSIS KODRAT
Bupati KDH Tk II Tana Toraja
12-1-1995 s/d 12-1-2000
17
ABBAS SABBI, SH
Plh. Bupati Tana Toraja
12-1-2000 s/d 5-8-2000
18
J.A. SITURU, SH
Bupati Tana Toraja
5-8-2000 s/d 5-8-2005
19
J.A. SITURU, SH
Plt. Bupati Tana Toraja
6-8-2005 s/d 12-8-2005
20
H.B. AMIRUDDIN MAULA
Plt. Bupati Tana Toraja
13-8-2005 s/d 15-9-2005
21
J.A. SITURU, SH
Bupati Tana Toraja
15-9-2005 s/d 15-9-2010
22
THEOFILUS ALLORERUNG, SE
Bupati Tana Toraja     
27-9-2010 sampai sekarang


Sumber : kemendagri.go.id