Showing posts with label Sejarah Tana Toraja. Show all posts
Showing posts with label Sejarah Tana Toraja. Show all posts

Kajian Antropologis Suku Toraja, Sebuah Makalah

Kajian Antropologis Suku Toraja, Sebuah Makalah
 Mengenal suku Toraja dalam Kajian Antropologis Suku Toraja. (sumber foto)
Kajian Antropologis Suku Toraja, Sebuah Makalah

BAB I PENDAHULUAN

1.1    Latar belakang

Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi. Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).

Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. 

Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.

Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.

Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen. Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi.

Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen. Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.

1.2  Perumusan masalah
  1. Bagaimana sistem kebudayaan masyarakat suku Toraja pada umumnya sehingga memberikan identitas budaya bangsa Indonesia yang kokoh?
  2. Bagaimana Sistem-sistem kebudayaann suku Toraja terbentuk sehingga menjadi suku bangsa yang merupakan bagian dari kemajemukan bangsa Indonesia?
  3. Bagiamana Sistem mata pencaharian hidup,ilmu pengetahuan,kesenian dan bahasa suku toraja itu terbentuk?
  4. Faktor apasaja yang menyebabkan adat istiadat,hukum waris dan sistem Kekerabatan suku toraja itu terbentuk?
  5. Bagaimana Sistem kepercayaan suku Toraja dan apasaja pengaruhnya terhadap adat istiadan serta kebudayaan disana?

1.3      Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian adalah:
  1. Mengetahui sistem kebudayaan masyarakat suku Toraja secara lebih luas sehingga memberikan suatu pemahaman terhadap kebudayaannya.
  2. Menjelaskan tentang kehidupan masyarakat suku Toraja yang  mencakup pada sistem mata pencahariannya, ilmu pengetahuannya, serta kesenian dan bahasa suku toraja itu terbentuk. Dengan baik.
  3. Menjelaskan secara detail alasan  dan korelasi suku Toraja membentuk suatu adat hukum waris, dengan sistem kekerabatan.
  4. Memaparkan kaitannya sistem kepercayaan suku Toraja dengan pengaruh adat istiadat  setempat?
  5. Mendeskripsikan suatu sistem kebudayaan suku Toraja secara keseluruhan sehingga menjadi salah satu suku yang majemuk dan menjadi salah satu bagian dari negara Republik Indonesia.

1.4     Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dalam penulisan Karya Ilmiah adalah:
  1. Penulis dapat memperluas tentang studi masyarakat Indonesia terutama dalam mempelajari sistem sosio-Antropologi suku Toraja pada umumnya.
  2. Penulis dapat mengetahui kebudayaan serta adat istiadat suku Toraja yang mana merupakan bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia.
  3. Penulis dapat memberikan suatu kajian yang sangat menarik untuk diteliti,dan sebagai studi banding dalam mengaitkan antara suatu sistem tradisional yang berlaku di suku Toraja dengan masyarakat modern pada saat ini

1.5    Metode Penelitian

Metode ini menggunakan penelitian historis. Metode ini dilakukan untuk suatu proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau terutama metode Heurestik yaitu suatu kegiatan untuk mencari, menemukan, dan mengumpulkan data serta fakta, pada tahapan ini penulis mengumpulkan beberapa sumber dan data yang relevan dengan permasalahan yang dikaji,dalam proses ini penulis mencari, sumber-sumber dengan penulis mendatangi berbagai Perpustakaan dan media internet.

1.6  Teknik Penelitian

Makalah yang berjudul ”Suku Toraja di Sulawesi selatan serta pengaruh kebudayaan asli terhadap suatu sistem kemasyrakatannya yang bernilai luhur sampai saat ini”. Teknik yang digunakan yaitu teknik Studi Literatur yang dilakukan dengan membaca, Mengkaji, berbagai buku yang relevan dengan tema yang ditulis sehingga dapat membantu penulis menyelesaikannya.

1.7  Sistematika Penulisan

Penulisan Makalah penelitian yang diajukan tersebut pada dasarnya memuat sebagai berikut:
  1. Judul Penelitian
  2. Latar Belakang Masalah Penelitian
  3. Rumusan dan Pembatasan Masalah
  4. Tujuan Penelitian
  5. Penjelasan Judul
  6. Kajian Pustaka
  7. Metode dan Teknik Penelitian
  8. Sistematika Penelitian.
Kajian Antropologis Suku Toraja, Sebuah Makalah
Monolitikum di Toraja, foto diambil sekitar tahun 1935. (sumber foto)

BAB II PEMBAHASAN

2.1  Indentitas  kepribadian diri suku Toraja Sulawesi selatan

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.

Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau. Suku Toraja yang ada sekarang ini bukanlah suku asli, tapi merupakan suku pendatang. Menurut kepercayaan atau mythos yang sampai saat ini masih dipegang teguh, suku Toraja berasal dari khayangan yang turun pada sebuah pulau Lebukan.

Kemudian secara bergelombang dengan menggunakan perahu mereka datang ke Sulawesi bagian Selatan. Di pulau ini mereka berdiam disekitar danau Tempe dimana mereka mendirikan perkampungan. Perkampungan inilah yang makin lama berkembang menjadi perkampungan Bugis. Diantara orang-orang yang mendiami perkampungan ini ada seorang yang meninggalkan perkampungan dan pergi ke Utara lalu menetap di gunung Kandora, dan di daerah Enrekang.Orang inilah yang dianggap merupakan nenek moyang suku Toraja.Sistim pemerintahan yang dikenal di Toraja waktu dulu adalah sistim federasi. Daerah Toraja dibagi menjadi 5 (lima) daerah yang terdiri atas Makale, Sangala, Rantepao, Mengkendek, Toraja Barat. Daerah-daerah Makale, Mengkendek, dan Sangala dipimpin masing-masing oleh seorang bangsawan yang bernama PUANG.

Daerah Rantepao dipimpin bangsawan yang bernama PARENGE, sedangkan daerah Toraja Barat dipimpin bangsawan bernama MA'DIKA. Didalam menentukan lapisan sosial yang terdapat didalarn masyarakat ada semacam perbedaan yang sangat menyolok antara daerah yang dipimpin oleh PUANG dengan daerah yg dipimpin oleh PARENGE dan MA'DIKA. Pada daerah yang dipimpin oleh PUANG masyarakat biasa tidak akan dapat menjadi PUANG, sedangkan pada daerah Rantepao dan Toraja Barat masyarakat biasa bisa saja mencapai kedudukan PARENGI atau MA'DIKA kalau dia pandai. Hal inilah mungkin yang menyebabkan daerah Rantepao bisa berkembang lebih cepat dibandingkan perkembangan yang terjadi di Makale.

_Sejarah Suku Toraja_

Sebelum kata Toraja, digunakan Tondok Lepongan Bulan, To Raja digunakan untuk nama suatu negeri yang sekarang dinamakan Tana Toraja,Arti kata Toraja,itu sendiri ada beberapa pendapat sebagai berikut:

A.Adriani mengartikan TO RAJA adalah orang yang berdiam diatas pegunungan. Kata Toraja, itu berasal suku bugis sidenreng.

Ada pendapat juga yang mengatakan To Raja ( bahasa bugis luwu ) karena tana Toraja, terletak di sebelah barat luwu.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Toraja,itu berasal dari seorang raja Tondok Lepongan Bulan yang bernama laki padada yang ke gowa pada akhir abad ke 13. Dalam sejarah Toraja, Laki padada adalah seorang cucu raja yang pergi mengembara untuk mencari hidup yang abadi kemudian tiba dikerajaan Gowa. Pada mulanya penduduk Toraja, beragama Aluk Todolo (Agama Leluhur) tetapi pada awal abad 19 pengaruh agama Islam mulai masuk terutama pada bagian selatan. Kemudian dengan adanya Pemerintah Kolonial Belanda didaerah tersebut maka agama Kristen masuk kedaerah ini lalu mempengaruhi kebudayaan asli daereh ini pada tahu 1906.

Kabupaten Tana Toraja, beribukota Makale, terletak sekitar 329 km disebelah utara kota Makasar dengan batas-batas wilayah :
  • Sebelah Utara dengan Kabupaten Mamuju
  • Sebelah Timur dengan Kabupaten Luwu
  • Sebelah Selatan dengan Kabupaten Enrekang
  • Sebelah Barat dengan Kabupaten Polmas
Orang Toraja, adalah penduduk Sulawesi Tengah, untuk sebagian juga mendiami propinsi Sulawesi Selatan yaitu wilayah dari kabupaten Tana  Toraja, dan Mamasa. Mereka biasanya disebut orang Toraja Sa’dan.

Tana Toraja, dikenal oleh dunia bukan saja karena kebudayaan-kebudayaannya yang unik, orisinil dan sarat akan keindahan seni tetapi juga karena keaslian, keasrian dan keindahan alamnya yang selalu dapat memukau hati para wisatawan yang berkunjung

2.2 Sistem kekerabatan atau keluarga suku Toraja

Masyarakat Toraja terbagi atas keluarga inti, penanggung jawab keluarga adalah ayah dan diganti anak laki-laki bila meninggal sedangkan ibu hanya mendidik anak dan menjaga nama baik keluarga. Masyarakat Toraja mengikuti garis keturunan Bilateral. Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.

 Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.

Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.

Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. 

Contoh:
Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang. Hukum waris Toraja.

Orang di Suku  Toraja akan melakukan adopsi,walaupun mereka sudah mempunyai anak. Hal itu dikarenakan di Suku Toraja mempunyai keyakinan bahwa semakin banyak anak akan semakin banyak pula Toding (Kerbau) yang akan ikut di kubur saat orang tua angkatnya meninggal dunia. Sistem Hukum waris adat yang berlaku di Indonesia sangat beragam, antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, juga menganut sistem kewarisan yang berbeda. Hal itu mempengaruhi kedudukan anak angkat dalam kekerabatan orang tua kandung dan orang tua angkat serta bagaimana pewarisannya dan juga mengenai penyelesaian hukum bila hak anak angkat tersebut tidak terpenuhi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui mengenai hal tersebut.

Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis-normatif, yaitu yang berusaha untuk mengabstraksikan tingkah laku tetang kedudukan anak angkat dalam  hokum waris adat disamping untuk menemukan peraturan-peraturan yang telah ada sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Metode penarikan sampel menggunakan purposive random sampling, dimana anggota populasi tidak diberi kesempatan untuk dipilih menjadi sampel, disamping itu untuk mendukung data-data tersebut dilakukan wawancara secara bebas terpimpin terhadap para tokoh masyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan pengangkatan anak dilakukan terhadap anak yang masih kecil (dianak bitti), anak yang sudah besar dan terhadap orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, yang diambiil dari kalangan keluarga atau bukan dari kalangan keluarga. Proses pengangkatan anak dilaksanakan secara terang dan tunai. Hubungan kekerabatan anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya tidak terputus. Bila terjadi sengketa warisan, maka sering diselesaikan melalui lembaga adat yang berupa tongkonan. Kata Kunci : Kedudukan Anak Angkat, ahli waris,hokum waris adat suku  Toraja.

2.3  Kelas sosial budaya masyarakat suku Toraja

Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.

Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.

Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

Kajian Antropologis Suku Toraja, Sebuah Makalah
Gereja Toraja Mamasa di Sulawesi Selatan, bangunan gereja dalam foto berbentuk rumah adat Toraja, foto diambil sekitar tahun 1930. (sumber foto)

2.4 Sistem Religi dan kepercayaan, adat istiadat, suku Toraja

Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. 

Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.

Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. 

Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan. Di Tana Toraja dikenal pembagian kasta seperti yang terdapat didalam agama Hindu-Bali. Maka mungkin karena itulah sebabnya kepercayaan asli suku Toraja yaitu ALUKTA ditetapkan pemerintah menjadi salah satu sekte dalam agama Hindu Bali.

Kasta atau kelas ini dibagi menjadi 4 (empat)
  1. Kasta Tana' Bulaan
  2. Kasta Tana' Bassi
  3. Kasta Tana' Karurung
  4. Kasta Tana' Kua-kua

_Adat Istiadat_

Toraja sangat dikenal dengan upacara adatnya. Didalam menjalankan upacara dikenal 2 (dua) macam pembagian yaitu Upacara kedukaan disebut Rambu Solo'.

Upacara ini meliputi 7 (tujuh) tahapan,yaitu
a. Rapasan
b. Barata Kendek 
c. Todi Balang
d. Todi Rondon.
e. Todi Sangoloi
f.  Di Silli'
g. Todi Tanaan.

Upacara kegembiraan disebut Rambu Tuka'.

Upacara ini juga meliputi 7 (tujuh) tahapan, yaitu
a. Tananan Bua’
b. Tokonan Tedong
c. Batemanurun
d. Surasan Tallang 
e. Remesan Para
f. Tangkean Suru
g. Kapuran Pangugan

Karena mayoritas penduduk suku Toraja masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya (60 %) maka adat istiadat yang ada sejak dulu tetap dijalankan sekarang. Hal ini terutama pada adat yang berpokok pangkal dari upacara adat Rambu Tuka’ dan Rambu Solok. Dua pokok inilah yang merangkaikan upacara-upacara adat yang masih dilakukan dan cukup terkenal.

Upacara adat itu meliputi persiapan penguburan jenazah yang biasanya diikuti dengan adu ayam, adu kerbau, penyembelihan kerbau dan penyembelihan babi dengan jumlah besar. Upacara ini termasuk dalam Rambu Solok, dimana jenazah yang mau dikubur sudah di simpan lama dan nantinya akan dikuburkan di gunung batu. Akan hal tempat kuburan ini, suku Toraja mempunyai tempat yang khusus., Kebiasaan mengubur mayat di batu sampai kini tetap dilakukan meskipun sudah banyak yang beragama Katholik, Kristen. Hanya yang sudah beragama Islam mengubur mayatnya dalam tanah sebagaimana lazimnya.

Seluruh upacara dalam rangkaian penguburan mayat ini memerlukan biaya yang besar. Itu ditanggung oleh yang bersangkutan disamping sumbangan-sumbangan. Besar kecilnya upacara mencerminkan tingkat kekayaan suatu keluarga. Kriterianya diukur dari jumlah babi dan kerbau yang dipotong disamping lamanya upacara. Untuk kaum bangsawan upacara itu sampai sebulan dan hewan yang dipotong mencapai ratusan. Belum lagi biaya (lainnya) yang banyak, sekalipun dirasakan berat tetapi lambat laun dari masalah adat telah berubah menjadi masalah martabat.

2.5 Seni Bangunan, ukir, dan Ornamen/hiasan suku Toraja

Seperti halnya rumah adat suku-suku lain di Indonesia yang umumnya dibedakan karena bentuk atapnya, rumah adat Toraja inipun mempunyai bentuk atap yang khas. Memang mirip dengan rumah adat suku Batak, tetapi meskipun begitu rumah adat suku Toraja tetap memiliki ciri-ciri tersendiri.

  1. Pada mulanya rumah yang didirikan masih berupa senacam pondok yang diberi nama lantang tolumio. Ini masih berupa atap yang disangga dangan dua tiang + dinding tebing
  2. Bentuk kedua dinamakan Pandoko Dena. Bentuk ini biasa disebut pondok pipit karena letak-nya yang diatas pohon. Pada prinsipnya rumah ini dibuat atas 4 pohon yang berdekatan dan berfungsi sebagai tiang. Hal pemindahan tempat ini mungkin disebabkan adanya gangguan binatang buas
  3. Perkembangan ketiga ialah ditandai dengan mulainya pemakaian tiang buatan. Bentuk ini memakai 2 tiang yang berupa pohon hidup dan 1 tiang buatan. Mungkin ini disebabkan oleh sukarnya mencari 4 buah pohon yang berdekatan. Bentuk ini disebut Re'neba Longtongapa
  4. Berikutnya adalah rumah panggung yang seluruhnya mempergunakan tiang buatan. Dibawahnya sering digunakan untuk menyimpan padi (paliku), ini bentuk pertama terjadinya lumbung.
  5. Perkembangan ke~5 masih berupa rumah pangqung sederhana tetapi dengan tiang yang lain untuk keamanan hewan yang dikandangkan dikolong rumah itu.tiang-tiang dibuat sedemikian ru pa sehingga cukup aman. Biasanya tiang itu tidak dipasang dalam posisi vertikal tetapi merupakan susunan batang yang disusun secara horisontal
  6. Lama sesudah itu terjadi perobahan yang agak banyak. Perubahan itu sudah meliputi atap, fungsi ruang dan bahan. Dalam periode ini tiang-tiang kembali dipasang vertikal tetapi dengan jumlah yang tertentu. Atap mulai memakai bambu dan bentuknya mulai berexpansi ke depan (menjorok). Tetapi garis teratas dari atap masih datar. Dinding yang dibuat dari papan mulai diukir begitu juga tiang penyangga. Bentuk ini dikenal dengan nama Banua Mellao Langi,
  7. Berikutnya adalah rumah adat yang dinamakan Banua Bilolong Tedon (Gambar 7). Perkembangan ini terdapat pada Lantai yang mengalami perobahan sesuai fungsinya Pada periode ini hanya terjadi perkembangan pada lantai dan tangga yang berada di bagian depan.
  8. Pada periode ini letak tangga pindah ke bawah serta perubahan permainan lantai
  9. Berikutnya adalah perobahan lantai yang menjadi datar dan ruang hanya dibagi dua.

Setelah periode ini perkembangan selanjutnya tidak lagi berdasarkan adat, tetapi lebih banyakkarena persoalan kebutuhan akan ruang dan konstruksi. Begitu juga dalam penggunaan materi mulai dipakainya bahan produk mutakhir, seperti seng, sirap, paku, dan sebagainya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan yang terakhir merupakan puncak perkembangan dari rumah adat Toraja.

a. Seni Bangunan Suku Toraja
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

b. Seni Ukir suku Toraja
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. 

Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar. Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik.Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan.[21] Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.

Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi.

Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.

Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris. Ornamen/hiasan bangunan.

Ornamen (hiasan bangunan) yang terdapat pada rumah-rumah adat sebagian besar mempunyai arti. Arti ini biasanya berhubungan dengan adat istiadat yang masih diipertahankan. Disamping itu ada pula yang hanya merupakan hiasan saja, misalnya: Sumbang dan Katombe yang merupakan sirip-sirip kayu berukir pada tiap-tiap sudut rumah adat.

Ornamen (hiasan) ini dibagi dalam beberapa macam ornamen, masing-masing ialah :
  1. Ornamen binatang Kerbau, sebagai binatang yang sering disembelih dalam upacara-upacara, bagian- bagian badannya banyak dipergunakan untuk ornamen. Misalnya tanduk, kepala ( tiruannya). Selain itu motif kerbau juga ada dalam ukiran di dinding papan rumah adat. Kepala kerbau ( tiruan dari kayu ) biasanya dipasang pada ujung-ujung balok lantai bagian depan (pata sere).
  2. Tanduk kerbau disusun pada tiang yang utama (tulak- sonba) artinya menyatakan jumlahgenerasi yang pernah tinggal di rumah adat itu.
  3. Ayam jantan, sebagai lambang Kasta Tana’ Bulaan (kasatria) diukirkan pada bagian depan/belakang rumah, juga dipintu-pintu.Babi, sebagai lambang binatang sajian.b. Ornamen Senjata.Keris dan pedang, diukirkan sebagai lambang Kasta Tana Bulaan (kasatria).
  4. Ornamen Tumbuh-tumbuhan.Daun Sirih, bunga, diukirkan pada tiang utama tulak somba, rinding (dinding), langit-langit lumbung sebagai ruang tamu, juga di pintu-pintu.
  5. Ornamen ukiran kayunya menggunakan kayu URU.
  6. Ornamen lukisan diukir dulu baru dipasang di tempat. Penyelesaian Lukiran biasanya dengan zat pewarna yang dibikin dari tanah +tuak atau arang + cuka + air.

2.6  Ritual upacara pemakaman suku Toraja

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. 

Upacara pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.

Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.

Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.

Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

Suku Toraja di Sulawesi Selatan sudah lama terkenal dengan alam pegunungannya yang permai serta ritual adatnya yang unik. Yang paling tersohor, tentu saja, pesta Rambu Solo yang digelar menjelang pemakaman tokoh yang dihormati. Tiap tahun pesta yang berlangsung di beberapa tempat di Suku Toraja ini senantiasa mengundang kedatangan ribuan wisatawan.Selain Rambu Solo, sebenarnya ada satu ritual adat nan langka di Toraja, yakni Ma’ Nene’, yakni ritual membersihkan dan mengganti busana jenazah leluhur.

Ritual ini memang hanya dikenal masyarakat Baruppu di pedalaman Toraja Utara. Biasanya, Ma’ Nene’ digelar tiap bulan Agustus. Saat Ma’ Nene’ berlangsung, peti-peti mati para leluhur, tokoh dan orang tua, dikeluarkan dari makam-makam dan liang batu dan diletakkan di arena upacara. Di sana, sanak keluarga dan para kerabat sudah berkumpul. Secara perlahan, mereka mengeluarkan jenazah (baik yang masih utuh maupun yang tinggal tulang-belulang) dan mengganti busana yang melekat di tubuh jenazah dengan yang baru.

Mereka memperlakukan sang mayat seolah-olah masih hidup dan tetap menjadi bagian keluarga besar.Dibungkusnya tulang-belulang itu dengan baju yang dipakainya, lalu diletakkan di areal yang lapang dan layak.Setelah itu, Pong Rumasek melanjutkan perburuannya.

Tak dinyana, semenjak kejadian itu, setiap kali Pong Rumasek berburu, ia selalu memperoleh hasil yang besar. Binatang hutan seakan digiring ke dirinya. Bukan hanya itu, sesampainya di rumah, Pong Rumasek mendapati tanaman padi di sawahnya pun sudah menguning, bernas dan siap panen sebelum waktunya.Pong Rumasek menganggap, segenap peruntungan itu diperolehnya berkat welas asih yang ditunjukkannya ketika merawat mayat tak bernama yang ditemukannya saat berburu. Sejak itulah, Pong Rumasek dan masyarakat Baruppu memuliakan mayat para leluhur, tokoh dan kerabat dengan upacara Ma’ Nene’.Dalam ritual Ma’ Nene’ juga ada aturan tak tertulis yang mengikat warga. Misalnya, jika seorang istri atau suami meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma’ Nene’ untuknya.

Ketika Ma’ Nene’ digelar, para perantau asal Baruppu yang bertebaran ke seantero negeri akan pulang kampung demi menghormati leluhurnya.Warga Baruppu percaya, jika Ma’ Nene’ tidak digelar maka leluhur juga akan luput menjaga mereka. Musibah akan melanda, penyakit akan menimpa warga, sawah dan kebun tak akan menghasilkan padi yang bernas dan tanaman yang subur.

Alat Upacara Keagamaan
Pote – tanda berkabung untuk pria dan wanita
Tanduk Rongga – Perhiasan dikepala
Pokti – tempat sesajen
Sepui – tempat sirih

Upacara adat Rambu Solo
Upacara ini dilakukan untuk memakamkan leluhur atau orang tua. Bila ada salah satu warga (orang tua atau leluhur ) yang meninggal orang-orang berbaris pergi kerumah orang tersebut mengikuti dibelakang mereka hewan ternak untuk dipersembahkan pada tuan rumah dan tuan rumah pun menyambut dengan ramah dan diiringi oleh tari-tarian dan beraneka ragam santapan yang telah dipersiapkan diatas daun pisang.

Namun dalam Pelaksanaannya upacara ini terbagi menjadi empat tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni :
  1. Dipasang Bongi: Upacara yang hanya dilaksanakan dalam satu malam
  2. Dipatallung Bongi: Upacara yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah dan ada pemotongan hewan
  3. Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah serta pemotongan hewan
  4. Dipapitung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam setiap harinya ada pemotongan hewan

Pemakaman kematian bagi masyarakat Toraja menjadi salah satu hal yang paling bermakna, sehingga tidak hanya upacara prosesi pemakaman yang dipersiapkan ataupun peti mati yang dipahat menyerupai hewan ( Erong ), namun mereka juga mempersiapkan tempat “peristirahatan terakhir” dengan sedemikian apiknya, yang tentunya tidak lepas dari strata yang berlaku dalam masyarakat Toraja maupun ekonomi individu.

Pada umunya tempat menyimpan jenazah adalah gua atau tebing gunung atau dibuatkan sebuah rumah ( Pa’tane ). Budaya ini telah diwarisi secara turun temurun oleh leluhur mereka, adat masyarakat Toraja menyimpan jenazah pada liang gua atau tebing merupakan kekayaan budaya yang begitu menarik untuk disimak lebih dalam lagi, Dapat dijumpai puluhan Erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak disisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia.

Sampai saat ini masyarakat dunia masih dapat menikmati turunan-turunan budaya yang diwariskan nenek moyang Suku Toraja ini, seperti bentuk-bentuk kebudayaan atau kesenian dari yang bersifat upacara kematian sampai tari-tarian serta musik-musik khas Toraja. Warisan ini tentunya menjadi sorotan perhatian dan tanggung jawab bagi masyarakat suku Toraja saat ini, terutama dengan adanya globalisasi ataupun modernisasi, ketidaksiapan melangkah dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut tentunya dapat mempertaruhkan kelestarian alam, budaya Toraja dan juga kualitas SDM Toraja itu sendiri. Sehingga dapat mempengaruhi perubahan sosial dan perubahan kebudayaan yang ada di Toraja.

Oleh karena itu Toraja mengadakan program Toraja Mamali yaitu program spontanitas seluruh lapisan masyarakat Toraja, baik yang tinggal di Toraja maupun diluar Toraja yang peduli terhadap kampung halaman, untuk bersama-sama menyatukan visi dan misi demi membangun Tana Toraja atas dasar tanggung jawab dan komitmen bersama. Tekad yang diusung adalah untuk menjadi Toraja unggul dalam:
  • Perkataaan (berani dan penuh percaya diri)
  • Penguasaan ilmu dan teknologi (cerdas dan terampil)
  • Penebaran kasih (saling hormat dan mengasihi)
  • Pariwisata (budaya dan alam)

2.7 Seni/alat musik , tarian, busana tradisional suku Toraja

Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya.

Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.

Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari.

Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang.

Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah. Budaya adalah salah satu harta berharga yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Perlu pemeliharaan dan kepedulian agar warisan budaya tidak semakin tergerus oleh budaya asing.Banyak cara yang dapat dilakukan untuk tetap mempertahankan budaya.

Alat Musik Tradisional
  • Geso – biola
  • Tomoron – terompet
  • Suling Toraja.
Alat Perhiasan
  • Beke' – ikat kepala
  • Manikkota – kalung
  • Komba – gelang tangan
  • Sissin Lebu – cincin besar

Seperti halnya kain tenun Toraja. Budaya tenun di Toraja telah menjadi warisan secara turun temurun, dengan tetap mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang kegiatan menenun. Sehingga, diharapkan tenun Toraja takkan hilang ditelan jaman.Selain itu, karena tenun telah menjadi salah satu sumber mata pencaharian yang berbasis budaya, maka  aktivitas tersebut sangat membantu melestarikan budaya itu.

2.8   Keanekaragaman bahasa suku Toraja

Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.

Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan.

Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja. Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.

Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.

Keragaman dalam bahasa Toraja

Denominasi
Populasi (pada tahun)
Dialek
Kalumpang
12,000 (1991)
Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da).
Mamasa
100,000 (1991)
Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi)
Tae’
250,000 (1992)
Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.
Talondo'
500 (1986)

Toala'
30,000 (1983)
Toala', Palili'.
Torajan-Sa'dan
30,000 (1983)
Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana).

Sumber: Gordon (2005).


2.9   Sistem mata pencaharian dan Ekonomi suku Toraja

Masyarakat Toraja banyak yang memiliki sawah sehingga sebagian besar penduduk Toraja bermata pencaharian sebagai petani. Dalam rumah tangga bagi orang Suku Toraja suami dan isteri sama-sama mencari nafkah, seperti dalam pertanian kalau suami mencangkul disawah adalah kewajiban isteri menanaminya.

Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan.[11] Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.

Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.

Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis.

Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah satu tempat wisata di Tana Toraja.Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara. "Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar.


2.10  Sistem Ilmu pengetahuan,peralatan hidup,senjata suku Toraja

Sistem ilmu pengetahuan suku Toraja
Masyarakat Toraja mempunyai Sistem pengetahuan waktu yang berhubungan dengan hari yang baik atau bulan yang baik. Dalam kehidupan masyarakat Toraja dikenal 3 waktu :
  1. Pertanam ( Setahun Padi )
  2. Sang Bulan ( 30 hari )
  3. Sang Pasa ( Sepekan )

Peralatan hidup, teknologi, senjata Toraja
Pada masyarakat Toraja terdapat bermacam-macam teknologi yang digunakan seperti: Alat Dapur
  • La’ka sebagai alat belanga
  • Pesangle yaitu sendok nasi dari kayu
  • Karakayu yaitu alat pembagi nasi
  • Dulang yaitu cangkir dari tempurung
  • Sona yaitu piring anyaman
  • Pokti – tempat sesajen
  • Sepui – tempat sirih

2.11 Aset budaya dan pariwisata suku Toraja

Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelah Bali".Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik), dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989.[2] Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981.

Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh". Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh suku Toraja.

Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman mereka. 

Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir.

Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat, sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.

Kajian Antropologis Suku Toraja, Sebuah Makalah
Jalan utama di Kota Rantepao, October 1948. Author: C.J. (Cees) Taillie (Fotograaf/photographer). (Sumber foto)
Kajian Antropologis Suku Toraja, Sebuah Makalah
Kolam Makale di Tana Toraja, Sulawesi selatan, sekitar tahun 1948-1949. (Sumber foto)

BAB III PENUTUP

a. Kesimpulan

Seperti daerah-daerah lainnya di indonesia, daerah Tana Toraja memiliki sejarah yang panjang dan layak diketahui. Termasuk pola kehidupan yang tidak kalah unik dibanding suku-suku lainnya di indonesia. Tidak hanya peninggalan sejarah, namun juga peninggalan budaya suku tana toraja yang masih terjaga kelestariannya hingga saat ini.

b. Saran

Untuk kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini kami selaku penyusun, sangat terbuka untuk menerima berbagai kritik dan saran untuk perbaikan kedepan.




Daftar Pustaka
  • Adams, Kathleen M. (2006). Art as Politics: Re-crafting Identities, Tourism and Power in Tana Toraja, Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press.
  • Bigalke, Terance (2005). Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People. Singapore: KITLV Press..
  • Kis-Jovak, J.I.; Nooy-Palm, H.; Schefold, R. and Schulz-Dornburg, U. (1988). Banua Toraja : changing patterns in architecture and symbolism among the Sa’dan Toraja, Sulawesi, Indonesia. Amsterdam: Royal Tropical Institute.
  • Nooy-Palm, Hetty (1988). The Sa'dan-Toraja: A Study of Their Social Life and Religion. The Hague: Martinus Nijhoff.      




Sumber: kwatkhaysin

Budaya Toraja, Berdiri Diantara Pilar Tradisi Dan Modernisasi

Gadis-gadis penari berbusana adat Toraja. Foto: google
Wilayah Hijau dalam Nuansa Budaya

Memasuki Tana Toraja melalui jalur sisi Barat jalan arteri dari Makassar, Parepare, Rappang, Enrekang, Makale hingga Rantepao merupakan perjalanan panjang yang dipenuhi sensasi pemandangan alam nan memukau. Perjalanan selama kira-kira 7 jam menempuh jarak sejauh 328 kilometer menjadi sebuah pengalaman yang akan menjadi kenangan. 

Sampai di Makale, ibukota Kabupaten Tana Toraja yang merupakan gerbang menuju wilayah ini, kita disambut oleh hamparan bentang alam bukit-bukit hijau dengan latar belakang pegunungan Quarles dan birunya langit. Pada beberapa tempat terlihat deretan titik-titik yang merupakan permukiman penduduk. Akankah nuansa alam ini tetap lestari pada masa mendatang? Diperlukan sinergi, kerja keras dan kesungguhan dari semua pemangku kepentingan untuk menerima tantangan bagi upaya pembangunan yang sejalan dengan pelestariannya.

Kabupaten Tana Toraja, adalah salah satu bagian wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yang terletak di bagian utara pada 119sampai 120Bujur Timur dengan luas wilayah sekitar 3.205,17 km(320.500 Ha) Tata guna lahannya terdiri dari 290.500 Ha (91%) berupa perkebunan/lahan kering, 24.500 Ha berupa lahan sawah, 2.500 Ha berupa perikanan dan sisanya sekitar 3.000 Ha untuk hutan dan permukiman.

Wilayah Tana Toraja dan Toraja Utara sebelum dimekarkan.
     Wilayah Tana Toraja dan Toraja Utara berbatasan dengan :
  •  Sebelah Utara    :  Kabupaten Mamuju Utara dan Kabupaten Luwu Utara
  •  Sebelah Timur   :  Kabupaten Luwu dan Kota Palopo
  •  Sebelah Selatan :  Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang
  •  Sebelah Barat     :  Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Mamuju Secara umum keadaan
Topografi wilayah Kabupaten Tana Toraja berbukit dan bergunung-gunung dengan ketinggian lahan 300 m sampai dengan 2.889 m di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayah, sekitar 143.319 Ha (+ 44,70%) berada pada ketinggian antara 500—1.100 m (dpl) dengan dominasi kelerengan antara 26% hingga > 40%. Iklim wilayah Kabupaten Tana Toraja tergolong dalam iklim tropis dengan suhu udara antara 140C – 260C dan kelembaban udara antara 82% - 86%. Curah hujan rata-rata tahunan antara 1.500 mm – 3.500 mm dengan jumlah bulan basah (8 bulan) dan bulan kering (4 bulan). 

Perpaduan antara topografi pegunungan dan iklim yang sejuk serta corak adat - istiadat dan budaya masyarakat Toraja yang unik menjadikan daerah ini sebagai salah satu tujuan wisata Nasional dan Internasional. Jumlah penduduk Kabupaten Tana Tonaja tercatat sebanyak 468.035 jiwa (2007) yang tersebar pada 40 (empat puluh) kecamatan. Kepadatan penduduk tertinggi ada pada Kecamatan Rantepao, Makale dan Sanggalangi. Ditinjau dari aspek sosial kependidikan dapat dilihat dari tingkat rasio jumlah murid/sekolah menunjukkan angka 175 (SD), 251 (SLTP), 369 (SLTA) sedangkan rasio jumlah murid/guru menunjukkan angka 21 (SD), 16 (SLTP), 15 (SLTA).


Sejalan dengan era otonomi daerah, dalam kurun waktu yang relatif singkat dari tahun 2004 sampai tahun 2006 Kabupaten Tana Toraja mengalami perubahan yang sangat penting terutama dari aspek struktural administrasi pemerintahan. Pada awal tahun 2004 wilayah Kabupaten Tana Toraja terbagi atas 15 wilayah kecamatan yang kemudian saat ini telah mekar menjadi 40 wilayah kecamatan. Hal ini akan membawa suatu konsekuensi yang cukup besar dan berdampak luas terhadap berbagai aspek lainnya yaitu: Fisik lingkungan, Sosial, Ekonomi, Budaya serta Prasarana dan sarana wilayah. Pemekaran wilayah kecamatan ini merupakan inisiasi untuk pemekaran wilayah kabupaten menjadi 2 kabupaten yaitu: Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara.

Pemekaran kabupaten ini terwujud melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Toraja Utara Di Provinsi Sulawesi Selatan. Pada UU ini dinyatakan pembagian wilayah untuk masing-masing kabupaten. Kabupaten Toraja Utara, terdiri atas 21 (dua puluh satu) kecamatan, 108 Desa/Lembang, 44 Kelurahan, dengan luas wilayah keseluruhan ± 1.216 km2 (± 38%) dengan jumlah penduduk ± 219.428 jiwa pada tahun 2007. Sedangkan wilayah Kabupaten Tana Toraja jumlah kecamatannya berkurang hingga menjadi 19 (sembilan belas) kecamatan, 112 Desa/Lembang, 43 Kelurahan, dengan luas wilayah keseluruhan ± 1.989 km2 (± 62%) dengan jumlah penduduk ± 248.607 jiwa pada tahun 2007. 


Dalam konteks Nasional kawasan Toraja dan sekitarnya ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dengan sudut kepentingan sosial budaya melalui kebijakan yang dituangkan dalam PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang nasional (RTRWN). Dalam kebijakan ini juga ditegaskan bahwa tahapan pengembangan untuk Rehabilitasi/Revitalisasi Kawasan Toraja dan sekitarnya direncanakan pada prioritas I (2010-2014). Adapun institusi pelaksana untuk pengembangannya merupakan kewenangan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

VISI DAN MISI

Visi Kabupaten Tana Toraja “Terwujudnya Tana Toraja sebagai daerah idaman yang paling indah tempat tinggal masyarakat yang beriman dan mandiri, kreatif, dinamis, sejahtera dan penuh kasih persahabatan”


MISI Kabupaten Tana Toraja
  1. Meningkatkan mutu manusia dalam berbagai eksistensi masyarakat Tana Toraja.
  2. mengoptimalkan penataan ruang dan pelestarian lingkungan.
  3. Membangun prasarana p e r h u b u n g a n d a n sarana perekonomian.
  4. Meningkatkan kualitas pendidik an dengan restrukturisasi sistem dan penyelenggaraan pendidikan pada setiap jenjang.
  5. mengoptimalkan otonomisasi daerah melalui peningkatan kualitas pemerintahan daerah.
  6. menata dan membangun kembali kelembagaan sosial, ekonomi dan bisnis termasuk koperasi.
  7. Mengoptimalkan pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Sumberdaya Pariwisata.
  8. Mendorong para pengusaha Kecil dan Menengah agar dapat mengembangkan usahanya secara mandiri, profesional.
  9. Membangun ekonomi kerakyatan Tana Toraja yang bertumpu pada sektor pertanian dan pariwisata.

BUDAYA SUKU TORAJA 
Sistem Religi, Organisasi Sosial dan Kepemimpinan Suku Toraja
Perkampungan tua Buntu Pune. Foto: google
Masyarakat Toraja memiliki kepercayaan yang disebut Aluk Todolo. Aluk berarti aturan dan Todolo berarti nenek moyang. Hakikat Aluk Todolo adalah pandangan terhadap alam dan pandangan terhadap leluhur yang diimplementasikan dalam aturan-aturan dan upacara-upacara adat. 

Sampai saat ini masyarakat Toraja masih memegang teguh aturan upacara-upacara adat seperti Aluk Rambu Tuka’ / Aluk Rampe Matallo yaitu aturan upacara pengucapan syukur untuk kehidupan dan keselamatan serta Aluk Rambu Solo’ / Aluk Rampe Matampu’ yaitu aturan upacara kematian dan pemakaman. Masyarakat Toraja juga mengenal Liang atau kuburan adapt Toraja. 


Menurut ajaran Aluk Todolo, seperti halnya semasa hidup, pada waktu mati pun manusia berkumpul dalam satu tongkonan (Tangdilingtin, 1974). Tulang belulang dan jasad tubuh dikumpulkan dalam satu tempat yang disebut Liang atau Tongkonan Tang Merambu (tongkonan tidak berasap).

Liang merupakan pasangan dari tongkonan dan dinyatakan sebagai warisan dan pusaka dari satu keluarga. Selain dalam hal upacara, adat juga menentukan dalam kehidupan perekonomian masyarakat Toraja. Hampir semua lahan persawahan, perkebunan dan tegalan yang dimiliki oleh masyarakat berada dibawah kuasa hukum adat. Pengaturan, pengendalian dan pemanfaatan ruang dan lahan termasuk didalamnya pembangunan prasarana jalan, sistem dan distribusi air yang berasal dari mata air pegunungan untuk saluran irigasi persawahan dan sebagainya ditentukan oleh penguasa dan hokum adat. 


Masyarakat Toraja memiliki lembaga dan organisasi sosial yang mengelola kehidupan di lingkungan permukiman pedesaan. Setiap daerah adat besar terdiri dari beberapa kelompok adat yang dikuasai oleh satu badan musyawarah adat yang disebut Kombongan Ada’. Setiap Kombongan Ada’ memiliki beberapa penguasa adat kecil disebut Lembang. Di daerah lembang masih terdapat penguada adapt wilayah yang disebut Bua’.

Tongkonan Sebagai Sumber Kebudayaan Masyarakat Suku Toraja

Tongkonan Sebagai Sumber Kebudayaan Masyarakat Suku Toraja. Foto: google
Tongkonan berarti tempat penguasa adat untuk mendengarkan, membicarakan dan menyelesaikan masalah-masalah penting dalam membina persatuan kehidupan dan harta warisan keluarga menurut tradisi masyarakat Toraja. 

Tongkonan sangat berperan dan berfungsi membentuk kepribadian, tradisi dan budaya Toraja dengan dasar kesatuan kekeluargaan dan gotong royong dalam hidup dan kehidupan sosial ekonomi dan budaya. Masyarakat Toraja membedakan antaraTongkonan sebagai rumah adat keluarga Toraja, sumber kekuasaan adat dan pemerintahan adat Toraja dengan Banua barang-barang yaitu rumah atau tempattinggal pribadi orang Toraja. Tongkonan merupakan sumber budaya tradisional Toraja, seperti yang tercermin dalam ungkapan-ungkapan berikut :
  • Tongkonan ditimba uainna artinya : uai berarti air dan ditimba artinya ditimba, yang mengandung makna Tongkonan sebagai sumber bahan makanan bagi warganya.
  • Tongkonan dikalette’ tanananna : dikalet te’artinya dipetik dan tanananna berarti tanaman yang mengandung makna bahwa Tongkonan sebagai sumber bahan makanan bagi warganya
  • Tongkonan dire’tok kayunna : artinya tanah milik tongkonan pemanfaatannya berfungsi sosial dalam arti kata seluas-luasnya
  • Tongkonan dikumba’ litakna : litakna artinya tanah milik tongkonan pemanfaatannya berfungsi sosial dalam arti kata seluas-luasnya.
  • Tongkonan dipoada’ ada’na, dipoaluk alukna : artinya adat istiadat, aluk artinya agama (religius) yang mengandung makna bahwa segala tindakan, tata kelakuan, pola hubungan sosial, norma-norma dan aturan-aturan dalam kehidupan bersama bersumber dari Tongkonan yang dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan.
Permukiman Perdesaan
Kondisi desa dan perdesaan di Tana Toraja mempunyai cirri yang hampir sama walaupun ada sedikit perbedaan, baik ditinjau dari sudut lokasi geografis, etnologis/silsilah dan sosial budayanya ataupun mata pencahariannya. Desa-desa tradisional Toraja pada umumnya memiliki ciri umum yaitu dengan kelompok rumah-rumah adat untuk tempat tinggal keluarga sedikitnya antara 5 - 10 keluarga dan disesuaikan dengan kondisi topografis serta lokasinya menyebar di lereng pegunungan. 

Setiap kelompok rumah-rumah penduduk memiliki tongkonan dan alang atau lumbung padi untuk kegiatan sosial ekonomi dan kehidupan tradisi dan budaya mereka. Tongkonan biasanya secara turun temurun dilengkapi dengan ladang dan sawah untuk bertani, serta binatang ternak dengan memelihara kerbau dan babi. Secara umum kondisi lingkungan permukiman di pedesaan Toraja tidak kekurangan rumah, tetapi kualitas lingkungannya tidak memadai.


Hal tersebut antara lain disebabkan oleh masih rendahnya tingkat penghasilan maupun tingkat sosial budaya masyarakatnya. Dikalangan masyarakat tertentu, karena adanya kepercayaan melindungi gangguan dari luar serta serangan terhadap penyakit, sehingga masih terdapat rumah tanpa bukaan untuk jendela dan lantai dari tanah yang lembab. Kondisi air bersih pedesaan dan saluran buangan limbah pada umumnya menunjukkan kualitas yang rendah. Kandang ternak kerbau dan babi pada umumnya sangat berdekatan atau menyatu dengan tempat tinggal di rumah adat atau tongkongan. 

Rumah adat dapat dipastikan menghadap ke utara. Posisi ini mengandung pengertian bahwa jendela yang menghadap timur secara filosofi melambangkan kehidupan karena timur adalah arah masuknya sinar matahari. Rumah adat kepemilikannya secara turun temurun dan bersifat komunal.

Dengan pola ini maka tidak ada pembagian warisan khususnya untuk wiilayah Toraja Selatan. Sementara wilayah utara ada sebagian yang dibagi sehingga ada sebagian bidang tanah yang beralih kepemilikannya. Tongkonan diseluruh Tana Toraja secara adat dan tidak tertulis terbagi menjadi 32 wilayah adat, disini terdapat suatu aturan tidak tertulis bahwa antara satu wilayah adat dengan wilayah adat lainnya tidak boleh saling mengintervensi. Di Tana Toraja tak ada bengkok seperti di daerah lain, dengan adanya bangunan tongkonan dengan segala sarananya (ladang, sawah, dan lain lainnya) dengan sendirinya wilayah Tana Toraja sudah terbagi habis dengan keberadaan tongkonan.

Tata letak bangunan pada perkampungan/desa adat tua


Desa Adat Ke’te Kesu’

Desa Ke'te Kesu.
Desa Ke’te kesu’ terletak ± 4 Km sebelah tenggara Kota Rantepao. Desa ini merupakan salah satu obyek unggulan di Tana Toraja. Terkenal karena terdapat perkampungan adapt tua, lumbung-lumbung padi dan batu menhir yang terletak di antara areal persawahan juga kompleks pemakaman bagi kaum bangsawan beberapa meter di bagian belakang rumah. Disini ditemukan kuburan purba tergantung dari atas dinding-dinding batu disertai patung-patung (tau-tau). 

Di lokasi ini terdapat pengukir dan pematung yang cakap membuat barang-barang kerajinan. Pada Desa Ke’te Kesu’ ini juga terdapat museum yang merupakan sarana penunjang aktivitas pariwisata yang ada di Desa Ke’te Kesu’ ini. Mata pencaharian utama masyarakatnya adalah pertanian. Hal ini terlihat dari banyaknya penggarap lahan yang ada. 

Pariwisata merupakan usaha sampingan, bukan merupakan Kerajinan adalah usaha sampingan bagi masyarakatnya, namun lebih banyak bersifat pemasaran/distribusi saja, karena hanya beberapa masyarakat yang membuat kerajinan, sebagian besar barang dagangan dibuat oleh masyarakat dari luar ke’te kesu’ , bahkan ada yang berasal dari luar Desa Ke’te Kesu’ sebagai contoh songket bali lombok yang berasal dari Jogya dan lainnya. Sebagian besar rumah Tongkonan yang ada di Ke’te Kesu’ tidak dihuni karena masyarakatnya banyak yang bekerja di luar namun masih ada sanak famili perwakilan dari masingmasing tongkonan yang membangun rumah batu sendiri di sekitar Ke’te Kesu’. 

Sebagian lumbung masih terpakai meski tidak effektif. Hal ini terlihat ketika musim panen melimpah, padi hanya diletakkan di bawah kemudian ditutupi dengan terpal, sehingga tidak dinaikkan ke atas lumbung.

Buntu Pune

Perkampungan tua Buntu Pune. Foto: google
Tongkonan Buntu Pune terkenal sejak jaman pemerintahan sang penguasa Pong Maramba'. Pada bulan September 1905 tempat ini menjadi saksi bisu lahirnya semboyan perjuangan Toraja "To pada tindo, To misa' pangimpi" sebuah kesepakatan antara beberapa penguasa lokal di Toraja untuk melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda yang akan memasuki Toraja melalui daerah Balusu. Pertemuan ini sekaligus menghilangkan perpecahan antara mereka (penguasa lokal) dan menyusun kekuatan untuk melawan Belanda.

Itulah sebabnya Buntu Pune ditetapkan sebagai situs purbakala karna Tongkonan yang ada ditempat ini menyimpan nilai sejarah yang luar biasa. Benteng pertahanan ini juga menyimpan benda benda perbakala dan tempat pemakaman yang sudah berumur ratusan tahun. Bahkan juga terdapat tau tau atau replika orang yang di semayamkan di kuburan ini.

Lokasi objek wisata ini berada di bagian selatan Toraja Utara jurusan ke Ke'te' kesu'  tepatnya di kecamatan Sanggalangi.

Desa Adat Palawa'
Kompleks Desa Adat Pallawa'. Foto: google
Desa Palawa' terletak ± 12 Km dari Kota Rantepao yang merupakan salah satu obyek unggulan wisata dimana terdapat perkampungan adat tua. Mata pencaharian utama masyarakatnya tetap bertani namun sebagian masyarakatnya ada juga yang menjadi pegawai negeri atau swasta.

Desa adat Pallawa , merupakan desa tradisional yang masih memiliki 11 bangunan rumah dan 15 lumbung padi khas arsitektur Toraja.

Rumah-rumah beratap susunan bambu tersebut sudah ratusan tahun usianya dan hingga kini masih dipertahankan. Susunan tanduk kerbau di bagian depan rumah, menjadi aksesoris yang segera saja menarik pandangan mata, begitu juga dengan sebaris taring babi yang digantung di dekat langit-langit di pelataran rumah.

Susunan tanduk kerbau menunjukkan strata sosial pemilik rumah, semakin banyak tanduk berarti semakin kaya karena si pemilik sering mengadakan upacara adat. Sementara taring babi menunjukkan kalau rumah tersebut sudah diupacarakan dalam adat syukuran. 

Kondisi saat ini tongkonan cenderung kosong dan tidak dihuni karena masyarakat sudah membuat rumah batu sendiri di belakang atau disekitar tongkonan keluarga mereka, alasannya selain karena tongkonan di Pallawa ini sudah dijadikan cagar budaya juga karena Tongkonan kurang praktis untuk digunakan sebagai tempat tinggal karena tidak bisa dimiliki perseorangan (milik keluarga besar) sehingga orang cenderung membuat rumah batu yang hak dan kenyamanannya lebih terjamin.

Desa Adat Siguntu'
Tongkonan di desa adat Siguntu'
Desa ini terletak ± 4 Km dari Rantepao. Di Desa Siguntu ini terdapat beberapa rumah adat tongkonan dan lumbung-lumbung padi. Situs ini adalah milik bangsawan bernama Pong Tandi Bulaan

Tongkonan Siguntu' terletak di Dusun Kadundung, Desa Nonongan, Kecamatan Sanggalangi', Kabupaten Toraja Utara, Propinsi Sulawesi Selatan.

Siguntu' berada di atas bukit dengan rumah Tongkonan (traditional house of Toraja tribe) yang unik dan pemandangan yang mempesona. Terdapat hamparan sawah di bagian timur serta tebing-tebing bukit Buntu Tabang di bagian barat. Di lokasi ini terdapat tiga rumah Tongkonan (dari timur Tongkonan Siguntu', Tongkonan Tirorano dan Tongkonan Solo') yang kesemuanya itu dalam satu lokasi disebut Siguntu'.

Tongkonan di desa adat Siguntu'
Lokasi Tongkonan Siguntu’ dibuka sebagai objek wisata tahun 1973 dan pada tahun 1974 di Tongkonan ini dilaksanakan upacara adat Rambu Tuka’ yaitu Merok Mangrara Banua / peresmian rumah baru (Tongkonan Tirorano dibangun kembali dan disatukan di Siguntu’) oleh keluarga di Siguntu’, yang dihadiri oleh para delegasi 60 negara asing yang mengikuti konferensi PATA ke-23 di Jakarta tahun 1974. Sejak itulah Toraja semakin dikenal sebagai Daerah Tujuan Wisata yang handal dan menakjubkan.

Pekerjaan masyarakat Siguntu' yaitu bertani dengan dengan sawah yang berada di daerah bawah namun tidak digarap sendiri karena jumlah masyarakat Siguntu yang sedikit, sebagian besar keturunan mereka berada di luar Tana Toraja, pembagian hasil 50 % untuk pemilik sawah dan 50 % untuk penggarap, namun hasil panen disimpan di bawah sehingga lumbung yang ada di atas lebih sering kosong dan banyak berfungsi hanya ketika upacara adat saja sebagai tempat menerima tamu. 

Disamping bertani padi sawah masyarakat Siguntu juga memiliki usaha penggemukan kerbau serta petani Kebun Kopi yang ada di Pendek. Dulu terdapat aktivitas pariwisata di Siguntu namun sekarang tidak ada karena kalah pamor dibandingkan dengan Pallawa dan Ke’te’ Kesu’. Rumah Tongkonan yang ada di Desa Siguntu ini sebagaimana halnya Tongkonan yang ada di Tana Toraja tidak dikenai PBB dan tidak disertifikatkan, namun rumah batu yang dibangun di sekitarnya dikenai PBB.

Desa Adat Baruppu’                   
Desa Tiroan Baruppu. Foto: Panoramio
Bangunan tongkonan di desa ini masih ditinggali dan masih alami meskipun ada beberapa perubahan kecil yaitu misalnya penambahan dinding pada bangunan bawah tongkonan, pembuatan kamar mandi, serta kandang babi ada di belakang rumah. Sudah ada tempat ternak hewan bersama namun sejauh ini belum terdapat banyak ternaknya. 

Mata pencaharian masyarakat disini mayoritas petani padi sawah dan petani kopi, ada juga yang berkebun alpokat dan markisa, bertambak ikan, pengelola turbin air, ternak babi dan kerbau serta ayam.


Kegiatan para wanita, membantu suami di sawah dan kebun, namun demikian masih banyak waktu luang karena sawah dan kebun tidak digarap setiapm hari. Sawah hanya digarap ketika tanam dan panen yang berlangsung 2 kali dalam setahun demikian juga dengan kopi.

Desa Rante Karassik, Londa dan Sa'dan
Pemakaman di tebing batu Londa.
Disamping desa-desa adat yang telah digambarkan di depan sesungguhnya Tana Toraja secara keseluruhan adalah hamparan semesta yang sarat dengan warisan       budaya yang berwujud material dan non material. 

Warisan berwujud material seperti bangunan dan situs-situs dan non material berupa legenda-legenda dan keyakinan yang menyatu dalam kehidupan keseharian masyarakatnya. Beberapa desa yang menonjol warisan budayanya antara lain Desa Sa’dan, Rante Karassik, Londa dan Buntupune. Sa’dan adalah desa yang merupakan hulu sungai Sa’dan yang mengairi desadesa dibawahnya. Desa ini memiliki kekayaan alam yang indah dan kerajinan kain tenun yang ditenun oleh tangan-tangan terampil mulai tahun.


Situs megalitik, batu Simbuang.
Desa Rante Karassik memiliki peninggalan berupa situs megalitik yang terletak pada lembah dengan latar belakang gunung. Yang menarik dari Rante Kerrasik ini adalah batu-batu megalitikum (menhir) besar yang tertancap megah di atas tanah. Jumlahnya ada puluhan dengan tinggi yang bervariasi, bahkan ada yang sampai 7 meteran. Sebagian juga masih ada yang terkubur di dalam tanah. Batu menhir ini adalah simbol bahwa telah sekian banyak upacara adat pemakaman bangsawan Rambu Solo’ Rapasan dilaksanakan di lokasi tersebut.

Namun disayangkan tidak ada informasi khusus tentang sejarah dari situsnya. Buntupune dan londa mirip desa adat lainnya namun disini banyak peninggalan berupa pekuburan pada tebing-tebing yang tinggi dan ditandai dengan patung-patung diri nenek moyang.

Potensi Sumber Daya Alam dan Sosial Budaya

POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN TANA TORAJA SEBAGAI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL WARISAN SOSIAL BUDAYA 

Ritual Rambu Solo, tradisi yang melekat erat pada kehidupan sosial masyarakat Toraja.
Masyarakat Toraja
  • Bentang alam hijau, pegunungan dan iklim yang nyaman ditunjang pola berkebun dan bertani menciptakan harmoni alam yang khas Tana Toraja.
  • Masyarakat Tana Toraja memiliki budaya khas dan spesifik yang memiliki kekuatan dan keutuhan dalam membentuk pola kehidupan masyarakatnya. Nilai, norma dan tradisi warisan nenek moyang ini masih eksis sampai saat ini dan menjadi pegangan dan orientasi nilai nilai kehidupan keseharian masyarakatnya.
  • Warisan budaya yang berupa Arsitektur tradisional dan pola tata letak massa bangunan di permukiman perdesaan relative terpelihara dengan baik.
  • Kepercayaan Aluk Todolo yaitu pandangan untuk kelestarian atau harmonisasi kehidupan duniawi terhadap alam dan pandangan terhadap leluhur diimplementasikan dalam aturan dan upacara adat yang dipatuhi hingga saat ini.
  • Akses pendukung kawasan berupa infrastruktur jalan penghubung antar kawasan, relatif baik dengan kondisi jalan datar serta berada dekat dengan Pusat kota Rantepao.
   Permasalahan Pengembangan
  • Peran serta pemerintah, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya masih belum optimal dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan warisan budaya.
  • Beberapa Tongkonan yang telah diambil alih Pemda tidak lagi dihuni oleh pemiliknya sehingga terkesan seperti museum. Tongkonan yang masih dihuni sudah terdapat banyak perubahan sehingga bangunan memberi kesan tidak asli.
  • Warga desa merasakan adanya konflik batin, dimana ada perasaan ingin berubah sejalan dengan modernisasi jaman tapi mereka tetap patuh untuk mempertahankan nilai-nilai budaya.
  • Kepemilikan tanah yang hampir seluruhnya dikuasai hukum adat. Kondisi ini menyebabkan penataan ruang dalam kaidah normatif sulit dilaksanakan.
 UPAYA HARMONISASI PILAR TRADISI DAN MODERNISASI
  • Meningkatkan peran serta masyarakat dalam Penataan Ruang sejak tahap gagasan hingga implementasi di lapangan.
  • Kegiatan pendampingan pada proyek percontohan untuk penataan kawasan warisan budaya skala kecil sejak tahap gagasan hingga pengelolaannya.
  • Meningkatkan peran BKPRD sebagai pemrakarsa dan koordinator Penataan Ruang.
  • Meningkatkan kapasitas Sumber daya manusia dalam bidang pertanian, perkebunan dan pariwisata.
  • Meningkatkan kapasitas ekonomi mikro melalui dana stimulan bagi pengembangan usaha skala kecil bidang kerajinan, makanan/minuman dan jasa-jasa.
  • Merintis dialog antara ketua adat, dinas pertanahan dan dinas tata ruang untuk menciptakan peluang bagi pengadaan tanah untuk kepentingan public Penyelenggaraan peringatan Hari Tata Ruang/World Town Planning Day (WTPD) dilaksanakan selama 2 hari, yaitu tanggal 7 – 8 November 2009 bertempat di Plaza Barat Senayan.
Hari ke-1 adalah kegiatan Tata Ruang Expo 2009 yang dibuka oleh Deputi Bidang Tata Ruang Provinsi DKI. Peserta Tata Ruang Expo 2009 dibagi menjadi 6 cluster yaitu : cluster bangunan dan teknologi, cluster lingkungan, cluster kawasan, cluster perkotaan, cluster wilayah/regional, cluster nasional, serta stand Departemen Pu dan Pemprov DKI. 

Puncak peringatan WTPD sendiri diadakan pada hari Minggu, tanggal 8 November 2009. dengan yang diramaikan dengan kegiatan Sepeda Sehat /Fun Bike dengan jumlah peserta + 2000 orang yang dilepas di Plaza Barat Senayan oleh Walikota Jakarta Pusat. Pada kesempatan ini Menteri PU dan Gubernur DKI melakukan penyegelan SPBU di Bundaran Semanggi, sebagai wujud upaya DKI Jakarta untuk menjadikan Jakarta sebagai kota yang lebih hijau, dengan merubah SPBU tersebut menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH). 


Penandatanganan Deklarasi Forum SUD Puncak peringatan Hari Tata Ruang ditandai dengan penekanan sir ine oleh Menter i Pekerjaan Umum didampingi oleh Gubernur DKI Jakarta, dan dilanjutkan dengan penandatangan Nota Kesepahaman antara Depar temen Pekerjaan Umum dengan Pemerintah Provinsi DKI, yang didasarkan pada keinginan bersama penyelenggaraan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan serta tanggung jawab bersama untuk menjadikan DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Ke depan peringatan Hari Tata Ruang diharapkan juga diselenggarakan di daerah atas prakarsa pemangku kepentingan dengan dukungan pemerintah daerah setempat.


Prosesi Rambu Solo, tradisi yang melekat erat pada kehidupan sosial masyarakat Toraja.


Foto: Google
Sumber artikel: bulletin[.]penataanruang[.]net